• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Kerangka Konsep

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Indikasi revaskularisasi CABG 17

2.2 Kriteria RIFLE 22

3.1 Definisi operasional 29

4.1 Distribusi karakteristik berdasarkan usia subjek penelitian 33 4.2 Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin subjek

penelitian

33 4.3 Distribusi karakteristik berdasarkan riwayat keluarga

subjek penelitian

34

4.4 Distribusi karakteristik berdasarkan status hiperlipidemia subjek penelitian

34 4.5 Distribusi karakteristik berdasarkan status merokok subjek

penelitian

35

4.6 Distribusi karakteristik berdasarkan status riwayat hipertensi subjek penelitian

35 4.7 Distribusi karakteristik berdasarkan status diabetes

mellitus subjek penelitian

36 4.8 Distribusi karakteristik berdasarkan komplikasi subjek

penelitian

36

4.9 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian perdarahan pasca bedah subjek penelitian

37 4.10 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian aritmia

subjek penelitian

37

4.11 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian infark miokard subjek penelitian

38 4.12 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian stroke subjek

penelitian

38

4.13 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian gagal ginjal akut subjek penelitian

39 4.14 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian infeksi luka

sternum subjek penelitian

39 4.15 Distribusi karakteristik berdasarkan angka mortalitas

subjek penelitian

40

DAFTAR SINGKATAN

AHA : American Heart Association

BIMA : Bilateral Internal Mammary Artery BMI : Body Mass Index EKG : Elektrokardiografi

FDA : Food and Drug Administration GFR : Gromerular Filtration Rate HDL : High-density Lipoprotein IL-8 : Interleukin-8

IGF-1 : Insulin-like Growth Factor-1 IRI : Ischaemia/Reperfusion Injury LAD : Left Anterior Descending Artery LBBB : Left Bundle Branch Block LDL : Low-density Lipoprotein LIMA : Left Internal Mammary Artery MESA : Multi Etnic Study of Atherosclerosis

NGAL : Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin PCI : Percutaneous Coronary Intervention

PES : Paclitaxel-eluting Stents PJK : Penyakit Jantung Koroner

PTCA : Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty PPOK : Penyakit Paru Obstruksi Kronis

SES : Sirolimus-eluting Stents

SPSS : Statistical Package for the Social Science STEMI : ST Elevated Myocard Infarction

SYNTAX : Synergy between Percutaneous Coronary Intervention with Taxus and Cardiac Surgery

TMR : Transmyocard Revascularization

ABSTRAK

Latar Belakang. Di Indonesia angka kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030. Salah satu tindakan revaskularisasi dengan membebaskan penyempitan pembuluh darah koroner tersebut adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG).

Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2015-2016 berdasarkan faktor risiko PJK dan komplikasi dari tindakan CABG tersebut. Metode. Jenis penelitian bersifat deskriptif dengan desain cross sectional study. Populasinya adalah pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2015-2016. Data diambil dari rekam medis menggunakan teknik total sampling. Hasil. Prevalensi pasien PJK yang dilakukan CABG sebesar 6,71%. Kelompok usia

<45 tahun (4,3%), usia 45-64 tahun (80%), usia 65-74 tahun (14,3%), usia ≥ 75 tahun (1,4%), laki-laki (84,3%), perempuan (15,7%), dengan riwayat keluarga (47,1%), hiperlipidemia (61,4%), merokok (55,7%), hipertensi (72,9%), diabetes melitus (51,4%), komplikasi pasca tindakan CABG (80%), perdarahan pasca bedah (22,9%), aritmia (21,4%), infark miokard (20%), stroke (0%), gagal ginjal akut (44,3%), infeksi luka sternum (1,4%), dan pasien yang meninggal sebanyak 13 orang (18,6%). Kesimpulan. Karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG paling banyak pada kelompok usia 45-64 tahun (80%). Pasien terbanyak adalah laki-laki (84,3%). Faktor risiko pasien PJK yang dilakukan CABG terbanyak adalah hipertensi (72,9%). Pasien mengalami komplikasi pasca CABG sebesar 80% dengan komplikasi yang terbanyak adalah gagal ginjal akut sebesar 44,3%. Mortalitas pasca CABG sebesar 18,6%.

Kata kunci penyakit jantung koroner, faktor risiko, CABG, komplikasi, mortalitas

ABSTRACT

Background. In Indonesia, mortality rate caused by cardiovascular disease, coronary heart disease (CHD) and stroke is estimated to increase to 23.3 million deaths in 2030. One of the revascularization procedures with coronary artery narrowing is the Coronary Artery Bypass Graft (CABG). Objective. This study aims to determine the characteristics of CHD patients undergoing CABG at Haji Adam Malik General Hospital Medan in 2015-2016 based on CHD risk factor and complications from CABG procedure. Methods. The research is using descriptive method with cross sectional study design. The population is CHD patients undergoing CABG at Haji Adam Malik General Hospital Medan in 2015-2016. The data is collected from medical records using total sampling technique. Results. The prevalence of CHD patients perfomed with CABG is 6.71%. Age group <45 years (4.3%), age 45-64 years (80%), age 65-74 years (14.3%), age ≥ 75 years (1.4%), male (84,3 %), female (15.7%), with family history (47.1%), hyperlipidemia (61.4%), smoking (55.7%), hypertension (72.9%), diabetes mellitus (51,4%), postoperative complications (22.9%), arrhythmias (21.4%), myocardial infarction (20%), stroke (0%), acute renal failure (44.3%), sternum wound infection (1.4%), and 13 people (18,6%) was died after CABG procedure. Conclusion. Characteristics of CHD patients undergoing CABG was highest in the age group 45-64 years and was more prevalent in men. The most risk factors of CHD patients undergoing CABG is hypertension (72,9%). Patients with complications after CABG is 80% and the most complication is acute renal failure (44.3%). The mortality rate of CABG was 18.6%.

Keywords coronary heart disease, risk factors, CABG, complications, morality

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan suatu gangguan fungsi jantung dimana otot jantung kekurangan suplai darah yang disebabkan karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. PJK secara klinis ditandai dengan adanya nyeri dada atau dada terasa tertekan pada saat jalan buru-buru, berjalan datar atau berjalan jauh, dan saat mendaki atau bekerja (Riskesdas, 2013).

Faktor risiko dari PJK terbagi dua yaitu faktor yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah adalah usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah yaitu hiperlipidemia, merokok, hipertensi, diabetes melitus (DM), obesitas dan kurangnya aktivitas fisik (Adi, 2014; Mitchell, 2015).

Menurut American Heart Association (2016), PJK merupakan penyebab utama kematian (45,1%) di Amerika Serikat diikuti dengan penyakit stroke (16,5%), gagal jantung (8,5%), hipertensi (9,1%), penyakit arteri (3,2%), dan penyakit kardiovaskular lainnya. Penelitian terdahulu yang dilakukan di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa rata-rata pasien PJK berusia 58,1 tahun, jenis kelamin perempuan (24%), riwayat keluarga PJK (44,8%), merokok (47,7%) dan mempunyai rata-rata indeks massa tubuh 27,9 kg/m2 serta faktor risiko lainnya seperti hipertensi (46,3%), DM (17,1%), dan hiperlipidemia (44,1%) (Stone et al., 2011).

Di Indonesia angka kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner dan stroke diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030 (InfoDatin, 2016). Berdasarkan hasil Riskesdas (2013), di Indonesia PJK berada di posisi ke tujuh penyakit tidak menular. Prevalensi PJK berdasarkan diagnosis dokter Indonesia sebesar 0,5%

dan berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5%.Dari hasil penelitian

2

(Ghani et al. , 2016) usia pasien PJK di Indonesia yang paling banyak berkisar 65-74 tahun, jenis kelamin perempuan (1,6%), merokok (1,2%), obesitas (1,7%), hipertensi (5,5%), DM (9,2%), dan hasil lipid yang abnormal (1,8%).

Salah satu terapi pengobatan PJK adalah dengan melakukan tindakan revaskularisasi, yaitu Coronary Artery Bypass Graft (CABG). Tindakan CABG pertama kali dilakukan pada tahun 1960-an dengan menggunakan mesin jantung-paru (Hakim dan Dharmawan, 2014). Di Medan tindakan CABG telah dilakukan di Rumah Sakit Haji Adam Malik sejak tahun 1996 (Rosmaliana, 2014). CABG merupakan salah satu prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan, data tahun 2010 menunjukkan sebanyak 397.000 pasien rawat inap dilakukan CABG di Amerika Serikat (Mozaffarian et al., 2016).

Tindakan CABG dilakukan dengan mengambil konduit pembuluh darah baik itu arteri maupun vena untuk disambungkan ke arteri koroner sehingga terjadi pemintasan arteri koroner yang mengalami penyempitan. Hasilnya adalah terjadi perbaikan suplai darah ke daerah otot jantung yang diperdarahi arteri koroner yang tersumbat tersebut (Hakim dan Dharmawan, 2014).

Operasi ini memberikan hasil jangka panjang yang baik sampai 20 tahun (Rachmat et al., 2010). Namun, tindakan CABG diketahui memiliki beberapa komplikasi (Hillis et al., 2011) yaitu stroke 1,4-3,8%, infeksi sternum superficial 2-6%, infeksi sternum dalam 0,45-5%, gagal ginjal akut 2-3%, aritmia 20-50%, dan 10-20% pasien yang memerlukan transfusi darah pasca pembedahan. Selain itu tindakan CABG juga mempunyai angka mortalitas berkisar 5-6% (Moorjani et al., 2013).

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan dari tahun 2015 sampai tahun 2016.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2015-2016?

3

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 TUJUAN UMUM

Untuk mengetahui karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.3.2 TUJUAN KHUSUS

a. Untuk mengetahui prevalensi pasien PJK yang dilakukan CABG.

b. Untuk mengetahui distribusi pasien PJK yang dilakukan CABG berdasarkan usia dan jenis kelamin.

c. Untuk mengetahui distribusi pasien PJK yang dilakukan CABG berdasarkan faktor risiko.

d. Untuk mengetahui komplikasi dan mortalitas pasien PJK yang dilakukan CABG.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 MANFAAT TEORITIS

Penelitian ini diharapkan memberi informasi karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG kepada institusi dan klinisi serta sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2 MANFAAT PRAKTIS

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada penderita PJK yang akan melakukan bedah, khususnya CABG.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENYAKIT JANTUNG KORONER

Terdapat beberapa penyebab dari PJK yaitu aterosklerosis, spasme pembuluh darah koroner, emboli dan penyakit kongenital. Obstruksi aterosklerosis pada pembuluh darah epikardia (arteri koroner) besar sejauh ini merupakan penyebab utama PJK. Spasme arteri koroner dari berbagai mediator seperti serotonin dan histamin telah dijelaskan dengan baik dan lebih sering terjadi pada individu di Jepang (McPhee dan Ganong, 2011).

Penyebab lain PJK adalah emboli yang terjadi pada pasien vegetasi dengan endokarditis, namun kejadian ini jarang ditemukan. Kelainan pembuluh darah koroner yang disebabkan oleh penyakit kongenital berjumlah 1-2% pada populasi.

Bagaimanapun hanya sebagian kecil dari kelainan ini yang menyebabkan gejala iskemi (McPhee dan Ganong, 2011).

2.1.1 SISTEM PEMBULUH DARAH KORONER

Arteri koroner merupakan konduit darah utama di jantung. Arteri koroner merupakan cabang utama arteri aorta dan membentuk dua arteri yaitu arteri koroner dextra dan arteri koroner sinistra (Omer et al., 2017). Arteri coronaria dextra menyuplai atrium dextrum dan ventriculus dexter, nodi sinuatrialis dan atrioventriculare, septum intrarteriale, sebagian strium sinistrum, sepertiga bagian posteroinferior septum interventriculare, dan sebagian pars posterior ventriculus sinister (Drake et al., 2014).

Cabang-cabang arteria koronaria dextra adalah:

a) Ramus atrialis yang akan memberikan cabang ramus nodus sinuatrialis.

b) Ramus marginalis dextra.

c) Ramus interventricularis posterior.

5

Gambar 2.1 Anatomi sirkulasi koroner (Drake et al., 2014)

Arteria koronaria sinistra menyuplai sebagian besar atrium sinistrum dan ventriculus sinister, dan sebagian besar septum interventriculare, termasuk fasciculus atrioventrikular/atrioventriculare bundle dan cabang-cabangnya. Arteri ini disebut juga arteri koroner kiri utama.

Cabang-cabang arteri koronaria sinistra adalah:

a) Ramus interventrikularis anterior (left anterior descending artery-LAD). Arteri ini dianggap pembuluh darah paling penting saat bedah karna ia menyuplai lebih dari 50% massa ventrikel kiri dan sebagian septum interventricular. Selama perjalanannya, satu atau dua rami diagonals/laterales besar.

b) Ramus circumflexia.

Kemudian dari arteri ini satu cabang arteri besar akan muncul yaitu arteria marginalis sinistra (Drake et al., 2014).

6

2.1.2. PROSES ATEROSKLEROSIS

Aterosklerosis ditandai dengan adanya lesi tunica intima yang disebut ateroma (disebut juga atheromatous atau plak aterosklerotik) yang menembus ke lumen pembuluh darah. Plak atheromatous terdiri dari lesi yang mengandung gumpalan lipid yang lembut dan kuning (terutama kolesterol dan kolesterol esterase) yang dilapisi oleh lapisan fibrous cap yang ketat (Mitchell, 2015).

Proses aterosklerosis sebenarnya sudah dimulai sejak masa kanak-kanak.

Guratan lemak (fatty streak) sudah muncul di tunika intima aorta pada anak usia 3 tahun. Guratan lemak ini dapat berkembang lebih lanjut ataupun dapat mengalami regresi (Adi, 2014). Selain merusak jalannya aliran darah, plak aterosklerotik akan memperlemah tunica media sehingga ruptur. Hal ini akan mengakibatkan trombosis akut yang hebat pada pembuluh darah (Mitchell, 2015).

Tahap perkembangan aterosklerosis adalah:

1. Fatty streak

Garis-garis lemak merupakan lesi paling awal dari aterosklerosis yang ditandai dengan sel-sel otot polos yang terisi dengan lipid. Pada saat garis-garis lemak mulai berkembang pada sel-sel otot polos, mulai muncul sedikit warna kuning. Garis-garis lemak ini dapat dilihat di arteri koroner pada usia 15 tahun dan melibatkan peningkatan jumlah pada pemukaan area seiring bertambahnya usia.

2. Fibrous plaque

Tahap plak fibrosa merupakan awal dari perubahan progresif endotelium pada dinding arteri. Perubahan ini dapat muncul pada usia 30 tahun dan meningkat sejalan dengan usia. Normalnya endotelium dapat mengalami perbaikan sendiri dengan cepat. Namun hal ini tidak terjadi pada individu yang mengalami PJK. Low-density lipoprotein (LDL) dan berbagai faktor pertumbuhan dari platelet menstimulasi proliferasi otot polos dan menyebabkan penebalan dinding arteri.

Setelah kerusakan endotelial terjadi, lipoprotein (protein pembawa di dalam pembuluh darah) memindahkan kolesterol dan lipid lainnya ke dalam

7

tunika intima arteri. Kolagen melapisi garis-garis lemak dan membentuk plak fibrosa yang bewarna putih keabu-abuan. Plak ini dapat membentuk pada satu bagian arteri atau dalam model melingkar yang melibatkan seluruh lumen.

Pinggirannya dapat halus atau ireguler dengan sisi yang kasar dan tidak rata.

Hasilnya mempersempit lumen pembuluh darah dan menurunkan aliran darah ke ujung jaringan.

3. Complicated lesion

Tahap ini merupakan akhir perkembangan lesi aterosklerosis yang paling berbahaya. Seiring berkembanganya plak fibrosa, proses inflamasi yang terus-menerus dapat menyebabkan plak tidak stabil, terbentuknya ulcerasi, dan ruptur. Ketika integritas dari dalam dinding arteri terganggu, platelet terakumulasi dalam jumlah besar mengarahkan terjadinya trombus. Trombus dapat melekat pada dinding arteri, yang menyebabkan semakin sempitnya atau oklusi total pada arteri.

Aktivasi dari tereksposnya platelet akan menyebabkan pengeluaran reseptor glikoprotein IIb/IIIa yang akan berikatan dengan fibrinogen. Hal ini mempengaruhi agregasi dan perlengketan platelet selanjutnya yang akan menyebabkan pembesaran trombus. Pada tahap inilah plak tersebut mengarah pada complicated lesion (Bucher dan Johnson, 2013).

Gambar 2.2 Tahap perkembangan aterosklerosis (Bucher dan Johnson, 2013)

8

2.1.3 FAKTOR RISIKO

Secara global faktor risiko dibagi menjadi faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti: usia lanjut, laki-laki dan riwayat keluarga. Kemudian faktor risiko yang dapat diubah seperti: hiperlipidemia, merokok, hipertensi, DM/Sindroma metabolik, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik (Adi, 2014; Mitchell, 2015).

A. Faktor risiko yang tidak dapat diubah 1. Usia

Menurut Mitchell (2015), usia merupakan faktor yang secara dominan sangat mempengaruhi penyakit ini. Seperti yang sudah disampaikan diatas bahwa penyakit ini merupakan penyakit progresif yang akan menimbulkan gejala apabila lesi nya sudah mencapai critical treshold dan mulai untuk menimbulkan kerusakan organ di usia pertengahan atau setelahnya. Namun, jarang timbul penyakit serius sebelum usia 40 tahun, sedangkan dari usia 40-60 tahun insiden infark miokard meningkat 5 kali lipat (Price dan Wilson, 2014).

Studi terbaru menunjukkan prevalensi kasus PJK yang terjadi dibawah usia 45 tahun atau disebut juga dengan PJK prematur sebanyak 1,2%. Etnis Asia Selatan terutama India lebih rentan terhadap PJK pada kelompok usia muda dengan prevalensi 5-10%. Pada umumnya PJK pada usia muda memiliki prognosis yang lebih baik daripada PJK yang terjadi pada usia lebih tua (Aggarwal et al., 2016).

2. Jenis Kelamin

Secara keseluruhan, risiko aterosklerosis koroner lebih besar pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini disebabkan karena hormon estrogen memiliki efek proteksi terhadap terjadinya aterosklerosis, sehingga perempuan relatif lebih kebal terhadap penyakit ini sampai usia mencapai setelah menopause. Namun setelah usia 60-70 tahun frekuensi infark miokard menjadi setara antara laki-laki dan perempuan (Price dan Wilson, 2014).

Pada studi penelitian ditemukan bahwa, perempuan premenopause mempunyai onset yang sangat cepat dan tidak mempunyai gejala angina, tetapi

9

yang biasa terjadi adalah infark miokard. Penelitian otopsi telah menunjukkan bahwa lesi arteri koroner pada perempuan muda mengandung lebih sedikit kalsium dan jaringan fibrosa padat dibandingkan pria dan perempuan yang lebih tua. Plak aterosklerosis koroner pada pasien muda terutama terdiri dari deposit lemak, yang sangat mudah pecah dan menyebabkan trombosis koroner akut sehingga terjadinya penyakit kardiovaskular akut (Yihua et al., 2017).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Cina, dari 8.739 pasien PJK yang dilakukan CABG terdapat 6.851 orang (78,4%) berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 1.888 orang (21,6%) berjenis kelamin perempuan (Hu et al., 2012).

3. Riwayat keluarga

Berdasarkan studi MESA (Multi Etnic Study of Atherosclerosis) pada individu asimptomatik didapatkan bahwa riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular prematur pada orang tua dan saudara kandung mempunyai arti prediktif yang sangat kuat untuk terjadinya aterosklerosis yang asimptomatik dan terlepas dari faktor risiko yang lain (Adi, 2014). Salah satunya adalah penyakit genetik yaitu familial hiperkolestrolemia, yang merupakan penyebab PJK prematur (Price dan Wilson, 2014).

Penelitian sebelumnya di Amerika, dari 661 orang dijumpai 276 orang (44.8%) yang memiliki riwayat keluarga serangan jantung dan 385 orang (55,2%) yang tidak memiliki riwayat keluarga serangan jantung (Stone et al., 2011).

B. Faktor yang dapat diubah 1. Hiperlipidemia

Hiperlipidemia atau lebih spesifiknya disebut hiperkolestrolemia merupakan faktor risiko utama untuk aterosklerosis, bahkan tanpa adanya faktor risiko lain. Hiperkolestrolemia cukup untuk mendorong perkembangan lesi.

Komponen utama dari kolesterol serum berhubungan dengan meningkatnya risiko LDL ("kolesterol jahat"); LDL memiliki peran fisiologis penting mengantarkan kolesterol ke jaringan perifer. Proses ini diawali oleh

10

pengambilan dan oksidasi dari lipoprotein pada lokasi yang rentan terbentuknya lesi.

LDL telah terbukti bersifat sitotoksik dan aterogenik akibat modifikasi oksidatif di sel endotelial. Sebaliknya High-density Lipoprotein (HDL);

(“kolesterol baik”) mengangkut kolesterol agar tidak terbentuknya ateroma dan memindahkannya ke hati untuk diekskresikan di empedu. Alhasil peningkatan kadar HDL secara korelatif dapat menurunkan risiko (Mitchell, 2015).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia, dari 58.045 pasien terdapat 885 orang (1,8%) pasien PJK memiliki hasil lipid yang abnormal (Ghani et al., 2016).

2. Merokok

Disfungsi endotel akibat dari merokok merupakan awal terjadinya aterosklerosis, hal ini berkaitan dengan kadar kerusakan oksidatif yang tinggi pada orang yang merokok dan penurunan status antioksidan dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Berdasarkan hasil penelitian, dari 300 pasien PJK sebanyak 102 orang (34%) perokok aktif, 129 orang (43%) bukan perokok dan 69 orang (23%) bekas perokok. (Kamceva et al., 2016). Pada sebuah penelitian (Arifin et al., 2010) mengatakan bahwa perokok memiliki risiko 2 kali lebih mudah terkena serangan jantung dibanding dengan orang yang tidak merokok, kemudian jika perokok mempunyai hipertensi maka risiko serangan jantung akan bertambah menjadi 4 kali lipat.

Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks, diantaranya adalah timbulnya aterosklerosis, peningkatan trombogenitas dan vasokonstriksi (termasuk spasme arteri koroner), peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, provokasi aritmia jantung, peningkatan kebutuhan oksigen miokard, dan penurunan kapasitas pengangkutan oksigen (Gray et al., 2005).

Diduga pengaruh nikotin terhadap pelepasan katekolamin oleh sistem saraf otonom merupakan penyebab PJK (Price dan Wilson, 2014).

3. Hipertensi

Aterosklerosis salah satunya disebabkan oleh tekanan darah yang tinggi dan menetap yang akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh

11

darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner dan menyebabkan angina pektorik, insufisiensi koroner dan infark miokard yang lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang normal (Mohani, 2014). Penurunan tekanan darah ringan sekitar (-6/-3mmHg) pada penderita prehipertensi akan menurunkan risiko stroke, gagal jantung dan infark miokard (Adi, 2014).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Rosmaliana (2014) di RSUP Haji Adam Malik Medan, dari 62 pasien PJK yang dilakukan CABG terdapat 38 orang (61,3%) menderita hipertensi dan sebanyak 24 orang (38,7%) tidak menderita hipertensi

4. Diabetes Melitus

Penderita diabetes cenderung memiliki prevalensi, prematuritas, dan keparahan aterosklerosis koroner yang lebih tinggi. Diabetes menginduksi hiperkolestrolemia dan secara bermakna meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis (Price dan Wilson, 2014). Penelitian sebelumnya yang dilakukan (Rosmaliana, 2014) di RSUP Haji Adam Malik Medan pada pasien PJK yang dilakukan CABG mendapatkan hasil 26 orang (42%) menderita DM dan 58% yang bukan penderita DM.

Menurut World Heart Federation risiko (2012), kejadian kardiovaskular 2-3 kali lebih tinggi pada pasien diabetes tipe 1 ataupun diabetes tipe 2. Diabetes juga merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi (Ndraha, 2014).

5. Obesitas

Kelebihan berat badan dan obesitas merupakan faktor risiko mayor pada penyakit kardiovaskular termasuk PJK dan stroke. Pegukuran obesitas dapat diukur dengan perhitungan Body Mass Index (BMI) ataupun dengan rasio lingkar pinggang. Dibandingkan dengan individu yang memiliki BMI normal yaitu 20-24,9 kg/m2, individu dengan BMI > 25kg/m2 mempunyai prevalensi, tingkat dan keparahan PJK yang lebih tinggi (Mozaffarian et al., 2016)

12

6. Kurangnya aktivitas fisik

Berdasarkan World Heart Federation (2012), aktivitas fisik yang tidak mencukupi dapat didefenisikan dengan kurangnya 5 kali aktivitas sedang dalam 30 menit per minggu, atau kurang dari 3 kali aktivitas berat selama 20 menit per minggu atau setara. Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor risiko mayor untuk penyakit kardiovaskular dan stroke.

Aktivitas aerobik teratur menurunkan risiko PJK, meskipun hanya 11% pada laki-laki dan 4% perempuan memenuhi target pemerintah untuk berolahraga.

Olahraga yang teratur berkaitan dengan penurunan insidensi PJK sebesar 20-40% (Gray et al., 2005).

2.1.4 DIAGNOSIS

2.1.4.1 GEJALA KLINIS

Angina pektoris merupakan tanda klinis pertama pada sekitar 50% pasien yang mengalami penyakit jantung koroner. Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa berat seperti ditimpa beban yang sangat berat dan terkadang hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada karena pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik. Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah sternum (substernal), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan.

Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau sedang berjalan mendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas ringan seperti mandi atau menggosok gigi, makan terlalu kenyang, emosi, sudah dapat menimbulkan nyeri dada.

Nyeri dada tersebut segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya.

Serangan angina dapat timbul pada waktu istirahat atau pada waktu tidur malam.

Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit. Bila nyeri dada berlangsung

13

lebih dari 20 menit, mungkin pasien mendapat serangan infark miokard akut dan bukan angina pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat timbul keluhan lain seperti sesak napas, mual, muntah, perasaan lelah, pucat dan terkadang nyeri dada disertai keringat dingin (Mboi, 2014).

2.1.4.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Elektrokardiografi istirahat

Elektrokardiografi (EKG) istirahat dilakukan bila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dada adalah non kardiak (Ginanjar dan Rachman, 2014). Gambaran

Elektrokardiografi (EKG) istirahat dilakukan bila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dada adalah non kardiak (Ginanjar dan Rachman, 2014). Gambaran

Dokumen terkait