• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat penelitian

1.4.2 Manfaat Praktis

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 TUJUAN UMUM

Untuk mengetahui karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.3.2 TUJUAN KHUSUS

a. Untuk mengetahui prevalensi pasien PJK yang dilakukan CABG.

b. Untuk mengetahui distribusi pasien PJK yang dilakukan CABG berdasarkan usia dan jenis kelamin.

c. Untuk mengetahui distribusi pasien PJK yang dilakukan CABG berdasarkan faktor risiko.

d. Untuk mengetahui komplikasi dan mortalitas pasien PJK yang dilakukan CABG.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 MANFAAT TEORITIS

Penelitian ini diharapkan memberi informasi karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG kepada institusi dan klinisi serta sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2 MANFAAT PRAKTIS

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada penderita PJK yang akan melakukan bedah, khususnya CABG.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENYAKIT JANTUNG KORONER

Terdapat beberapa penyebab dari PJK yaitu aterosklerosis, spasme pembuluh darah koroner, emboli dan penyakit kongenital. Obstruksi aterosklerosis pada pembuluh darah epikardia (arteri koroner) besar sejauh ini merupakan penyebab utama PJK. Spasme arteri koroner dari berbagai mediator seperti serotonin dan histamin telah dijelaskan dengan baik dan lebih sering terjadi pada individu di Jepang (McPhee dan Ganong, 2011).

Penyebab lain PJK adalah emboli yang terjadi pada pasien vegetasi dengan endokarditis, namun kejadian ini jarang ditemukan. Kelainan pembuluh darah koroner yang disebabkan oleh penyakit kongenital berjumlah 1-2% pada populasi.

Bagaimanapun hanya sebagian kecil dari kelainan ini yang menyebabkan gejala iskemi (McPhee dan Ganong, 2011).

2.1.1 SISTEM PEMBULUH DARAH KORONER

Arteri koroner merupakan konduit darah utama di jantung. Arteri koroner merupakan cabang utama arteri aorta dan membentuk dua arteri yaitu arteri koroner dextra dan arteri koroner sinistra (Omer et al., 2017). Arteri coronaria dextra menyuplai atrium dextrum dan ventriculus dexter, nodi sinuatrialis dan atrioventriculare, septum intrarteriale, sebagian strium sinistrum, sepertiga bagian posteroinferior septum interventriculare, dan sebagian pars posterior ventriculus sinister (Drake et al., 2014).

Cabang-cabang arteria koronaria dextra adalah:

a) Ramus atrialis yang akan memberikan cabang ramus nodus sinuatrialis.

b) Ramus marginalis dextra.

c) Ramus interventricularis posterior.

5

Gambar 2.1 Anatomi sirkulasi koroner (Drake et al., 2014)

Arteria koronaria sinistra menyuplai sebagian besar atrium sinistrum dan ventriculus sinister, dan sebagian besar septum interventriculare, termasuk fasciculus atrioventrikular/atrioventriculare bundle dan cabang-cabangnya. Arteri ini disebut juga arteri koroner kiri utama.

Cabang-cabang arteri koronaria sinistra adalah:

a) Ramus interventrikularis anterior (left anterior descending artery-LAD). Arteri ini dianggap pembuluh darah paling penting saat bedah karna ia menyuplai lebih dari 50% massa ventrikel kiri dan sebagian septum interventricular. Selama perjalanannya, satu atau dua rami diagonals/laterales besar.

b) Ramus circumflexia.

Kemudian dari arteri ini satu cabang arteri besar akan muncul yaitu arteria marginalis sinistra (Drake et al., 2014).

6

2.1.2. PROSES ATEROSKLEROSIS

Aterosklerosis ditandai dengan adanya lesi tunica intima yang disebut ateroma (disebut juga atheromatous atau plak aterosklerotik) yang menembus ke lumen pembuluh darah. Plak atheromatous terdiri dari lesi yang mengandung gumpalan lipid yang lembut dan kuning (terutama kolesterol dan kolesterol esterase) yang dilapisi oleh lapisan fibrous cap yang ketat (Mitchell, 2015).

Proses aterosklerosis sebenarnya sudah dimulai sejak masa kanak-kanak.

Guratan lemak (fatty streak) sudah muncul di tunika intima aorta pada anak usia 3 tahun. Guratan lemak ini dapat berkembang lebih lanjut ataupun dapat mengalami regresi (Adi, 2014). Selain merusak jalannya aliran darah, plak aterosklerotik akan memperlemah tunica media sehingga ruptur. Hal ini akan mengakibatkan trombosis akut yang hebat pada pembuluh darah (Mitchell, 2015).

Tahap perkembangan aterosklerosis adalah:

1. Fatty streak

Garis-garis lemak merupakan lesi paling awal dari aterosklerosis yang ditandai dengan sel-sel otot polos yang terisi dengan lipid. Pada saat garis-garis lemak mulai berkembang pada sel-sel otot polos, mulai muncul sedikit warna kuning. Garis-garis lemak ini dapat dilihat di arteri koroner pada usia 15 tahun dan melibatkan peningkatan jumlah pada pemukaan area seiring bertambahnya usia.

2. Fibrous plaque

Tahap plak fibrosa merupakan awal dari perubahan progresif endotelium pada dinding arteri. Perubahan ini dapat muncul pada usia 30 tahun dan meningkat sejalan dengan usia. Normalnya endotelium dapat mengalami perbaikan sendiri dengan cepat. Namun hal ini tidak terjadi pada individu yang mengalami PJK. Low-density lipoprotein (LDL) dan berbagai faktor pertumbuhan dari platelet menstimulasi proliferasi otot polos dan menyebabkan penebalan dinding arteri.

Setelah kerusakan endotelial terjadi, lipoprotein (protein pembawa di dalam pembuluh darah) memindahkan kolesterol dan lipid lainnya ke dalam

7

tunika intima arteri. Kolagen melapisi garis-garis lemak dan membentuk plak fibrosa yang bewarna putih keabu-abuan. Plak ini dapat membentuk pada satu bagian arteri atau dalam model melingkar yang melibatkan seluruh lumen.

Pinggirannya dapat halus atau ireguler dengan sisi yang kasar dan tidak rata.

Hasilnya mempersempit lumen pembuluh darah dan menurunkan aliran darah ke ujung jaringan.

3. Complicated lesion

Tahap ini merupakan akhir perkembangan lesi aterosklerosis yang paling berbahaya. Seiring berkembanganya plak fibrosa, proses inflamasi yang terus-menerus dapat menyebabkan plak tidak stabil, terbentuknya ulcerasi, dan ruptur. Ketika integritas dari dalam dinding arteri terganggu, platelet terakumulasi dalam jumlah besar mengarahkan terjadinya trombus. Trombus dapat melekat pada dinding arteri, yang menyebabkan semakin sempitnya atau oklusi total pada arteri.

Aktivasi dari tereksposnya platelet akan menyebabkan pengeluaran reseptor glikoprotein IIb/IIIa yang akan berikatan dengan fibrinogen. Hal ini mempengaruhi agregasi dan perlengketan platelet selanjutnya yang akan menyebabkan pembesaran trombus. Pada tahap inilah plak tersebut mengarah pada complicated lesion (Bucher dan Johnson, 2013).

Gambar 2.2 Tahap perkembangan aterosklerosis (Bucher dan Johnson, 2013)

8

2.1.3 FAKTOR RISIKO

Secara global faktor risiko dibagi menjadi faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti: usia lanjut, laki-laki dan riwayat keluarga. Kemudian faktor risiko yang dapat diubah seperti: hiperlipidemia, merokok, hipertensi, DM/Sindroma metabolik, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik (Adi, 2014; Mitchell, 2015).

A. Faktor risiko yang tidak dapat diubah 1. Usia

Menurut Mitchell (2015), usia merupakan faktor yang secara dominan sangat mempengaruhi penyakit ini. Seperti yang sudah disampaikan diatas bahwa penyakit ini merupakan penyakit progresif yang akan menimbulkan gejala apabila lesi nya sudah mencapai critical treshold dan mulai untuk menimbulkan kerusakan organ di usia pertengahan atau setelahnya. Namun, jarang timbul penyakit serius sebelum usia 40 tahun, sedangkan dari usia 40-60 tahun insiden infark miokard meningkat 5 kali lipat (Price dan Wilson, 2014).

Studi terbaru menunjukkan prevalensi kasus PJK yang terjadi dibawah usia 45 tahun atau disebut juga dengan PJK prematur sebanyak 1,2%. Etnis Asia Selatan terutama India lebih rentan terhadap PJK pada kelompok usia muda dengan prevalensi 5-10%. Pada umumnya PJK pada usia muda memiliki prognosis yang lebih baik daripada PJK yang terjadi pada usia lebih tua (Aggarwal et al., 2016).

2. Jenis Kelamin

Secara keseluruhan, risiko aterosklerosis koroner lebih besar pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini disebabkan karena hormon estrogen memiliki efek proteksi terhadap terjadinya aterosklerosis, sehingga perempuan relatif lebih kebal terhadap penyakit ini sampai usia mencapai setelah menopause. Namun setelah usia 60-70 tahun frekuensi infark miokard menjadi setara antara laki-laki dan perempuan (Price dan Wilson, 2014).

Pada studi penelitian ditemukan bahwa, perempuan premenopause mempunyai onset yang sangat cepat dan tidak mempunyai gejala angina, tetapi

9

yang biasa terjadi adalah infark miokard. Penelitian otopsi telah menunjukkan bahwa lesi arteri koroner pada perempuan muda mengandung lebih sedikit kalsium dan jaringan fibrosa padat dibandingkan pria dan perempuan yang lebih tua. Plak aterosklerosis koroner pada pasien muda terutama terdiri dari deposit lemak, yang sangat mudah pecah dan menyebabkan trombosis koroner akut sehingga terjadinya penyakit kardiovaskular akut (Yihua et al., 2017).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Cina, dari 8.739 pasien PJK yang dilakukan CABG terdapat 6.851 orang (78,4%) berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 1.888 orang (21,6%) berjenis kelamin perempuan (Hu et al., 2012).

3. Riwayat keluarga

Berdasarkan studi MESA (Multi Etnic Study of Atherosclerosis) pada individu asimptomatik didapatkan bahwa riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular prematur pada orang tua dan saudara kandung mempunyai arti prediktif yang sangat kuat untuk terjadinya aterosklerosis yang asimptomatik dan terlepas dari faktor risiko yang lain (Adi, 2014). Salah satunya adalah penyakit genetik yaitu familial hiperkolestrolemia, yang merupakan penyebab PJK prematur (Price dan Wilson, 2014).

Penelitian sebelumnya di Amerika, dari 661 orang dijumpai 276 orang (44.8%) yang memiliki riwayat keluarga serangan jantung dan 385 orang (55,2%) yang tidak memiliki riwayat keluarga serangan jantung (Stone et al., 2011).

B. Faktor yang dapat diubah 1. Hiperlipidemia

Hiperlipidemia atau lebih spesifiknya disebut hiperkolestrolemia merupakan faktor risiko utama untuk aterosklerosis, bahkan tanpa adanya faktor risiko lain. Hiperkolestrolemia cukup untuk mendorong perkembangan lesi.

Komponen utama dari kolesterol serum berhubungan dengan meningkatnya risiko LDL ("kolesterol jahat"); LDL memiliki peran fisiologis penting mengantarkan kolesterol ke jaringan perifer. Proses ini diawali oleh

10

pengambilan dan oksidasi dari lipoprotein pada lokasi yang rentan terbentuknya lesi.

LDL telah terbukti bersifat sitotoksik dan aterogenik akibat modifikasi oksidatif di sel endotelial. Sebaliknya High-density Lipoprotein (HDL);

(“kolesterol baik”) mengangkut kolesterol agar tidak terbentuknya ateroma dan memindahkannya ke hati untuk diekskresikan di empedu. Alhasil peningkatan kadar HDL secara korelatif dapat menurunkan risiko (Mitchell, 2015).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia, dari 58.045 pasien terdapat 885 orang (1,8%) pasien PJK memiliki hasil lipid yang abnormal (Ghani et al., 2016).

2. Merokok

Disfungsi endotel akibat dari merokok merupakan awal terjadinya aterosklerosis, hal ini berkaitan dengan kadar kerusakan oksidatif yang tinggi pada orang yang merokok dan penurunan status antioksidan dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Berdasarkan hasil penelitian, dari 300 pasien PJK sebanyak 102 orang (34%) perokok aktif, 129 orang (43%) bukan perokok dan 69 orang (23%) bekas perokok. (Kamceva et al., 2016). Pada sebuah penelitian (Arifin et al., 2010) mengatakan bahwa perokok memiliki risiko 2 kali lebih mudah terkena serangan jantung dibanding dengan orang yang tidak merokok, kemudian jika perokok mempunyai hipertensi maka risiko serangan jantung akan bertambah menjadi 4 kali lipat.

Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks, diantaranya adalah timbulnya aterosklerosis, peningkatan trombogenitas dan vasokonstriksi (termasuk spasme arteri koroner), peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, provokasi aritmia jantung, peningkatan kebutuhan oksigen miokard, dan penurunan kapasitas pengangkutan oksigen (Gray et al., 2005).

Diduga pengaruh nikotin terhadap pelepasan katekolamin oleh sistem saraf otonom merupakan penyebab PJK (Price dan Wilson, 2014).

3. Hipertensi

Aterosklerosis salah satunya disebabkan oleh tekanan darah yang tinggi dan menetap yang akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh

11

darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner dan menyebabkan angina pektorik, insufisiensi koroner dan infark miokard yang lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang normal (Mohani, 2014). Penurunan tekanan darah ringan sekitar (-6/-3mmHg) pada penderita prehipertensi akan menurunkan risiko stroke, gagal jantung dan infark miokard (Adi, 2014).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Rosmaliana (2014) di RSUP Haji Adam Malik Medan, dari 62 pasien PJK yang dilakukan CABG terdapat 38 orang (61,3%) menderita hipertensi dan sebanyak 24 orang (38,7%) tidak menderita hipertensi

4. Diabetes Melitus

Penderita diabetes cenderung memiliki prevalensi, prematuritas, dan keparahan aterosklerosis koroner yang lebih tinggi. Diabetes menginduksi hiperkolestrolemia dan secara bermakna meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis (Price dan Wilson, 2014). Penelitian sebelumnya yang dilakukan (Rosmaliana, 2014) di RSUP Haji Adam Malik Medan pada pasien PJK yang dilakukan CABG mendapatkan hasil 26 orang (42%) menderita DM dan 58% yang bukan penderita DM.

Menurut World Heart Federation risiko (2012), kejadian kardiovaskular 2-3 kali lebih tinggi pada pasien diabetes tipe 1 ataupun diabetes tipe 2. Diabetes juga merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi (Ndraha, 2014).

5. Obesitas

Kelebihan berat badan dan obesitas merupakan faktor risiko mayor pada penyakit kardiovaskular termasuk PJK dan stroke. Pegukuran obesitas dapat diukur dengan perhitungan Body Mass Index (BMI) ataupun dengan rasio lingkar pinggang. Dibandingkan dengan individu yang memiliki BMI normal yaitu 20-24,9 kg/m2, individu dengan BMI > 25kg/m2 mempunyai prevalensi, tingkat dan keparahan PJK yang lebih tinggi (Mozaffarian et al., 2016)

12

6. Kurangnya aktivitas fisik

Berdasarkan World Heart Federation (2012), aktivitas fisik yang tidak mencukupi dapat didefenisikan dengan kurangnya 5 kali aktivitas sedang dalam 30 menit per minggu, atau kurang dari 3 kali aktivitas berat selama 20 menit per minggu atau setara. Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor risiko mayor untuk penyakit kardiovaskular dan stroke.

Aktivitas aerobik teratur menurunkan risiko PJK, meskipun hanya 11% pada laki-laki dan 4% perempuan memenuhi target pemerintah untuk berolahraga.

Olahraga yang teratur berkaitan dengan penurunan insidensi PJK sebesar 20-40% (Gray et al., 2005).

2.1.4 DIAGNOSIS

2.1.4.1 GEJALA KLINIS

Angina pektoris merupakan tanda klinis pertama pada sekitar 50% pasien yang mengalami penyakit jantung koroner. Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa berat seperti ditimpa beban yang sangat berat dan terkadang hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada karena pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik. Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah sternum (substernal), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan.

Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau sedang berjalan mendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas ringan seperti mandi atau menggosok gigi, makan terlalu kenyang, emosi, sudah dapat menimbulkan nyeri dada.

Nyeri dada tersebut segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya.

Serangan angina dapat timbul pada waktu istirahat atau pada waktu tidur malam.

Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit. Bila nyeri dada berlangsung

13

lebih dari 20 menit, mungkin pasien mendapat serangan infark miokard akut dan bukan angina pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat timbul keluhan lain seperti sesak napas, mual, muntah, perasaan lelah, pucat dan terkadang nyeri dada disertai keringat dingin (Mboi, 2014).

2.1.4.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Elektrokardiografi istirahat

Elektrokardiografi (EKG) istirahat dilakukan bila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dada adalah non kardiak (Ginanjar dan Rachman, 2014). Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu:

normal, nondiagnostik, Left Bundle Branch Block (LBBB) baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T (PERKI, 2015).

2. Foto toraks

Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya kalsifikasi koroner maupun katup jantung,serta tanda-tanda lain seperti pasien yang juga menderita gagal jantung, penyakit jantung katup, perikarditis, aneurisma, dan diseksi, serta pasien-pasien yang cenderung mengeluhkan nyeri dada karena kelainan paru (Ginanjar dan Rachman, 2014).

3. Elektrokardiografi waktu latihan

Pemeriksaan EKG saat latihan direkomendasikan pada pasien dengan abnormalitas EKG saat istirahat yang perlu dievaluasi lebih lanjut yakni pasien PJK stabil yang mengalami perburukan pada gejala dan pasien post-revaskularisasi dengan perburukan gejala (Ginanjar dan Rachman, 2014).

4. Angiografi koroner

Angiografi dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam arteria koroneria merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk menentukan lokasi, luas dan keparahan sumbatan dalam arteria koronaria. Indikasi lain untuk melakukan angiografi arteria koronaria adalah angina atipik serta hasil revaskularisasi arteria koronaria (Price dan Wilson, 2014).

14

2.1.5 TINDAKAN REVASKULARISASI

Tindakan revaskularisasi pada umumnya diindikasikan pada stenosis koroner yang mengakibatkan penurunan aliran darah yang akan menyebabkan iskemik miokard, selain itu tindakan ini bertujuan dalam meringankan gejala dan meningkatan prognosis pada pasien PJK (Hakim dan Dharmawan, 2014).

Terdapat beberapa tindakan revaskularisasi yang dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

PCI sebelumnya disebut angioplasti koroner yang dikenalkan oleh Andreas Gruentzing sebagai tindakan revaskularisasi koroner non-bedah pada tahun 1977.

Tindakan ini juga dinamakan Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA). Pada saat itu teknik yang dipakai hanya menggunakan balon yang kemudian dimasukkan ke pembuluh darah koroner yang stenotik, setelah dikembangkan stenosis akan menghilang atau berkurang kemudian balon kempiskan dan dikeluarkan.

Seiring dengan berkembangnya teknologi cara tersebut ditinggalkan akibat trauma yang ditinggalkan pada dinding pembuluh darah sehingga terjadi restenosis. Stent merupakan struktur metal yang dapat menyangga pembuluh darah agar dapat tetap terbuka. Penggunaa stent telah terbukti dapat menekan terjadinya restenosis akibat PTCA. Selain itu stent sangat berguna dalam mencegah oklusi pembuluh akut akibat diseksi.

Saat ini teknik PCI sudah menggunakan Drug-eluting Stents (DES), yaitu stent yang berlapis obat. Obat yang digunakan harus mempunyai efek antiproliferatif dan antiinflamasi, sehingga dapat menekan hiperplasia intima yang menyebabkan terjadinya restenosis. DES yang saat ini memberikan hasil yang baik adalah Sirolimus-eluting Stents (SES) dan Paclitaxel-eluting Stents (PES).

Penelitian yang membandingkan angka kelangsungan hidup pada pasien yang melakukan PCI dan CABG adalah sama, namun tingkat kekambuhan gejala dan berulangnya revaskulasrisasi secara signifikan lebih terjadi pada pasien yang dilakukan PCI selama dekade terakhir, hal ini menyebabkan peningkatan rujukan pasien untuk dilakukan CABG (Santoso, 2014).

15

b. Coronary Artery Bypass Graft

CABG akan dibahas pada bagian selanjutnya.

c. Transmyocardial Revasculatrization (TMR)

TMR telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat pada tahun 1998 dan telah dilakukan lebih dari 38 negara di seluruh dunia (Gray et al., 2005). Prosedur ini diindikasikan pada pasien dengan angina refrakter berat yang tidak dapat dilakukan PCI ataupun CABG (Hillis et al., 2011).

Teknik ini menggunakan laser karbon dioksida untuk membuat saluran transmiokardial seebagai perfusi langsung ke jantung yang mengalami iskemik.

Saluran tersebut berdiameter 1mm dengan jumlah saluran bergantung dengan ukuran jantung dan daerah iskemiknya (Gray et al., 2005).

2.2 CORONARY ARTERY BYPASS GRAFT 2.2.1 PENGENALAN

CABG merupakan prosedur bedah pintas koroner yang dilakukan untuk mengatasi angina pektoris dan menurunkan risiko kematian akibat penyakit jantung koroner. Bedah ini dilakukan dengan mengambil konduit pembuluh darah arteri atau vena yang kemudian akan disambungkan pada arteri koroner yang mengalami penyempitan (Hakim dan Dharmawan, 2014).

Revaskularisasi miokard pertama kali dilakukan oleh Dr. Arthur Vineberg yang berasal dari Kanada pada tahun 1950. Ia melakukan implantasi dari arteri mamaria ke miokard (Omer et al., 2017). CABG dilakukan pertama kali di Amerika Serikat dengan tim yang dipimpin oleh Dr. Robert Goetz pada tanggal 2 Mei 1960. Bedah tersebut menggunakan anastomis konduit arteria mamaria interna dan saat itu tindakannya hanya membutuhkan waktu 17 detik dan tidak membutuhkan mesin pintas kardiopulmoner, namun satu tahun kemudian pasca bedah tersebut pasien meninggal dan hasil otopsi menunjukkan adanya plak ateroma yang menyumbat arteri mamaria interna pada konduit yang digunakan pada bedah CABG sebelumnya (Hakim dan Dharmawan, 2014).

16

Kemudian pada tahun 1964, Dr Michael DeBakey berhasil melakukan CABG untuk pertama kalinya dengan menggunakan vena saphenus (Omer et al., 2017).

Pada tahun yang sama seorang dokter bedah jatung yaitu dr. Vasilii Kolesov dari Rusia juga menyatakan berhasil melakukan CABG pertama degan menggunakan konduit arteri mamaria interna (Hakim dan Dharmawan, 2014).

Konduit pembuluh darah yang dapat digunakan dalam bedah ini adalah:

1. Left Internal Mammary Artery (LIMA)/ Arteri mamaria intrena kiri

Berdasarkan (Hillis et al., 2011), arteri mamaria interna mempunyai tingkat patensi yang tinggi pasca bedah CABG ( 10 tahun patensi >90% ).

Tingkat patensi terbaik dicapai ketika LIMA digunakan sebagai in situ pedicle graft dan dianastomiskan ke LAD pada sirkulasi koroner (Omer et al., 2017).

2. Bilateral Internal Mammary Artery (BIMA)/ Arteri bilateral mamaria interna

Meskipun saat ini data yang tersedia masih lemah, sudah dikatakan bahwa penggunaan arteri ini dapat menurunkan kebutuhan untuk bedah ulang tanpa meningkatkan mortalitas. Namun jika dibandingkan dengan vena saphenus magna, penggunaan arteri bilateral mamaria interna berkaitan dengan insidensi yang lebih tinggi terhadap kejadian mediastinitis (Omer et al., 2017). Penggunaan arteri mamaria interna kanan dapat diindikasikan jika tidak tersedianya LIMA ataupun tidak cocoknya arteri sebagai konduit pada saat tandur alih (Hillis et al., 2011).

3. Greater Saphenous Vein/ Vena saphenus magna

Penggunaan konduit vena ini mempunyai tingkat patensi 90% pada 1 tahun. Namun, 5 tahun pasca bedah ditemukan aterosklerosis pada konduit ini. Setelah 10 tahun hanya 60-70% yang mempunyai patensi dan 50%

dijumpai aterosklerosis pada pemeriksaan angiografiknya (Omer et al., 2017).

4. Radial Artery/ Arteri radialis

Patensi konduit arteri radialis paling baik digunakan pada stenosis >70%

pada sisi kiri koroner (Hillis et al., 2011).

17

5. Gastroepiploic Artery/ Arteri gastroepiplopika

Arteri ini paling sering digunakan sebagai konduit arteri koroner ataupun percabangannya. Meskipun begitu arteri ini juga dapat digunakan sebagai konduit arteri LAD jika panjangnya memadai (Hillis et al., 2011).

2.2.2 INDIKASI

Tabel 2.1 Indikasi revaskularisasi CABG (Omer et al., 2017) Indikasi Revaskularisasi CABG

Lesi arteri koroner Rekomendasi

Unprotected left main I

Penyakit tiga pembuluh darah dengan atau tanpa penyakit arteri koroner pada LAD proksimal

I

IIa. Lebih layak memilih CABG dibandingkan dengan PCI pada pasien PJK dengan penyakit 3-pembuluh darah kompleks ( SYNTAX skor 22) yang merupakan kandidat yang bagus untuk dilakukan bedah.

Penyakit dua pembuluh darah dengan penyakit arteri koroner pada LAD proksimal

I Penyakit dua pembuluh darah tanpa penyakit arteri koroner pada LAD proksmal

IIa. Dengan iskemi yang meluas

IIb. Manfaat yang belum dapat dipastikan

Penyakit satu pembuluh darah arteri koroner pada LAD proksimal

IIa. Dengan menggunakan LIMA untuk manfaat jangka panjang

Penyakit satu pembuluh darah tanpa penyakit arteri pada LAD proksimal yang terlibat

III. Berbahaya

Disfungsi ventrikel kiri IIa. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 35-50%

IIb. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 35% tanpa left main PJK

Pasien yang selamat dari kematian jantung mendadak yang diduga iskemi akibat ventikular takikardi

I

Tidak ada kriteria berdasarkan anatomi ataupun fisiologi untuk tindakan revaskularisasi

III. Berbahaya

Keterangan :

Kelas I : Manfaat >>> Risiko. Prosedur harus dilakukan

Kelas IIa : Manfaat >> Risiko. Studi tambahan dengan fokus pada objektifitas

Kelas IIa : Manfaat >> Risiko. Studi tambahan dengan fokus pada objektifitas

Dokumen terkait