• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER YANG DILAKUKAN CORONARY ARTERY BYPASS GRAFT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER YANG DILAKUKAN CORONARY ARTERY BYPASS GRAFT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER YANG DILAKUKAN CORONARY ARTERY BYPASS GRAFT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

PADA TAHUN 2015-2016

SKRIPSI

Oleh :

ATIKA DALILA BR GINTING 140100083

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER YANG DILAKUKAN CORONARY ARTERY BYPASS GRAFT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

PADA TAHUN 2015-2016

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

ATIKA DALILA BR GINTING 140100083

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT serta shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Karakteristik Pasien Penyakit Jantung Koroner yang Dilakukan Coronary Artery Bypass Graft di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada tahun 2015-2016” yang merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama proses penulisan skripsi, diantaranya:

1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Doddy Prabisma Pohan, Sp.BTKV selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan dukungan melalui ide, saran, petunjuk, dan nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. dr. Dudy Aldiansyah, M.Ked(OG), Sp.OG(K) sebagai Ketua Penguji dan Dr. dr. Elmeida Effendi, M.Ked(KJ), Sp.KJ(K) sebagai Anggota Penguji yang telah banyak memberikan saran dan nasihat kepada penulis untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini.

4. Kedua orangtua yang penulis hormati dan sayangi Ayahanda H. Indra Ginting, SH dan Ibunda Hj. Eni Wati Br Bangun, SE atas doa dan segala jasa-jasanya yang tidak mungkin terucapkan dan terbalaskan, semoga keduanya selalu dalam lindungan Allah SWT.

5. Yang terkasih abang penulis M. Hendra Pratama Ginting, SH, M.kn, M. Andri Pranata Ginting, SE dan kakak penulis Arfani Br Ginting, ST, serta keponakan penulis Haura dan Ghezal yang telah memberikan doa dan dukungannya dalam pembuatan skripsi ini.

(5)

6. Teman-teman yang telah memberikan waktu dan pendapatnya dalam pembuatan skripsi ini serta semua pihak yang telah membantu langsung ataupun secara tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna dari isi maupun pembahasannya, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun pembacanya. Akhir kata penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini serta melindungi kita semua.

Medan, Desember 2017

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman pengesahan ... i

Kata pengantar ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Gambar ... vi

Daftar Tabel ... vii

Daftar Singkatan... viii

Abstrak ... ix

Abstract ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus... 3

1.4 Manfaat penelitian ... 3

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 3

1.4.2 Manfaat Praktis ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Penyakit Jantung Koroner ... 4

2.1.1 Sistem Pembuluh Darah Koroner ... 4

2.1.2 Proses Aterosklerosis ... 6

2.1.3 Faktor Risiko ... 8

2.1.4 Diagnosis ... 12

2.1.4.1 Gejala Klinis ... 12

2.1.4.2 Pemeriksaan Penunjang ... 13

2.1.5 Tindakan Revaskularisasi ... 14

2.2 Coronary Artery Bypass Graft ... 15

2.2.1 Pengenalan ... 15

2.2.2 Indikasi... 17

2.2.3 Komplikasi ... 18

2.2.4 Mortalitas di Rumah Sakit... 24

2.3 Kerangka Teori ... 25

2.4 Kerangka Konsep ... 26

BAB III METODE PENELITIAN... 27

3.1 Rancangan Penelitian ... 27

3.2 Lokasi Penelitian ... 27

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 27

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 28

(7)

3.5 Metode Analisis Data ... 28

3.6 Definisi Operasional ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 33

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Kesimpulan ... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

LAMPIRAN ... 48

(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Anatomi sistem sirkulasi koroner 5

2.2 Tahap perkembangan aterosklerosis 7

2.3 Kerangka teori 25

2.4 Kerangka konsep 26

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Indikasi revaskularisasi CABG 17

2.2 Kriteria RIFLE 22

3.1 Definisi operasional 29

4.1 Distribusi karakteristik berdasarkan usia subjek penelitian 33 4.2 Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin subjek

penelitian

33 4.3 Distribusi karakteristik berdasarkan riwayat keluarga

subjek penelitian

34

4.4 Distribusi karakteristik berdasarkan status hiperlipidemia subjek penelitian

34 4.5 Distribusi karakteristik berdasarkan status merokok subjek

penelitian

35

4.6 Distribusi karakteristik berdasarkan status riwayat hipertensi subjek penelitian

35 4.7 Distribusi karakteristik berdasarkan status diabetes

mellitus subjek penelitian

36 4.8 Distribusi karakteristik berdasarkan komplikasi subjek

penelitian

36

4.9 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian perdarahan pasca bedah subjek penelitian

37 4.10 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian aritmia

subjek penelitian

37

4.11 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian infark miokard subjek penelitian

38 4.12 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian stroke subjek

penelitian

38

4.13 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian gagal ginjal akut subjek penelitian

39 4.14 Distribusi karakteristik berdasarkan kejadian infeksi luka

sternum subjek penelitian

39 4.15 Distribusi karakteristik berdasarkan angka mortalitas

subjek penelitian

40

(10)

DAFTAR SINGKATAN

AHA : American Heart Association

BIMA : Bilateral Internal Mammary Artery BMI : Body Mass Index

CABG : Coronary Artery Bypass Graft CHD : Coronary Heart Disease CEA : Carotid Endarterectomy DM : Diabetes Melitus

DES : Drug-Eluting Stents EF : Ejection Fraction EKG : Elektrokardiografi

FDA : Food and Drug Administration GFR : Gromerular Filtration Rate HDL : High-density Lipoprotein IL-8 : Interleukin-8

IGF-1 : Insulin-like Growth Factor-1 IRI : Ischaemia/Reperfusion Injury LAD : Left Anterior Descending Artery LBBB : Left Bundle Branch Block LDL : Low-density Lipoprotein LIMA : Left Internal Mammary Artery MESA : Multi Etnic Study of Atherosclerosis

NGAL : Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin PCI : Percutaneous Coronary Intervention

PES : Paclitaxel-eluting Stents PJK : Penyakit Jantung Koroner

PTCA : Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty PPOK : Penyakit Paru Obstruksi Kronis

SES : Sirolimus-eluting Stents

SPSS : Statistical Package for the Social Science STEMI : ST Elevated Myocard Infarction

SYNTAX : Synergy between Percutaneous Coronary Intervention with Taxus and Cardiac Surgery

TMR : Transmyocard Revascularization

(11)

ABSTRAK

Latar Belakang. Di Indonesia angka kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030. Salah satu tindakan revaskularisasi dengan membebaskan penyempitan pembuluh darah koroner tersebut adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG).

Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2015-2016 berdasarkan faktor risiko PJK dan komplikasi dari tindakan CABG tersebut. Metode. Jenis penelitian bersifat deskriptif dengan desain cross sectional study. Populasinya adalah pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2015-2016. Data diambil dari rekam medis menggunakan teknik total sampling. Hasil. Prevalensi pasien PJK yang dilakukan CABG sebesar 6,71%. Kelompok usia

<45 tahun (4,3%), usia 45-64 tahun (80%), usia 65-74 tahun (14,3%), usia ≥ 75 tahun (1,4%), laki-laki (84,3%), perempuan (15,7%), dengan riwayat keluarga (47,1%), hiperlipidemia (61,4%), merokok (55,7%), hipertensi (72,9%), diabetes melitus (51,4%), komplikasi pasca tindakan CABG (80%), perdarahan pasca bedah (22,9%), aritmia (21,4%), infark miokard (20%), stroke (0%), gagal ginjal akut (44,3%), infeksi luka sternum (1,4%), dan pasien yang meninggal sebanyak 13 orang (18,6%). Kesimpulan. Karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG paling banyak pada kelompok usia 45-64 tahun (80%). Pasien terbanyak adalah laki-laki (84,3%). Faktor risiko pasien PJK yang dilakukan CABG terbanyak adalah hipertensi (72,9%). Pasien mengalami komplikasi pasca CABG sebesar 80% dengan komplikasi yang terbanyak adalah gagal ginjal akut sebesar 44,3%. Mortalitas pasca CABG sebesar 18,6%.

Kata kunci penyakit jantung koroner, faktor risiko, CABG, komplikasi, mortalitas

(12)

ABSTRACT

Background. In Indonesia, mortality rate caused by cardiovascular disease, coronary heart disease (CHD) and stroke is estimated to increase to 23.3 million deaths in 2030. One of the revascularization procedures with coronary artery narrowing is the Coronary Artery Bypass Graft (CABG). Objective. This study aims to determine the characteristics of CHD patients undergoing CABG at Haji Adam Malik General Hospital Medan in 2015-2016 based on CHD risk factor and complications from CABG procedure. Methods. The research is using descriptive method with cross sectional study design. The population is CHD patients undergoing CABG at Haji Adam Malik General Hospital Medan in 2015-2016. The data is collected from medical records using total sampling technique. Results. The prevalence of CHD patients perfomed with CABG is 6.71%. Age group <45 years (4.3%), age 45-64 years (80%), age 65-74 years (14.3%), age ≥ 75 years (1.4%), male (84,3 %), female (15.7%), with family history (47.1%), hyperlipidemia (61.4%), smoking (55.7%), hypertension (72.9%), diabetes mellitus (51,4%), postoperative complications (22.9%), arrhythmias (21.4%), myocardial infarction (20%), stroke (0%), acute renal failure (44.3%), sternum wound infection (1.4%), and 13 people (18,6%) was died after CABG procedure. Conclusion. Characteristics of CHD patients undergoing CABG was highest in the age group 45-64 years and was more prevalent in men. The most risk factors of CHD patients undergoing CABG is hypertension (72,9%). Patients with complications after CABG is 80% and the most complication is acute renal failure (44.3%). The mortality rate of CABG was 18.6%.

Keywords coronary heart disease, risk factors, CABG, complications, morality

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan suatu gangguan fungsi jantung dimana otot jantung kekurangan suplai darah yang disebabkan karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. PJK secara klinis ditandai dengan adanya nyeri dada atau dada terasa tertekan pada saat jalan buru-buru, berjalan datar atau berjalan jauh, dan saat mendaki atau bekerja (Riskesdas, 2013).

Faktor risiko dari PJK terbagi dua yaitu faktor yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah adalah usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah yaitu hiperlipidemia, merokok, hipertensi, diabetes melitus (DM), obesitas dan kurangnya aktivitas fisik (Adi, 2014; Mitchell, 2015).

Menurut American Heart Association (2016), PJK merupakan penyebab utama kematian (45,1%) di Amerika Serikat diikuti dengan penyakit stroke (16,5%), gagal jantung (8,5%), hipertensi (9,1%), penyakit arteri (3,2%), dan penyakit kardiovaskular lainnya. Penelitian terdahulu yang dilakukan di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa rata-rata pasien PJK berusia 58,1 tahun, jenis kelamin perempuan (24%), riwayat keluarga PJK (44,8%), merokok (47,7%) dan mempunyai rata-rata indeks massa tubuh 27,9 kg/m2 serta faktor risiko lainnya seperti hipertensi (46,3%), DM (17,1%), dan hiperlipidemia (44,1%) (Stone et al., 2011).

Di Indonesia angka kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner dan stroke diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030 (InfoDatin, 2016). Berdasarkan hasil Riskesdas (2013), di Indonesia PJK berada di posisi ke tujuh penyakit tidak menular. Prevalensi PJK berdasarkan diagnosis dokter Indonesia sebesar 0,5%

dan berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5%.Dari hasil penelitian

(14)

2

(Ghani et al. , 2016) usia pasien PJK di Indonesia yang paling banyak berkisar 65- 74 tahun, jenis kelamin perempuan (1,6%), merokok (1,2%), obesitas (1,7%), hipertensi (5,5%), DM (9,2%), dan hasil lipid yang abnormal (1,8%).

Salah satu terapi pengobatan PJK adalah dengan melakukan tindakan revaskularisasi, yaitu Coronary Artery Bypass Graft (CABG). Tindakan CABG pertama kali dilakukan pada tahun 1960-an dengan menggunakan mesin jantung- paru (Hakim dan Dharmawan, 2014). Di Medan tindakan CABG telah dilakukan di Rumah Sakit Haji Adam Malik sejak tahun 1996 (Rosmaliana, 2014). CABG merupakan salah satu prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan, data tahun 2010 menunjukkan sebanyak 397.000 pasien rawat inap dilakukan CABG di Amerika Serikat (Mozaffarian et al., 2016).

Tindakan CABG dilakukan dengan mengambil konduit pembuluh darah baik itu arteri maupun vena untuk disambungkan ke arteri koroner sehingga terjadi pemintasan arteri koroner yang mengalami penyempitan. Hasilnya adalah terjadi perbaikan suplai darah ke daerah otot jantung yang diperdarahi arteri koroner yang tersumbat tersebut (Hakim dan Dharmawan, 2014).

Operasi ini memberikan hasil jangka panjang yang baik sampai 20 tahun (Rachmat et al., 2010). Namun, tindakan CABG diketahui memiliki beberapa komplikasi (Hillis et al., 2011) yaitu stroke 1,4-3,8%, infeksi sternum superficial 2-6%, infeksi sternum dalam 0,45-5%, gagal ginjal akut 2-3%, aritmia 20-50%, dan 10-20% pasien yang memerlukan transfusi darah pasca pembedahan. Selain itu tindakan CABG juga mempunyai angka mortalitas berkisar 5-6% (Moorjani et al., 2013).

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan dari tahun 2015 sampai tahun 2016.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2015-2016?

(15)

3

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 TUJUAN UMUM

Untuk mengetahui karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.3.2 TUJUAN KHUSUS

a. Untuk mengetahui prevalensi pasien PJK yang dilakukan CABG.

b. Untuk mengetahui distribusi pasien PJK yang dilakukan CABG berdasarkan usia dan jenis kelamin.

c. Untuk mengetahui distribusi pasien PJK yang dilakukan CABG berdasarkan faktor risiko.

d. Untuk mengetahui komplikasi dan mortalitas pasien PJK yang dilakukan CABG.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 MANFAAT TEORITIS

Penelitian ini diharapkan memberi informasi karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG kepada institusi dan klinisi serta sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2 MANFAAT PRAKTIS

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada penderita PJK yang akan melakukan bedah, khususnya CABG.

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENYAKIT JANTUNG KORONER

Terdapat beberapa penyebab dari PJK yaitu aterosklerosis, spasme pembuluh darah koroner, emboli dan penyakit kongenital. Obstruksi aterosklerosis pada pembuluh darah epikardia (arteri koroner) besar sejauh ini merupakan penyebab utama PJK. Spasme arteri koroner dari berbagai mediator seperti serotonin dan histamin telah dijelaskan dengan baik dan lebih sering terjadi pada individu di Jepang (McPhee dan Ganong, 2011).

Penyebab lain PJK adalah emboli yang terjadi pada pasien vegetasi dengan endokarditis, namun kejadian ini jarang ditemukan. Kelainan pembuluh darah koroner yang disebabkan oleh penyakit kongenital berjumlah 1-2% pada populasi.

Bagaimanapun hanya sebagian kecil dari kelainan ini yang menyebabkan gejala iskemi (McPhee dan Ganong, 2011).

2.1.1 SISTEM PEMBULUH DARAH KORONER

Arteri koroner merupakan konduit darah utama di jantung. Arteri koroner merupakan cabang utama arteri aorta dan membentuk dua arteri yaitu arteri koroner dextra dan arteri koroner sinistra (Omer et al., 2017). Arteri coronaria dextra menyuplai atrium dextrum dan ventriculus dexter, nodi sinuatrialis dan atrioventriculare, septum intrarteriale, sebagian strium sinistrum, sepertiga bagian posteroinferior septum interventriculare, dan sebagian pars posterior ventriculus sinister (Drake et al., 2014).

Cabang-cabang arteria koronaria dextra adalah:

a) Ramus atrialis yang akan memberikan cabang ramus nodus sinuatrialis.

b) Ramus marginalis dextra.

c) Ramus interventricularis posterior.

(17)

5

Gambar 2.1 Anatomi sirkulasi koroner (Drake et al., 2014)

Arteria koronaria sinistra menyuplai sebagian besar atrium sinistrum dan ventriculus sinister, dan sebagian besar septum interventriculare, termasuk fasciculus atrioventrikular/atrioventriculare bundle dan cabang-cabangnya. Arteri ini disebut juga arteri koroner kiri utama.

Cabang-cabang arteri koronaria sinistra adalah:

a) Ramus interventrikularis anterior (left anterior descending artery- LAD). Arteri ini dianggap pembuluh darah paling penting saat bedah karna ia menyuplai lebih dari 50% massa ventrikel kiri dan sebagian septum interventricular. Selama perjalanannya, satu atau dua rami diagonals/laterales besar.

b) Ramus circumflexia.

Kemudian dari arteri ini satu cabang arteri besar akan muncul yaitu arteria marginalis sinistra (Drake et al., 2014).

(18)

6

2.1.2. PROSES ATEROSKLEROSIS

Aterosklerosis ditandai dengan adanya lesi tunica intima yang disebut ateroma (disebut juga atheromatous atau plak aterosklerotik) yang menembus ke lumen pembuluh darah. Plak atheromatous terdiri dari lesi yang mengandung gumpalan lipid yang lembut dan kuning (terutama kolesterol dan kolesterol esterase) yang dilapisi oleh lapisan fibrous cap yang ketat (Mitchell, 2015).

Proses aterosklerosis sebenarnya sudah dimulai sejak masa kanak-kanak.

Guratan lemak (fatty streak) sudah muncul di tunika intima aorta pada anak usia 3 tahun. Guratan lemak ini dapat berkembang lebih lanjut ataupun dapat mengalami regresi (Adi, 2014). Selain merusak jalannya aliran darah, plak aterosklerotik akan memperlemah tunica media sehingga ruptur. Hal ini akan mengakibatkan trombosis akut yang hebat pada pembuluh darah (Mitchell, 2015).

Tahap perkembangan aterosklerosis adalah:

1. Fatty streak

Garis-garis lemak merupakan lesi paling awal dari aterosklerosis yang ditandai dengan sel-sel otot polos yang terisi dengan lipid. Pada saat garis- garis lemak mulai berkembang pada sel-sel otot polos, mulai muncul sedikit warna kuning. Garis-garis lemak ini dapat dilihat di arteri koroner pada usia 15 tahun dan melibatkan peningkatan jumlah pada pemukaan area seiring bertambahnya usia.

2. Fibrous plaque

Tahap plak fibrosa merupakan awal dari perubahan progresif endotelium pada dinding arteri. Perubahan ini dapat muncul pada usia 30 tahun dan meningkat sejalan dengan usia. Normalnya endotelium dapat mengalami perbaikan sendiri dengan cepat. Namun hal ini tidak terjadi pada individu yang mengalami PJK. Low-density lipoprotein (LDL) dan berbagai faktor pertumbuhan dari platelet menstimulasi proliferasi otot polos dan menyebabkan penebalan dinding arteri.

Setelah kerusakan endotelial terjadi, lipoprotein (protein pembawa di dalam pembuluh darah) memindahkan kolesterol dan lipid lainnya ke dalam

(19)

7

tunika intima arteri. Kolagen melapisi garis-garis lemak dan membentuk plak fibrosa yang bewarna putih keabu-abuan. Plak ini dapat membentuk pada satu bagian arteri atau dalam model melingkar yang melibatkan seluruh lumen.

Pinggirannya dapat halus atau ireguler dengan sisi yang kasar dan tidak rata.

Hasilnya mempersempit lumen pembuluh darah dan menurunkan aliran darah ke ujung jaringan.

3. Complicated lesion

Tahap ini merupakan akhir perkembangan lesi aterosklerosis yang paling berbahaya. Seiring berkembanganya plak fibrosa, proses inflamasi yang terus- menerus dapat menyebabkan plak tidak stabil, terbentuknya ulcerasi, dan ruptur. Ketika integritas dari dalam dinding arteri terganggu, platelet terakumulasi dalam jumlah besar mengarahkan terjadinya trombus. Trombus dapat melekat pada dinding arteri, yang menyebabkan semakin sempitnya atau oklusi total pada arteri.

Aktivasi dari tereksposnya platelet akan menyebabkan pengeluaran reseptor glikoprotein IIb/IIIa yang akan berikatan dengan fibrinogen. Hal ini mempengaruhi agregasi dan perlengketan platelet selanjutnya yang akan menyebabkan pembesaran trombus. Pada tahap inilah plak tersebut mengarah pada complicated lesion (Bucher dan Johnson, 2013).

Gambar 2.2 Tahap perkembangan aterosklerosis (Bucher dan Johnson, 2013)

(20)

8

2.1.3 FAKTOR RISIKO

Secara global faktor risiko dibagi menjadi faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti: usia lanjut, laki-laki dan riwayat keluarga. Kemudian faktor risiko yang dapat diubah seperti: hiperlipidemia, merokok, hipertensi, DM/Sindroma metabolik, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik (Adi, 2014; Mitchell, 2015).

A. Faktor risiko yang tidak dapat diubah 1. Usia

Menurut Mitchell (2015), usia merupakan faktor yang secara dominan sangat mempengaruhi penyakit ini. Seperti yang sudah disampaikan diatas bahwa penyakit ini merupakan penyakit progresif yang akan menimbulkan gejala apabila lesi nya sudah mencapai critical treshold dan mulai untuk menimbulkan kerusakan organ di usia pertengahan atau setelahnya. Namun, jarang timbul penyakit serius sebelum usia 40 tahun, sedangkan dari usia 40-60 tahun insiden infark miokard meningkat 5 kali lipat (Price dan Wilson, 2014).

Studi terbaru menunjukkan prevalensi kasus PJK yang terjadi dibawah usia 45 tahun atau disebut juga dengan PJK prematur sebanyak 1,2%. Etnis Asia Selatan terutama India lebih rentan terhadap PJK pada kelompok usia muda dengan prevalensi 5-10%. Pada umumnya PJK pada usia muda memiliki prognosis yang lebih baik daripada PJK yang terjadi pada usia lebih tua (Aggarwal et al., 2016).

2. Jenis Kelamin

Secara keseluruhan, risiko aterosklerosis koroner lebih besar pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini disebabkan karena hormon estrogen memiliki efek proteksi terhadap terjadinya aterosklerosis, sehingga perempuan relatif lebih kebal terhadap penyakit ini sampai usia mencapai setelah menopause. Namun setelah usia 60-70 tahun frekuensi infark miokard menjadi setara antara laki- laki dan perempuan (Price dan Wilson, 2014).

Pada studi penelitian ditemukan bahwa, perempuan premenopause mempunyai onset yang sangat cepat dan tidak mempunyai gejala angina, tetapi

(21)

9

yang biasa terjadi adalah infark miokard. Penelitian otopsi telah menunjukkan bahwa lesi arteri koroner pada perempuan muda mengandung lebih sedikit kalsium dan jaringan fibrosa padat dibandingkan pria dan perempuan yang lebih tua. Plak aterosklerosis koroner pada pasien muda terutama terdiri dari deposit lemak, yang sangat mudah pecah dan menyebabkan trombosis koroner akut sehingga terjadinya penyakit kardiovaskular akut (Yihua et al., 2017).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Cina, dari 8.739 pasien PJK yang dilakukan CABG terdapat 6.851 orang (78,4%) berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 1.888 orang (21,6%) berjenis kelamin perempuan (Hu et al., 2012).

3. Riwayat keluarga

Berdasarkan studi MESA (Multi Etnic Study of Atherosclerosis) pada individu asimptomatik didapatkan bahwa riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular prematur pada orang tua dan saudara kandung mempunyai arti prediktif yang sangat kuat untuk terjadinya aterosklerosis yang asimptomatik dan terlepas dari faktor risiko yang lain (Adi, 2014). Salah satunya adalah penyakit genetik yaitu familial hiperkolestrolemia, yang merupakan penyebab PJK prematur (Price dan Wilson, 2014).

Penelitian sebelumnya di Amerika, dari 661 orang dijumpai 276 orang (44.8%) yang memiliki riwayat keluarga serangan jantung dan 385 orang (55,2%) yang tidak memiliki riwayat keluarga serangan jantung (Stone et al., 2011).

B. Faktor yang dapat diubah 1. Hiperlipidemia

Hiperlipidemia atau lebih spesifiknya disebut hiperkolestrolemia merupakan faktor risiko utama untuk aterosklerosis, bahkan tanpa adanya faktor risiko lain. Hiperkolestrolemia cukup untuk mendorong perkembangan lesi.

Komponen utama dari kolesterol serum berhubungan dengan meningkatnya risiko LDL ("kolesterol jahat"); LDL memiliki peran fisiologis penting mengantarkan kolesterol ke jaringan perifer. Proses ini diawali oleh

(22)

10

pengambilan dan oksidasi dari lipoprotein pada lokasi yang rentan terbentuknya lesi.

LDL telah terbukti bersifat sitotoksik dan aterogenik akibat modifikasi oksidatif di sel endotelial. Sebaliknya High-density Lipoprotein (HDL);

(“kolesterol baik”) mengangkut kolesterol agar tidak terbentuknya ateroma dan memindahkannya ke hati untuk diekskresikan di empedu. Alhasil peningkatan kadar HDL secara korelatif dapat menurunkan risiko (Mitchell, 2015).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia, dari 58.045 pasien terdapat 885 orang (1,8%) pasien PJK memiliki hasil lipid yang abnormal (Ghani et al., 2016).

2. Merokok

Disfungsi endotel akibat dari merokok merupakan awal terjadinya aterosklerosis, hal ini berkaitan dengan kadar kerusakan oksidatif yang tinggi pada orang yang merokok dan penurunan status antioksidan dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Berdasarkan hasil penelitian, dari 300 pasien PJK sebanyak 102 orang (34%) perokok aktif, 129 orang (43%) bukan perokok dan 69 orang (23%) bekas perokok. (Kamceva et al., 2016). Pada sebuah penelitian (Arifin et al., 2010) mengatakan bahwa perokok memiliki risiko 2 kali lebih mudah terkena serangan jantung dibanding dengan orang yang tidak merokok, kemudian jika perokok mempunyai hipertensi maka risiko serangan jantung akan bertambah menjadi 4 kali lipat.

Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks, diantaranya adalah timbulnya aterosklerosis, peningkatan trombogenitas dan vasokonstriksi (termasuk spasme arteri koroner), peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, provokasi aritmia jantung, peningkatan kebutuhan oksigen miokard, dan penurunan kapasitas pengangkutan oksigen (Gray et al., 2005).

Diduga pengaruh nikotin terhadap pelepasan katekolamin oleh sistem saraf otonom merupakan penyebab PJK (Price dan Wilson, 2014).

3. Hipertensi

Aterosklerosis salah satunya disebabkan oleh tekanan darah yang tinggi dan menetap yang akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh

(23)

11

darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner dan menyebabkan angina pektorik, insufisiensi koroner dan infark miokard yang lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang normal (Mohani, 2014). Penurunan tekanan darah ringan sekitar (-6/- 3mmHg) pada penderita prehipertensi akan menurunkan risiko stroke, gagal jantung dan infark miokard (Adi, 2014).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Rosmaliana (2014) di RSUP Haji Adam Malik Medan, dari 62 pasien PJK yang dilakukan CABG terdapat 38 orang (61,3%) menderita hipertensi dan sebanyak 24 orang (38,7%) tidak menderita hipertensi

4. Diabetes Melitus

Penderita diabetes cenderung memiliki prevalensi, prematuritas, dan keparahan aterosklerosis koroner yang lebih tinggi. Diabetes menginduksi hiperkolestrolemia dan secara bermakna meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis (Price dan Wilson, 2014). Penelitian sebelumnya yang dilakukan (Rosmaliana, 2014) di RSUP Haji Adam Malik Medan pada pasien PJK yang dilakukan CABG mendapatkan hasil 26 orang (42%) menderita DM dan 58% yang bukan penderita DM.

Menurut World Heart Federation risiko (2012), kejadian kardiovaskular 2-3 kali lebih tinggi pada pasien diabetes tipe 1 ataupun diabetes tipe 2. Diabetes juga merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi (Ndraha, 2014).

5. Obesitas

Kelebihan berat badan dan obesitas merupakan faktor risiko mayor pada penyakit kardiovaskular termasuk PJK dan stroke. Pegukuran obesitas dapat diukur dengan perhitungan Body Mass Index (BMI) ataupun dengan rasio lingkar pinggang. Dibandingkan dengan individu yang memiliki BMI normal yaitu 20-24,9 kg/m2, individu dengan BMI > 25kg/m2 mempunyai prevalensi, tingkat dan keparahan PJK yang lebih tinggi (Mozaffarian et al., 2016)

(24)

12

6. Kurangnya aktivitas fisik

Berdasarkan World Heart Federation (2012), aktivitas fisik yang tidak mencukupi dapat didefenisikan dengan kurangnya 5 kali aktivitas sedang dalam 30 menit per minggu, atau kurang dari 3 kali aktivitas berat selama 20 menit per minggu atau setara. Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor risiko mayor untuk penyakit kardiovaskular dan stroke.

Aktivitas aerobik teratur menurunkan risiko PJK, meskipun hanya 11% pada laki-laki dan 4% perempuan memenuhi target pemerintah untuk berolahraga.

Olahraga yang teratur berkaitan dengan penurunan insidensi PJK sebesar 20- 40% (Gray et al., 2005).

2.1.4 DIAGNOSIS

2.1.4.1 GEJALA KLINIS

Angina pektoris merupakan tanda klinis pertama pada sekitar 50% pasien yang mengalami penyakit jantung koroner. Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa berat seperti ditimpa beban yang sangat berat dan terkadang hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada karena pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik. Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah sternum (substernal), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan kiri, dapat menjalar ke punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan.

Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau sedang berjalan mendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas ringan seperti mandi atau menggosok gigi, makan terlalu kenyang, emosi, sudah dapat menimbulkan nyeri dada.

Nyeri dada tersebut segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya.

Serangan angina dapat timbul pada waktu istirahat atau pada waktu tidur malam.

Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit. Bila nyeri dada berlangsung

(25)

13

lebih dari 20 menit, mungkin pasien mendapat serangan infark miokard akut dan bukan angina pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat timbul keluhan lain seperti sesak napas, mual, muntah, perasaan lelah, pucat dan terkadang nyeri dada disertai keringat dingin (Mboi, 2014).

2.1.4.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Elektrokardiografi istirahat

Elektrokardiografi (EKG) istirahat dilakukan bila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dada adalah non kardiak (Ginanjar dan Rachman, 2014). Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu:

normal, nondiagnostik, Left Bundle Branch Block (LBBB) baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T (PERKI, 2015).

2. Foto toraks

Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya kalsifikasi koroner maupun katup jantung,serta tanda-tanda lain seperti pasien yang juga menderita gagal jantung, penyakit jantung katup, perikarditis, aneurisma, dan diseksi, serta pasien-pasien yang cenderung mengeluhkan nyeri dada karena kelainan paru (Ginanjar dan Rachman, 2014).

3. Elektrokardiografi waktu latihan

Pemeriksaan EKG saat latihan direkomendasikan pada pasien dengan abnormalitas EKG saat istirahat yang perlu dievaluasi lebih lanjut yakni pasien PJK stabil yang mengalami perburukan pada gejala dan pasien post- revaskularisasi dengan perburukan gejala (Ginanjar dan Rachman, 2014).

4. Angiografi koroner

Angiografi dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam arteria koroneria merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk menentukan lokasi, luas dan keparahan sumbatan dalam arteria koronaria. Indikasi lain untuk melakukan angiografi arteria koronaria adalah angina atipik serta hasil revaskularisasi arteria koronaria (Price dan Wilson, 2014).

(26)

14

2.1.5 TINDAKAN REVASKULARISASI

Tindakan revaskularisasi pada umumnya diindikasikan pada stenosis koroner yang mengakibatkan penurunan aliran darah yang akan menyebabkan iskemik miokard, selain itu tindakan ini bertujuan dalam meringankan gejala dan meningkatan prognosis pada pasien PJK (Hakim dan Dharmawan, 2014).

Terdapat beberapa tindakan revaskularisasi yang dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

PCI sebelumnya disebut angioplasti koroner yang dikenalkan oleh Andreas Gruentzing sebagai tindakan revaskularisasi koroner non-bedah pada tahun 1977.

Tindakan ini juga dinamakan Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA). Pada saat itu teknik yang dipakai hanya menggunakan balon yang kemudian dimasukkan ke pembuluh darah koroner yang stenotik, setelah dikembangkan stenosis akan menghilang atau berkurang kemudian balon kempiskan dan dikeluarkan.

Seiring dengan berkembangnya teknologi cara tersebut ditinggalkan akibat trauma yang ditinggalkan pada dinding pembuluh darah sehingga terjadi restenosis. Stent merupakan struktur metal yang dapat menyangga pembuluh darah agar dapat tetap terbuka. Penggunaa stent telah terbukti dapat menekan terjadinya restenosis akibat PTCA. Selain itu stent sangat berguna dalam mencegah oklusi pembuluh akut akibat diseksi.

Saat ini teknik PCI sudah menggunakan Drug-eluting Stents (DES), yaitu stent yang berlapis obat. Obat yang digunakan harus mempunyai efek antiproliferatif dan antiinflamasi, sehingga dapat menekan hiperplasia intima yang menyebabkan terjadinya restenosis. DES yang saat ini memberikan hasil yang baik adalah Sirolimus-eluting Stents (SES) dan Paclitaxel-eluting Stents (PES).

Penelitian yang membandingkan angka kelangsungan hidup pada pasien yang melakukan PCI dan CABG adalah sama, namun tingkat kekambuhan gejala dan berulangnya revaskulasrisasi secara signifikan lebih terjadi pada pasien yang dilakukan PCI selama dekade terakhir, hal ini menyebabkan peningkatan rujukan pasien untuk dilakukan CABG (Santoso, 2014).

(27)

15

b. Coronary Artery Bypass Graft

CABG akan dibahas pada bagian selanjutnya.

c. Transmyocardial Revasculatrization (TMR)

TMR telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat pada tahun 1998 dan telah dilakukan lebih dari 38 negara di seluruh dunia (Gray et al., 2005). Prosedur ini diindikasikan pada pasien dengan angina refrakter berat yang tidak dapat dilakukan PCI ataupun CABG (Hillis et al., 2011).

Teknik ini menggunakan laser karbon dioksida untuk membuat saluran transmiokardial seebagai perfusi langsung ke jantung yang mengalami iskemik.

Saluran tersebut berdiameter 1mm dengan jumlah saluran bergantung dengan ukuran jantung dan daerah iskemiknya (Gray et al., 2005).

2.2 CORONARY ARTERY BYPASS GRAFT 2.2.1 PENGENALAN

CABG merupakan prosedur bedah pintas koroner yang dilakukan untuk mengatasi angina pektoris dan menurunkan risiko kematian akibat penyakit jantung koroner. Bedah ini dilakukan dengan mengambil konduit pembuluh darah arteri atau vena yang kemudian akan disambungkan pada arteri koroner yang mengalami penyempitan (Hakim dan Dharmawan, 2014).

Revaskularisasi miokard pertama kali dilakukan oleh Dr. Arthur Vineberg yang berasal dari Kanada pada tahun 1950. Ia melakukan implantasi dari arteri mamaria ke miokard (Omer et al., 2017). CABG dilakukan pertama kali di Amerika Serikat dengan tim yang dipimpin oleh Dr. Robert Goetz pada tanggal 2 Mei 1960. Bedah tersebut menggunakan anastomis konduit arteria mamaria interna dan saat itu tindakannya hanya membutuhkan waktu 17 detik dan tidak membutuhkan mesin pintas kardiopulmoner, namun satu tahun kemudian pasca bedah tersebut pasien meninggal dan hasil otopsi menunjukkan adanya plak ateroma yang menyumbat arteri mamaria interna pada konduit yang digunakan pada bedah CABG sebelumnya (Hakim dan Dharmawan, 2014).

(28)

16

Kemudian pada tahun 1964, Dr Michael DeBakey berhasil melakukan CABG untuk pertama kalinya dengan menggunakan vena saphenus (Omer et al., 2017).

Pada tahun yang sama seorang dokter bedah jatung yaitu dr. Vasilii Kolesov dari Rusia juga menyatakan berhasil melakukan CABG pertama degan menggunakan konduit arteri mamaria interna (Hakim dan Dharmawan, 2014).

Konduit pembuluh darah yang dapat digunakan dalam bedah ini adalah:

1. Left Internal Mammary Artery (LIMA)/ Arteri mamaria intrena kiri

Berdasarkan (Hillis et al., 2011), arteri mamaria interna mempunyai tingkat patensi yang tinggi pasca bedah CABG ( 10 tahun patensi >90% ).

Tingkat patensi terbaik dicapai ketika LIMA digunakan sebagai in situ pedicle graft dan dianastomiskan ke LAD pada sirkulasi koroner (Omer et al., 2017).

2. Bilateral Internal Mammary Artery (BIMA)/ Arteri bilateral mamaria interna

Meskipun saat ini data yang tersedia masih lemah, sudah dikatakan bahwa penggunaan arteri ini dapat menurunkan kebutuhan untuk bedah ulang tanpa meningkatkan mortalitas. Namun jika dibandingkan dengan vena saphenus magna, penggunaan arteri bilateral mamaria interna berkaitan dengan insidensi yang lebih tinggi terhadap kejadian mediastinitis (Omer et al., 2017). Penggunaan arteri mamaria interna kanan dapat diindikasikan jika tidak tersedianya LIMA ataupun tidak cocoknya arteri sebagai konduit pada saat tandur alih (Hillis et al., 2011).

3. Greater Saphenous Vein/ Vena saphenus magna

Penggunaan konduit vena ini mempunyai tingkat patensi 90% pada 1 tahun. Namun, 5 tahun pasca bedah ditemukan aterosklerosis pada konduit ini. Setelah 10 tahun hanya 60-70% yang mempunyai patensi dan 50%

dijumpai aterosklerosis pada pemeriksaan angiografiknya (Omer et al., 2017).

4. Radial Artery/ Arteri radialis

Patensi konduit arteri radialis paling baik digunakan pada stenosis >70%

pada sisi kiri koroner (Hillis et al., 2011).

(29)

17

5. Gastroepiploic Artery/ Arteri gastroepiplopika

Arteri ini paling sering digunakan sebagai konduit arteri koroner ataupun percabangannya. Meskipun begitu arteri ini juga dapat digunakan sebagai konduit arteri LAD jika panjangnya memadai (Hillis et al., 2011).

2.2.2 INDIKASI

Tabel 2.1 Indikasi revaskularisasi CABG (Omer et al., 2017) Indikasi Revaskularisasi CABG

Lesi arteri koroner Rekomendasi

Unprotected left main I

Penyakit tiga pembuluh darah dengan atau tanpa penyakit arteri koroner pada LAD proksimal

I

IIa. Lebih layak memilih CABG dibandingkan dengan PCI pada pasien PJK dengan penyakit 3- pembuluh darah kompleks ( SYNTAX skor 22) yang merupakan kandidat yang bagus untuk dilakukan bedah.

Penyakit dua pembuluh darah dengan penyakit arteri koroner pada LAD proksimal

I Penyakit dua pembuluh darah tanpa penyakit arteri koroner pada LAD proksmal

IIa. Dengan iskemi yang meluas

IIb. Manfaat yang belum dapat dipastikan

Penyakit satu pembuluh darah arteri koroner pada LAD proksimal

IIa. Dengan menggunakan LIMA untuk manfaat jangka panjang

Penyakit satu pembuluh darah tanpa penyakit arteri pada LAD proksimal yang terlibat

III. Berbahaya

Disfungsi ventrikel kiri IIa. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 35-50%

IIb. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 35% tanpa left main PJK

Pasien yang selamat dari kematian jantung mendadak yang diduga iskemi akibat ventikular takikardi

I

Tidak ada kriteria berdasarkan anatomi ataupun fisiologi untuk tindakan revaskularisasi

III. Berbahaya

Keterangan :

Kelas I : Manfaat >>> Risiko. Prosedur harus dilakukan

Kelas IIa : Manfaat >> Risiko. Studi tambahan dengan fokus pada objektifitas yang dibutuhkan. Apakah prosedur layak dilakukan

Kelas IIb : Manfaat ≥ Risiko. Studi tambahan dengan objktivitas yang meluas dan tambahan data yang sudah tercatat dibutuhkan

Kelas III : Tidak ada manfaat

(30)

18

Atau

Kelas III : Berbahaya

Keterangan singkatan tabel 2.1:

CABG, coronary artery bypass graft; LAD, left anterior descending; PCI, percutaneous coronary intervention; PJK, penyakit jantung koroner; SYNTAX, Synergy between Percutaneous Coronary Intervention with Taxus and Cardiac Surgery; LIMA, left internal mammary artery. (Omer et al., 2017)

2.2.3 KOMPLIKASI

Penelitian menunjukkan bahwa CABG merupakan pilihan yang tepat untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan kualitas hidup yang signifikan pada pasien dengan penyempitan pembuluh darah yang lebih dari satu (Alexander dan Smith, 2016). Namun, komplikasi yang terjadi pasca bedah jantung dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta memperberat pembiayaan rumah sakit pasien pasca CABG (Hakim dan Dharmawan, 2014). Berikut ini komplikasi yang terjadi pasca tindakan CABG:

1. Perdarahan

Kombinasi dari heparinisasi, hipotermia, mesin kardiopulmoner, dan protamin berhubungan dengan meningkatnya risiko perdarahan pasca CABG.

Teori lain menyatakan penggunaaan mesin kardio-pulmoner pada pembedahan jantung dapat menginduksi gangguan koagulasi darah dan disfungsi platelet sehingga memerlukan transfusi dari platelet ataupun pemberian obat-obatan lainnya (Mirmansoori et al., 2016). Perdarahan pasca CABG membutuhkan transfusi atau pengulangan bedah untuk menghentikan perdarahan yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.

Minoritas pasien yang mempunyai prosedur bedah (15-20%) menggunakan lebih dari 80% transfusi darah saat bedah.

Terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan terjadinya perdarahan pasca bedah yaitu usia, rendahnya volume sel darah merah sebelum bedah,

(31)

19

penggunaan obat-obatan antiplatelet atau antitrombosis sebelum bedah, pengulangan bedah atau prosedur yang kompleks, komordibitas pasien non- kardiak, bedah gawat darurat, gagal ginjal, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan penyakit jantung kongestif.

Selain itu 2-3% pasien akan membutuhan eksplorasi kembali. Dan sebanyak 20% akan mengalami perdarahan hebat dan transfusi darah pasca bedah.

Perdarahan yang melebihi 500mL pada satu jam pertama atau perdarahan yang menetap melebihi 200mL/jam dalam waktu 4 jam merupakan indikasi dari eksplorasi mediastinum (Omer et al., 2017). Penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan pada pasien PJK yang dilakukan CABG dari 62 pasien terdapat 12 orang (19,4%) yang mengalami perdarahan pasca bedah (Rosmaliana, 2014).

2. Aritmia

Fibrilasi atrium pasca bedah memiliki frekuensi yang tinggi untuk komplikasi pasca bedah, terjadi pada 11-40% pasien yang melakukan bedah CABG, dan risiko stroke pasca bedah meningkat 3 kali lipat pada pasien yang mengalami fibrilasi atrium pasca bedah. Pada sebuah studi prospektif observasional, dari 1.878 pasien yang menjalani CABG tercatat bahwa kejadian fibrilasi atrium terkait dengan risiko stroke emboli 4 kali lipat dan risiko meningkatnya kematian akibat jantung sebanyak 3 kali lipat. Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta, dari 108 pasien terdapat 27 orang (25%) yang mengalami fibrilasi atrium pasca CABG (Yansen et al., 2013).

Sampai saat ini mekanisme terjadinya aritmia pasca bedah belum dapat dijelaskan dengan baik dan kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu hipertensi, gagal jantung, gagal ginjal kronis, mesin kardio-pulmoner, ketidakseimbangan elektrolit, pompa balon intra-aorta dan dehidrasi (Tatsuishi et al., 2015). Penelitian lain menyatakan bahwa insidensi fibrilasi atrium pasca bedah meningkat dengan adanya pasien usia lanjut, jenis kelamin laki-laki, penyakit arteri perifer, PPOK, bersamaan dengan penyakit katup jantung, pembesaran atrium kiri, riwayat bedah jantung sebelumnya, takiaritmia atrial

(32)

20

sebelum bedah, perikarditis, dan peningkatan tonus adrenergik pasca bedah.

Fibrilasi atrium pasca bedah hampir selalu terjadi dalam waktu 5 hari pasca bedah dan kejadian puncaknya pada hari ke-2 pasca bedah (Hillis et al., 2011).

3. Infark miokard

Dalam bedah jantung, infark miokard pasca bedah merupakan komplikasi yang merugikan dan mempengaruhi prognosis pasien. Dalam sebuah penelitian Mohammed dkk, melaporkan bahwa pasca CABG, 98% dari pasien memiliki peningkatan lebih dari 10 kali persentil ke-99 troponin-T yang dapat menjadi kriteria terjadinya infark miokard pasca bedah. Namun, peningkatan kadar troponin pada CABG tidak selalu menunjukkan iskemia pada miokard dan dapat disebabkan oleh kerusakan mekanis yang berkaitan dengan prosedur bedah (Pretto et al., 2015).

Insidensi terjadinya infark miokard pasca bedah rata-rata terjadi 2-30% dan berkaitan dengan trauma langsung pada miokardium, manipulasi jantung, dan waktu operasi, serta faktor yang berkaitan dengan cedera dan nekrosis miokard pasca CABG. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pretto dkk di Brazil, dari 116 pasien terdapat 28 orang (24,1%) yang mengalami infark miokard pasca CABG (Pretto et al., 2015).

Berdasarkan penelitian (Hausenloy et al., 2012), mekanisme yang mendasari kerusakan dan infark miokard pasca bedah berasal dari beberapa faktor, termasuk pada pasien-pasien dengan kegagalan penyambungan pembuluh darah awal termasuk oklusi, terpuntir, atau peregangan yang berlebihan pada sambungan pembuluh darah, stenosis anastomis subtotal atau spasme pada sambungan pembuluh darah (yang dapat dibedakan dengan hasil peningkatan pengeluaran enzim jantung).

Kemudian yang tidak termasuk pada masalah penyambungannya adalah declamping dan klem silang aorta, cedera inflamasi sistemik dari mesin kardiopulmonal, mikroembolisasi koroner distal, manipulasi bedah jantung, partikel dan faktor-faktor larut yang lepas dari manipulasi bedah pembuluh koroner, serta kerentanan genetik pada Ischaemia/Reperfusion Injury (IRI).

(33)

21

4. Stroke

Seperti yang dinyatakan oleh Syntax trial, komplikasi dari CABG yang sering menjadi ancaman adalah gangguan fungsi neurologis. Sekitar 1-6%

pasien cenderung memiliki komplikasi neurologis pasca CABG, salah satunya adalah stroke. Penelitian lain menyatakan insidensi stroke pasca bedah berkisar 1,4-3,8% dan bergantung pada populasi pasien dan kriteria untuk diagnosis stroke (Hakim dan Dharmawan, 2014). Penelitian di Brazil, mendapatkan hasil dari 3.010 pasien terdapat 53 orang (1,8%) yang mengalami stroke pasca CABG (Sousa et al., 2015).

Mikroemboli serebral dari arteri selama CABG adalah penyebab utama stroke. Aterosklerosis dari aorta asenden menjadi faktor prediktor dari komplikasi neurologis jangka panjang dan mortalitas. Faktor lainnya adalah usia, status diabetes, adanya left main disease atau disfungsi ventrikel kiri, perempuan, riwayat merokok, dan riwayat stroke (Hakim dan Dharmawan, 2014).

Risiko stroke pasca bedah tinggi (>5%) pada pasien dengan lebih dari (80%) unilateral stenosis, bilateral stenosis 50%, dan unilateral oklusi 50% arteri karotis pada sisi kontralateral. Pasien dengan kategori tersebut wajib melakukan kombinasi Carotid Endarterectomy (CEA) dan CABG. Angka mortalitas pasca bedah mencapai 0-5% dan komplikasi gangguan neurologis pasca bedah serta miokard sekitar 3%. Dan diikuti angka 5 tahun bebas stroke mencapai lebih dari 85%. Maka dari itu perlu dilakukan skrining pasien yang akan melakukan CABG dengan ultrasound arteri karotis untuk melihat adanya stenosis pada arteri karotis(Hakim dan Dharmawan, 2014).

Menurut penelitian, seringkali stroke pasca bedah tidak terdiagnosis dikarenakan defisit neurologis yang tidak mudah terlihat akibat tertutupi dengan obat-obatan ataupun obat sedatif yang dikonsumsi pasien pasca tindakan bedah (Selnes et al., 2012).

5. Gagal Ginjal Akut

Bedah jantung dan penggunaaan mesin jantung-paru dapat menyebabkan inflamasi dan mencetuskan terjadinya gagal ginjal akut dengan insidensi 7,7-40%

(34)

22

tergantung dari populasi pasien dan jenis pembedahannya (Jung et al., 2016).

Penelitian lain yang dilakukan di Korea, menunjukkan dari 2.185 pasien yang dilakukan CABG terdapat 787 orang (36,0%) yang mengalami gagal ginjal akut pasca bedah (Lee et al., 2015).

Berdasarkan laporan (Hillis et al., 2011) gagal ginjal akut pasca bedah sering kali terjadi pasca tindakan CABG, memperburuk hasil klinis dan kelangsungan hidup dalam jangka pendek dan jangka panjang, serta meningkatkan biaya rumah sakit pasien. Ditemukan lebih dari satu pertiga pasien yang melakukan CABG dapat terjadi gagal ginjal akut dan 1-5% dari pasien tersebut dapat berkembang pada gagal ginjal yang berat serta memerlukan dialisis.

Terdapat beberapa faktor risiko yang yang berhubungan dengan meningkatnya kemungkinan terjadinya gagal ginjal akut pasca bedah jantung. Hal yang menonjol termasuk jenis kelamin perempuan, penurunan fungsi ventrikel kiri, riwayat gagal jantung kongestif, diabetes yang bergantung pada insulin, penggunaan pompa balon intra-aorta sebelum bedah, penyakit paru obstruktif kronis, kebutuhan bedah dalam keadaan gawat darurat, dan peningkatan serum kreatinin sebelum bedah. Kriteria diagnostik untuk mendiagnosis gagal ginjal akut dapat dilihat dari kriteria RIFLE (Jain et al., 2016).

Tabel 2.2 Kriteria RIFLE (Markum, 2014) Kategori

RIFLE

Kriteria Kreatinin Serum Kriteria UO Risk Kenaikan kreatinin serum ≥1,.5x

nilai dasar atau penurunan GFR

≥25%

<0.5mL/kg/jam x 6 jam

Sensitivitas tinggi Injury Kenaikan kreatinin serum ≥2.0x

nilai dasar atau penurunan GFR

≥50%

<0.5mL/kg/jam x 12 jam

Failure Kenaikan kreatinin serum ≥3.0x nilai dasar atau penurunan GFR

≥75%

<0.3mL/kg/jam x 24 jam atau anuria x 24 jam

Loss Gagal ginjal akut persisten = hilangnya fungsi ginjal secara lengkap > 4 minggu

Spesifisitas tinggi End-Stage

Kidney Disease

End Stage Kidney Disease > 3 bulan

Selain menggunakan kriteria RIFLE, pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu diagnosis adalah serum kreatinin. Serum kreatinin telah lama

(35)

23

digunakan sebagai penanda dari fungsi ginjal meskipun dalam hasilnya kurang dapat diandalkan dan tertunda untuk mendiagnosis kegagalan ginjal karena serum kreatinin membutuhkan beberapa jam sampai berberapa hari untuk mencapai keadaan stabil (Jain et al., 2016).

Sekarang sudah tersedia biomarker yang dapat lebih awal untuk memprediksi gagal ginjal akut pada bedah jantung yang memudahkan dokter dalam melakukan intervensi untuk mencegah perburukan fungsi ginjal kedepannya. Biomarker tersebut adalah Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin (NGAL) dan cystatin C dari plasma. Kemudian biomarker NGAL, Interleukin-8 (IL-8), kidney injury molecule-1 pada urin (Jain et al., 2016).

6. Infeksi Luka Sternum

Infeksi luka sternum pasca bedah diketahui meningkatkan mortalitas dan morbiditas dari pasien serta terkait dengan biaya pengobatan. Terdapat perbedaan dalam klasifikasi infeksi luka sternum yaitu superficial dan deep/mediastinitis, dimana kebanyakan penelitian terfokus pada kasus yang lebih berat yaitu deep/mediastinitis yang biasanya terjadi 1-2% pada bedah CABG (Hillis et al., 2011). Fowler dkk menyatakan, terjadinya infeksi mayor pasca tindakan bedah jantung pada pasien dapat meningkatkan mortalitas sebesar 5 kali lipat (Likosky et al., 2015).

Beberapa penelitian juga melaporkan infeksi superficial lebih umum terjadi, dengan insidensi diantara 5-12,0% (Lindblom et al., 2015). Staphylococcus epidermidis koagulase negatif atau Staphylococcus aureus tercatat sebagai penyebab 50% dari infeksi luka bedah. Organisme lain yang juga sering terlibat adalah Corynebacterium dan bakteri basil enterik gram negetif (Hillis et al., 2011). Penelitian lain di Paris, menunjukkan dari 7.170 pasien ditemukan 292 orang (4,1%) pasien yang mengalami infeksi luka operasi, diantaranya 145 orang (2,0%) pada mediastinum dan 147 orang (2,1%) pada sternum superficial.

Penelitian lain mencatat pasien dengan mediastinitis pasca bedah menunjukkan 30-hari/mortalitas bedah yang sangat tinggi. Keseluruhannya tercapai 9,7/25,8% untuk setiap prosedur bedah toraks aorta secara bersamaan

(36)

24

dengan CABG menunjukkan mortalitas yang paling tinggi, diikuti dengan bedah aorta, bedah katup jantung, dan CABG menunjukkan angka yang paling rendah.

Usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, kadar insulin-like growth factor- 11(IGF-1), diabetes, konsentrasi hemoglobin, konsentrasi serum kreatinin, PPOK, pengobatan kortikosteroid, perokok, dan ejeksi fraksi sebelum bedah merupakan faktor risiko dari infeksi luka sternum. Kemudian jumlah dari penyambungan vena saphenus dan arteri mamaria interna serta durasi dari mesin kardiopulmoner dan waktu klem silang aorta juga merupakan faktor risiko yang terjadi saat bedah (Kubota et al., 2013).

2.2.4 MORTALITAS DI RUMAH SAKIT

Angka kematian pada CABG berkisar 5-6% (Moorjani et al., 2013). Tujuh variabel inti yang mempunyai dampak terbesar pada mortalitas CABG adalah operasi darurat, usia, operasi jantung sebelumnya, jenis kelamin, fraksi ejeksi ventrikel kiri, persentasi stenosis pada pembuluh darah koroner kiri utama, dan jumlah pembuluh darah koroner utama yang mengalami stenosis dengan lebih dari 70% (Omer et al., 2017). Penelitian di Brazil, menunjukkan dari 3.010 pasien PJK yang dilakukan CABG sebanyak 162 orang (5,4%) meninggal pasca tindakan CABG (Sousa et al., 2015)

Dinyatakan juga bahwa tingkat kematian di rumah sakit lebih tinggi pada pasien ST Elevated Myocard Infarction (STEMI) yang menjalani CABG dalam kondisi darurat dibandingkan dengan pasien yang menjalani CABG dalam kondisi kurang mendesak atau yang murni akan menjalani bedah sebelumnya. Dalam sebuah penelitian dari 1181 pasien yang menjalani CABG, angka kematian di rumah sakit akan meningkat pada pasien yang sebelum bedah kondisinya sudah memburuk. Angkanya berkisar dari 12% pada pasien angina stabil dan sampai 26% pada pasien dengan syok kardiogenik (Hillis et al., 2011).

(37)

25

2.3 KERANGKA TEORI

Gambar 2.3 Kerangka teori penelitian

Fatty streak Fibrous plaque Complicated lesion

(38)

26

2.4 KERANGKA KONSEP

Berdasarkan tujuan dari penelitian ini, maka kerangka konsep pada penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.4 Kerangka konsep penelitian

Pasien PJK dengan Faktor Risiko:

- Usia

- Jenis kelamin - Riwayat keluarga - Penyakit penyerta:

a. Hiperlipidemia b. Status merokok c. Hipertensi d. Diabetes melitus

CABG

Pasca Bedah:

- Sembuh tanpa komplikasi - Mortalitas - Komplikasi:

a. Perdarahan b. Aritmia

c. Infark miokard d. Stroke

e. Gagal ginjal akut f. Infeksi luka

sternum

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain potong melintang (cross sectional), secara retrospektif yaitu memanfaatkan data sekunder berupa data rekam medis. Penelitian ini akan melihat bagaimana karakteristik pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2015-2016.

3.2 LOKASI PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada bulan April sampai Desember 2017. Pengambilan dan pengolahan data dilakukan selama 1 bulan (September-Oktober 2017) di instalasi rekam medis RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Populasi penelitian ini adalah pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP H.

Adam Malik Medan. Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah total sampling yaitu semua sample pasien PJK yang dilakukan CABG pada data rekam medis RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2015-2016.

Kriteria Inklusi:

- Data rekam medis pasien PJK yang dilakukan CABG pada tahun 2015- 2016

Kriteria Eksklusi:

- Data rekam medis yang tidak lengkap

(40)

28

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA

Jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diambil melalui data rekam medis pasien PJK yang dilakukan CABG di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2015-2016.

3.5 METODE ANALISIS DATA

Agar analisis penelitian menghasilkan informasi yang benar, pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Editing

Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data. Apabila data belum lengkap ataupun ada kesalahan, data dilengkapi kembali.

b. Coding

Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer.

c. Entry

Data yang telah diberi kode kemudian dimasukkan kedalam program komputer.

d. Cleaning Data

Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer.

e. Saving

Penyimpanan data untuk siap dianalisis.

Kemudian pengolahan data akan menggunakan program komputer yaitu Statistical Package for the Social Science (SPSS).

(41)

29

3.6 DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.1 Definisi operasional

Variabel Definisi Alat

Ukur

Hasil Ukur Skala Ukur Penyakit

jantung koroner (PJK)

Riwayat terkini atau sebelumnya dari hal-hal berikut:

a. Stenosis arteri koroner

≥50% (dengan kateterisasi jantung atau sesuatu cara yang dilakukan lainnya pada pencitraan langsung arteri koroner)

b. Operasi CABG sebelumnya c. PCI sebelumnya

d. Infark miokard sebelumnya (Weintraub et al, 2011).

Rekam Medis

a. Menderita PJK b. Tidak menderita PJK

Nominal

Usia Usia pasien PJK (Mozaffarian et al, 2016).

Rekam Medis

a. < 45 tahun b. 45-64 tahun c. 65-74 tahun d. ≥ 75 tahun

Ordinal

Jenis Kelamin Ciri biologis yang dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan.

Rekam Medis

a. Laki-laki b. Perempuan

Nominal

Riwayat penyakit keluarga terkena serangan jantung atau familial history

Riwayat keluarga subyek yang menderita penyakit

aterosklerosis atau faktor risiko mayor (tekanan darah tinggi, diabetes

melitus, hiperlipidemia) dilihat pada garis keturunan pertama sebelum usia 55 tahun pada laki-laki

dan 65 tahun pada perempuan (Nixon et al, 2011).

Rekam medis

a. Ya b. Tidak

Nominal

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi sirkulasi koroner (Drake et al., 2014)
Gambar 2.2 Tahap perkembangan aterosklerosis (Bucher dan Johnson, 2013)
Gambar 2.3 Kerangka teori penelitian
Gambar 2.4 Kerangka konsep penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil : 59.6%, yaitu 34 pasien pasca Acute Coronary Syndrome (ACS) dengan faktor risiko hipertensi mempunyai lesi pada arteri koroner yang lebih berat dibandingkan pasien pasca

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah Bagaiamanakah prevalensi kejadian Hipertensi pada penyakit Infark Miokard di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010?..

Pada penelitian kali ini tidak ditemukan mortalitas dalam perawatan pasien infark miokard akut yang mengalami disfungsi ventrikel kanan, yang dalam hal ini ditunjukkan

Pasien yang mengalami penyakit perdarahan pasca persalinan (postpartum hemorrhage), preeklamsia, sepsis, abortus, emboli, partus lama yang menyebabkan kematian ibu

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang

JUDUL:PERBEDAAN LEFT VENTRICULAR EJECTION FRACTION (LVEF) PADA PENDERITA CORONARY ARTERIAL DISEASES (CAD) SEBELUM DAN SESUDAH CORONARIA ARTERIAL BYPASS GRAFT (CABG) DI RSUP H

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul Gambaran pengetahuan pasien

Pada penderita hiperglikemia yang menetap atau berkepanjangan pada masa kritis dapat meningkatkan risiko kematian akibat gagal jantung, infark miokard, stroke iskemik, hemoragik