MODERATOR
Pendahuluan
Pelatihan sumber daya manusia (SDM) perlu dilakukan secara terus- menerus dan berkesinambungan, karena SDM yang berkualitas merupakan aset perusahaan yang sangat besar. Manajemen sumber daya manusia merupakan suatu cara untuk mempelajari dan mengembangkan berbagai jalan agar manusia dapat diintegrasikan secara efektif dalam berbagai organisasi, sehingga dapat diperoleh SDM yang produktif. Sumber daya manusia yang produktif adalah SDM yang mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan mutu standar dan waktu yang lebih singkat. Efek sumber daya manusia yang produktif akan mendorong peningkatan produktivitas dan penciptaan nilai pelayanan terhadap kepuasan pelanggan.
Manfaat pelatihan menurut Sherman et al. (2001) adalah meningkatkan produktivitas, mengurangi perputaran karyawan, memperbaiki moral karyawan, mengurangi biaya rekrutmen dan seleksi, fasilitas untuk belajar lebih lanjut, dan mengurangi kegelisahan karyawan baru. Selanjutnya, menurut Mangkuprawira (2011) manfaat pelatihan adalah membantu mengidenfikasi tujuan perusahaan, membantu menciptakan citra perusahaan, membantu pegawai (karyawan) dalam menyesuaikan diri dengan perubahan, membantu individu dalam mengambil keputusan yang lebih baik. Manfaat pelatihan dan pengembangan dapat dikategorikan untuk perusahaan, untuk individual yang pada akhirnya untuk perusahaan pula, dan hubungan antar manusia serta implementasi kebijakan perusahaan. Model sistem pelatihan menurut Sherman et al. (2001), meliputi tahapan penilaian kebutuhan, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan evaluasi. Tahap-tahap tersebut seperti tersaji pada Gambar 13 berikut ini:
Gambar 13 Model sistem pelatihan.
Dalam tahapan penilaian kebutuhan pelatihan dari perusahaan, pekerjaan dan kebutuhan individual perlu dianalisis dahulu. Setelah itu, tahapan berikutnya adalah perumusan tujuan, prinsip-prinsip belajar atau pelatihan, termasuk kriteria
36
evaluasi pelatihan, merancang dan menyeleksi prosedur pelatihan, penentuan dan pelaksanaan program pelatihan, dan mengevaluasi pelatihan dan pengembangan.
Secara umum produktivitas dapat diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata maupun fisik (barang-barang atau jasa). Produktivitas adalah menyangkut perbandingan hasil yang diperoleh dengan sumber-sumber ekonomi yang digunakan (Alma, 2000). Secara fisiologis, produktivitas adalah sikap mental yang memiliki pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari depan harus lebih baik dari hari ini (Umar, 2001). Menurut Sinungan (1987), produktivitas mengutamakan cara dan pemanfaatan secara baik terhadap sumber-sumber daya dalam memproduksi barang atau jasa. Intinya, produktivitas merupakan sikap mental untuk melakukan perbaikan secara terus menerus, sehingga seseorang yang produktif akan senantiasa melakukan suatu pekerjaan secara efektif, efisien, dan berkualitas. Produktivitas dapat diukur berdasarkan tiga tingkatan yaitu individu, kelompok, dan organisasi. Seperti yang tersaji pada Gambar 14 dibawah ini:
Gambar 14 Tingkatan dalam mengukur produktivitas
Maslow yang diacu Arep dan Tanjung (2002) mengembangkan sebuah teori motivasi yang dikenal dengan hirarki kebutuhan (the hierarchy of needs). Teori kebutuhan dari Maslow beranggapan bahwa ditempat kerja manusia di motivasi untuk berkarya oleh suatu hasrat untuk memenuhi seperangkat kebutuhan internal. Teori ini juga mengajarkan bahwa kebutuhan yang diinginkan seseorang berjenjang, artinya jika kebutuhan pertama telah terpenuhi maka kebutuhan tingkat kedua akan muncul menjadi yang utama dan demikian selanjutnya. Adapun jenjang kebutuhan Maslow ini yaitu:
1. Kebutuhan fisik dan biologis (physiologycal needs) adalah kebutuhan untuk mempertahan hidup (makan, minum, perumahan, dan sebagainya). 2. Kebutuhan keselamatan dan keamanan (safety and security needs) adalah
kebutuhan akan kebebasan dari ancaman jiwa dan harta, baik di lingkungan tempat tinggal maupun tempat kerja.
3. Kebutuhan sosial (affiliation or acceptance needs) adalah kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di lingkungan tempat tinggal dan bekerja, kebutuhan akan perasaan dihormati, kebutuhan akan kemajuan dan tidak gagal, dan kebutuhan akan perasaan ikut serta.
4. Kebutuhan akan penghargaan/estase (esteem or satus needs) yaitu kebutuhan akan penghargaan diri atau penghargaan prestise dari orang lain.
37 5. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri dengan menggunakan kemampuan, keterampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang memuaskan.
Sebagai bahan pertimbangan terdapat beberapa model motivasi tersaji pada Tabel 11 berikut:
Tabel 11 Perbandingan teori dan model motivasi menurut beberapa pakar
Model Maslow Expectancy Theory
Kebutuhan fisik
Kebutuhan rasa aman
Kebutuhan sosial
Kebutuhan harga diri
Kebutuhan aktualisasi diri
M= [(E-P)] [(P-O) V] Keterangan: M= Motivasi (motivation) E= Penghargaan (expectation) P= Prestasi (performance) O= Hasil (outcome) V= Penilaian (value Model McClelland Achievment Affiliation Power Model Herzberg Motivator Hygiene Equity Theory M= f { Eq (OW)} Keterangan: M= Motivasi (motivation)
Eq= Keadilan (equity)
O= Hasil (outcome) W= Gaji (Wages) Reinforcement Theory M= F (R, C) Keterangan: M= Motivasi (motivation) R= Penghargaan (reward) C= Akibat (consequences)
Metodologi Penelitian
Kerangka Pemikiran PenelitianKerangka pemikiran ini sama seperti model sebelumnya, untuk indikator pelatihan didasarkan pada teori yang diungkapkan oleh Rivai (2004) dan Mangkuprawira (2011), untuk aspek atau indikator dari produktivitas kerja karyawan di dasarkan pada teori Nawawi dan Hadari (1990), Kussriyanto (1993) dan Handayaningrat (1989), sedangkan untuk motivasi didasarkan pada teori Herzberg. Perbedaannya, model pada penelitian ini diidentifikasi berdasarkan variabel moderator. Variabel motivasi dalam penelitian ini diposisikan sebagai variabel moderator. Variabel moderator adalah variabel independen yang akan memperkuat atau memperlemah hubungan antara variabel independen lainnya (pelatihan) terhadap variabel dependen (produktivitas kerja karyawan).
Gambar 15 Model hubungan moderator Pelatihan
Motivasi
Produktivitas Kerja Karyawan
38
Berdasarkan Gambar 15 diatas variabel Motivasi merupakan variabel moderator karena dapat memperlemah atau memperkuat hubungan antara Pelatihan dan Produktivitas Kerja Karyawan. Langkah yang harus dilakukan adalah indikator untuk masing-masing konstruk (X, Y dan Z). Indikator X sebagai perdiktor dan indikator Z sebagai moderator kemudian digunakan untuk membentuk konstruk Interaksi dengan cara mengalikan masing-masing indikator X dan Z. Pada model ini, metode analisis yang digunakan bertujuan untuk mengetahui bentuk dan besarnya pengaruh motivasi dalam memperlemah atau memperkuat hubungan antara pelatihan dan produktivitas kerja karyawan pada total jumlah sampel 107.
Hipotesis Penelitian
H1: Pelatihan berpengaruh positif terhadap produktivitas kerja karyawan H2: Motivasi berpengaruh positif terhadap produktivitas kerja karyawan H3: Motivasi memoderasi pelatihan dan produktivitas kerja karyawan.
Analisis Structural Equation Modeling (SEM)
Penelitian di bidang manajemen pada dasarnya merupakan penelitian multidimensi, karena mencoba untuk menjelaskan sebuah fenomena manajemen dengan mengamati berbagai fenomena praktis melalui berbagai dimensi atau indikator. Oleh karena itu, diperlukan alat analisis yang dapat dipergunakan untuk penelitian multidimensi. Adapun salah satu alat yang dapat dipergunakan untuk membantu penelitian manajemen yang memiliki tingkat kerumitan tinggi adalah dengan teknik SEM. SEM atau Model Persamaan Struktural adalah suatu model berupa gabungan dari analisis faktor dan regresi berganda yang dapat digunakan untuk menguji serangkaian hubungan dependen yang terdiri dari beberapa struktur secara serentak (Hair et al. 1998).
Menurut Ghozali (2008) SEM (Structural Equation Modeling) dinilai dapat mengatasi kelemahan dalam model regresi dan juga jalur path (path model) dimana semua peubah yang akan dianalisis hubungannya diasumsikan bisa diukur langsung atau dapat diwakili oleh satu peubah yang dapat diukur. Peubah-peubah dalam suatu penelitian dibagi menjadi dua kelompok. Dalam ekonometrika maupun psikologi, kedua kelompok tersebut dikenal dengan istilah peubah bebas (independent variable) dan peubah tidak bebas (dependent variable). Suharjo (2002) menjelaskan bahwa model persamaan struktural dapat dipandang sebagai suatu analisis peubah ganda yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan keterkaitan hubungan linear secara simultan peubah-peubah indikator, baik peubah eksogen maupun peubah endogen yang sekaligus melibatkan peubah- peubah latennya, yakni peubah yang tidak dapat diukur secara langsung. Model persamaan struktural mempunyai bentuk yang kompleks, sehingga dalam perhitungannya tidak dapat dilakukan dengan manual.
Menurut Ghozali dan Fuad (2005), Structural Equation Modeling (SEM) merupakan suatu teknik analisis statistik multivariat, yang memungkinkan peneliti
39 untuk menguji pengaruh langsung dan tidak langsung antara variabel yang kompleks, baik recursive maupun non-recursive untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai suatu model. Tidak seperti analisis multivariat biasa (regresi berganda dan analisis faktor), analisis SEM dapat melakukan pengujian model struktural (uji hubungan antar peubah laten) dan model measurement (uji hubungan antara peubah indikator dengan peubah laten) secara bersamaan. Sehingga penguji dapat menguji kesalahan pengukuran (measurement error) serta melakukan analisis faktor bersamaan dengan pengujian hipotesis.
Secara teknis SEM dibagi menjadi dua kelompok (Tabel 12), yaitu SEM berbasis covariance (CBSEM) yang diwakili oleh software LISREL dan SEM berbasis variance (VBSEM) yang dapat menggunakan software SmartPLS. Covariance based SEM (CBSEM) lebih bertujuan memberikan pernyataan tentang hubungan kausalitas atau memberikan deskripsi mekanisme hubungan sebab-akibat, sedangkan variance based SEM (VBSEM) dengan pendekatan partial least squares (PLS) lebih bertujuan untuk mencari hubungan linear prediktif antar variabel (Ghozali, 2008).
Tabel 12 Perbedaan antara VBSEM dengan CBSEM
No. Kriteria VBSEM CBSEM
1 Tujuan Berorientasi prediksi Berorientasi parameter 2 Pendekatan Berdasarkan variance Berdasarkan covariance 3 Asumsi Spesifikasi prediktor Multivariate normal
distribution,
independence observation (parametric)
4 Estimasi parameter
Konsisten sebagai indikator dan sample size meningkat
Konsisten 5 Skor variabel laten Secara eksplisit diestimasi Inderteminate 6 Hubungan
epistemic antara variabel laten dan indikatornya
Dapat dalam bentuk formatif maupun reflektif indikator
Hanya dengan reflektif indikator
7 Implikasi Optimal untuk ketepatan prediksi
Optimal untuk ketepatan parameter
8 Kompleksitas model
Kompleksitas besar (100 konstruk dan 1000 indikator)
Kompleksitas kecil sampai menengah (kurang dari 100 indikator) 9 Besar sampel Kekuatan analisis didasarkan
pada porsi dari model yang memiliki jumlah prediktor terbesar. Minimal
direkomendasikan dari 30 sampai 100 kasus
Kekuataan analisis didasarkan pada model spesifik minimal direkomendasikan dari 200 sampai 800
Pada analisis SEM pengukuran dilakukan pada dua buah peubah (construct), yaitu peubah laten dan peubah manifest. Peubah laten dalam SEM merupakan variabel-variabel yang tidak dapat diukur secara langsung. Sehingga pengamatan pada variabel laten dilakukan melalui efek dari variabel-variabel manifest (variabel terobservasi). Variabel manifest adalah indikator-indikator yang dapat
40
diukur. Dalam model SEM konstruk laten berdasarkan fungsinya dibagi menjadi dua, yaitu: variabel eksogen dan variabel endogen. Variabel eksogen adalah suatu variabel yang tidak dapat dipengaruhi oleh variabel lain (variabel independen didalam model regresi), sedangkan variabel endogen adalah variabel yang dapat dipengaruhi oleh variabel lain. Ghozali dan Fuad (2005) juga menyatakan bahwa dalam model SEM, variabel endogen dapat berperan menjadi variabel independen apabila variabel tersebut dapat mempengaruhi variabel lain. Proses analisis SEM mencakup beberapa langkah, yaitu: 1) konseptualisasi model, 2) penyusunan diagram alur, 3) spesifikasi model, 4) identifikasi model, 5) estimasi parameter, 6) penilaian model fit, 7) modifikasi model, dan 8) validasi silang model.
SEM digunakan apabila model yang akan diselesaikan mempunyai dasar teori yang kuat, sehingga dengan menggunakan SEM dapat mengkonfirmasi apakah hasil penelitian menunjukkan kesesuaian model teoritis yang telah dibentuk berdasarkan telaahan teori yang ada. Beberapa alasan lain menggunakan analisis SEM adalah sebagai berikut:
a. Model yang dianalisis bertingkat dan relatif rumit, sehingga akan sulit untuk diselesaikan dengan metode jalur analisis pada regresi linear. b. Untuk menguji hipotesis-hipotesis yang rumit dan bertingkat secara
serempak.
c. Kesalahan (galat) pada masing-masing observasi tidak diabaikan tetapi tetap dianalisis, sehingga SEM lebih akurat untuk menganalisis data kuesioner yang melibatkan persepsi.
d. Peneliti dapat dengan mudah memodifikasi model dengan second order untuk memperbaiki model yang disusun agar lebih layak secara statistik.
Bentuk SEM dengan Partial Least Squares (PLS)
Partial Least Squares merupakan factor indeterminacy metode analisis yang powerful oleh karena tidak mengasumsikan data harus dengan pegukuran skala tertentu, jumlah sampel kecil. PLS dapat juga digunakan untuk konfirmasi teori. Dibandingkan dengan covariance based SEM (yang diwakili oleh software LISREL, EQS atau AMOS) component based PLS mampu menghindarkan masalah besar yang dihadapi oleh covariance based SEM (CBSEM) yaitu inadmissible solution (Ghozali, 2008). Secara filosofis perbedaan antara covariance based SEM dengan component based PLS adalah apakah kita akan menggunakan model persamaan struktural untuk menguji teori atau pengembangan teori untuk tujuan prediksi. Pada situasi dimana kita mempunyai dasar teori yang kuat dan pengujian teori atau pengembangan teori sebagai tujuan utama riset, maka metode dengan covariance based (Maximum Likelihood atau Generakized Least Squares) lebih sesuai. Namun demikian adanya indeterminacy dari estimasi factor score maka akan kehilangan ketepatan prediksi.
Untuk tujuan prediksi, pendekatan PLS lebih cocok. Dengan pendekatan PLS diasumsikan bahwa semua ukuran variance adalah variance yang berguna untuk dijelaskan. Oleh karena pendekatan untuk mengestimasi variabel laten dianggap sebagai kombinasi linear dari indikator maka menghindarkan masalah indeterminacy dan memberikan definisi yang pasti dari komponen skor. PLS memberikan model umum yang meliputi teknik korelasi kanonikal, redundancy
41 analysis, regresi berganda, multivariate analysis of variance (MANOVA) dan principle component analysis. Oleh karena PLS menggunakan iterasi algoritma yang terdiri dari seri analisis ordinary least squares maka persoalan identifikasi model tidak menjadi masalah untuk model recursive, juga tidak mengasumsikan bentuk distribusi tertentu untuk skala ukuran variabel. Lebih jauh lagi jumlah sampel dapat kecil dengan perkiraan kasar yaitu: (1) sepuluh kali skala dengan jumlah terbesar dari indikator (kausal) formatif (catatan skala untuk konstruk yang didesain dengan refleksif indikator dapat diabaikan) , atau (2) sepuluh kali dari jumlah terbesar structural path yang diarahkan pada konstruk tertentu dalam model struktural. PLS dapat dianggap sebagai model alternatif dari covariance based SEM. Maximum Likelihood berorientasi pada teori dan menekankan transisi dari analisis exploratory ke confirmatory. PLS dimaksudkan untuk causal- perdictive analysis dalam situasi kompleksitas yang tinggi dan dukungan teori yang rendah (Ghozali, 2008).