• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi Kerta Gosa berada di jantung kota Semarapura, Kabupaten Klungkung. Secara Geografis Kerta Gosa terletak pada koordinat 8o 32’ 08.37” Lintang Selatan, 115o 24’ 11.97” Bujur Timur, dan pada ketinggian 93 meter di atas permukaan laut. Batas-batas kompleks situs Kerta Gosa:

Sebelah utara adalah jalan raya yang berseberangan dengan kantor Bupati »

Klungkung.

Sebelah timur adalah jalan raya, tepatnya di depan pintu masuk pasar seni »

Klungkung.

Sebelah barat adalah jalan raya dan Balai Budaya Klungkung. »

Sebelah selatan berbatasan dengan rumah penduduk termasuk kompleks »

Puri Semara Bawa.

Kerta Gosa merupakan kompleks bangunan atau balai pengadilan warisan Keraton Semarapura (1686-1908) dan tetap difungsikan pada masa kekuasaan kolonial Belanda (1908-1942). Di kompleks ini setidaknya masih tersisa tiga

objek peninggalan Keraton Semarapura yaitu Bale Kerta Gosa, Bale Kambang dengan kolam Taman Gili, serta Gapura Kraton. Selain itu, di sisi bagian barat terdapat bangunan Museum Semarapura bergaya arsitektur Eropah (Balisering) yang sebelumnya merupakan bekas sekolah Belanda.

Bale Kambang (Taman Gili) di Kerta Gosa, Klungkung

Bangunan Kerta Gosa sudah ada sejak tahun 1700 Masehi. Hal ini dapat diketahui berdasarkan angka tahun Candra Cangkala yang terdapat di atas pintu masuk kompleks Kerta Gosa. Candra Cangkala tersebut berupa Cakra, yuyu, paksi-paksi yang bernilai 1662 Caka atau sekitar 1700 Masehi. Angka tahun ini bersamaan dengan pemerintahan Raja Dewa Agung Jambe, dan konon nama Kerta Gosa diberikan oleh beliau.

Kerta Gosa berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua kata, yaitu Kerta (Kertha) dan Gosa. Kertha atau Krta berarti baik, luhur, aman, tentram, bahagia, dan sejahtera; sedangkan Gosa (berasal dari kata Gosita) berarti dipanggil, diumumkan, dan disiarkan. Jadi Kerta Gosa berarti tempat untuk mengumumkan hal-hal yang baik atau hal-hal untuk mencapai ketentraman dan kesejahteraan. Kerta Gosa juga dapat diartikan sebagai tempat raja untuk mengadakan musyawarah yang berkenaan dengan ketentraman dan kesejahteraan bagi kerajaan yang meliputi bidang keamanan dan peradilan. Makna bangunan Kerta Gosa ini tidak terlepas kaitannya dengan istana kerajaan, yang mencakup unsur-unsur tempat rekreasi, kegembiraan, kemewahan dan sebagai unsur seni yang monumental dari suatu kerajaan. Sebagai bangunan yang difungsikan untuk sidang pengadilan sejak jaman kerajaan hingga masa kolonial Kerta Gosa memberikan gambaran kepada kita tentang proses peradilan di masa lalu. Keterangan yang ada menyatakan bahwa tata cara peradilan maupun pejabat yang hadir dalam persidang Masa Kolonial masih

tetap dilanjutkan dengan tata cara peradilan adat masa sebelumnya. Oleh karena itu, Kerta Gosa sebagai tempat berlangsungnya peradilan terbuka mencerminkan adanya kearifan lokal di bidang nilai keadilan dan keterbukaan dalam sistem hukum.

Bangunan Kertagosa dan Taman Gili terdiri atas bagian dasar dan atap. Pada bagian dasar berbentuk segi empat panjang disusun menjadi dua lantai, lantai pertama lebih lebar dan lantai kedua lebih kecil. Atap bangunan terbuat dari ijuk, sedangkan dasar bangunan dibuat dari batas padas dan batu bata, yang dilengkapi dengan undak (tangga naik). Pada bagian atap diberi tambahan berupa hiasan patung dan relief (mengelilingi bangunan). Pada langit-langit (plafon) dihias dengan lukisan tradisional bermotif wayang gaya Kamasan. Lukisan yang ada di langit-langit bangunan Taman Gili mengisahkan cerita Sutasoma, Pan Brayut, dan Palalintangan. Sedangkan, lukisan pada langit-langit bangunan Kertagosa mengambil cerita Ni Dyah Tantri, Bima Swarga, Adi Parwa dan Pelelindon. Tema pokok dari cerita-cerita itu adalah adiparwa khususnya pada episode Swarga Rohana Parwa yakni menceriterakan kisah perjalanan Pandawa menuju alam sorga.

Lukisan wayang Kamasan yang digambarkan pada bangunan Kerta Gosa dan Taman Gili menarik perhatian karena selain menunjukkan adanya kearifan di bidang estetika (seni lukis tradisional gaya wayang Kamasan) mengandung pula ajaran moral (etika). Jenis-jenis ceritera yang terdapat pada kedua bangunan tersebut adalah sebagai berikut ini.

Sutasoma »

Cerita Sutasoma terdapat pada bangunan Taman Gili yakni pada panel tingkat pertama hingga keempat di bagian atas langit-langit bangunan. Cara membacanya dimulai dari panil paling atas sebelah selatan, dari kiri ke kanan. Panil ini menceriterakan perjalanan Sutasoma dari kerjaan Astina menuju pegunungan Mahameru. Dalam perjalanan tersebut banyak rintangan yang harus dihadapi, tetapi dengan kekuatan bathin yang dimiliki, Sutasoma berhasil mengatasi segala rintangan.

Pan Brayut »

Ceritera Pan Brayut dilukiskan pada deret kelima dari atas, pada langit-langit Taman Gili. Kisah ceritera dimulai dari arah pojok timur-laut berlanjut ke selatan. Lukisan ini menceriterakan kehidupan Pan Brayut yang dikaruniai 18 orang anak, sehingga hampir tidak ada waktu untuk mengurus hal-hal lain, kecuali mengurus anak.

Palalintangan »

Panil Palalintangan terdapat pada deret paling bawah langit - langit bangunan Taman Gili. Lukisan palalintangan berhubungan dengan

keyakinan akan adanya pengaruh bintang - bintang di langit terhadap kelahiran manusia. Panil ini menceriterakan tentang tiga puluh lima macam watak manusia yang berbeda-beda akibat pengaruh bintang sesuai hari kelahirannya.

Ni Dyah Tantri »

Cerita Ni Dyah Tantri terdapat pada panil paling bawah pada langit-langit bangunan Kertagosa. Ceritanya dimulai dari panel sebelah timur beriring ke selatan, barat dan berakhir pada panil sebelah utara. Cerita Ni Dyah Tantri merupakan ceritera berbingkai (disebut cerita sribu satu malam) yang menggambarkan perjuangan seorang gadis bernama Ni Dyah Tantri dalam menghapuskan keinginan seorang raja untuk selalu mengawini gadis setiap hari. Ni Dyah Tantri adalah seorang puteri Maha Patih dari Raja yang suka perempuan tersebut. Sebagai Maha Patih setiap hari dititahkan oleh Raja mencari seorang gadis. Karena gadis di negara itu sudah langka, maka Ni Dyah Tantri menyediakan diri membantu ayahnya untuk dipersembahkan kepada raja. Karena kepandaiannya berceritera, setiap malam Ni Dyah Tantri memberi ceritera kepada raja tersebut. Raja menjadi insyaf dan tidak lagi menginginkan mengawini gadis setiap hari. Bhima Swarga

»

Cerita Bhima Swarga dilukiskan pada bangunan Balai Kertagosa yakni di panil tingkat kedua, ketiga, dan dilanjutkan pada panil tingkat keenam, ketujuh serta kedelapan. Cerita dimulai pada panil sebelah timur kemudian selatan, barat dan utara, mengelilingi bangunan hingga berakhirnya ceritera ini. Cerita Bhima Swarga mengisahkan perjalanan Bhima (putera kedua Pandawa) ke Yamaloka yang disertai oleh ibunya Dewi Kunti, dan saudara-saudaranya (Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa), untuk mencari ayahnya, Pandhu dan ibu tirinya, Dewi Madri. Setiba di Yamaloka, dijumpai berbagai peristiwa yang dialami oleh roh (atma) sesuai dengan perbuatannya di dunia. Misalnya orang yang suka berdusta lidahnya ditarik, dan orang yang suka berzinah kemaluannya dibakar. Berbagai rintangan yang menghadang dihadapi oleh Bima dengan semangat dan ketetapan hati yang akhirnya ia berhasil memperoleh air suci (amrta). Amrta ini kemudian digunakan Bima untuk menebus ayah dan ibu tirinya di Yamaloka sehingga dapat menuju ke Swargaloka.

Pelelindon »

Pelelindon dilukiskan pada panil tingkat kelima dari bawah pada langit-langit bangunan Balai Kertagosa. Ceritera Pelelindon ini dimulai dari tengah-tengah panil sebelah utara selanjutnya berurutan ke timur, selatan, barat dan kembali pada panil sebelah utara.

Situs Kerta Gosa telah mendapatkan perlakukan konservasi baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Pada tahun 1930 lukisan wayang yang terdapat di Kertagosa dan Taman Gili direstorasi oleh para seniman lukis dari Kamasan. Dalam restorasi tersebut, lukisan yang menghiasi langit-langit bangunan yang semula terbuat dari kain dan “parba” diganti dan dibuat di atas eternit, dengan tetap mempertahankan gaya lukisan seperti gambar aslinya. Restorasi lukisan terakhir dilakukan pada tahun 1960. Bangunan Kerta Gosa telah dinyatakan sebagai cagar budaya.