• Tidak ada hasil yang ditemukan

Situs Gunung Kawi terletak di Banjar Panaka Desa Tampaksiring Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar. Situs ini berjarak sekitar 30 Km dari Kota Denpasar. Secara geografis situs Gunung Kawi berada di daerah aliran sungai Pakerisan pada koordinat 8o 25’22. 65” LS, 115o 18’ 45. 93” BT, dan pada ketinggian 469 meter di atas permukaan laut.

Situs Gunung Kawi dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni kelompok candi tebing dan kelompok ceruk pertapaan. Candi tebing Gunung Kawi dipahat pada tebing cadas, berjumlah sepuluh candi yang terdiri atas tiga kelompok,

yaitu: kelompok lima candi, kelompok empat candi, dan sebuah candi yang dikenal dengan candi ke-sepuluh. Kelompok lima candi terdiri atas lima candi yang dibangun berderet, terletak di sebelah timur sungai Pakerisan menghadap ke barat. Pada candi terbesar (No 1 paling utara) terdapat tulisan Kediri Qwadrat “aji lumah ing jalu” artinya raja yang dicandikan di Jalu (Pakerisan). Pada candi No 2 dari utara terdapat tulisan Kediri Qwadrat

“rwa nakira” artinya dua anaknya. Menurut Goris dan Kempers (1957: 25; 1960:

78), candi yang bertuliskan “aji lumah ing jalu” merupakan candi untuk raja Udayana dan candi yang bertuliskan “rwa nakira” untuk anaknya yakni raja Marakata dan Anak Wungsu.

Kelompok lima candi di Situs Gunung Kawi, Tampaksiring, Gianyar

Kelompok empat candi di situs Gunung Kawi, Tampaksiring, Gianyar

Kelompok empat candi terdiri atas empat candi yang dibangun berderet terletak di sebelah barat sungai Pakerisan menghadap ke timur berhadapan dengan kelompok lima candi. Sedangkan, candi kesepuluh adalah sebuah candi yang terletak di sebelah barat daya sekitas 500 meter dari kelompok lima candi. Candi kesepuluh ini berada di sebelah barat sungai Pakerisan menghadap ke timur dan tempat ini oleh masyarakat disebut Bukit Gundul. Pada candi ini terdapat tulisan Kediri Qwadrat “rakyan”. Menurut

Goris (1957: 25), candi kesepuluh merupakan candi untuk perdana Menteri (jabatan Rakyan=perdana mentri). Berdasarkan studi paleografi atas tulisan Kediri Qwadrat pada kelompok lima candi dan candi kesepuluh, diduga candi Gunung Kawi dibangun pada abad XI Masehi.

Bangunan ceruk pertapaan adalah berbentuk ceruk-ceruk pertapaan yang dipahat pada tebing cadas.

Salah satu ceruk Pertapaan di situs Gunung Kawi, Tampaksiring, Gianyar.

Ceruk ini ada yang dibangun mengelompok dan ada yang berderet. Ceruk pertapaan yang mengelompok terletak di sebelah selatan kelompok lima candi. Ceruk ini menghadap ke barat dilengkapi dengan sebuah pintu masuk (gapura). Ceruk- ceruk pertapaan ini terdiri atas tiga bagian yaitu bagian utara, bagian tengah, dan bagian selatan. Masing-masing bagian terdapat pintu sebagai penghubung antara ceruk yang satu dengan yang lain. Bagian utara dapat dicapai melalui sebuah pintu yang menghadap ke selatan, di dalamnya terdapat dua ceruk yang berhadap-hadapan. Ceruk utama berbentuk goa dengan pintu masuk menghadap ke barat. Pada bagian dalam ceruk utama terdapat sebuah altar batu yang memanjang.

Candi kesepuluh di situs Gunung Kawi, Tampaksiring, Gianyar

Selanjutnya, pada bagian tengah terdapat lima ceruk yang dibagi menjadi beberapa ruangan, satu ceruk berada di tengah-tengah dikelilingi oleh empat ceruk lainnya yang berada di bagian timur, utara, barat, dan selatan dengan posisi berhadap- hadapan. Ceruk pada bagian selatan dapat dicapai dari bagian tengah melalui sebuah pintu dan ceruk ini menghadap ke barat (ke luar). Ceruk pertapaan lainnya, merupakan ceruk yang berderet di sebelah tenggara ceruk pertapaan mengelompok, di kelompok empat candi, dan di kelompok candi kesepuluh.

Ceruk pertapaan Gunung Kawi disebut Amarawati. Nama ini terdapat dalam prasasti Tengkulak A (945 Caka) yang dikeluarkan oleh raja Marakata seperti dalam kutipan berikut.

I.b. 1. Ingcaka 945 phalguna masa, tithi pancami cukla paksa, pa, ca wara irikadiwasa nikanang karamani songan tambahan sapanambahan

2. hulukayu dety, manuratang bamna, rama kabayan dangca, mwang tigu, pelet, sutarka, manambah I paduka haji, cri ndharmawangsa wardana marakata pangkaja stano

3. tungadewa sambandha ni panambahnya, majar an mula kinon haji dewata sang lumah ring air wka sajalu stri, mangawaya ri sanghyang katyagan ing pakrisan manga

4. ran ring amarwati, ….. (Ginarsa, 1961: 4).

Artinya,

1. Tahun Caka 945 bulan palguna, tithi pancami, cukla paksa, paniron, candra (soma), wuku ukir, pada hari itulah para pemimpin Desa Songan Tambahan sewilayahnya, yaitu

2. kepala kehutanan bernama Ditya, penulisnya bernama Bamana, para kebayan bernama: Dangca, Tiga, Pelet, dan Sutarka, meghadap Sri Paduka Maharaja Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja Stanotunggadewa.

3. Adapun sebab mereka menghadap Sri Baginda, adalah hendak menyatakan bahwa mereka sudah dari dulu semenjak pemerintahan suami istri almarhum yang telah dicandikan di Air Wka, sudah ikut masuk pertapaan yang ada di aliran sungai Pakerisan bernama

4. Asrama Amarawati.

Menurut Goris (1957: 23-24) Asrama Amarawati didirikan oleh raja yang dicandikan di Air Wka yaitu raja Udayana yang memerintah Bali pada tahun 979-1011 M (abad X). Sesuai dengan data dalam prasasti tersebut, maka Situs Gunung Kawi telah dibangun pada abad X-XI M. Pada abad ke-10 (979-1011 M) Bali diperintah oleh raja Udayana dan abad ke-11 (1049-1077 M) yang memerintah Bali adalah Anak Wungsu. Ketika itu, Situs Gunung

Kawi berfungsi sebagai media pemujaan terhadap roh leluhur dan sebagai tempat meditasi dan pendidikan agama. Tampaknya pemilihan lokasi DAS dan pemanfaatan lingkungan menjadi salah satu pertimbangan oleh leluhur pada masa lalu dalam pembangunan tempat suci. Dengan demikian Situs Gunung Kawi mencerminkan kearifan di bidang religius magis, pendidikan, dan lingkungan.

Situs Gunung Kawi mencerminkan pula kearifan di bidang iptek dan ekonomi. Kearifan dibidang iptek ditunjukan oleh strategi nenek moyang dalam melahirkan karya bangunan candi tebing dan ceruk pertapaan yang yang berada di tebing DAS Pakerisan. Pemilihan lahan yang relatif sulit dalam pengerjaannya ini sudah tentu memerlukan pengetahuan dan ketrampilan arsitektural di bidang pengerjaan bangunan yang ada di tepi tebing sungai. Begitu pula teknik pemahatan candi serta ceruk memperlihatkan pengerjaan yang rapi dan indah dari tangan-tangan yang trampil dan cekatan.

Hasil dari pengelolaan sumber air yang ditampung di depan Candi lima dalam suatu kolam kemudian dialirkan lagi ke sungai. Melalui manajemen pengelolaan air ini selain difungsikan secara simbolis magis juga bermanfaat secara praktis untuk pengairan sawah. Pengelolaan sumber air yang berbasis pelestarian lingkungan dan simbolis magis ini ternyata berguna pula untuk kesejahtraan masyarakat dalam rangka menunjang ketersediaan air untuk irigasi (nilai ekonomi).

Sampai sekarangpun situs Gunung Kawi digunakan untuk berbagai kepentingan baik untuk kegiatan yang bersifat religius magis, tempat meditasi, pengairan sawah dan sebagai objek wisata yang menarik. Sebagai cagar budaya yang memiliki nilai penting bagi masyarakat, situs ini sudah mendapatkan SK Penetapan sebagai cagar budaya dan juga dilestarikan oleh pemerintah dan masyarakat setempat.