• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mie matang merupakan mie basah mentah yang telah direbus terlebih dahulu dan memiliki kadar air sekitar 52%. Mie basah matang memiliki aw

sebesar 0,97 dan pH sebesar 9,20 (Pahrudin, 2006). Berdasarkan Fardiaz (1992), makanan dengan kadar air dan pH relatif tinggi (pH > 5,3) dikelompokkan sebagai makanan yang mudah rusak. Kadar air dan aw yang

tinggi menyebabkan mie basah riskan mengalami kerusakan jika simpan pada suhu ruang seperti yang umum dilakukan oleh penjual mie di pasaran.

Menurut Jay (2000), mikroba perusak yang mungkin tumbuh pada produk olahan terigu adalah bakteri genus Bacillus dan beberapa jenis kapang. Menurut Fardiaz (1992), jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat

menyebabkan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pangan tersebut. Adanya aktivitas mikroorganisme pembentuk asam ditandai dengan terdektesinya bau asam pada mie basah yang telah rusak. Beberapa bakteri aerobik pembentuk spora yang dapat memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kondisi kadar air yang tinggi dengan memanfaatkan terigu dan olahannya sebagai sumber energi. Pada kondisi kadar air lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang ditandai dengan pembentukkan miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali dengan adanya spora berwarna hitam (Jay, 2000).

Kerusakan pada mie basah matang yang direbus terlebih dahulu terjadi setelah penyimpanan suhu kamar selama 26 jam dengan indikator adanya lendir dan bau asam (Pahrudin, 2006). Mie yang bermutu baik pada umumnya berwarna putih atau kuning terang. Perubahan warna tidak terjadi, karena perebusan dapat merusak enzim polifenoloksidase (Hoseney, 1998). Hasil survei terhadap mie basah matang oleh Gracecia (2005) menunjukkan bahwa ciri-ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam, tekstur menjadi lengket, berlendir, lembek, atau mie menjadi hancur. Karena mie basah matang cepat mengalami kerusakan atau kebusukan, banyak usaha dilakukan untuk memperpanjang umur simpan dengan penambahan bahan pengawet.

C. GARAM ALKALI

Garam alkali memiliki peranan yang sangat penting dalam pembuatan mie. Mie tidak akan jadi jika tidak menggunakan garam alkali. Masyarakat kita sebenarnya kurang familiar dengan istilah garam alkali. Umumnya, garam alkali lebih mereka kenal dengan istilah obat mie atau “kansui”.

Garam alkali yang biasa digunakan dalam produk mie adalah natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3) dan kalium polifosfat

(KH2PO4). Garam alkali ini dapat ditambahkan masing-masing atau

kombinasi dari 2-3 alkali. Fungsi masing-masing bahan alkali tersebut berbeda-beda. Natrium karbonat berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan

tekstur mie. Konsentrasi Na2CO3 yang ditambahkan dalam formula mie basah

pada penelitian sebelumnya oleh Pahrudin (2006) adalah sebanyak 0,6% sesuai dengan formula Bogasari. Formula mie dengan penambahan Na2CO3

0,6% dijadikan sebagai formula standar dalam penelitian ini. Kalium karbonat berfungsi untuk meningkatkan sifat kekenyalan mie dan KH2PO4 untuk

meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie.

Sodium tripolifosfat atau STPP digunakan sebagai bahan pengikat air agar air dalam adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan tidak cepat mengering dan mengeras. Sodium tripolifosfat dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan boraks pada mie basah yang sekarang kasusnya sedang marak di pasaran. Kelebihan STPP dibandingkan boraks adalah STPP aman untuk digunakan dalam makanan dan penggunaannya diatur dalam Permenkes No. 722/MenKes/Per/IX/1988. Penambahan STPP dengan konsentrasi 0,1% sampai 0,2% dalam formula mie sudah cukup bagus untuk memberikan kekenyalan.

D. HIDROKOLOID

Humektan adalah senyawa kimia yang bersifat higroskopis dan mampu menurunkan aw bahan pangan. Humektan juga bersifat antimikroba,

memperbaiki tekstur, citarasa, dan dapat meningkatkan kalori (Labuza, 1975). Lebih lanjut Labuza (1975) menjelaskan bahwa ada tiga jenis humektan. Pertama, humektan yang memiliki kemampuan menurunkan aw; kedua,

humektan yang dapat mempertahankan kadar air; dan ketiga, humektan dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Salah satu contoh humektan adalah hidrokoloid.

Hidrokoloid atau koloid hirofilik adalah polimer berantai panjang yang larut dalam air dan mampu membentuk koloid dan gel. Polimer ini berukuran antara 10 Å sampai 1000 Å. Hidrokoloid juga sering dikenal dengan istilah gum. Ada berbagai macam hidrokoloid yang sekarang banyak digunakan di industri pangan antara lain gum Arab, xanthan gum, agar-agar, pektin, CMC, dan karagenan (Fardiaz, 1989). Hidrokoloid dalam bahan pangan lebih

difokuskan untuk membentuk tekstur daripada sebagai pengikat air bebas dalam bahan.

Berdasarkan klasifikasinya, hidrokoloid dibagi menjadi 3 jenis, yaitu hidrokoloid alami, hidrokoloid modifikasi, dan hidrokoloid sintetis. Gum Arab termasuk hidrokoloid alami hasil eksudat sedangkan karagenan adalah hidrokoloid alami hasil ekstraksi rumput laut. Hidrokoloid alami hasil ekstraksi tanaman adalah pektin. Xanthan gum merupakan hidrokoloid alami hasil fermentasi bakteri. Contoh hidrokoloid hasil modifikasi adalah CMC (Fardiaz, 1989).

Hidrokoloid sangat berperan dalam industri pangan karena hidrokolid memiliki banyak fungsi dalam pengolahan pangan. Hidrokoloid dapat digunakan sebagai perekat, pengikat air, penghambat kristalisasi es, pengeruh, pengemulsi, pembentuk gel, penghambat sineresis, dan pengental dalam produk pangan (Fardiaz, 1989). Berdasarkan fungsinya yang dapat mengikat air, hidrokoloid memiliki kemampuan untuk menurunkan kandungan air bebas dalam bahan pangan (Garbutt, 1997). Kandungan air bebas dalam bahan pangan disebut sebagai aktivitas air (aw). Nilai aw bahan pangan merupakan

salah faktor penting untuk kelangsungan hidup mikroba.

Jika suatu hidrokoloid membentuk gel untuk menghasilkan suatu tekstur yang diinginkan dalam bahan pangan, secara langsung hal ini dapat menurunkan nilai aw pangan tersebut, walaupun penurunnya tidak akan terlalu

signifikan karena hidrokoloid biasanya digunakan dalam kadar yang sangat rendah, yaitu sekitar 1% dari berat bahan pangan. Jika hidrokoloid ini membentuk gel, maka sebagian air bebas dalam bahan pangan akan terikat sehingga nilai aw akan turun dan jumlah air bebas yang dapat dipakai oleh

mikroba untuk hidup akan berkurang juga. Belum ada penelitian yang menunjukkan secara pasti besar penurunan nilai aw oleh gum Arab, karagenan,

dan CMC, yang akan digunakan sebagai hidrokoloid dalam penelitian ini.

1. Gum Arab

Gum Arab merupakan eksudat dari tanaman spesies Acacia terutama Acacia senegal. Gum ini diperoleh dari bagian kulit kayu yang terluka. Gum Arab merupakan kompleks heteropolisakarida yang tersusun

atas unit-unit L-arabinosa, L-rhamnosa, D-galaktosa dan asam D- glukoronat, serta sejumlah kecil protein (2%). Proporsinya bervariasi tergantung pada spesies Acacia. Gum Arab memiliki rantai utama yang tersusun dari β-D-galaktopiranosil yang berikatan dengan ikatan 1→3 (Belitz dan Grosch, 1987). Gum Arab secara alami merupakan campuran kalsium, magnesium, dan garam-garam kalium dari asam arab (Glicksman, 1983).

Gum Arab sangat larut dalam air. Kelarutan gum Arab dalam air sangat tinggi bila dibandingkan dengan hidrokoloid lainnya. Gum Arab dapat larut sampai konsentrasi sekitar 55%, sedangkan gum lainnya tidak dapat larut dalam air pada konsentrasi lebih besar dari 5%. Konsentrasi gum yang tinggi memberikan stabilisasi yang baik (Fardiaz, 1989).

Kekentalan larutan akan meningkat pada penambahan gum Arab dengan konsentrasi yang sangat tinggi. Sifat ini sangat berbeda dengan jenis polisakarida lainnya, dimana penambahan konsentrasi yang rendah akan menghasilkan larutan yang kental. Kekentalan maksimum yaitu pada konsentrasi 40-50% pada pH 4,5-5,5. Pada pH kurang dari 4,5 dan lebih besar dari 5,5 menyebabkan kekentalannya rendah (Fardiaz, 1989). Menurut Whistler dan Miller (1973), viskositas rata-rata gum Arab pada konsentrasi sebesar 1% adalah 2,015.

Kegunaan gum Arab dalam industri pangan antara lain sebagai

emulsifier dan stabilizer dalam produk-produk hasil pemanggangan. Selain itu, gum Arab ini juga dapat menghambat proses kristalisasi gula dan pemisahan lemak pada produk-produk confectionery dan es krim. Gum Arab juga digunakan sebagai pengikat flavor pada produksi konsentrat aroma dalam bentuk kapsul ataupun bubuk. Sebagai contoh, minyak esensial diemulsifikasi dengan larutan gum Arab lalu dikeringkan dengan

spray dryer. Polisakarida (gum Arab) akan membentuk film yang mengelilingi tetes minyak, yang akan melindungi minyak dari oksidasi (Belitz dan Grosch, 1987).

2. Karagenan

Karagenan merupakan hidrokoloid dari rumput laut yang paling penting dalam produk pangan. Karagenan terdiri dari ester-ester kalium, natrium, magnesium, kalsium, dan amonium sulfat dari polimer galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktosa. Heksosa-heksosa ini secara bergantian terikat dalam polimer melalui ikatan gliko α-1,3 dan β-1,4. Kandungan ester sulfat karagenan berkisar antara 18-40%. Chapman dan Chapman (1980) menyatakan bahwa karagenan merupakan suatu polimer polisakarida yang tersusun dengan ikatan α-1,3 dan β-1,4 D-Galaktopiranosa.

Polimer karagenan terdiri dari galaktosa dan dibedakan atas tiga fraksi utama yaitu - (lambda), - (iota), dan - (kappa) karagenan (Gambar 2). Ketiga fraksi tersebut dibedakan berdasarkan gugus ester sulfat dan kandungan 3,6-anhidrogalaktosanya. Fraksi kappa-karagenan dan iota-karagenan dapat membentuk gel, sedangkan fraksi lamda- karagenan tidak dapat membentuk gel. Kandungan ester sulfat dalam kappa-karagenan sebesar 25-30%, dalam iota-karagenan sebesar 28-35%, dan dalam lamda-karagenan sebesar 32-39%.

(a) (b) (c)

Gambar 2. Struktur molekul karagenan: (a) kappa-; (b) iota-; dan (c) lamda-karagenan (Nussinovitch, 1997)

Fraksi kappa karagenan terdiri dari ikatan 1,3 D-galaktosa-4-sulfat dan ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhidro-D-galaktosa. Kappa karagenan terbentuk sebagai hasil aksi enzim dekinkase yang mengkatalisis - (mu) karagenan menjadi kappa karagenan dengan cara menghilangkan sulfat pada C6 dari residu ikatan α-1,4 D-galaktosa-6-sulfat yang bersamaan dengan penutupan cincin membentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa (Gliksman, 1983).

Berbeda dengan kappa karagenan, iota karagenan terbentuk dari - (nu) karagenan, yang terdiri dari ikatan ikatan 1,3 D-galaktosa-4-sulfat dan ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat. Sama seperti kappa karagenan, dengan menghilangkan sulfat pada C6 dari -karagenan maka terbentuklah 3,6-anhidro-D-galaktosa yang selanjutnya menjadi iota karagenan (Gliksman, 1983).

Whistler dan Miller (1973) mengemukakan bahwa kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis karagenan, pengaruh ada tidaknya ion, suhu, pH, dan komponen organik larutan. Selain itu, kelarutan karagenan juga dipengaruhi oleh adanya gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa dan sulfat ester. Karagenan umumnya larut dalam air panas (>70oC). Dalam air dingin, hanya lamda karagenan dan garam natrium dari kappa dan iota karagenan yang larut (Glicksman, 1983).

Viskositas terjadi pada saat dispersi karagenan dengan air. Viskositas ini tergantung pada konsentrasi larutan, suhu, jenis karagenan, dan molekul terlarut lainnya. Jika konsentrasi larutan karagenan meningkat, maka viskositas juga meningkat secara logaritmik. Viskositas larutan karagenan menurun dengan naiknya suhu dan perubahan ini bersifat reversible.

Kappa dan iota karagenan mempunyai kemampuan untuk membentuk gel pada saat larutan panas dibiarkan menjadi dingin, karena mengandung gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa. Proses ini juga bersifat

reversible, artinya gel akan mencair jika dipanaskan dan bila didinginkan akan membentuk gel kembali (Glicksman, 1983). Pada suhu di atas titik cair gel, polimer karagenan dalam larutan berbentuk ramdom coils. Polimer akan membentuk double helix pada proses pendinginan (gel I), pendinginan selanjutnya membentuk struktur tiga dimensi (gel II). Mekanisme pembentukan gel ini dapat dilihat pada Gambar 3 (Rees, 1969).

Gambar 3. Mekanisme pembentukan gel karagenan (Rees, 1969) Produk karagenan paling stabil pada pH netral dan alkali. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari iakatan gliko yang mengakibatkan kehilangan viskositas dan potensi untuk membentuk gel, yang dipercepat oleh adanya panas (Moirano, 1977). Namun pada kenyataannya, suatu gel terbentuk pada pH di bawah 7 dan hidrolisis terjadi tidak lama kemudian, sehingga gel dapat tetap stabil (Glicksman, 1983).

Di Amerika Serikat, karagenan memiliki status GRAS dan diakui sebagai BTP (21 CFR 172.620) oleh FDA. Di Eropa, karagenan juga telah diakui sebagai BTP dengan E number E407. Kurang lebih 80% produksi karagenan digunakan dalam industri makanan, farmasi, dan kosmetik (Whistler dan Miller, 1973). Karagenan dapat diaplikasikan pada berbagai produk sebagai pembentuk gel atau penstabil, pensuspensi, pembentuk tekstur emulsi, terutama pada produk-produk jeli, jamu, saus, permen, sirup, puding, dodol, salad dressing, gel ikan, nugget, produk susu, bahkan juga untuk industri kosmetik, tekstil, cat, obat-obatan, dan pakan ternak (Suptijah, 2002). Karagenan dapat menghambat pembentukan kristal es pada produk makanan yang dibekukan. Pada umumnya, penggunaan karagenan dikombinasikan dengan CMC (Sodium Carboxy Methyl Cellulose), locust bean gum, guaran, atau beberapa jenis bahan penstabil lainnya (Arbuckle, 1986).

3. CMC

CMC (Sodium Carboxy Methyl Cellulose) merupakan hidrokoloid sintetis yang telah dimodifikasi membentuk komponen eter selulosa. CMC

merupakan turunan dari selulosa yang memiliki bentuk linear. Monomer penyusunnya merupakan glukosa dengan substituen berupa karboksimetil eter (Fennema, 1985). CMC ini diperoleh dengan cara menambahkan asam kloroasetat pada selulosa. Struktur molekul CMC dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur molekul Na-CMC (Nussinovitch, 1997)

Kelarutannya dalam air cukup tinggi. Karakteristik produknya tergantung pada derajat substitusi dan polimerisasi. Jenis yang memiliki derajat substitusi rendah tidak larut dalam air tetapi larut dalam basa, sedangkan jenis yang memiliki derajat substitusi tinggi larut di dalam air. Viskositas CMC dipengaruhi oleh suhu dan pH. Pada pH kurang dari 5,0, viskositasnya akan menurun, sedangkan CMC sangat stabil pada pH antara 5-11. CMC memiliki viskositas maksimum dan stabilitas yang paling baik pada pH 7-9 (Whistler dan Miller, 1973). CMC dapat larut dalam air panas dan air dingin (Glicksman, 1983).

CMC merupakan turunan selulosa yang paling banyak digunakan sebagai hidrokoloid pangan. Fungsi dasarnya adalah untuk mengikat air atau memberikan kekentalan sehingga dapat memantapkan komponen lainnya atau mencegah sineresis. CMC biasanya dikombinasikan dengan gelatin, pektin, atau gum biji lokus. Kapasitas pengikatan airnya tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam makanan-makanan dietetik.

CMC biasa digunakan dalam campuran adonan mie basah yang banyak dijual di pasaran. CMC berfungsi sebagai penstabil pada mie basah. CMC dapat juga digunakan sebagai bahan pengganti gluten (gluten substitute). Hal ini didasarkan pada peranan senyawa tersebut yang

terbukti baik untuk mengembangkan adonan dalam formulasi roti dari tepung beras (Nishita, et. al, 1976).

Penting untuk diperhatikan bahwa jika CMC yang ditambahkan terlalu banyak maka akan menyebabkan adonan mie tidak mengembang penuh, tekstur mie menjadi keras, dan daya rehidrasi berkurang. Keuntungan penggunaan CMC adalah pada pH tinggi kekentalannya akan meningkat (Fardiaz, 1989). Jika kekentalan meningkat berarti jumlah air bebas dalam bahan akan menurun sehingga akan menghambat pertumbuhan mikroba perusak.

E. BAHAN PENGAWET

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah senyawa atau campuran berbagai senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan utama (Anonim, 1996). Menurut Codex Alimentarus di dalam Branen dan Haggerty (2002), BTP didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi (ingredient) khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan kedalam pangan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan pangan (termasuk organoleptik) baik dalam proses pembuatan, pengolahan, persiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan, dan penyimpanan produk pangan olahan, agar menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu pangan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas pangan tersebut.

Di Indonesia, penggunaan BTP telah diatur sejak tahun 1988 dalam Permenkes No. 722/MenKes/Per/IX/1988 yang dikuatkan dengan Permenkes No.1168/MenKes/Per/1999 menyebutkan bahwa yang termasuk BTP adalah pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal, penyedap dan penguat rasa, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pengental, pengeras, dan sekuestran (untuk memantapkan warna dan tekstur makanan).

Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasam, dan peruraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Departemen Kesehatan, 1988). Jenis bahan pengawet yang paling sering diaplikasikan kedalam bahan pangan adalah asam organik. Selain lebih aman karena umumnya buah-buahan juga menghasilkan asam organik secara alamiah, asam organik banyak digunakan karena kinerja antimikrobanya. Asam organik merupakan asam lipofilik lemah yang mudah berinteraksi dengan komponen lemak yang menyusun bagian membran sel mikroba. Asam organik akan menembus membran sel dalam bentuk tidak terdisodiasi untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau dapat membunuh mikroba. Setelah berada dalam sitoplasma yang memiliki pH netral sekitar 7, bentuk tidak berdisoasi ini akan terdisosiasi dan ion H+ yang terbentuk akan menurunkan pH sitoplasma sehingga kesetimbangan dalam sel mikroba menjadi kacau.

Bentuk asam organik yang tidak terdisosiasi dapat diperoleh dengan menggunakan bentuk garam dari asam organik tersebut karena bentuk garam asam organik ini lebih dapat mempertahankan bentuk tidak berdisosiasi dan biasanya bentuk garam lebih mudah larut dalam air. Selain itu, informasi mengenai pKa penting untuk diketahui sebelum asam organik ini diaplikasikan sebagai pengawet. Garbutt (1997) mendefinisikan pKa sebagai nilai pH pada saat suatu pengawet terdisosiasi sebanyak 50%. Semakin tinggi nilai pKa maka semakin luas spektrum penggunaan suatu asam organik untuk dapat digunakan sebagai pengawet.

Pemilihan antimikroba yang tepat tergantung pada beberapa faktor meliputi zat antimikroba dan zat kimia yang terkandung, komposisi produk pangan, sistem pengawetan selain bahan kimia yang digunakan pada produk, tipe, karakteristik, dan jumlah mikroorganisme, keamanan antimikroba dan efektivitas biaya penggunaan antimikroba. Pengawet kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah kalsium propionat, kalium sorbat, dan natrium asetat.

1. Propionat dan Garamnya

(Gambar 2) umum digunakan sebagai penghambat kapang. Kalsium propionat (C6H10CaO4/Ca(CH3CaH2COO)2) bersifat larut dalam air,

sedikit larut dalam air, sedikit larut dalam metanol dan etanol, namun tidak larut dalam aseton dan benzena. Memurut Merck Index (1989), kalsium propionat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan kapang dan mikroorganisme lain pada industri pangan, tembakau dan farmasi.

Gambar 5. Struktur molekul asam propionat (Anonim, 1999a)

Menurut Desrosier (1977), natrium atau kalsium propionat biasa digunakan pada industri pangan untuk menghambat kapang dan khamir pada produk roti, mentega, selai, jeli, keju, dan produk olahan lain yang tidak tahan lama. Efektivitasnya optimal pada pH 5-6 dan menurun dengan meningkatnya pH. Propionat memiliki pKa 4,87 bentuk aktif sebagai asam propinat yang tidak terdisosiasi (Samelis dan Sofos, 2003). Toksisitasnya terhadap mikroba adalah karena mikroba tidak mampu memetabolisme tiga rantai karbon dari asam propionat.

FDA menyatakan propionat sebagai Generally Recognized As Safe

(GRAS) dalam 21 CFR 184.1221 dengan nilai Acceptable daily Intake

(ADI) sebesar 0-20 mg/kg berat badan. Propionat dalam bentuk garam kalsiumnya digunakan dengan konsentrasi sekitar 0,1-0,4% dan untuk produk dengan bahan dasar tepung digunakan sebesar 0,32% (CNFP, 2002a). Di Indonesia, asam dan kalsium propionat digunakan pada sediaan keju olahan dengan batas maksimum penggunaan 3 g/kg tunggal atau campuran dengan asam sorbat dan garamnya, sedangkan pada roti batas maksium penggunaannya adalah 2 g/kg.

2. Sorbat dan Garamnya

Asam sorbat yang memiliki rumus C6H8O2 (Gambar 3) merupakan

padatan putih, berbentuk kristal dan berbau agak asam. Kelarutan air pada suhu kamar adalah 0,15 g per 100 ml (0,15 %). Grup karboksil asam sorbat sangat reaktif sehingga dapat membentuk berbagai garam dan ester.

Sorbat memiliki nilai pKa 4,76 (Samelis dan Sofos, 2003). Ikatan ganda terkonjugasi asam sorbat juga reaktif dan mungkin mempengaruhi aktivitas antimikrobanya dan kualitas serta keasaman produk pangan. Secara komersil asam sorbat tersedia dalam bentuk garamnya termasuk kalsium, natrium, dan natrium sorbat.

Gambar 6. Struktur molekul asam sorbat (Anonim, 1999b)

Menurut Desrosier (1977), asam sorbat efektif dalam mengontrol pertumbuhan kapang pada keju, margarin, dan daging. Bahkan pada margarin penambahan asam sorbat lebih efektif dibanding dengan penambahan asam benzoat sebagai pengawet. Mekanisme penghambatan asam sorbat pada kapang yaitu dengan menghambat sistem enzim dehidrogenase pada kapang. Namun efektivitas asam sorbat hanya terlibat apabila kapang yang tumbuh dalam jumlah kecil. Pada tingkat pertumbuhan kapang yang tinggi, pengaruh asam sorbat sebagai penghambat tidak jelas terlihat (Desrosier, 1977).

Sorbat dalam bentuk garamnya digunakan dengan konsentrasi sekitar 0,025-0,1% untuk produk roti, kue, keju, pie, dan yoghurt (CNFP, 2002b). konsentrasi maksimum yang diijinkan di Amerika Serikat adalah 0,1%. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/ Menkes/Per/IX/88, kalium sorbat digunakan pada sediaan keju olahan dengan batas maksimum 3 g/kg, pada produk keju, margarin, acar ketimun dalam botol, selai dan jeli, serta pekatan sari nenas batas maksimum penggunaannya sebesar 1g/kg, sedangkan pada aprikot yang dikeringkan dan marmalad penggunaan kalium sorbat yang diizinkan sebanyak 500 mg/kg.

3. Natrium Asetat

Natrium asetat berbentuk kristal yang berwarna putih ataupun tidak berwarna, yang terbentuk dari reaksi antara asama asetat dengan natrium karbaonat atau natrium hidroksida. Natrium asetat larut dalam air dan

etoksietan serta sedikit larut dalam etanol. Natrium asetat merupakan garam dari basa kuat dan asam lemah sehingga dapat diaplikasikan sebagai

buffer pada produksi petroleum, elastomer, dan sebagai pengawet.

Natrium asetat lebih efektif terhadap khamir dan bakteri dibandingkan dengan kapang. Asetat memiliki nilai pKa 4,75 (Samelis dan Sofos, 2003). Natrium asetat dapat digunakan dalam saos, mayonaise,

acid-pickle vegetable, roti dan produk bakery lainnya (Belitz dan Grosch, 1999). Sebagai pengawet kimia, natrium asetat digolongkan dalam GRAS dengan ADI tidak terbatas oleh FDA. Batas maksimum Na-asetat yang masih aman dikonsumsi berdasarkan CODEX adalah 0,6% atau 6000 ppm.

F. KONDISI PENYIMPANAN

Dokumen terkait