• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Teknologi dan Bahan Tambahan Pangan Untuk Meningkatkan Umur Simpan Mie Basah Matang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Teknologi dan Bahan Tambahan Pangan Untuk Meningkatkan Umur Simpan Mie Basah Matang"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

Oleh:

KAREN PUSPASARI F24102091

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Karen Puspasari. F24102091. Aplikasi teknologi dan bahan tambahan pangan untuk meningkatkan umur simpan mie basah matang. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. dan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. 2007.

RINGKASAN

Mie basah telah menjadi makanan yang populer dalam diet masyarakat Indonesia. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2987-1992, mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Akan tetapi, penggunaan bahan tambahan terlarang, seperti formalin dan boraks, pada produk mie basah matang ternyata marak terjadi di Indonesia beberapa waktu belakangan ini. Formalin umumnya digunakan untuk memperpanjang umur simpan mie mencapai beberapa minggu, sedangkan boraks ditambahkan untuk meningkatkan kekenyalan mie. Larangan penggunaan formalin dan boraks untuk bahan pangan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No. 722/MenKes/Per/IX/88. Masalah keamanan pangan ini tidak dapat dihindari lagi walaupun sudah ada peraturan yang melarang penggunaan kedua bahan tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan mutu mie basah matang, khususnya dalam hal umur simpan, dengan aplikasi teknologi dan bahan tambahan pangan, serta untuk memperoleh korelasi antara umur simpan mie basah matang dengan teknologi proses yang diaplikasikan. Istilah mie basah matang untuk selanjutnya akan dipersingkat dengan sebutan mie. Tahapan penelitian meliputi pengaruh garam alkali (Na2CO3 0,6% dan STPP 0,2%), penambahan hidrokoloid

(CMC 0,2%, gum Arab 0,5%, dan karagenan 0,5%), aplikasi perlakuan fisik (pemasakan, penyimpanan suhu rendah, dan pengemasan), optimasi bahan pengawet yang diizinkan (natrium asetat, kalsium propionat, dan kalium sorbat), dan pemenuhan syarat CPPB. Setiap perlakuan yang memberikan umur simpan paling lama dan mutu mie terbaik akan diaplikasikan secara bersamaan pada tahapan terakhir untuk dianalisis mutu fisik, kimia, mikrobiologi, dan organoleptiknya.

Aplikasi garam alkali Na2CO3 dan STPP kedalam mie memberikan pengaruh

terhadap tekstur, warna, dan umur simpan mie. Nilai kekerasan dan elastisitas yang dihasilkan oleh kedua jenis garam alkali ini berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05), sedangkan nilai kelengketan keduanya tidak berbeda secara nyata. Warna mie yang diberi panambahan Na2CO3 dan STPP berada dalam

kisaran warna kuning kemerahan dengan nilai kecerahan (L) mie dengan penambahan STPP (L 72,27) lebih tinggi daripada mie dengan penambahan Na2CO3

(L 68,87). Mie dengan panambahan Na2CO3 memiliki umur simpan 44 jam,

sedangkan mie dengan penambahan STPP selama 24 jam. Penggunaan Na2CO3 0,6%

sebagai garam alkali memberikan hasil yang lebih baik daripada STPP 0,2% dalam hal tekstur, warna, dan umur simpan, sehingga Na2CO3 0,6% untuk selanjutnya akan

digunakan sebagai garam alkali yang diaplikasikan dalam formula untuk mie kontrol pada tahapan selanjutnya.

(3)

Warna ketiga sampel mie penambahan hidrokoloid berada dalam kisaran warna kuning kemerahan. Mie dengan penambahan karagenan memiliki nilai kecerahan tertinggi (L 72,89). Umur simpan mie dengan penambahan karagenan sama dengan mie kontrol, yaitu 44 jam, sedangkan mie dengan penambahan CMC dan gum Arab memiliki umur simpan 48 jam. Penambahan hidrokoloid tidak memperpanjang umur simpan mie karena konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan rendah sehingga tidak mampu menurunkan jumlah air bebas dalam bahan. Penambahan CMC kedalam formula mie memberikan kontribusi yang paling rendah terhadap biaya produksi dibandingkan dua hidrokoloid lainnya. CMC dipilih sebagai perlakuan hidrokoloid terbaik dari segi tekstur dan selanjutnya diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.

Minyak yang digunakan untuk melumur mie adalah minyak kelapa. Pelumuran minyak yang dilakukan setelah pemasakan memberikan penampakan mie yang lebih baik dan tidak lengket, serta penggunaan minyak yang lebih efisien. Pengukusan mie yang dilakukan selama 10 dan 12 menit menghasilkan warna yang tidak berbeda nyata (p<0,05). Namun, warna mie yang dikukus lebih gelap dan berbeda nyata (p<0,05) dengan warna mie yang direbus selama 2 menit. Hal ini disebabkan oleh terjadinya reaksi Maillard pada mie yang dikukus karena mie kukus memiliki nilai aw 0,945-0,95, yang lebih rendah dari mie yang direbus (aw 0,97).

Umur simpan mie yang dikukus lebih panjang, yaitu 68 jam, dibandingkan dengan mie yang direbus (44 jam). Pemasakan mie dengan cara direbus selama 2 menit memberikan tekstur yang lebih baik (3705,3 gf), dimana mie yang dikukus memiliki tekstur yang liat dan keras dengan nilai kekerasan 9065,0 gf (10 menit) dan 9302,8 gf (12 menit). Berdasarkan pertimbangan terhadap tekstur dan warna, mie yang direbus selama 2 menit dengan pelumuran minyak setelah perebusan dipilih sebagai perlakuan pemasakan dan pelumuran yang diaplikasikan pada tahapan kombinasi perlakuan terbaik.

Penggunaan plastik LDPE atau PP tebal tidak berpengaruh terhadap umur simpan mie selama kemasan tertutup rapat, yaitu 44 jam. Pengemasan mie dengan kondisi tertutup mengurangi jumlah kontaminasi mikroba dari lingkungan. Pengemasan vakum terhadap mie menyebabkan penampakan mie menjadi kurang menarik. Penyimpanan mie pada suhu rendah meningkatkan umur simpan, yaitu 10 hari (13 ± 2oC) dan 40 hari (4 ± 1oC). Namun, biaya untuk aplikasi suhu rendah masih sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh produsen mie. Oleh karenanya, penyimpanan mie pada suhu ruang dengan kemasan LDPE dipilih sebagai perlakuan kondisi penyimpanan yang diaplikasikan pada tahapan kombinasi perlakuan terbaik.

(4)

Mie kombinasi terbaik adalah mie yang dibuat dengan penambahan Na2CO3

0,6%, CMC 0,2%, dan pengawet Na-asetat 0,004% + Ca-propionat 0,025% + K-sorbat 0,0125% (CPPB 25%), kemudian dimasak dengan cara direbus selama 2 menit, dikemas dengan plastik LDPE, dan disimpan pada suhu ruang. Perubahan warna mie kontrol dan mie kombinasi terbaik terlihat pada nilai kecerahannya, dimana nilai kecerahan akan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Selama penyimpanan mie terjadi penurunan nilai kekerasan dan peningkatan nilai kelengketan. Nilai kekerasan dan kelengketan mie kontrol tidak berbeda nyata antara jam ke-0, 16, 32, dan 48. Nilai kekerasan mie kombinasi terbaik berbeda nyata dengan jam ke-0 setelah penyimpanan 48 jam, sedangkan nilai kelengketan tertinggi pada jam ke-56.

Nilai aw mie kombinasi terbaik hampir sama dengan mie kontrol, sekitar

0,965 dan 0,970. Selama penyimpanan, terjadi penurunan nilai pH mie dimana nilai pH berbeda nyata (p<0,05) setelah penyimpanan selama 48 jam. Perubahan nilai pH mie kontrol tidak berbeda nyata (p<0,05) sampai akhir penyimpanan, sedangkan nilai pH mie berbeda nyata (p<0,05) pada jam ke-48 (pH 6,89). Nilai TAT tidak diukur karena pH mie yang disimpan masih berada di atas pH netral.

Total mikroba awal kedua sampel mie tergolong rendah, dimana TPC mie kontrol sebesar 2,96 log cfu/g dan mie kombinasi terbaik 0,57 log cfu/g. Mie kontrol dan mie kombinasi terbaik mencapai batas mutu SNI pada jam yang sama, yaitu jam ke-32, walaupun secara subyektif mie kombinasi terbaik memiliki umur simpan lebih panjang berdasarkan terdeteksinya bau asam dan lendir. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga pengawet yang diaplikasikan dalam mie kombinasi terbaik kurang efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba perusak dan tidak dapat memperpanjang umur simpan mie secara mikrobiologis. Total kapang dan khamir pada sampel mie kontrol maupun mie kombinasi terbaik pada waktu akhir penyimpanan masih memenuhi syarat mutu SNI mie basah, yaitu kurang dari 104. Koliform tidak ditemukan pada kedua sampel mie selama penyimpanan. Kondisi ini dapat tercapai dengan praktek sanitasi yang baik pada saat pengolahan mie.

Uji organoleptik dilakukan menggunakan uji hedonik dengan skala hedonik 1 sampai 5. sebagai kontrol positif, ikut diujikan mie yang dijual di pasaran. Berdasarkan penilaian panelis, mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) untuk atribut warna (skor 4,21 dan 4,43), aroma (skor 3,62 dan 3,70), tekstur (skor 4,07 dan 3,63), rasa (skor 3,73 dan 3,63), dan keseluruhan (skor 3,94 dan 4,17). Sedangkan mie yang dijual di pasaran berbeda nyata (p<0,05) dengan kedua sampel mie yang dibuat pada skala laboratorium untuk atribut warna (skor 3,45), aroma (skor 1,90), tekstur (skor 2,53), rasa (skor 2,18), dan keseluruhan (skor 2,15). Hal ini menunjukkan bahwa kedua mie yang dibuat pada skala laboratorium secara keseluruhan lebih disukai daripada mie yang dijual di pasaran.

(5)

APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

KAREN PUSPASARI F24102091

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

KAREN PUSPASARI F24102091

Tanggal lulus: 27 November 2006

Menyetujui, Bogor, Februari 2007

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

(7)

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 September 1984 dan merupakan anak pertama dari pasangan Felix Wirya dan Vonny Kartawinata. Pendidikan formal penulis dimulai di TK Kristen VIII BPK Penabur, SD Kristen VIII BPK Penabur, SLTP Kristen V BPK Penabur, dan SMU Kristen I BPK Penabur.

Penulis melanjutkan pendidikan tingginya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur masuk SPMB pada tahun 2002. Selama kuliah penulis aktif di beberapa organisasi kampus, seperti di kepanitiaan beberapa acara, yaitu Lepas Landas Sarjana 2003, BAUR 2004, Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XII, dan National Student Paper Competition. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia Dasar I dan Analisis Pangan. Penulis berkesempatan mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Penelitian yang diselenggarakan oleh Dikti dan mewakili IPB pada PIMNAS XIX 2006 di Universitas Muhammadiyah Malang, serta meraih penghargaan setara emas untuk kategori presentasi. Sejak tahun 2003 sampai akhir studinya, penulis menerima beasiswa dari Yayasan Goodwill International.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus Yang Maha Pengasih, hanya karena berkat dan pimpinan-Nya, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si., selaku dosen pembimbing pertama atas segenap waktu, bimbingan, dukungan, pengetahuan, serta kesempatan-kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk belajar dan berkarya sejak awal masa bimbingan sampai penulisan skripsi ini selesai.

2. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc., selaku dosen pembimbing kedua, atas kesediaannya meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi, serta memberikan masukan-masukan yang membangun selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung.

3. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc., selaku dosen penguji, atas kesediaannya meluangkan waktu untuk berdiskusi, membimbing, dan memberikan masukan-masukan yang membangun, khususnya dalam hal penulisan ilmiah.

4. Keluarga tercinta: Papi, Mami, Cheryl, Wilman, dan Wilson, terimakasih atas kasih sayang, doa, canda tawa, pengertian, dan perhatiannya selalu. Penulis merasa sangat diberkati memiliki keluarga seperti kalian.

5. Yayasan Goodwill International: Mr. Paul O’Hannon, Bapak dan Ibu Hara, Ibu Cri, Mba Rossa, dan segenap keluarga besar YGI, atas dukungan dalam bentuk beasiswa, training kepemimpinan, dan kebersamaan yang tidak terlupakan selama 3 tahun terakhir.

6. Para sahabat: Lilyana, Selvie (Cepi), Foni, Ci Sianne, dan Ps. Rita, atas segala dukungan dalam doa, kata-kata membangun, cerita saat suka dan duka, serta persahabatan yang tulus sampai sekarang ini. 7. Sahabat-sahabat dalam perjuangan: Fenni dan Steisi, terimakasih atas

(9)

dukungan, serta kritik yang membangun sejak awal kuliah sampai saat ini. I thank my God upon every remembrance of you.

8. Teman-teman penelitian: Inggrid, Pretty, Elvina, Meilina, dan Dhenok, atas segala kebersamaan untuk berbagi cerita, suka-duka, canda-tawa, kepanikan, serta doa selama penelitian dan penyusunan skripsi ini berlangsung. Juga untuk Kiki, Shinta, Herold, Ribka, Nanda, Nuy, Dora, Eva, Hana, Mba Nani, Risna, Woro, Manginar, Ijal, Ulik, dan Manto, atas segala waktu dan dukungan selama penelitian bersama di Laboratorium ITP.

9. Para Laboran dan Teknisi: Pak Koko, Ibu Rubiyah, Pak Rojak, Teh Ida, Pak Yahya, Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Sobirin, Mas Edi, dan Mba Darsi, atas segala arahan, dukungan, pelayanan, kesabaran, pengertian, dan cerita-cerita menghibur yang menjadikan masa-masa penelitian sebagai pengalaman tidak terlupakan.

10.Teman-teman TPG 39: Tin2, Hanna, Fany Nene, Farah, Tissa, Ina, Ratry, Mohung, Randy, Inal, Bobby, Prasna, Inda, Papang, Echo, Adjeng, Didin, Dadik, Putra, dan Tono, atas kebersamaan semasa kuliah dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

11.Teman-teman Gilgal Youth Ministry (GYM): Lora, Dessy, Deliana, Melissa, Herman, Yusuf, Dian K., Iko, Ps. Erick, Ps. Ora & Rachel, Ps. Owen & Evelyn, atas perhatian, teladan, dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

12.Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak keterbatasaan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, November 2006

(10)

DAFTAR ISI

Hal.

RIWAYAT PENULIS ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN... 2

C. MANFAAT PENELITIAN... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. MIE ... 4

1. Definisi Mie ... 4

2. Jenis Mie ... 5

3. Proses Pengolahan Mie Basah ... 5

B. KERUSAKAN MIE... 8

C. GARAM ALKALI ... 9

D. HIDROKOLOID... 10

1. Gum Arab... 11

2. Karagenan ... 12

3. CMC... 15

E. BAHAN PENGAWET... 17

1. Propionat dan Garamnya... 18

2. Sorbat dan Garamnya... 19

3. Natrium Asetat ... 20

F. KONDISI PENYIMPANAN ... 21

1. Penyimpanan Suhu Rendah ... 21

(11)

SKRIPSI

APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

Oleh:

KAREN PUSPASARI F24102091

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Karen Puspasari. F24102091. Aplikasi teknologi dan bahan tambahan pangan untuk meningkatkan umur simpan mie basah matang. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. dan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. 2007.

RINGKASAN

Mie basah telah menjadi makanan yang populer dalam diet masyarakat Indonesia. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2987-1992, mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Akan tetapi, penggunaan bahan tambahan terlarang, seperti formalin dan boraks, pada produk mie basah matang ternyata marak terjadi di Indonesia beberapa waktu belakangan ini. Formalin umumnya digunakan untuk memperpanjang umur simpan mie mencapai beberapa minggu, sedangkan boraks ditambahkan untuk meningkatkan kekenyalan mie. Larangan penggunaan formalin dan boraks untuk bahan pangan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No. 722/MenKes/Per/IX/88. Masalah keamanan pangan ini tidak dapat dihindari lagi walaupun sudah ada peraturan yang melarang penggunaan kedua bahan tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan mutu mie basah matang, khususnya dalam hal umur simpan, dengan aplikasi teknologi dan bahan tambahan pangan, serta untuk memperoleh korelasi antara umur simpan mie basah matang dengan teknologi proses yang diaplikasikan. Istilah mie basah matang untuk selanjutnya akan dipersingkat dengan sebutan mie. Tahapan penelitian meliputi pengaruh garam alkali (Na2CO3 0,6% dan STPP 0,2%), penambahan hidrokoloid

(CMC 0,2%, gum Arab 0,5%, dan karagenan 0,5%), aplikasi perlakuan fisik (pemasakan, penyimpanan suhu rendah, dan pengemasan), optimasi bahan pengawet yang diizinkan (natrium asetat, kalsium propionat, dan kalium sorbat), dan pemenuhan syarat CPPB. Setiap perlakuan yang memberikan umur simpan paling lama dan mutu mie terbaik akan diaplikasikan secara bersamaan pada tahapan terakhir untuk dianalisis mutu fisik, kimia, mikrobiologi, dan organoleptiknya.

Aplikasi garam alkali Na2CO3 dan STPP kedalam mie memberikan pengaruh

terhadap tekstur, warna, dan umur simpan mie. Nilai kekerasan dan elastisitas yang dihasilkan oleh kedua jenis garam alkali ini berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05), sedangkan nilai kelengketan keduanya tidak berbeda secara nyata. Warna mie yang diberi panambahan Na2CO3 dan STPP berada dalam

kisaran warna kuning kemerahan dengan nilai kecerahan (L) mie dengan penambahan STPP (L 72,27) lebih tinggi daripada mie dengan penambahan Na2CO3

(L 68,87). Mie dengan panambahan Na2CO3 memiliki umur simpan 44 jam,

sedangkan mie dengan penambahan STPP selama 24 jam. Penggunaan Na2CO3 0,6%

sebagai garam alkali memberikan hasil yang lebih baik daripada STPP 0,2% dalam hal tekstur, warna, dan umur simpan, sehingga Na2CO3 0,6% untuk selanjutnya akan

digunakan sebagai garam alkali yang diaplikasikan dalam formula untuk mie kontrol pada tahapan selanjutnya.

(13)

Warna ketiga sampel mie penambahan hidrokoloid berada dalam kisaran warna kuning kemerahan. Mie dengan penambahan karagenan memiliki nilai kecerahan tertinggi (L 72,89). Umur simpan mie dengan penambahan karagenan sama dengan mie kontrol, yaitu 44 jam, sedangkan mie dengan penambahan CMC dan gum Arab memiliki umur simpan 48 jam. Penambahan hidrokoloid tidak memperpanjang umur simpan mie karena konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan rendah sehingga tidak mampu menurunkan jumlah air bebas dalam bahan. Penambahan CMC kedalam formula mie memberikan kontribusi yang paling rendah terhadap biaya produksi dibandingkan dua hidrokoloid lainnya. CMC dipilih sebagai perlakuan hidrokoloid terbaik dari segi tekstur dan selanjutnya diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.

Minyak yang digunakan untuk melumur mie adalah minyak kelapa. Pelumuran minyak yang dilakukan setelah pemasakan memberikan penampakan mie yang lebih baik dan tidak lengket, serta penggunaan minyak yang lebih efisien. Pengukusan mie yang dilakukan selama 10 dan 12 menit menghasilkan warna yang tidak berbeda nyata (p<0,05). Namun, warna mie yang dikukus lebih gelap dan berbeda nyata (p<0,05) dengan warna mie yang direbus selama 2 menit. Hal ini disebabkan oleh terjadinya reaksi Maillard pada mie yang dikukus karena mie kukus memiliki nilai aw 0,945-0,95, yang lebih rendah dari mie yang direbus (aw 0,97).

Umur simpan mie yang dikukus lebih panjang, yaitu 68 jam, dibandingkan dengan mie yang direbus (44 jam). Pemasakan mie dengan cara direbus selama 2 menit memberikan tekstur yang lebih baik (3705,3 gf), dimana mie yang dikukus memiliki tekstur yang liat dan keras dengan nilai kekerasan 9065,0 gf (10 menit) dan 9302,8 gf (12 menit). Berdasarkan pertimbangan terhadap tekstur dan warna, mie yang direbus selama 2 menit dengan pelumuran minyak setelah perebusan dipilih sebagai perlakuan pemasakan dan pelumuran yang diaplikasikan pada tahapan kombinasi perlakuan terbaik.

Penggunaan plastik LDPE atau PP tebal tidak berpengaruh terhadap umur simpan mie selama kemasan tertutup rapat, yaitu 44 jam. Pengemasan mie dengan kondisi tertutup mengurangi jumlah kontaminasi mikroba dari lingkungan. Pengemasan vakum terhadap mie menyebabkan penampakan mie menjadi kurang menarik. Penyimpanan mie pada suhu rendah meningkatkan umur simpan, yaitu 10 hari (13 ± 2oC) dan 40 hari (4 ± 1oC). Namun, biaya untuk aplikasi suhu rendah masih sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh produsen mie. Oleh karenanya, penyimpanan mie pada suhu ruang dengan kemasan LDPE dipilih sebagai perlakuan kondisi penyimpanan yang diaplikasikan pada tahapan kombinasi perlakuan terbaik.

(14)

Mie kombinasi terbaik adalah mie yang dibuat dengan penambahan Na2CO3

0,6%, CMC 0,2%, dan pengawet Na-asetat 0,004% + Ca-propionat 0,025% + K-sorbat 0,0125% (CPPB 25%), kemudian dimasak dengan cara direbus selama 2 menit, dikemas dengan plastik LDPE, dan disimpan pada suhu ruang. Perubahan warna mie kontrol dan mie kombinasi terbaik terlihat pada nilai kecerahannya, dimana nilai kecerahan akan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Selama penyimpanan mie terjadi penurunan nilai kekerasan dan peningkatan nilai kelengketan. Nilai kekerasan dan kelengketan mie kontrol tidak berbeda nyata antara jam ke-0, 16, 32, dan 48. Nilai kekerasan mie kombinasi terbaik berbeda nyata dengan jam ke-0 setelah penyimpanan 48 jam, sedangkan nilai kelengketan tertinggi pada jam ke-56.

Nilai aw mie kombinasi terbaik hampir sama dengan mie kontrol, sekitar

0,965 dan 0,970. Selama penyimpanan, terjadi penurunan nilai pH mie dimana nilai pH berbeda nyata (p<0,05) setelah penyimpanan selama 48 jam. Perubahan nilai pH mie kontrol tidak berbeda nyata (p<0,05) sampai akhir penyimpanan, sedangkan nilai pH mie berbeda nyata (p<0,05) pada jam ke-48 (pH 6,89). Nilai TAT tidak diukur karena pH mie yang disimpan masih berada di atas pH netral.

Total mikroba awal kedua sampel mie tergolong rendah, dimana TPC mie kontrol sebesar 2,96 log cfu/g dan mie kombinasi terbaik 0,57 log cfu/g. Mie kontrol dan mie kombinasi terbaik mencapai batas mutu SNI pada jam yang sama, yaitu jam ke-32, walaupun secara subyektif mie kombinasi terbaik memiliki umur simpan lebih panjang berdasarkan terdeteksinya bau asam dan lendir. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga pengawet yang diaplikasikan dalam mie kombinasi terbaik kurang efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba perusak dan tidak dapat memperpanjang umur simpan mie secara mikrobiologis. Total kapang dan khamir pada sampel mie kontrol maupun mie kombinasi terbaik pada waktu akhir penyimpanan masih memenuhi syarat mutu SNI mie basah, yaitu kurang dari 104. Koliform tidak ditemukan pada kedua sampel mie selama penyimpanan. Kondisi ini dapat tercapai dengan praktek sanitasi yang baik pada saat pengolahan mie.

Uji organoleptik dilakukan menggunakan uji hedonik dengan skala hedonik 1 sampai 5. sebagai kontrol positif, ikut diujikan mie yang dijual di pasaran. Berdasarkan penilaian panelis, mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) untuk atribut warna (skor 4,21 dan 4,43), aroma (skor 3,62 dan 3,70), tekstur (skor 4,07 dan 3,63), rasa (skor 3,73 dan 3,63), dan keseluruhan (skor 3,94 dan 4,17). Sedangkan mie yang dijual di pasaran berbeda nyata (p<0,05) dengan kedua sampel mie yang dibuat pada skala laboratorium untuk atribut warna (skor 3,45), aroma (skor 1,90), tekstur (skor 2,53), rasa (skor 2,18), dan keseluruhan (skor 2,15). Hal ini menunjukkan bahwa kedua mie yang dibuat pada skala laboratorium secara keseluruhan lebih disukai daripada mie yang dijual di pasaran.

(15)

APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

KAREN PUSPASARI F24102091

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

KAREN PUSPASARI F24102091

Tanggal lulus: 27 November 2006

Menyetujui, Bogor, Februari 2007

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

(17)

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 September 1984 dan merupakan anak pertama dari pasangan Felix Wirya dan Vonny Kartawinata. Pendidikan formal penulis dimulai di TK Kristen VIII BPK Penabur, SD Kristen VIII BPK Penabur, SLTP Kristen V BPK Penabur, dan SMU Kristen I BPK Penabur.

Penulis melanjutkan pendidikan tingginya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur masuk SPMB pada tahun 2002. Selama kuliah penulis aktif di beberapa organisasi kampus, seperti di kepanitiaan beberapa acara, yaitu Lepas Landas Sarjana 2003, BAUR 2004, Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XII, dan National Student Paper Competition. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia Dasar I dan Analisis Pangan. Penulis berkesempatan mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Penelitian yang diselenggarakan oleh Dikti dan mewakili IPB pada PIMNAS XIX 2006 di Universitas Muhammadiyah Malang, serta meraih penghargaan setara emas untuk kategori presentasi. Sejak tahun 2003 sampai akhir studinya, penulis menerima beasiswa dari Yayasan Goodwill International.

(18)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus Yang Maha Pengasih, hanya karena berkat dan pimpinan-Nya, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si., selaku dosen pembimbing pertama atas segenap waktu, bimbingan, dukungan, pengetahuan, serta kesempatan-kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk belajar dan berkarya sejak awal masa bimbingan sampai penulisan skripsi ini selesai.

2. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc., selaku dosen pembimbing kedua, atas kesediaannya meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi, serta memberikan masukan-masukan yang membangun selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung.

3. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc., selaku dosen penguji, atas kesediaannya meluangkan waktu untuk berdiskusi, membimbing, dan memberikan masukan-masukan yang membangun, khususnya dalam hal penulisan ilmiah.

4. Keluarga tercinta: Papi, Mami, Cheryl, Wilman, dan Wilson, terimakasih atas kasih sayang, doa, canda tawa, pengertian, dan perhatiannya selalu. Penulis merasa sangat diberkati memiliki keluarga seperti kalian.

5. Yayasan Goodwill International: Mr. Paul O’Hannon, Bapak dan Ibu Hara, Ibu Cri, Mba Rossa, dan segenap keluarga besar YGI, atas dukungan dalam bentuk beasiswa, training kepemimpinan, dan kebersamaan yang tidak terlupakan selama 3 tahun terakhir.

6. Para sahabat: Lilyana, Selvie (Cepi), Foni, Ci Sianne, dan Ps. Rita, atas segala dukungan dalam doa, kata-kata membangun, cerita saat suka dan duka, serta persahabatan yang tulus sampai sekarang ini. 7. Sahabat-sahabat dalam perjuangan: Fenni dan Steisi, terimakasih atas

(19)

dukungan, serta kritik yang membangun sejak awal kuliah sampai saat ini. I thank my God upon every remembrance of you.

8. Teman-teman penelitian: Inggrid, Pretty, Elvina, Meilina, dan Dhenok, atas segala kebersamaan untuk berbagi cerita, suka-duka, canda-tawa, kepanikan, serta doa selama penelitian dan penyusunan skripsi ini berlangsung. Juga untuk Kiki, Shinta, Herold, Ribka, Nanda, Nuy, Dora, Eva, Hana, Mba Nani, Risna, Woro, Manginar, Ijal, Ulik, dan Manto, atas segala waktu dan dukungan selama penelitian bersama di Laboratorium ITP.

9. Para Laboran dan Teknisi: Pak Koko, Ibu Rubiyah, Pak Rojak, Teh Ida, Pak Yahya, Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Sobirin, Mas Edi, dan Mba Darsi, atas segala arahan, dukungan, pelayanan, kesabaran, pengertian, dan cerita-cerita menghibur yang menjadikan masa-masa penelitian sebagai pengalaman tidak terlupakan.

10.Teman-teman TPG 39: Tin2, Hanna, Fany Nene, Farah, Tissa, Ina, Ratry, Mohung, Randy, Inal, Bobby, Prasna, Inda, Papang, Echo, Adjeng, Didin, Dadik, Putra, dan Tono, atas kebersamaan semasa kuliah dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

11.Teman-teman Gilgal Youth Ministry (GYM): Lora, Dessy, Deliana, Melissa, Herman, Yusuf, Dian K., Iko, Ps. Erick, Ps. Ora & Rachel, Ps. Owen & Evelyn, atas perhatian, teladan, dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

12.Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak keterbatasaan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, November 2006

(20)

DAFTAR ISI

Hal.

RIWAYAT PENULIS ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN... 2

C. MANFAAT PENELITIAN... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. MIE ... 4

1. Definisi Mie ... 4

2. Jenis Mie ... 5

3. Proses Pengolahan Mie Basah ... 5

B. KERUSAKAN MIE... 8

C. GARAM ALKALI ... 9

D. HIDROKOLOID... 10

1. Gum Arab... 11

2. Karagenan ... 12

3. CMC... 15

E. BAHAN PENGAWET... 17

1. Propionat dan Garamnya... 18

2. Sorbat dan Garamnya... 19

3. Natrium Asetat ... 20

F. KONDISI PENYIMPANAN ... 21

1. Penyimpanan Suhu Rendah ... 21

(21)

III. METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT ... 25

1. Bahan ... 25

2. Alat... 25

B. TAHAPAN PENELITIAN ... 25

1. Pengaruh Jenis Garam Alkali Terhadap Mutu Mie ... 26

2. Pengaruh Penambahan Hidrokoloid Terhadap Mutu Mie ... 27

3. Pengaruh Pemasakan dan Pelumuran Minyak Terhadap Mutu Mie ... 28

4. Pengaruh Kondisi Penyimpanan Terhadap Mutu Mie ... 29

5. Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet Terhadap Mutu Mie ... 30

6. Pengaruh Penggunaan Pengawet Terbaik dalam Konsentrasi Rendah Terhadap Mutu Mie ... 32

7. Kombinasi Perlakuan Terbaik untuk Pembuatan Mie ... 32

C. PENGAMATAN... 33

1. Mutu Fisik ... 33

a. Uji kekerasan, kelengketan, dan elastisitas ... 33

b. Pengukuran warna... 34

2. Mutu Kimia ... 35

a. Aktivitas air (Aw) ... 35

b. Derajat keasaman (pH)... 35

c. Total asam tertitrasi (TAT) (Apriyantono et al., 1989) ... 35

3. Mutu Mikrobiologis (Fardiaz, 1992)... 35

4. Mutu Organoleptik (Soekarto, 1985) ... 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH JENIS GARAM ALKALI TERHADAP MUTU MIE .... 38

B. PENGARUH PENAMBAHAN HIDROKOLOID TERHADAP MUTU MIE... 40

(22)

D. PENGARUH KONDISI PENYIMPANAN TERHADAP MUTU MIE ... 47

E. PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGAWET TERHADAP

MUTU MIE... 51

F. PENGARUH PENGGUNAAN PENGAWET TERBAIK DALAM

KONSENTRASI RENDAH TERHADAP MUTU MIE... 54

G. KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK UNTUK PEMBUATAN

MIE ... 56

H. PENGARUH KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK TERHADAP

MUTU MIE... 56 1. Mutu Fisik ... 56 a. Warna ... 56 b. Tekstur ... 58 2. Mutu Kimia ... 59

a. Aktivitas air (Aw) ... 59 b. Derajat keasaman (pH)... 60 c. Total asam tertitrasi (TAT) ... 61 3. Mutu Mikrobiologis ... 61 a. Total mikroba ... 61

b. Total kapang dan khamir... 64 c. Total koliform ... 65 4. Mutu Organoleptik ... 66

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ... 71 B. SARAN ... 73

(23)

DAFTAR TABEL

Hal. Tabel 1. Syarat mutu mie basah ... 4 Tabel 2. Formula mie standar... 26 Tabel 3. Formula perlakuan penambahan garam alkali ... 27 Tabel 4. Konsentrasi humektan yang digunakan dalam formula ... 27 Tabel 5. Formula kombinasi pemasakan dan pelumuran... 28 Tabel 6. Kombinasi perlakuan suhu penyimpanan dan pengemasan... 29 Tabel 7. Kadar maksimum pengawet yang akan diaplikasikan ... 30 Tabel 8. Formula bahan pengawet dengan ADI kombinasi ... 31 Tabel 9. Tahapan penurunan konsentrasi pengawet terbaik ... 32 Tabel 10. Pengaruh penambahan garam alkali terhadap mutu mie ... 39 Tabel 11. Pengaruh penambahan hidrokoloid terhadap mutu mie ... 41 Tabel 12. Kontribusi penambahan hidrokoloid terhadap biaya produksi... 42 Tabel 13. Pengaruh pelumuran minyak terhadap umur simpan dan

kelengketan ... 44 Tabel 14. Pengaruh cara pemasakan terhadap mutu mie ... 46

(24)

DAFTAR GAMBAR

Hal. Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah secara umum... 6 Gambar 2. Struktur molekul karagenan ... 13 Gambar 3. Mekanisme pembentukan gel karagenan ... 14 Gambar 4. Struktur molekul Na-CMC... 16 Gambar 5. Struktur molekul asam propionat ... 19 Gambar 6. Struktur molekul asam sorbat ... 20 Gambar 7. Warna mie dengan garam alkali Na2CO3 dan STPP... 40

Gambar 8. Mie dalam kemasan: (a) LDPE; (b) PP tebal; dan

(c) PP tebal dengan pengemasan vakum... 48 Gambar 9. Pengaruh penambahan berbagai formula pengawet terhadap umur

simpan mie secara subyektif (bau asam)... 53 Gambar 10. Derajat keasaman (pH) mie berdasarkan penambahan berbagai

formula pengawet... 54 Gambar 11. Pengaruh penurunan konsentrasi pengawet terbaik terhadap umur

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal. Lampiran 1. Skema tahapan penelitian secara umum ... 80 Lampiran 2. Spesifikasi hidrokoloid: CMC ... 81 Lampiran 3. Spesifikasi hidrokoloid: gum Arab ... 82 Lampiran 4. Spesifikasi hidrokoloid: karagenan ... 83 Lampiran 5. Spesifikasi pengawet: Kalsium Propionat... 84 Lampiran 6. Spesifikasi pengawet: Kalium Sorbat ... 85 Lampiran 7. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan garam alkali ... 86 Lampiran 8. Uji T terhadap tekstur mie dengan perlakuan garam alkali ... 86 Lampiran 9. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan garam alkali ... 87 Lampiran 10. Uji T terhadap warna mie dengan perlakuan garam alkali ... 88 Lampiran 11. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid ... 88 Lampiran 12. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan

hidrokoloid ... 89 Lampiran 13. Uji lanjut Tukey terhadap tekstur mie dengan perlakuan

hidrokoloid ... 89 Lampiran 14. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan hidrokoloid... 90

Lampiran 15. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan

hidrokoloid ... 91 Lampiran 16. Uji lanjut Tukey terhadap warna mie dengan perlakuan

hidrokoloid ... 91 Lampiran 17. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan pemasakan ... 91 Lampiran 18. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan

pemasakan ... 92 Lampiran 19. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie dengan perlakuan

pemasakan ... 92 Lampiran 20. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan pemasakan ... 93 Lampiran 21. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan

pemasakan ... 93 Lampiran 22. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie dengan perlakuan

(26)

Lampiran 25. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kontrol selama

penyimpanan ... 94 Lampiran 26. Hasil analisis warna mie kombinasi terbaik selama

penyimpanan ... 94 Lampiran 27. Analisis ragam warna mie kombinasi terbaik selama

penyimpanan ... 95 Lampiran 28. Uji lanjut Tukey warna mie kombinasi terbaik selama

penyimpanan ... 95 Lampiran 29. Hasil analisis tekstur mie kontrol selama penyimpanan ... 95 Lampiran 30. Analisis ragam tekstur mie kontrol selama penyimpanan ... 96 Lampiran 31. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kontrol selama

penyimpanan ... 96 Lampiran 32. Hasil analisis tekstur mie kombinasi terbaik selama

penyimpanan ... 96 Lampiran 33. Analisis ragam tekstur mie kombinasi terbaik selama

penyimpanan ... 97 Lampiran 34. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kombinasi terbaik selama

penyimpanan ... 97 Lampiran 35. Hasil analisis aktivitas air (aw ) mie ... 97

Lampiran 36. Hasil analisis derajat keasaman (pH) mie ... 98 Lampiran 37. Analisis ragam pH mie kontrol ... 98 Lampiran 38. Uji lanjut Tukey tehadap pH mie kontrol ... 98 Lampiran 39. Analisis ragam pH mie kombinasi terbaik ... 98 Lampiran 40. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kombinasi terbaik ... 99 Lampiran 41. Hasil analisis mikrobiologi mie kontrol... 99 Lampiran 42. Hasil analisis mikrobiologi mie kombinasi terbaik... 99 Lampiran 43. Scoresheet uji organoleptik ... 100 Lampiran 44. Skor uji hedonik mie kombinasi terbaik ... 101 Lampiran 45. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut warna . 102 Lampiran 46. Skor uji hedonik Mie kontrol skala laboratorium atribut aroma. 103 Lampiran 47. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut tekstur 104 Lampiran 48. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut rasa... 105 Lampiran 49. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium secara106

(27)
(28)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menurut Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Anonim, 1996). Namun ironisnya, masyarakat Indonesia beberapa bulan terakhir ini telah diguncang oleh masalah penggunaan formalin dalam beberapa jenis bahan pangan, antara lain mie basah, bakso, tahu, ikan asin, dan ayam potong. Selain penggunaan formalin, tidak sedikit produsen mie yang juga menambahkan boraks, yang merupakan bahan campuran untuk kuningan dan bahan las, kedalam produknya untuk memperbaiki tekstur menjadi jauh lebih kenyal. Masalah keamanan pangan ini tidak dapat dihindari lagi walaupun sudah ada peraturan yang melarang penggunaan kedua bahan tersebut. Larangan penggunaan formalin dan boraks untuk bahan pangan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No. 722/MenKes/Per/IX/88.

Mie basah merupakan makanan yang populer dalam diet masyarakat Indonesia. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Produsen mie basah telah menjamur di seluruh kawasan Indonesia, terutama dalam bentuk industri kecil dan industri rumah tangga. Hal tersebut tidaklah mengherankan jika kita mengingat mudahnya cara pengolahan mie basah yang hanya melibatkan teknologi sederhana. Untuk industri kecil yang hanya memiliki modal kecil dan dikelola secara tradisional, teknologi pembuatan mie basah tidaklah menjadi masalah, namun mutu mie basah yang dihasilkan akan bervariasi tergantung kondisi sanitasinya.

(29)

suhu ruang, berdasarkan terdeteksinya bau asam dan lendir. Kerusakan yang terjadi disebabkan oleh kontaminasi mikroba selama proses produksi dan kerusakan selama pengangkutan atau distribusi. Penggunaan bahan tambahan ilegal, seperti formalin, untuk meningkatkan umur simpan pada mie basah masih banyak dilakukan oleh para produsen.

Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan (2005) menunjukkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal, yaitu formalin ataupun boraks. Perinciannya adalah 13 industri (76,47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94,12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70,59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23,53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5,88%) yang menggunakan formalin saja. Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di pasar tradisional Jabotabek adalah 106,00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2914,36 mg/kg (mie basah matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72,93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3423,51 mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket Jabotabek mengandung formalin 113,45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2914,82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005).

Mengingat banyaknya penyalahgunaan yang terjadi, maka diperlukan usaha-usaha untuk memproduksi mie basah yang aman dikonsumsi oleh masyarakat. Usaha yang dapat dilakukan adalah mencari alternatif bahan pengawet selain formalin yang aman digunakan dan mengaplikasikan praktek pengolahan yang sesuai dengan prinsip Cara Pengolahan Pangan yang Baik (CPPB).

B. TUJUAN PENELITIAN

(30)

dan optimasi bahan pengawet yang diizinkan terhadap mutu mie basah matang, khususnya dalam hal umur simpan.

C. MANFAAT PENELITIAN

(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MIE BASAH 1. Definisi Mie

Mie merupakan produk pasta yang pertama kali ditemukan oleh bangsa China yang berbahan baku beras dan tepung kacang-kacangan (Pagani, 1985). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Kualitas mie basah menurut SNI 01-2987-1992 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu mie basah*

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan :

3. Kadar abu (dihitung atas

dasar bahan kering) % b/b Maks. 3

4. Kadar protein ((N x 6.25) dihitung atas dasar bahan kering)

% b/b Min. 3

(32)

2. Jenis Mie

Mie diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, diantaranya ukuran diameter produk, bahan baku, cara pengolahan, dan karakterisitik produk akhirnya. Berdasarkan ukuran diameter produk, Pagani (1985) membedakan mie menjadi tiga, yaitu spaghetti (0,11 – 0,27 inci), mie (0,07 – 0,125 inci), dan vermiselli (<0,04 inci). Berdasarkan bahan bakunya, terdapat dua macam mie, yaitu mie yang bahan bakunya berasal dari tepung terutama tepung terigu dan mie transparan (transparance noodle) dari bahan baku pati, misalnya soun dan bihun.

Berdasarkan pengolahannya, mie dibedakan menjadi mie mentah (misalnya mie ayam) dan mie matang (misalnya mie bakso). Sedangkan berdasarkan karakterisitik produk akhirnya, terdapat dua jenis mie, yaitu mie basah (mie ayam dan mie kuning) dan mie kering (mie telor dan mie instan). Produk mie kering dan mie basah memiliki komposisi yang hampir sama. Yang membedakan keduanya ialah kadar air, kadar protein, dan tahapan proses pembuatan. Mie basah memiliki kadar air maksimal 35% (b/b) dan sumber prtoteinnya berasal dari tepung terigu yang menjadi bahan baku utamanya. Jenis mie basah dengan bahan baku tepung aren biasa disebut masyarakat dengan mie “gleser” (Badrudin, 1994).

3. Proses Pengolahan Mie Basah

(33)

terhadap enzim α-amilase jika aktivitasnya sedang minimum (Sunaryo, 1985).

Proses pembuatan mie basah matang terdiri dari proses pencampuran, pembentukan lembaran, pembentukan mie, serta pemasakan (Gambar 1).

Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah secara umum (modifikasi dari Widowati dan Buckle (1991)).

Tahap pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air, dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses pencampuran adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan sekitar 28-38% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari

Terigu

Mie basah matang Pengadukan

Pemotongan

Perebusan 100 oC, 2 menit

Pemberian minyak goreng pada air rebusan Pembentukan lembaran

(34)

28%, adonan menjadi keras, rapuh dan sulit dibentuk menjadi lembaran. Jika air yang ditambahkan lebih dari 38%, adonan menjadi basah dan lengket (Oh et al., 1985 di dalam Yustiareni, 2000). Badrudin (1994) menyatakan bahwa waktu pengadukan terbaik adalah 15 sampai 25 menit. Apabila kurang dari 15 menit adonan menjadi lunak dan lengket, sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh, dan kering. Suhu adonan yang terbaik adalah 25 sampai 40oC. Apabila suhunya kurang dari 25oC adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar, sedangkan bila suhunya lebih dari 40oC adonan menjadi lengket dan mie kurang elastis. Campuran yang diharapkan adalah lunak, lembut, tidak lengket, halus, elastis, dan mengembang dengan normal.

Setelah pengadukan, dilakukan pembentukan lembaran (sheeting). Proses pembentukan lembaran bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan jalan melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam. Faktor yang mempengaruhi proses ini adalah suhu dan jarak antara roll. Suhu yang baik adalah sekitar 37oC, jika kurang 37oC maka adonan akan menjadi kasar dan pecah-pecah, sehingga mie mudah patah. Hasil akhir yang diharapkan adalah lembaran adonan yang halus dengan arah jalur serat yang searah, sehingga dihasilkan mie yang elastis, kenyal, dan halus (Badrudin, 1994).

(35)

granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada posisi semula (Winarno, 1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat memberikan kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya rehidrasi mie (Badrudin, 1994).

Penguapan air permukaan terjadi pada tahap solidifikasi sehingga mie menjadi halus, kering, dan solid (kompak). Pati akan meliputi permukaan mie pada saat mie tergelatinisasi. Fungsinya adalah sebagai pelindung pada saat penggorengan sehingga mie tidak menyerap minyak terlalu banyak dan tekstur mie menjadi lembut, lunak, dan elastis. Selain itu, pemborosan minyak pun dapat dikurangi. Tingkat kematangan mie dapat dilihat dari pati yang tergelatinisai. Bila proses gelatinisasi tidak sempurna, maka mie matang akan bersifat rapuh. Selain itu, bila produk dimasak dalam air, maka air akan menjadi keruh karena larutnya pati yang belum tergelatinisasi. Mie seperti ini saat digoreng akan membentuk gelembung udara dan tekstur mie yang terbentuk kurang baik.

Tahap terakhir adalah pemberian minyak goreng. Pelumasan mie yang telah direbus dengan minyak goreng dilakukan agar mie tidak menjadi lengket satu sama lain, untuk memberikan citarasa, serta agar mie tampak mengkilap (Mugiarti, 2001).

B. KERUSAKAN MIE

Mie matang merupakan mie basah mentah yang telah direbus terlebih dahulu dan memiliki kadar air sekitar 52%. Mie basah matang memiliki aw

sebesar 0,97 dan pH sebesar 9,20 (Pahrudin, 2006). Berdasarkan Fardiaz (1992), makanan dengan kadar air dan pH relatif tinggi (pH > 5,3) dikelompokkan sebagai makanan yang mudah rusak. Kadar air dan aw yang

tinggi menyebabkan mie basah riskan mengalami kerusakan jika simpan pada suhu ruang seperti yang umum dilakukan oleh penjual mie di pasaran.

(36)

menyebabkan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pangan tersebut. Adanya aktivitas mikroorganisme pembentuk asam ditandai dengan terdektesinya bau asam pada mie basah yang telah rusak. Beberapa bakteri aerobik pembentuk spora yang dapat memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kondisi kadar air yang tinggi dengan memanfaatkan terigu dan olahannya sebagai sumber energi. Pada kondisi kadar air lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang ditandai dengan pembentukkan miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali dengan adanya spora berwarna hitam (Jay, 2000).

Kerusakan pada mie basah matang yang direbus terlebih dahulu terjadi setelah penyimpanan suhu kamar selama 26 jam dengan indikator adanya lendir dan bau asam (Pahrudin, 2006). Mie yang bermutu baik pada umumnya berwarna putih atau kuning terang. Perubahan warna tidak terjadi, karena perebusan dapat merusak enzim polifenoloksidase (Hoseney, 1998). Hasil survei terhadap mie basah matang oleh Gracecia (2005) menunjukkan bahwa ciri-ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam, tekstur menjadi lengket, berlendir, lembek, atau mie menjadi hancur. Karena mie basah matang cepat mengalami kerusakan atau kebusukan, banyak usaha dilakukan untuk memperpanjang umur simpan dengan penambahan bahan pengawet.

C. GARAM ALKALI

Garam alkali memiliki peranan yang sangat penting dalam pembuatan mie. Mie tidak akan jadi jika tidak menggunakan garam alkali. Masyarakat kita sebenarnya kurang familiar dengan istilah garam alkali. Umumnya, garam alkali lebih mereka kenal dengan istilah obat mie atau “kansui”.

Garam alkali yang biasa digunakan dalam produk mie adalah natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3) dan kalium polifosfat

(KH2PO4). Garam alkali ini dapat ditambahkan masing-masing atau

(37)

tekstur mie. Konsentrasi Na2CO3 yang ditambahkan dalam formula mie basah

pada penelitian sebelumnya oleh Pahrudin (2006) adalah sebanyak 0,6% sesuai dengan formula Bogasari. Formula mie dengan penambahan Na2CO3

0,6% dijadikan sebagai formula standar dalam penelitian ini. Kalium karbonat berfungsi untuk meningkatkan sifat kekenyalan mie dan KH2PO4 untuk

meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie.

Sodium tripolifosfat atau STPP digunakan sebagai bahan pengikat air agar air dalam adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan tidak cepat mengering dan mengeras. Sodium tripolifosfat dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan boraks pada mie basah yang sekarang kasusnya sedang marak di pasaran. Kelebihan STPP dibandingkan boraks adalah STPP aman untuk digunakan dalam makanan dan penggunaannya diatur dalam Permenkes No. 722/MenKes/Per/IX/1988. Penambahan STPP dengan konsentrasi 0,1% sampai 0,2% dalam formula mie sudah cukup bagus untuk memberikan kekenyalan.

D. HIDROKOLOID

Humektan adalah senyawa kimia yang bersifat higroskopis dan mampu menurunkan aw bahan pangan. Humektan juga bersifat antimikroba,

memperbaiki tekstur, citarasa, dan dapat meningkatkan kalori (Labuza, 1975). Lebih lanjut Labuza (1975) menjelaskan bahwa ada tiga jenis humektan. Pertama, humektan yang memiliki kemampuan menurunkan aw; kedua,

humektan yang dapat mempertahankan kadar air; dan ketiga, humektan dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Salah satu contoh humektan adalah hidrokoloid.

(38)

difokuskan untuk membentuk tekstur daripada sebagai pengikat air bebas dalam bahan.

Berdasarkan klasifikasinya, hidrokoloid dibagi menjadi 3 jenis, yaitu hidrokoloid alami, hidrokoloid modifikasi, dan hidrokoloid sintetis. Gum Arab termasuk hidrokoloid alami hasil eksudat sedangkan karagenan adalah hidrokoloid alami hasil ekstraksi rumput laut. Hidrokoloid alami hasil ekstraksi tanaman adalah pektin. Xanthan gum merupakan hidrokoloid alami hasil fermentasi bakteri. Contoh hidrokoloid hasil modifikasi adalah CMC (Fardiaz, 1989).

Hidrokoloid sangat berperan dalam industri pangan karena hidrokolid memiliki banyak fungsi dalam pengolahan pangan. Hidrokoloid dapat digunakan sebagai perekat, pengikat air, penghambat kristalisasi es, pengeruh, pengemulsi, pembentuk gel, penghambat sineresis, dan pengental dalam produk pangan (Fardiaz, 1989). Berdasarkan fungsinya yang dapat mengikat air, hidrokoloid memiliki kemampuan untuk menurunkan kandungan air bebas dalam bahan pangan (Garbutt, 1997). Kandungan air bebas dalam bahan pangan disebut sebagai aktivitas air (aw). Nilai aw bahan pangan merupakan

salah faktor penting untuk kelangsungan hidup mikroba.

Jika suatu hidrokoloid membentuk gel untuk menghasilkan suatu tekstur yang diinginkan dalam bahan pangan, secara langsung hal ini dapat menurunkan nilai aw pangan tersebut, walaupun penurunnya tidak akan terlalu

signifikan karena hidrokoloid biasanya digunakan dalam kadar yang sangat rendah, yaitu sekitar 1% dari berat bahan pangan. Jika hidrokoloid ini membentuk gel, maka sebagian air bebas dalam bahan pangan akan terikat sehingga nilai aw akan turun dan jumlah air bebas yang dapat dipakai oleh

mikroba untuk hidup akan berkurang juga. Belum ada penelitian yang menunjukkan secara pasti besar penurunan nilai aw oleh gum Arab, karagenan,

dan CMC, yang akan digunakan sebagai hidrokoloid dalam penelitian ini.

1. Gum Arab

(39)

atas unit-unit L-arabinosa, L-rhamnosa, galaktosa dan asam D-glukoronat, serta sejumlah kecil protein (2%). Proporsinya bervariasi tergantung pada spesies Acacia. Gum Arab memiliki rantai utama yang tersusun dari β-D-galaktopiranosil yang berikatan dengan ikatan 1→3 (Belitz dan Grosch, 1987). Gum Arab secara alami merupakan campuran kalsium, magnesium, dan garam-garam kalium dari asam arab (Glicksman, 1983).

Gum Arab sangat larut dalam air. Kelarutan gum Arab dalam air sangat tinggi bila dibandingkan dengan hidrokoloid lainnya. Gum Arab dapat larut sampai konsentrasi sekitar 55%, sedangkan gum lainnya tidak dapat larut dalam air pada konsentrasi lebih besar dari 5%. Konsentrasi gum yang tinggi memberikan stabilisasi yang baik (Fardiaz, 1989).

Kekentalan larutan akan meningkat pada penambahan gum Arab dengan konsentrasi yang sangat tinggi. Sifat ini sangat berbeda dengan jenis polisakarida lainnya, dimana penambahan konsentrasi yang rendah akan menghasilkan larutan yang kental. Kekentalan maksimum yaitu pada konsentrasi 40-50% pada pH 4,5-5,5. Pada pH kurang dari 4,5 dan lebih besar dari 5,5 menyebabkan kekentalannya rendah (Fardiaz, 1989). Menurut Whistler dan Miller (1973), viskositas rata-rata gum Arab pada konsentrasi sebesar 1% adalah 2,015.

Kegunaan gum Arab dalam industri pangan antara lain sebagai

emulsifier dan stabilizer dalam produk-produk hasil pemanggangan. Selain itu, gum Arab ini juga dapat menghambat proses kristalisasi gula dan pemisahan lemak pada produk-produk confectionery dan es krim. Gum Arab juga digunakan sebagai pengikat flavor pada produksi konsentrat aroma dalam bentuk kapsul ataupun bubuk. Sebagai contoh, minyak esensial diemulsifikasi dengan larutan gum Arab lalu dikeringkan dengan

(40)

2. Karagenan

Karagenan merupakan hidrokoloid dari rumput laut yang paling penting dalam produk pangan. Karagenan terdiri dari ester-ester kalium, natrium, magnesium, kalsium, dan amonium sulfat dari polimer galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktosa. Heksosa-heksosa ini secara bergantian terikat dalam polimer melalui ikatan gliko α-1,3 dan β-1,4. Kandungan ester sulfat karagenan berkisar antara 18-40%. Chapman dan Chapman (1980) menyatakan bahwa karagenan merupakan suatu polimer polisakarida yang tersusun dengan ikatan α-1,3 dan β-1,4 D-Galaktopiranosa.

Polimer karagenan terdiri dari galaktosa dan dibedakan atas tiga fraksi utama yaitu - (lambda), - (iota), dan - (kappa) karagenan (Gambar 2). Ketiga fraksi tersebut dibedakan berdasarkan gugus ester sulfat dan kandungan 3,6-anhidrogalaktosanya. Fraksi kappa-karagenan dan iota-karagenan dapat membentuk gel, sedangkan fraksi lamda-karagenan tidak dapat membentuk gel. Kandungan ester sulfat dalam kappa-karagenan sebesar 25-30%, dalam iota-karagenan sebesar 28-35%, dan dalam lamda-karagenan sebesar 32-39%.

(a) (b) (c)

Gambar 2. Struktur molekul karagenan: (a) kappa-; (b) iota-; dan (c) lamda-karagenan (Nussinovitch, 1997)

(41)

Berbeda dengan kappa karagenan, iota karagenan terbentuk dari - (nu) karagenan, yang terdiri dari ikatan ikatan 1,3 D-galaktosa-4-sulfat dan ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat. Sama seperti kappa karagenan, dengan menghilangkan sulfat pada C6 dari -karagenan maka terbentuklah 3,6-anhidro-D-galaktosa yang selanjutnya menjadi iota karagenan (Gliksman, 1983).

Whistler dan Miller (1973) mengemukakan bahwa kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis karagenan, pengaruh ada tidaknya ion, suhu, pH, dan komponen organik larutan. Selain itu, kelarutan karagenan juga dipengaruhi oleh adanya gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa dan sulfat ester. Karagenan umumnya larut dalam air panas (>70oC). Dalam air dingin, hanya lamda karagenan dan garam natrium dari kappa dan iota karagenan yang larut (Glicksman, 1983).

Viskositas terjadi pada saat dispersi karagenan dengan air. Viskositas ini tergantung pada konsentrasi larutan, suhu, jenis karagenan, dan molekul terlarut lainnya. Jika konsentrasi larutan karagenan meningkat, maka viskositas juga meningkat secara logaritmik. Viskositas larutan karagenan menurun dengan naiknya suhu dan perubahan ini bersifat reversible.

Kappa dan iota karagenan mempunyai kemampuan untuk membentuk gel pada saat larutan panas dibiarkan menjadi dingin, karena mengandung gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa. Proses ini juga bersifat

(42)

Gambar 3. Mekanisme pembentukan gel karagenan (Rees, 1969)

Produk karagenan paling stabil pada pH netral dan alkali. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari iakatan gliko yang mengakibatkan kehilangan viskositas dan potensi untuk membentuk gel, yang dipercepat oleh adanya panas (Moirano, 1977). Namun pada kenyataannya, suatu gel terbentuk pada pH di bawah 7 dan hidrolisis terjadi tidak lama kemudian, sehingga gel dapat tetap stabil (Glicksman, 1983).

Di Amerika Serikat, karagenan memiliki status GRAS dan diakui sebagai BTP (21 CFR 172.620) oleh FDA. Di Eropa, karagenan juga telah diakui sebagai BTP dengan E number E407. Kurang lebih 80% produksi karagenan digunakan dalam industri makanan, farmasi, dan kosmetik (Whistler dan Miller, 1973). Karagenan dapat diaplikasikan pada berbagai produk sebagai pembentuk gel atau penstabil, pensuspensi, pembentuk tekstur emulsi, terutama pada produk-produk jeli, jamu, saus, permen, sirup, puding, dodol, salad dressing, gel ikan, nugget, produk susu, bahkan juga untuk industri kosmetik, tekstil, cat, obat-obatan, dan pakan ternak (Suptijah, 2002). Karagenan dapat menghambat pembentukan kristal es pada produk makanan yang dibekukan. Pada umumnya, penggunaan karagenan dikombinasikan dengan CMC (Sodium Carboxy Methyl Cellulose), locust bean gum, guaran, atau beberapa jenis bahan penstabil lainnya (Arbuckle, 1986).

3. CMC

(43)

merupakan turunan dari selulosa yang memiliki bentuk linear. Monomer penyusunnya merupakan glukosa dengan substituen berupa karboksimetil eter (Fennema, 1985). CMC ini diperoleh dengan cara menambahkan asam kloroasetat pada selulosa. Struktur molekul CMC dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur molekul Na-CMC (Nussinovitch, 1997)

Kelarutannya dalam air cukup tinggi. Karakteristik produknya tergantung pada derajat substitusi dan polimerisasi. Jenis yang memiliki derajat substitusi rendah tidak larut dalam air tetapi larut dalam basa, sedangkan jenis yang memiliki derajat substitusi tinggi larut di dalam air. Viskositas CMC dipengaruhi oleh suhu dan pH. Pada pH kurang dari 5,0, viskositasnya akan menurun, sedangkan CMC sangat stabil pada pH antara 5-11. CMC memiliki viskositas maksimum dan stabilitas yang paling baik pada pH 7-9 (Whistler dan Miller, 1973). CMC dapat larut dalam air panas dan air dingin (Glicksman, 1983).

CMC merupakan turunan selulosa yang paling banyak digunakan sebagai hidrokoloid pangan. Fungsi dasarnya adalah untuk mengikat air atau memberikan kekentalan sehingga dapat memantapkan komponen lainnya atau mencegah sineresis. CMC biasanya dikombinasikan dengan gelatin, pektin, atau gum biji lokus. Kapasitas pengikatan airnya tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam makanan-makanan dietetik.

(44)

terbukti baik untuk mengembangkan adonan dalam formulasi roti dari tepung beras (Nishita, et. al, 1976).

Penting untuk diperhatikan bahwa jika CMC yang ditambahkan terlalu banyak maka akan menyebabkan adonan mie tidak mengembang penuh, tekstur mie menjadi keras, dan daya rehidrasi berkurang. Keuntungan penggunaan CMC adalah pada pH tinggi kekentalannya akan meningkat (Fardiaz, 1989). Jika kekentalan meningkat berarti jumlah air bebas dalam bahan akan menurun sehingga akan menghambat pertumbuhan mikroba perusak.

E. BAHAN PENGAWET

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah senyawa atau campuran berbagai senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan utama (Anonim, 1996). Menurut Codex Alimentarus di dalam Branen dan Haggerty (2002), BTP didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi (ingredient) khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan kedalam pangan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan pangan (termasuk organoleptik) baik dalam proses pembuatan, pengolahan, persiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan, dan penyimpanan produk pangan olahan, agar menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu pangan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas pangan tersebut.

(45)

Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasam, dan peruraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Departemen Kesehatan, 1988). Jenis bahan pengawet yang paling sering diaplikasikan kedalam bahan pangan adalah asam organik. Selain lebih aman karena umumnya buah-buahan juga menghasilkan asam organik secara alamiah, asam organik banyak digunakan karena kinerja antimikrobanya. Asam organik merupakan asam lipofilik lemah yang mudah berinteraksi dengan komponen lemak yang menyusun bagian membran sel mikroba. Asam organik akan menembus membran sel dalam bentuk tidak terdisodiasi untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau dapat membunuh mikroba. Setelah berada dalam sitoplasma yang memiliki pH netral sekitar 7, bentuk tidak berdisoasi ini akan terdisosiasi dan ion H+ yang terbentuk akan menurunkan pH sitoplasma sehingga kesetimbangan dalam sel mikroba menjadi kacau.

Bentuk asam organik yang tidak terdisosiasi dapat diperoleh dengan menggunakan bentuk garam dari asam organik tersebut karena bentuk garam asam organik ini lebih dapat mempertahankan bentuk tidak berdisosiasi dan biasanya bentuk garam lebih mudah larut dalam air. Selain itu, informasi mengenai pKa penting untuk diketahui sebelum asam organik ini diaplikasikan sebagai pengawet. Garbutt (1997) mendefinisikan pKa sebagai nilai pH pada saat suatu pengawet terdisosiasi sebanyak 50%. Semakin tinggi nilai pKa maka semakin luas spektrum penggunaan suatu asam organik untuk dapat digunakan sebagai pengawet.

Pemilihan antimikroba yang tepat tergantung pada beberapa faktor meliputi zat antimikroba dan zat kimia yang terkandung, komposisi produk pangan, sistem pengawetan selain bahan kimia yang digunakan pada produk, tipe, karakteristik, dan jumlah mikroorganisme, keamanan antimikroba dan efektivitas biaya penggunaan antimikroba. Pengawet kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah kalsium propionat, kalium sorbat, dan natrium asetat.

1. Propionat dan Garamnya

(46)

(Gambar 2) umum digunakan sebagai penghambat kapang. Kalsium propionat (C6H10CaO4/Ca(CH3CaH2COO)2) bersifat larut dalam air,

sedikit larut dalam air, sedikit larut dalam metanol dan etanol, namun tidak larut dalam aseton dan benzena. Memurut Merck Index (1989), kalsium propionat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan kapang dan mikroorganisme lain pada industri pangan, tembakau dan farmasi.

Gambar 5. Struktur molekul asam propionat (Anonim, 1999a)

Menurut Desrosier (1977), natrium atau kalsium propionat biasa digunakan pada industri pangan untuk menghambat kapang dan khamir pada produk roti, mentega, selai, jeli, keju, dan produk olahan lain yang tidak tahan lama. Efektivitasnya optimal pada pH 5-6 dan menurun dengan meningkatnya pH. Propionat memiliki pKa 4,87 bentuk aktif sebagai asam propinat yang tidak terdisosiasi (Samelis dan Sofos, 2003). Toksisitasnya terhadap mikroba adalah karena mikroba tidak mampu memetabolisme tiga rantai karbon dari asam propionat.

FDA menyatakan propionat sebagai Generally Recognized As Safe

(GRAS) dalam 21 CFR 184.1221 dengan nilai Acceptable daily Intake

(ADI) sebesar 0-20 mg/kg berat badan. Propionat dalam bentuk garam kalsiumnya digunakan dengan konsentrasi sekitar 0,1-0,4% dan untuk produk dengan bahan dasar tepung digunakan sebesar 0,32% (CNFP, 2002a). Di Indonesia, asam dan kalsium propionat digunakan pada sediaan keju olahan dengan batas maksimum penggunaan 3 g/kg tunggal atau campuran dengan asam sorbat dan garamnya, sedangkan pada roti batas maksium penggunaannya adalah 2 g/kg.

2. Sorbat dan Garamnya

Asam sorbat yang memiliki rumus C6H8O2 (Gambar 3) merupakan

(47)

Sorbat memiliki nilai pKa 4,76 (Samelis dan Sofos, 2003). Ikatan ganda terkonjugasi asam sorbat juga reaktif dan mungkin mempengaruhi aktivitas antimikrobanya dan kualitas serta keasaman produk pangan. Secara komersil asam sorbat tersedia dalam bentuk garamnya termasuk kalsium, natrium, dan natrium sorbat.

Gambar 6. Struktur molekul asam sorbat (Anonim, 1999b)

Menurut Desrosier (1977), asam sorbat efektif dalam mengontrol pertumbuhan kapang pada keju, margarin, dan daging. Bahkan pada margarin penambahan asam sorbat lebih efektif dibanding dengan penambahan asam benzoat sebagai pengawet. Mekanisme penghambatan asam sorbat pada kapang yaitu dengan menghambat sistem enzim dehidrogenase pada kapang. Namun efektivitas asam sorbat hanya terlibat apabila kapang yang tumbuh dalam jumlah kecil. Pada tingkat pertumbuhan kapang yang tinggi, pengaruh asam sorbat sebagai penghambat tidak jelas terlihat (Desrosier, 1977).

Sorbat dalam bentuk garamnya digunakan dengan konsentrasi sekitar 0,025-0,1% untuk produk roti, kue, keju, pie, dan yoghurt (CNFP, 2002b). konsentrasi maksimum yang diijinkan di Amerika Serikat adalah 0,1%. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/ Menkes/Per/IX/88, kalium sorbat digunakan pada sediaan keju olahan dengan batas maksimum 3 g/kg, pada produk keju, margarin, acar ketimun dalam botol, selai dan jeli, serta pekatan sari nenas batas maksimum penggunaannya sebesar 1g/kg, sedangkan pada aprikot yang dikeringkan dan marmalad penggunaan kalium sorbat yang diizinkan sebanyak 500 mg/kg.

3. Natrium Asetat

(48)

etoksietan serta sedikit larut dalam etanol. Natrium asetat merupakan garam dari basa kuat dan asam lemah sehingga dapat diaplikasikan sebagai

buffer pada produksi petroleum, elastomer, dan sebagai pengawet.

Natrium asetat lebih efektif terhadap khamir dan bakteri dibandingkan dengan kapang. Asetat memiliki nilai pKa 4,75 (Samelis dan Sofos, 2003). Natrium asetat dapat digunakan dalam saos, mayonaise,

acid-pickle vegetable, roti dan produk bakery lainnya (Belitz dan Grosch, 1999). Sebagai pengawet kimia, natrium asetat digolongkan dalam GRAS dengan ADI tidak terbatas oleh FDA. Batas maksimum Na-asetat yang masih aman dikonsumsi berdasarkan CODEX adalah 0,6% atau 6000 ppm.

F. KONDISI PENYIMPANAN 1. Penyimpanan Suhu Rendah

Penyimpanan pada suhu rendah (di bawah 15oC) merupakan salah satu cara untuk mengawetkan bahan pangan. Suhu rendah dapat menghambat aktivitas enzim dan reaksi-reaksi kimia, serta menghambat atau menghentikan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme dalam makanan. Faktor yang perlu diperhatikan pada penyimpanan suhu rendah adalah penggunaan suhu yang paling tepat. Semakin rendah suhu yang digunakan maka semakin lambat terjadi reaksi kimia, aktivitas enzim, dan pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al., 1987). Penyimpanan suhu rendah dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya, proses penuan karena adanya proses pemasakan, pelunakan, perubahan warna dan tekstur, kehilangan air, kerusakan karena bakteri, kapang, dan khamir (Fellers, 1955).

(49)

tidak terjadi pada bakteri psikrofilik, yaitu bakteri yang dapat hidup pada suhu (– 7)oC hingga 10oC.

Kebanyakan bakteri psikrofilik yang terdapat dalam makanan termasuk dalam genus Pseudomonas, dan beberapa termasuk dalam genus

Acinetobacter, Alkaligenes, dan Flavobacterium. Kapang yang sering tumbuh pada makanan yang disimpan pada suhu rendah antara lain termasuk dalam genus Penicillium, Cladosporium, Botrytis, dan

Geotrichum, sedangkan khamir yang mungkin tumbuh adalah genus

Deberiomyces, Torulopsis, Candida, Rhodotorula, dan beberapa jenis lainnya (Fardiaz, 1992).

2. Pengemasan

Pengemasan pangan dilakukan untuk melindungi produk dari lingkungan sekitarnya dalam rangka peningkatan mutu simpan. Pengemasan vakum adalah sistem pengemasan dengan gas hampa (tekanan kurang dari 1 atm) dengan mengeluarkan oksigen dari kemasan (Syarief et al., 1989). Pengemasan vakum dilakukan dengan memasukkan produk ke dalam plastik, diikuti dengan pemompaan udara keluar kemudian ditutup dan setelah itu direkatkan dengan panas.

Ketersediaan oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Jamur atau kapang bersifat aerobik (memerlukan oksigen) sedangkan khamir dapat bersifat aerobik atau anaerobik tergantung pada kondisinya (Fardiaz, 1992). Kandungan oksigen yang rendah dalam kemasan terbukti mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Patersen et al. (1999) melaporkan bahwa rendahnya oksigen yang terdapat dalam kemasan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan mikroba dari genus Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter,

Flavobacterium dan Cytophaga.

Gambar

Tabel 1. Syarat mutu mie basah*
Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah secara umum (modifikasi dari Widowati dan Buckle (1991))
Gambar 2. Struktur molekul karagenan: (a) kappa-; (b) iota-; dan
Gambar 3. Mekanisme pembentukan gel karagenan (Rees, 1969)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keterlibatan seorang akseptor pria secara sukarela dalam program KB dapat dilihat dari keikutsertaan partisipasi suami dalam menggunakan kontrasepsi dengan kesadarannya

1) Melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan Terbatas maupun usaha Perseroan Terbatas, dan memberi

Hasil pengolahan data mikrotremor dengan metode HVSR ini bersifat subjektif, oleh karena itu untuk menentukan apakah kurva H/V tersebut sudah baik dan dapat benar benar

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa model pembelajaran tidak langsung memiliki pengaruh yang lebih baik dari pada model pembelajaran langsung

Kesiapan subyek penelitian dalam merancang alat evaluasi pada RPP tampak dari pernyataan dalam dokumen CoRe sebagai berikut: Setiap kelompok yang diwakili oleh seorang

Jika dalam spesifikasi teknis yang ditetapkan oleh Pertamina mensyaratkan Pemilik Kapal untuk menyediakan peralatan untuk Ship to Ship (STS) Transfer, maka Pemilik Kapal

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi bahan pembentuk gel kappa karagenan yang terbaik untuk puding instan melalui uji organoleptik, menentukan nilai gizi

Hasil belajar PPKn selama ini lebih banyak membuat siswa pintar menghafal fakta, konsep dan peristiwa, tetapi kering dan tidak bermakna bagi kehidupan riil siswa. Belum tampak wujud