• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Mugiarti (2001), pelumasan mie yang telah direbus dengan minyak goreng dilakukan agar mie tidak menjadi lengket satu sama lain dan agar mie tampak mengkilap. Minyak yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak kelapa sesuai dengan perlakuan pelumuran minyak terbaik yang diperoleh Pahrudin (2006). Dalam penelitian dilakukan dua cara pelumuran minyak yang lazim dilakukan, yaitu penambahan minyak kedalam air rebusan mie sebanyak 10% dari berat air rebusan atau 40% dari berat mie mentah sesuai prosedur standar dan pelumuran minyak sebanyak 10% berat mie mentah setelah perebusan, kemudian diamati umur simpan dan kelengketannya secara subyektif. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan mie dengan penampakan yang lebih baik dan untuk menghemat biaya minyak goreng. Hasil perbandingan perlakuan pelumuran minyak dapat dilihat pada Tabel 13.

Pelumuran minyak dengan prosedur standar cenderung menghasilkan mie yang lengket antar untaian mie satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan karena minyak yang ditambahkan kedalam air rebusan tidak terserap dengan merata pada permukaan mie. Minyak yang ditambahkan dalam air rebusan cenderung berada pada bagian atas air, sehingga pelumuran menjadi tidak merata.

Dalam aplikasinya di industri secara umum, pelumuran dilakukan setelah perebusan mie dengan minyak berlebih. Pelumuran minyak yang dilakukan setelah perebusan memberikan penampakan yang lebih baik dimana untaian-untaian mie cenderung tidak saling lengket, walaupun kadang-kadang masih ditemukan untaian mie yang saling lengket jika pelumuran tidak dilakukan secara merata sebelum mie dingin. Pelumuran ini lebih efisisen dalam hal penggunaan minyak goreng dan tidak mempengaruhi umur simpan mie (Tabel 13). Untuk tahapan selanjutnya dalam penelitian ini, pelumuran minyak yang diaplikasikan dalam prosedur standar adalah pelumuran minyak setelah perebusan dengan minyak kelapa sebanyak 10% dari berat adonan mie mentah.

Tabel 13. Pengaruh pelumuran minyak terhadap umur simpan dan kelengketan Cara pemasakan Pelumuran minyak Umur simpan

(jam) Kelengketan

Dalam air rebusan

(kontrol) 44 +++

Perebusan selama 2 menit

Setelah perebusan 44 +

Keterangan: + : sangat sedikit lengket

++ : sedikit lengket

+++ : lengket

Mie dapat dimasak dengan dua cara, yaitu dengan perebusan dan dengan pengukusan seperti yang umum dilakukan di daerah Makasar. Pemasakan mie bertujuan untuk menggelatinisasi pati dan mengkoagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal. Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakkan granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali ke bentuknya semula (Winarno, 1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat memberikan kelembutan, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya rehidrasi mie (Badrudin, 1994).

Pemilihan waktu pengukusan selama 10 dan 12 menit dilakukan berdasarkan warna dan kematangan mie yang dikukus. Pada awalnya, dilakukan pengukusan selama 10 dan 15 menit. Pengukusan selama 15 menit menghasilkan mie yang berwarna sangat coklat dengan tekstur yang keras. Mie yang dikukus selama 10 menit memberikan penampakan warna yang lebih baik, yaitu kuning agak gelap. Waktu pengukusan dibuat menjadi 12 menit dan diperoleh mie dengan warna kuning sedikit lebih gelap dari mie yang dikukus selama 10 menit. Warna coklat yang terbentuk pada mie kukus berbanding lurus dengan meningkatnya waktu pengukusan. Warna coklat ini diduga terbentuk karena reaksi pencoklatan non-enzimatis, yaitu reaksi Maillard (Maillard, 1912).

Reaksi Maillard terjadi saat gula pereduksi bereaksi dengan senyawa- senyawa yang mempunyai gugus NH2 (protein, asam amino, peptida, atau

amonium) dan terjadi bila bahan dipanaskan atau direhidrasi (Maillard, 1912). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya reaksi Maillard antara lain pH dan aw. Reaksi Maillard berlangsung pada laju yang sangat lambat pada

kondisi asam dan laju reaksi mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya pH dan mencapai maksimum pada pH 10. Kisaran pH mie masuk dalam kisaran tersebut. Menurut Ames dan Apriyantono (1994), pH sangat berpengaruh terhadap pembentukan 2 furfural, terutama pada pemanasan tanpa kontrol pH. Furfural merupakan senyawa penyusun pigmen melanoidin yang membentuk warna coklat.

Reaksi Maillard lebih berpeluang terjadi pada mie kukus karena mie ini memiliki nilai aw yang lebih rendah daripada mie yang direbus. Mie yang

dikukus memiliki nilai aw sekitar 0,945 – 0,950 dimana nilai ini lebih rendah

dibandingkan mie yang direbus yang memiliki nilai aw sebesar 0,97. Labuza

(1975) menyatakan bahwa peluang terjadinya reaksi pencoklatan non- enzimatis meningkat seiring dengan penurunan nilai aw dan mencapai

maksimum pada aw 0,70. Adanya perlakuan penyemprotan awal dengan air

yang meningkatkan kelembaban dan faktor penunjang seperti pH dan aw yang

tidak optimum menyebabkan pencoklatan hanya terjadi sedikit saja. Berdasarkan pertimbangan terhadap warna tersebut, maka mie dengan waktu pengukusan selama 10 dan 12 menit dipilih untuk diuji umur simpannya dan dibandingkan dengan mie kontrol yang dimasak dengan cara direbus.

Cara pemasakan yang berbeda mempengaruhi sifat fisik, khususnya tekstur dan warna, serta umur simpan mie. Pengaruh cara pemasakan terhadap mie yang dihasilkan tertera pada Tabel 14. Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Tukey HSD (Lampiran 18 dan 19), tekstur mie yang dimasak dengan cara direbus (kontrol) berbeda nyata dengan mie yang dikukus untuk kekerasan dan kelengketan pada taraf nyata 95% (p<0,05). Mie yang dikukus memiliki tekstur sangat keras, rapuh atau mudah patah, dan tidak elastis. Bagian inti dari diameter mie yang dikukus cenderung masih mentah karena uap panas tidak dapat mencapai inti dalam waktu pengukusan yang ditentukan. Hal inilah yang menyebabkan mie kukus ini rapuh dan tidak elastis seperti mie yang direbus. Karena permukaannya kering, mie yang dikukus cenderung memiliki nilai kelengketan yang lebih rendah dibandingkan mie yang direbus.

Pengukusan mie menggunakan panci kukus memiliki beberapa kelemahan, antara lain tekstur mie yang dihasilkan tidak seragam dan uap air serta suhu pengukusan tidak dapat dipantau. Panci kukus yang digunakan adalah panci skala rumah tangga dengan diameter tidak terlalu besar (30 – 40 cm). Karena keterbatasan ukuran diameter panci, mie yang dikukus akan bertumpuk-tumpuk saat dikukus sehingga luas permukaan yang kontak dengan uap panas tidak merata. Walaupun telah disemprot dengan air, mie kukus yang dihasilkan tetap memiliki permukaan yang kering. Hal ini menyebabkan tekstur mie kukus yang dihasilkan tidak seragam. Ketidakseragaman ini juga menyebabkan beberapa bagian mie kurang matang dan mie menjadi rapuh atau mudah patah.

Peluang terjadinya ketidakseragaman ini dapat diperkecil dengan menggunakan alat steam yang suplai uap panasnya berasal dari boiler sehingga tekanan uap, kelembaban, dan suhu dapat dipantau agar konstan. Mie yang akan dikukus dengan alat steam diletakkan pada keranjang khusus yang memiliki permukaan cukup luas untuk meletakkan mie tanpa bertumpukkan sehingga permukaan yang terpapar uap lebih merata.

Tabel 14. Pengaruh cara pemasakan terhadap mutu mie

Parameter Direbus (2 menit) Dikukus (10 menit) Dikukus (12 menit)

Umur simpan mie (jam) 44 64 68

Kekerasan (gforce) 3705,3 9065,0 9302,8

Kelengketan (gforce) -661,5 -543,7 -468,9

Elastisitas (gforce) 17,7 – **

Warna (oHue) 84,21 88,84 89,19

Kecerahan (L) 68,91 61,17 58,94

Keterangan: * = Tidak diukur

Mie yang dikukus memiliki warna yang berbeda dengan mie yang direbus. Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Tukey HSD (Lampiran 21 dan 22), kedua sampel mie yang dikukus memiliki warna (oHue dan kecerahan) yang tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) dan kedua sampel mie yang dikukus ini memiliki warna yang berbeda secara nyata dengan mie yang direbus. Mie yang dikukus berada dalam kisaran warna yang sama dengan mie yang direbus, yaitu pada kisaran 54 – 90 oHue

berwarna kuning kemerahan (yellow red). Namun, kedua mie yang dikukus memiliki warna yang lebih gelap. Semakin lama waktu pengukusan akan menghasilkan mie dengan warna yang lebih gelap dan kecoklatan.

Berdasarkan pengamatan subyektif dengan indikator terdeteksinya bau asam, mie yang dikukus memiliki umur simpan yang lebih panjang dari mie yang direbus karena mie yang dikukus memiliki kadar air dan nilai aw yang

lebih rendah. Mie yang dikukus selama 10 menit berdasarkan parameter tekstur, warna, dan umur simpan tidak berbeda nyata dengan mie yang dikukus selama 12 menit. Dari segi ekonomi, mie yang direbus selama 2 menit membebani biaya paling kecil dibandingkan mie yang dikukus. Berdasarkan keunggulan yang dimiliki dalam hal kekerasan, warna, dan biaya produksi, maka mie yang dimasak dengan direbus selama 2 menit dan pelumuran minyak setelah perebusan dipilih sebagai perlakuan cara pemasakan dan pelumuran terbaik yang diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.

D. PENGARUH KONDISI PENYIMPANAN TERHADAP MUTU MIE

Umur simpan mie sangat dipengaruhi oleh cara pengemasan dan kondisi penyimpanannya. Mie dijual di pasaran dengan wadah yang sangat bervariasi. Pada pasar-pasar tradisional, mie dijual dalam kondisi terbuka dengan wadah plastik bening berukuran besar sekitar 20 kilogram, kantong plastik bening atau berwarna, atau diwadahi dengan tampah dari anyaman bambu yang tidak diketahui kondisi sanitasinya. Di pasar swalayan, mie dijual dengan kemasan plastik LDPE atau PP tipis ukuran 1 kilogram dalam keadaan tertutup rapat dan disimpan di lemari pendingin terbuka dengan suhu sekitar 13-17oC.

Mie disimpan pada dua kondisi suhu yang berbeda, yaitu pada suhu ruang dan suhu rendah. Penyimpanan suhu rendah pada awalnya dilakukan dengan menyimpan mie dalam cool room yang memiliki suhu 13 ± 2oC. Mie yang disimpan pada suhu 13 ± 2oC dalam kemasan LDPE dan PP tebal baik dengan atau tanpa vakum memiliki umur simpan selama 10 hari. Indikator kerusakan mie yang disimpan pada suhu 13 ± 2oC adalah munculnya spot-spot berwarna hitam dan oranye yang diduga merupakan koloni bakteri atau kapang. Karena tidak dilakukan identifikasi di bawah mikroskop, maka jenis

mikroba tersebut tidak dapat diketahui. Penyimpan mie pada suhu 13 ± 2oC cukup beresiko terhadap pertumbuhan mikroba mesofilik. Menurut Garbutt (1997), suhu optimum pertumbuhan mikroba mesofilik berkisar antara 28- 43oC, dengan suhu minimum 5oC dan maksimum 52oC. Hal ini menunjukkan ada pertumbuhan mikroba yang kemungkinan tidak terhambat pada suhu 13 ± 2 oC, namun dapat dihambat pada suhu penyimpanan yang lebih rendah.

Kemudian mie disimpan dalam kulkas skala rumah tangga yang memiliki suhu 5 ± 1oC. Kondisi ini berbeda dengan kondisi penyimpanan suhu rendah yang dipraktekkan di pasaran. Prinsip pengemasan vakum pada dasarnya sama dengan pengeliman menggunakan sealer, yang membedakan hanya udara pada kemas vakum dibuat hampa dengan menarik keluar semua udara dalam kemasan. Proses penghampaan ini menyebabkan kemasan dan bahan yang dikemas mengkerut. Perbandingan penampakan sampel dengan dan tanpa pengemasan vakum dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Mie dalam kemasan: (a) LDPE; (b) PP tebal; dan (c) PP tebal dengan pengemasan vakum

Pengaruh kondisi penyimpanan terhadap umur simpan mie dapat dilihat pada Tabel 15. Indikator kerusakan untuk mie yang disimpan pada suhu ruang adalah terdeteksinya bau asam, sedangkan indikator kerusakan mie yang disimpan pada suhu rendah adalah spot-spot berwarna merah atau hitam yang kemungkinan disebabkan oleh koloni kapang. Mie yang disimpan pada suhu ruang dengan plastik LDPE maupun PP tebal memiliki umur simpan yang sama, yaitu 44 jam. Secara teori, PP tebal memiliki ketahanan terhadap permeabilitas O2 yang lebih baik daripada PE. Penggunaan PP tebal tidak

berpengaruh terhadap umur simpan mie yang disimpan pada suhu ruang. Hal ini menunjukkan bahwa kemasan plastik yang tertutup dengan rapat dapat

melindung bahan dari kontaminasi mikroba perusak yang berasal dari udara, debu, tangan penjual, ataupun wadah tempat menjajakan mie. Jadi, kemasan yang tertutup merupakan salah satu praktek sanitasi yang berperan dalam memperpanjang umur simpan mie.

Penyimpanan mie pada suhu 5 ± 1oC meningkatkan umur simpan secara signifikan sampai 40 hari. Suhu rendah juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba perusak. Pada umumnya, mikroba perusak termasuk dalam kelompok mesofilik yang terhambat pertumbuhannya pada suhu dingin (-1 sampai 5oC) (Garbutt, 1997). Peristiwa rusaknya sel mikroba karena perubahan temperatur dari suhu ruang ke suhu rendah dikenal dengan istilah chilling injury.

Tabel 15. Pengaruh kondisi penyimpanan terhadap umur simpan mie

Kemasan Suhu

penyimpanan

Cara

pengemasan Umur simpan

LDPE 44 jam

PP tebal Suhu ruang Tanpa vakum 44 jam

LDPE 10 hari

PP tebal Tanpa vakum 10 hari

PP tebal

Suhu rendah 13 ± 2oC

Kemas vakum 10 hari

LDPE 40 hari

PP tebal Tanpa vakum 40 hari

PP tebal

Suhu rendah 5 ± 1oC

Kemas vakum 40 hari

Terdapat dua jenis chilling injury, yaitu cold shock yang bersifat langsung dan indirect chilling injury yang bersifat tidak langsung (Garbutt, 1997). Cold shock terjadi jika makanan didinginkan secara langsung dari suhu ruang ke suhu rendah dengan kecepatan pendinginan tertentu. Mikroba yang terpapar cold shock akan mengalami perubahan struktur membran sel karena terjadi kebocoran ATP dan asam amino dari dalam sel. Indirectchilling injury

terjadi jika makanan disimpan dalam waktu yang cukup lama (beberapa hari) pada suhu rendah dan tidak tergantung pada kecepatan pendingian tertentu. Transpor nutrisi yang diperlukan sel mikroba lama kelamaan akan terhambat diikuti dengan akumulasi metabolit yang bersifat racun dan habisnya ATP. Keadaan ini akan menyebabkan sel menjadi kehabisan nutrisi dan lama kelamaan akan menyebabkan kematian sel mikroba. Kedua jenis chilling injury ini kemungkinan besar terjadi pada penyimpanan mie pada suhu rendah.

Cold shock berpeluang terjadi pada berada di sisi sebelah luar mie dan indirect chilling injury terjadi pada sisi sebelah dalam atau pada bagian tengah.

Kemasan plastik yang digunakan tidak berpengaruh terhadap umur simpan, namun berpengaruh terhadap bentuk mie yang disimpan (Gambar 8). Mie yang disimpan pada suhu rendah dan tidak dikemas vakum memiliki bentuk yang lebih kaku sesuai dengan bentuk wadahnya. Penyimpanan pada suhu rendah memiliki kelembaban relatif (RH) yang lebih rendah dibandingkan RH suhu ruang, sehingga permukaan mie yang disimpan pada suhu rendah menjadi lebih kering karena kehilangan sebagian air (Jenie, 1995).

Kemasan PP tebal bersifat kaku sehingga memberikan bentuk yang lebih teratur jika dibandingkan mie yang dikemas dengan LDPE. Bentuk mie yang kaku ini akan segera kembali ke bentuk awalnya setelah dibiarkan sebentar pada suhu ruang. Bentuk mie yang dikemas vakum akan mengkerut dan tidak dapat kembali membentuk untaian-untaian mie setelah dibiarkan di suhu ruang. Mie matang lebih lengket dibandingkan mie mentah karena pati telah tergelatinisasi saat perebusan. Adanya tekanan yang diberikan oleh

vacuum sealer untuk menciptakan kondisi hampa membuat mie mengkerut dan untaian mie saling menempel satu sama lain. Pengemasan secara vakum untuk mie dinilai kurang sesuai dari segi penampakannya.

Penyimpanan suhu rendah pada 5 ± 1oC memberikan hasil yang lebih memuaskan dalam hal umur simpan dibandingkan penyimpanan pada suhu 13 ± 2oC. Namun, aplikasi keduanya harus disertai dengan cold chain atau rantai distribusi suhu rendah yang biayanya terlalu mahal dan tidak terjangkau untuk produsen mie tingkat UKM bahkan oleh industri menengah sekalipun. Selama ini, aplikasi suhu rendah umum dilakukan pada produk daging seperti sosis, ham, dan daging olahan dengan harga mahal. Jika harga yang sama harus dikenakan untuk mie, maka biaya yang tinggi ini menjadi tidak aplikatif bagi produsen mie. Selain itu, alat pendingin yang tersedia di pasar-pasar swalayan memiliki suhu sekitar 13-17oC dan tidak mencapai suhu 5 ± 1oC. Menurut Nuraida (1995), beberapa jenis makanan akan menurun mutunya jika disimpan pada suhu 13-17oC dibandingkan disimpan pada suhu 5-7oC.

Penyimpanan mie pada suhu 13 ± 2oC mungkin untuk diaplikasikan pada pasar-pasar swalayan, sedangkan penyimpanan pada suhu 5 ± 1oC sejauh ini baru dapat diaplikasikan pada tingkat rumah tangga yang membuat mie untuk konsumsi sendiri. Dengan pertimbangan terhadap kesulitan dalam aplikasi di pasaran, penyimpanan mie dengan suhu rendah tidak dipilih menjadi perlakuan terbaik pada tahap ini. Kondisi penyimpanan yang diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik adalah penyimpanan pada suhu ruang dengan plastik LDPE tanpa pengemasan vakum.

E. PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGAWET TERHADAP MUTU MIE

Bahan pengawet biasanya ditambahkan kedalam pangan yang mudah rusak, atau pangan yang disukai sebagai medium tumbuhnya bakteri atau kapang. Mie yang memiliki aw dan kadar air tinggi termasuk dalam kelompok

makanan yang mudah rusak. Pertumbuhan bakteri yang dicegah atau dihambat tergantung dari jumlah pengawet yang ditambahkan dan pH bahan pangan.

Tiga jenis pengawet yang digunakan adalah kalium sorbat, kalsium propionat, dan natrium asetat. Kalsium propionat dan kalium sorbat yang digunakan merupakan bahan kimia teknis. Spesifikasi kalsium propionat dan kalium sorbat teknis tertera pada Lampiran 5 dan 6. Pengawet digunakan dalam bentuk garamnya agar lebih mudah larut dan dapat mempertahankan bentuk asam tidak berdisosiasi. Ketiga pengawet ini dikombinasikan menjadi dua atau tiga dengan konsentrasi sesuai aturan pemakaian pada makanan secara kombinasi atau ADI kombinasi sehingga diperoleh tujuh formula pengawet.

Indikator kerusakan awal yang umum terjadi pada mie matang adalah terdeteksinya bau asam dan adanya lendir yang merupakan akibat dari aktivitas bakteri pembusuk. Namun, dalam penelitian pada tahapan ini ditemukan indikator kerusakan lain, yaitu munculnya miselia-miselia kapang berbentuk serabut-serabut berwarna putih. Kapang yang tumbuh ini kemungkinan besar merupakan kontaminasi spora kapang dari udara atau ruang pengolahan. Mie dengan penambahan formula pengawet yang

kerusakannya disebabkan oleh kapang diberi tanda bintang (*).

Hasil pengamatan terhadap umur simpan mie (Gambar 9) menunjukkan bahwa umur simpan terpanjang dimiliki oleh mie yang diberi pengawet formula VII, yaitu kombinasi Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%, yaitu selama 60 jam. Mie dengan pengawet formula III (Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1%) memiliki umur simpan 52 jam. Mie dengan penambahan pengawet formula II* (Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,1%) dan formula V* (Ca-propionat 0,15% + K-sorbat 0,05%) yang melibatkan penambahan sorbat sebanyak 50% memiliki umur simpan paling pendek, yaitu 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan sorbat tidak memberikan efek penghambatan terhadap mikroba. Pada umumnya, sorbat digunakan sebagai pengawet pada produk daging yang dikombinasikan dengan penambahan nitrit atau benzoat (Jay, 2000).

Mie dengan penambahan pengawet formula I (Na-asetat 0,032% + Ca- propionat 0,1%) dan formula VI* (Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% + K-sorbat 0,05%) memiliki umur simpan 56 jam. Berdasarkan umur simpan mie yang ditambahkan pengawet formula VII, I, dan VI*, terlihat adanya sinergisme antara kalsium propionat dengan natrium asetat, dimana asetat berperan sebagai anti bakteri dan propionat sebagai anti kapang. Kemungkinan adanya sinergisme antara kalsium propionat dengan natrium asetat ini sesuai dengan penelitian Pahrudin (2006). Mie dengan hasil terbaik yang diperoleh Pahrudin (2006) melibatkan pengawet Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5%, disamping penambahan Monolaurin 0,25% + Metil-paraben 0,025%. Mie terbaik Pahrudin (2006) ini memiliki umur simpan 56 jam, sedangkan mie kontrol yang dibuat tanpa penambahan pengawet memiliki umur simpan 26 jam (berdasarkan pengamatan secara subyektif terhadap terdeteksinya bau asam dan lendir).

44 56 48 52 56 48 56 60 0 10 20 30 40 50 60 70

Kontrol I II* III IV V* VI* VII

Formula pengawet U m u r si m p an ( jam ) Keterangan:

* : Kerusakan karena kapang

Kontrol : Na2CO3 0,6% (tanpa penambahan pengawet)

I : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,1% II* : Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,1% III : Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1% IV : Na-asetat 0,048% + Ca-propionat 0,05% V* : Ca-propionat 0,015 + K-sorbat 0,05%

VI* : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% + K-sorbat 0,05% VII : Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%

Gambar 9. Pengaruh penambahan berbagai formula pengawet terhadap umur simpan mie secara subyektif (bau asam)

Penambahan pengawet kedalam adonan mie tidak berpengaruh terhadap pH mie. Mie yang diberi penambahan pengawet memiliki pH sekitar 9,30 – 9,53 (Gambar 10). Nilai pH mie berhubungan dengan pembentukan warna kuning yang dilepaskan oleh flavonoid gandum pada pH alkali. Dari nilai pH yang tidak berbeda nyata ini dapat disimpulkan bahwa warna mie yang ditambahkan dengan formula pengawet memiliki warna kuning dengan kecerahan yang hampir sama. Mie formula VII (mie dengan penambahan Na- asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%) selanjutnya diturunkan konsentrasinya untuk memenuhi syarat CPPB.

9.04 9.30 9.53 9.41 9.33 9.50 9.48 9.33 8.40 8.60 8.80 9.00 9.20 9.40 9.60 9.80 10.00

Kontrol I II* III IV V* VI* VII

Formula pengawet Ni la i p H Keterangan:

Kontrol : Na2CO3 0,6% (tanpa penambahan pengawet)

I : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,1% II* : Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,1% III : Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1% IV : Na-asetat 0,048% + Ca-propionat 0,05% V* : Ca-propionat 0,15% + K-sorbat 0,05%

VI* : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% + K-sorbat 0,05% VII : Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%

Gambar 10. Derajat keasaman (pH) mie berdasarkan penambahan berbagai formula pengawet

F. PENGARUH PENGGUNAAN PENGAWET TERBAIK DALAM KONSENTRASI RENDAH TERHADAP MUTU MIE

Dalam aplikasinya, produsen mie masih terbentur dalam hal biaya produksi untuk menggunakan bahan pengawet dalam konsentrasi yang diajurkan. Berdasarkan pengalaman, produsen mie akan mengencerkan konsentrasi pengawet tetapi tanpa takaran yang jelas. Untuk menghindari hal tersebut, maka diterapkan prinsip cara produksi pangan yang baik (CPPB). Dengan teknik ini, penurunan konsentrasi pengawet dilakukan secara terukur sehingga kontribusi penggunaan pengawet formula VII (Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%) terhadap biaya produksi dapat dihitung seperti yang tertera pada Tabel 16.

Tabel 16. Kontribusi penurunan konsentrasi pengawet terhadap biaya

Konsentrasi pengawet Kontribusi biaya/kg mie

Kontrol negatif (tanpa pengawet) –

100% Rp. 137,-

50% Rp. 69,-

25% Rp. 35,-

10% Rp. 14,-

5% Rp. 7,-

Pengaruh penurunan konsentrasi pengawet Na-asetat 0,016% + Ca- propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% terhadap biaya produksi per kilogram mie ternyata cukup signifikan. Setelah kontribusi terhadap biaya produksi diketahui, selanjutnya pengaruh penurunan konsentrasi terhadap umur simpan mie dapat dilihat pada Gambar 11.

52 60 52 44 56 56 0 12 24 36 48 60 72 Kontrol negatif 100% 50% 25% 10% 5% Konsentrasi pengawet U m u r si m p a n (j am )

Gambar 11. Pengaruh penurunan konsentrasi pengawet terbaik terhadap umur simpan mie secara subyektif (bau asam)

Berdasarkan pengamatan, umur simpan mie yang dibuat dengan pengawet Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% dengan konsentrasi 100% hanya berbeda 4 jam dibandingkan mie dengan konsentrasi

Dokumen terkait