• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

F. KERUSAKAN BAHAN PANGAN

Selama penyimpanan dan distribusi, bahan pangan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekelilingnya. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, oksigen dan cahaya dapat menimbulkan reaksi yang dapat menimbulkan kerusakan pada bahan pangan. Akibat dari reaksi tersebut, bahan pangan akan sampai pada suatu titik, dimana konsumen akan menolak bahan pangan tersebut atau bahan pangan tersebut akan membahayakan orang yang mengkonsumsinya (Muchtadi, 2000).

Menurut Desrosier (1988), faktor yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan bahan pangan diantaranya jenis dan kualitas bahan baku yang digunakan, metode dan keefektifan pengolahan, jenis dan keadaan pengemasan, perlakuan mekanis yang dilakukan terhadap produk yang dikemas selama distribusi dan penyimpanan, dan pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu dan kelembaban penyimpanan. Oleh karena itu diperlukan pemilihan jenis dan kondisi pengolahan yang sesuai, pengemasan dan penyimpanan yang tepat sehingga dapat benar-benar melindungi dan mempertahankan kualitas yang dikehendaki.

Syarief et al., (1989) menyatakan bahwa penyimpanan bahan pangan secara konvensional ada dua macam, yaitu penyusutan kualitatif dan penyusutan kuantitatif. Penyusutan kuantitatif yaitu kehilangan jumlah atau bobot akibat penanganan yang tidak memadai dan adanya gangguan biologis (proses respirasi, serangga, tikus). Penyusutan kualitatif adalah kerusakan akibat perubahan biologi (mikroba, respirasi), terjadi perubahan fisik (suhu, kelembaban), perubahan kimia (reaksi pencoklatan, ketengikan dan penurunan nilai gizi). Bahan pangan yang telah mengalami penyusutan kualitatif artinya

bahan tersebut mengalami penurunan mutu hingga menjadi tidak layak dikonsumsi manusia.

Menurut Singh (1994), kerusakan pada bahan pangan seperti sayuran ini dapat disebabkan terjadinya perubahan kimia, fisik dan mikrobiologi. Perubahan fisik dapat disebabkan oleh adanya kesalahan penanganan dari bahan pangan selama pemanenan, produksi dan distribusi. Perubahan kimia dapat disebabkan oleh aksi enzim, reaksi oksidasi, dan reaksi pencoklatan non enzimatis yang menyebabkan perubahan pada penampakan. Perubahan ini melibatkan faktor internal berupa komponen dalam bahan makanan itu sendiri dan faktor eksternal yaitu lingkungan. Pada umumnya perubahan kimia terjadi selama proses produksi dan penyimpanan.

Bakteri yang terdapat dalam bahan pangan mempunyai ukuran yang sangat kecil, yaitu sebagian besar mempunyai ukuran panjang sel satu sampai beberapa mikron (1 mikron = 1/1000 mm). Khamir mempunyai ukuran panjang

sel 20 mikron. Kapang berukuran lebih besar dan lebih kompleks. Kapang tumbuh seperti buku rambut yang disebut mycelia dan pada ujungnya berbentuk seperti buah yang disebut conidia dan mengandung spora kapang. Menurut Singh (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba antara lain suhu, air, gas seperti oksigen dan karbondioksida, dan pH. Menurut Muchtadi (2000), bakteri, kamir dan kapang senang akan keadaan hangat dan lembab. Suhu pertumbuhan untuk setiap bakteri berbeda-beda. Kapang dan khamir mempunyai suhu optimum untuk pertumbuhannya pada suhu 25-30oC atau suhu kamar. Beberapa bakteri dan semua kapang membutuhkan oksigen untuk tumbuh (Muchtadi, 2000). Batas maksimum jumlah mikroba dalam produk olahan pangan untuk konsumsi manusia sebesar 107 sampai 108 koloni per gram produk. Pembusukan oleh mikroba timbul akibat adanya absorpsi atau kontaminasi. Absorpsi tersebut dapat diminimalisasi dengan penyimpanan dingin, transportasi yang baik, pengemasan yang hati-hati dan sterilisasi.

Pemecahan protein, peptida atau asam amino secara anaerobik oleh mikroba dapat menghasilkan senyawa-senyawa yang menimbulkan bau busuk, yaitu hidrogen sulfida, metil sulfida, etil sulfida, mercaptan, amonia,

amine, indole, skatole, dan asam lemak. Perubahan mikrobiologi disebabkan oleh pertumbuhan mikroba pada bahan pangan. Pertumbuhan mikroba tersebut akan menyebabkan timbulnya pembusukan yang akan mengakibatkan munculnya karakteristik sensori yang tidak diinginkan dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan bahan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi (Singh, 1994). Selanjutnya dijelaskan oleh Muchtadi (2000), kerusakan sensori yang diakibatkan oleh mikroba dapat berupa pelunakan, terjadinya asam, terbentuknya gas, lendir, busa dan lain-lain. Mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan antara lain bakteri, kapang dan khamir.

G. PENYIMPANAN

Metode-metode untuk pengawetan pangan menurut Syarief et al.,(1989) adalah pendinginan dan refrigerasi, pembekuan, pengawetan kimia dan pemanasan. Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau mencegah reaksi-reaksi kimia enzimatis atau mikrobiologi. Pendinginan dapat menghambat reaksi metabolisme. Oleh karena itu, menurut Winarno (1987), penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup dari jaringan di dalam bahan pangan tersebut.

Penggunaan suhu rendah dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu penyimpanan sejuk, pendinginan dan penyimpanan beku. Penyimpanan sejuk biasanya dilakukan pada suhu sedikit di bawah suhu kamar dan tidak lebih rendah dari 15oC (Winarno 1987). Pendinginan refrigerasi adalah penyimpanan produk pangan pada suhu 0oC sampai dengan 10oC (Syarief et al., 1989). Menurut Jenie dan Fardiaz (1989), pendinginan dapat memperpanjang umur simpan suatu makanan karena selama pendinginan pertumbuhan mikroorganisme dapat dicegah atau diperlambat.

Tujuan penyimpanan dingin atau pendinginan adalah mencegah kerusakan tanpa mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan. Penyimpanan dingin ini dapat mempertahankan komoditas dalam kondisi yang dapat diterima dan dapat dikonsumsi selama mungkin oleh konsumen. Penyimpanan dingin dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme

termofilik dan mesofilik. Beberapa jenis mikroorganisme psikrofilik dapat menyebabkan pembusukan, tetapi jenis ini tidak bersifat patogen. Penyimpanan dingin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap cita rasa, warna, tekstur, nilai gizi, serta bentuk dan penampakan bahan pangan, namun perlu mengikuti prosedur standar dengan lama penyimpanan tertentu .

Proses pendinginan (refrigerasi) adalah produksi pengusahaan dan pemeliharaan tingkat suhu dari suatu bahan atau ruangan pada tingkat yang lebih rendah daripada suhu lingkungan atau atmosfer sekitarnya dengan cara penarikan atau penyerapan panas dari bahan atau ruangan tersebut (Winarno, 1987). Proses ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan biokimia, fisik, dan mikrobiologi. Selain itu, penggunaan suhu dingin untuk penyimpanan juga bertujuan untuk memperpanjang umur simpan produk segar maupun olahan. Umur simpan produk olahan yang disimpan pada suhu dingin ditentukan oleh tipe makanan, tingkat kerusakan mikroba atau aktivitas enzim akibat proses pengolahan, kontrol sanitasi selama proses pengolahan dan pengemasan, barrier pada kemasan, dan suhu selama distribusi dan penyimpanan.

Pendinginan dapat menghambat atau memperlambat pertumbuhan mikroba karena mikroorganisme mempunyai suhu maksimal dan minimal sebagai batas suhu untuk pertumbuhannya. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan mikroorganisme disebabkan suhu mempengaruhi aktivitas enzim yang mengkatalisasi reaksi-reaksi biokimia dalam sel mikroorganisme. Di bawah suhu optimum, keaktifan enzim dalam sel menurun dengan semakin rendahnya suhu, akibatnya pertumbuhan sel juga terhambat. Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan diantaranya adalah suhu, pH, aktivitas air, adanya oksigen dan tersedianya zat makanan. Oleh karena itu, kecepatan pertumbuhan mikroba dapat diubah dengan mengubah faktor lingkungan tersebut. Semakin rendah suhu yang digunakan dalam penyimpanan maka semakin lambat pula reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff, 1979)

III. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Laboratrorium Pengemasan, Penyimpanan, Distribusi dan Sistem Transportasi, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penyimpanan dilakukan menggunakan lemari pendingin rumah tangga. Analisis dilakukan di Laboratorium Pengawasan Mutu dan Laboratorium Teknologi Kimia, Departemen Teknologi Industri Pertanian. Penelitian dilakukan selama tiga bulan, mulai akhir bulan Mei 2007 sampai awal bulan Agustus 2007.

Dokumen terkait