• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkerasan lentur sangat sensitif dengan perubahan lingkungan di sekitarnya karena dipengaruhi oleh kineja bahan susunnya (aspal dan agregat), cara pencampuran dan pelaksanaan di lapangan serta metode ketepatan pengujian mutunya (B.C. Ministry of Transportation, 2007; Wignall et al., 2002; Scott et al., 2004; Bennett et al., 2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja aspal sebagai bahan ikat dalam perkerasan lentur, adalah: (i) temperatur udara; (ii) lama penyimpanan; (iii) kandungan parafin dalam susunan kimianya; (iv) angka penetrasi aspal; dan (v) nilai modulus elastisitas aspal. Demikian pula kinerja agregat batuan sebagai bahan susun pokok dalam perkerasan lentur dipengaruhi banyak faktor, antara lain: (i) jenis satuan geologi batuan (AASHTO, 1998.a; TNZ, 2002.a; Balitbang Departemen PU, 2005.c); (ii) tekstur dan bentuk serta gradasi butiran agregat (AASHTO, 1998.a; Balitbang Departemen PU, 2005.c, B.C.

Ministry of Transportation, 2007; Bennett et al., 2004); (iii) kandungan air (AASHTO, 1998.a; Balitbang Departemen PU, 2005.d; Morgan & Casanova, 2006). Balitbang Departemen PU (2005.a) telah menyimpulkan dalam spesifikasi teknis bidang jalan, yang menyebutkan beberapa faktor mikro penting yang mempengaruhi kualitas mutu campuran agregat aspal sebagai bahan susun perkerasan lentur, antara lain: (i) suhu pencampuran dan pemadatan; (ii) tingkat

clxiv

tebal hampar dan padat di lapangan; (v) kandungan air yang masuk dalam rongga selama pelaksanaan; dan (vi) cara mencampur agregat dan aspal di lapangan. Oleh karenanya faktor-faktor mikro tersebut harus didukung pemantauan proses implementasi standar mutunya agar tidak terjadi peningkatan kerusakan perkerasan.

Kerusakan perkerasan jalan dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu: (i) kerusakan struktural; dan (ii) kerusakan fungsional. Kerusakan struktural berkaitan dengan penurunan daya dukung karena struktur perkerasan mengalami perubahan komposisi kohesitas dan homogenitas campuran bahan susunnya, yang disebabkan beberapa faktor antara lain: (i) ketidaktepatan mutu pelaksanaan (Mulyono, 2007.a; Sjahdanulirwan, 2006.b; Ma’soem, 2006); (ii) repetisi beban lalu lintas yang melebihi beban maksimal yang diijinkan (Mulyono, 2002; Aly, 2006; Ditjen Bina Marga, 2006.a; Brown & Brunton, 1987); dan (iii) perubahan cuaca (hujan) sehingga terjadi infiltrasi air hujan masuk ke dalam perkerasan (Watmove, 2007; Aly, 2006; Hankins, 1975 dalam FHWA-USA, 2006). Kerusakan fungsional yang berkaitan dengan penurunan rasa kenyamanan jalan oleh pengguna yang disebabkan oleh perubahan cuaca antara bulan kering dan basah (TNZ, 2002.b) dan permukaan perkerasan yang licin (Drakos, 2007; Lawson et al., 2007; TNZ, 2002.b) sehingga berdampak penurunan kekesatan permukaan serta kemiringan permukaan jalan yang melebihi batas kritisnya akan memperbesar kecenderungan terjadinya kecelakaan akibat selip roda kendaraan (Hankins, 1975 dalam FHWA-USA, 2006).

B.C. Ministry of Transportation (2007) mengidentifikasi kerusakan perkerasan melalui kegiatan monitoring dan evaluasi performansi permukaan perkerasan jalan di lapangan yang meliputi 12 jenis kerusakan, selanjutnya dikelompokkan dalam 3 (tiga) tipe kerusakan, yaitu: (i) tipe cracking (retak), terdiri atas: longitudinal wheel path cracking (retak sepanjang jalur roda kendaraan),

longitudinal joint cracking (retak pada sambungan memanjang), pavement edge cracking (retak pada tepi perkerasan), transverse cracking (retak melintang), meandering longitudinal cracking (retak memanjang yang berkelok), dan alligator cracking (retak berbentuk kulit buaya); (ii) tipe surface deformation (penurunan permukaan) terdiri atas: rutting (bekas alur roda kendaraan), shoving (permukaan sobek), dan distorsion (permukaan bergeser atau distorsi), yang didominasi oleh

rutting; dan (iii) tipe surface defects (kerusakan fisik permukaan), yang terdiri atas:

bleeding (banjir aspal), potholes (lubang), dan ravelling (pelepasan butiran agregat), yang didominasi oleh potholes. Ditjen Bina Marga (2006.a)

mengelompokkan berbagai jenis kerusakan perkerasan ke dalam 3 (tiga) tipe, yaitu: (i) tipe potholes yang banyak terjadi terutama pada kawasan rural, diawali dengan pelepasan butiran dan retak blok; (ii) tipe rutting yang banyak terjadi di kawasan

sub urban yang diawali dengan retak-retak memanjang dan permukaan keriting, diperparah oleh repetisi beban lalu lintas; dan (iii) tipe deformation yang banyak terjadi di kawasan rural yang diawali terjadinya permukaan bergelombang, selanjutnya diperparah dengan beban lalu lintas maka terbentuklah penurunan permukaan perkerasan. Gedafa (2006) menyimpulkan ada 3 (tiga) tipe kerusakan struktural yang sangat mempengaruhi performansi perkerasan jalan, yaitu: (i)

potholing (permukaan berlubang) yang dinyatakan dalam jumlah lubang tiap kilometer; (ii) rutting yang dinyatakan dalam kedalaman alur atau luasan retak- retak memanjang tiap kilometer; dan (iii) texture depth (kedalaman tekstur) yang dinyatakan dalam kedalaman penurunan permukaan tiap kilometer. Drakos (2007) menyimpulkan dari risetnya tentang evaluasi kerusakan perkerasan jalan arteri di Florida, yang meringkas berbagai kerusakan dalam 3 (tiga) tipe yang paling banyak terjadi, yaitu: (i) tipe rutting, yang meliputi consolidation rutting (bekas alur roda kendaraan yang menyebabkan penurunan permukaan) dan instability rutting (bekas alur roda kendaraan yang menyebabkan kelabilan permukaan); kerusakan ini diawali terbentuknya cracking; (ii) tipe potholes, kerusakan ini diawali terbentuknya ravelling; dan (iii) tipe depression (depresi), yang diawali terjadinya penurunan permukaan (deformasi). Watanatada et al. (1987) juga mengelompokan jenis kerusakan perkerasan dalam 4 (empat) model, yaitu: (i) rutting dan cracking; (ii) potholes; (iii) distortion dan deformation; dan (iv) ravelling dan corrugation

(permukaan berkeriting). Riset yang dikembangkan Sjahdanulirwan & Nono (2005.b) telah menyimpulkan 3 (tiga) kelompok kerusakan perkerasan, yaitu: (i) kelompok retak, yang didominasi retak berbentuk kulit buaya; (ii) kelompok disintegrasi, yang didominasi lubang-lubang permukaan; dan (iii) kelompok deformasi, yang didominasi permukaan bergelombang dan penurunan permukaan bekas alur roda kendaraan. Bennett (2004) dan Bennett et al. (2007) telah melakukan evaluasi kualitas data survai performansi perkerasan jalan di 21 negara Asia Pasifik (termasuk Indonesia) yang menyimpulkan bahwa ada 8 (delapan) jenis kerusakan jalan yang sering terjadi, yaitu: (i) alligator cracking; (ii) longitudinal

clxvi

dan transverse cracking; (iii) rut depth; (iv) shoving; (v) potholes; (vi) scabbing; (vii) flushing; dan (viii) edge break.

Kerusakan struktural yang banyak terjadi di Indonesia sehingga memperbesar biaya BOK adalah potholes dan rut depth, sedangkan cracking dan

flushing masih dianggap sebagai gangguan funsional jalan (Bennett et al., 2007). Hal ini menggambarkan bahwa perhatian riset terhadap kerusakan jalan dan kelayakan pembiayaan hanya terfokus pada jenis kerusakan besar yang terlihat secara visual dan yang berpotensi terhadap penurunan kemantapan jalan, belum mendetailkan pada bagian-bagian mikro seperti retak permukaan, flushing

(permukaan yang licin) dan edge break (retak tepi perkerasan).

Kecenderungan penyimpangan standar mutu pada saat konstruksi tanah dasar, perkerasan berbutir pada lapis pondasi dan perkerasan beraspal pada lapis permukaan jalan terhadap terjadinya kerusakan perkerasan secara kualitatif dapat dijelaskan dalam Tabel 2.23.

Tabel 2.23. Kecenderungan secara kualitatif penyimpangan standar mutu pada saat konstruksi perkerasan

Jenis kerusakan perkerasan

Penyimpangan standar mutu pada: Konstruksi

tanah dasar

Konstruksi pondasi berbutir (subbase & base)

Konstruksi permukaan (sufrace course)

Retak permukaan berbentuk kulit buaya

(alligator cracking)

Retak permukaan memanjang searah sumbu

jalan (longitudinal cracking)

Retak permukaan melintang sumbu jalan

(transverse cracking)

Retak permukaan berbentuk blok (block

cracking)

Retak permukaan pada tepi perkerasan

(pavement edge cracking)

Retak permukaan karena roda kendaraan

yang selip (slippage cracking)

Bekas alur roda kendaraan (rutting)

Permukaan sobek dan berkeriting (shoving

and corrugation)

Penurunan permukaan (depression;

deformation)

Pelepasan butiran agregat pada permukaan

(ravelling)

Banjir aspal pada permukaan (bleeding)

Permukaan agregat yang mengkilap (polished

aggregate)

Banjir air pada permukaan karena proses

kapilaritas (water bleeding and pumping) Permukaan perkerasan berlubang (potholes)

Catatan: = sangat signifikan = signifikan = kurang signifikan

Kerusakan struktural perkerasan banyak terjadi pada konstruksi perkerasan beraspal sebagai lapis permukaan karena jenis dan jumlah parameter teknis mutu konstruksi yang harus dikendalikan lebih komplek dalam ragam satuan daripada konstruksi tanah dasar dan perkerasan berbutir. Salah satu parameter yang dimaksud adalah suhu campuran yang tidak disyaratkan dalam konstruksi tanah dasar dan perkerasan berbutir. Penyimpangan mutu konstruksi tanah dasar mendominasi penyebab terjadinya kerusakan tipe depression. Deskripsi penyebab dan dampak kerusakan perkerasan jalan beserta usulan perbaikannya yang diolah dari berbagai riset dan institusi serta dokumen kerusakan perkerasan di lapangan, dapat dijelaskan secara detail dalam Lampiran-1.

Dokumen terkait