• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkerasan beraspal terdiri atas agregat dan bahan aspal yang dicampur dalam keadaan panas di unit produksi Asphalt Mixing Plant (AMP), selanjutnya diangkut dalam keadaan panas ke lokasi penghamparan di atas lapis pondasi jalan atau lapis permukaan jalan lama, kemudian diikuti proses pemadatan lapangan

cxxviii

sampai didapatkan konstruksi perkerasan aspal yang sesuai dengan mutu dan gambar rencana. Jenis konstruksi perkerasan aspal dibedakan dalam dua kelompok, yaitu (i) kelompok non struktural, seperti lapis tipis beton aspal (lataston) untuk lapis pondasi maupun lapis aus permukaan, masing-masing untuk melayani lalulintas rencana kurang dari satu juta ESAL; (ii) kelompok struktural, seperti lapis beton aspal (laston) atau sering disebut Asphaltic Concrete (AC) yang terdiri atas

AC-binder dan AC-base, masing-masing untuk surface course dan pondasi jalan. AC ini digunakan untuk perkerasan jalan yang melayani lalulintas rencana dari satu hingga sepuluh juta ESAL.

a. Standar mutu konstruksi perkerasan aspal ditunjukkan dalam Tabel 2.5. Pada umumnya substansi standar mutu masih mengacu pada beberapa standar mutu yang distandardisasi AASHTO, antara lain: RSNI S-01-2003 mengacu AASHTO M 20-70; SNI 06-2432-1991 mengacu AASHTO T 51-89; SNI 03-1968- 1990 mengacu AASHTO T 84-81; dan RSNI M-01-2003 mengacu AASHTO T 245-82. Implikasi yang muncul di lapangan adalah banyak parameter yang berbeda antara Indonesia dengan negara asal, misalnya tentang temperatur dan cuaca, karakteristik beban lalu lintas kendaraan, sifat fisik bahan konstruksi, yang semua itu memerlukan kecermatan dalam implementasi standar mutu. Permasalahan lain yang sering muncul adalah faktor SDM dan alat uji mutu yang kualitasnya sangat terbatas dan masih terfokus di beberapa wilayah kerja tertentu khususnya di Jawa dan Bali, sehingga sulit didapatkan keseragaman mutu konstruksi perkerasan beraspal. Oleh karenanya perlu disiapkan suatu metode untuk memantau perkembangan standar mutu secara terpadu dan sistemik sehingga akan dapat diperoleh faktor dan variabel apa saja yang perlu disempurnakan untuk meningkatkan kualitas jalan. Pemantauan perkembangan standar mutu tidak hanya terbatas substansinya, tetapi yang terpenting sejauh mana standar mutu tersebut dapat diimplementasikan dan bagaimana dampaknya terhadap mutu perkerasan jalan, artinya pemantauannya dilakukan sejak masa konstruksi sampai pasca konstruksi (tahapan operasional). Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum sebagai regulator sampai saat ini belum memiliki metode yang tepat untuk memonitor dan mengevaluasi pemberlakuan standar mutu perkerasan jalan terhadap: (i) aspek SDM, (ii) proses pengujian mutu, (iii) keberhasilan

diseminasi dan distribusi, (iv) implikasi data ukur mutu di lapangan, (v) keterkaitannya dengan performansi dan jenis kerusakan struktural yang terjadi, dan (vi) kesesuaian substansi terhadap perubahan cuaca dan material serta kendala dan penyimpangan standar mutu yang terjadi di lapangan. Hal tersebut dirasakan sangat penting dikaitkan dengan kebijakan pembangunan jalan yang sudah mulai didelegasikan kepada pemerintah daerah untuk merealisasikan semangat otonomi daerah sehingga diperlukan efektivitas upaya-upaya penyeragaman mutu konstruksi jalan melalui peningkatan diseminasi dan distribusinya.

Tabel 2.5. Standar mutu perkerasan beraspal

Nomor seri standar Judul buku standar Aspal:

SNI 06-2432-1991 metoda pengujian daktilisasi bahan-bahan aspal

SNI 06-2433-1991 metoda pengujian titik nyala dan titik bakar dengan alat

cleveland open cup

SNI 06-2434-1991 metode pengujian titik lembek aspal dan ter

SNI 06-2440-1991 metode pengujian kehilangan berat minyak dan aspal SNI 06-2441-1991 metode pengujian berat jenis aspal padat

SNI 06-2456-1991 metode pengujian penetrasi bahan-bahan bitumen SNI 06-2490-1991 metode pengujian kadar air aspal dan bahan yang

mengandung aspal

SNI 03-3640-1994 metode pengujian kadar aspal dengan cara ekstraksi menggunakan alat soklet

SNI 06-6399-2000 tata cara pengambilan contoh aspal

SNI 03-4797-1998 metode pengujian pemulihan aspal dengan alat penguap putar

SNI 03-6441-2000 metode pengujian viskositas aspal minyak dengan alat brookfield termosel

SNI 03-6721-2002 metode pengujian kekentalan aspal cair dengan alat saybolt

SNI 03-6885-2002 metode pengujian noda aspal minyak RSNI S-01-2003 spesifikasi aspal keras berdasarkan penetrasi RSNI M-04-2004 metode pengujian kelarutan aspal

AASHTO T301-95 elastic recovery test of bituminous material by means of a ductilometer

Agregat:

SNI 03-1968-1990 metode pengujian tentang analisis saringan agregat halus dan kasar

SNI 03-1969-1990 Metode pengujian berat jenis dan penyerapan air agregat kasar SNI 03-1970-1990 Metode pengujian berat jenis dan penyerapan air agregat halus SNI 03-2417-1991 metode pengujian keausan agregat dengan mesin abrasi Los

cxxx

SNI 03-4141-1996 metode pengujian gumpalan lempung dan butir-butir mudah pecah dalam agregat

SNI 03-4142-1996 metode pengujian jumlah bahan dalam agregat yang lolos saringan nomor 200 (0,075 mm)

SNI 03-4428-1997 metode pengujian agregat halus atau pasir yang mengandung bahan plastis dengan cara setara pasir

SNI 03-4804-1998 metode pengujian bobot isi dan rongga udara dalam agregat SNI 03-6723-2002 spesifikasi bahan pengisi untuk campuran beraspal

SNI 03-6819-2002 spesifikasi agregat halus untuk campuran beraspal SNI 03-6877-2002 metode pengujian kadar rongga agregat halus yang tidak

dipadatkan

ASTM D 4791 standard test method for flat or elongated particles in coarse aggregate

Tabel 2.5 (lanjutan)

Nomor seri standar Judul buku standar

ASTM E 102-93 saybolt furol viscosity of asphaltic material at high temperature british standard

Campuran:

SNI 03-1737-1991 tata cara pelaksanaan lapis aspal beton (laston) untuk jalan raya SNI 03-2439-1991 metode pengujian kelekatan agregat terhadap aspal

SNI 03-6757-2002 metode pengujian berat jenis nyata campuran beraspal padat menggunakan benda uji kering permukaan jenuh.

SNI 03-6890-2002 tata cara pengambilan contoh campuran beraspal

SNI 03-6893-2002 metode pengujian berat jenis maksimum campuran beraspal SNI 03-6894-2002 metode pengujian kadar aspal dan campuran beraspal cara

sentrifius

RSNI M-01-2003 metode pengujian campuran beraspal panas dengan alat

Marshall

RSNI M-06-2004 cara uji campuran beraspal panas untuk ukuran agregat maksimum dari 25,4 mm (1 inci) sampai dengan 38 mm (1,5 inci) dengan alat Marshall

AASHTO T165-97 effect of water on cohesion of compacted bituminous paving mixtures

AASHTO T283-89 Resistance of compacted bituminous mixture to moisture induced damaged

BS 598 Part 104 (1989) the compaction procedure used in the percentage refusal density test

SNI 03-3425-1994 tata cara pelaksanaan lapis tipis beton aspal untuk jalan raya

Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

b. Tebal lapisan campuran beraspal dimonitor dengan benda uji core drill

yang diambil paling sedikit dua buah untuk tiap luasan 500 m2 atau jarak antar titik

core drill tidak lebih dari 200 m. Toleransi tebal lapisan beraspal dapat dilihat dalam Tabel 2.6. Tebal aktual campuran beraspal yang dihampar di setiap ruas dari

pekerjaan, didefinisikan sebagai tebal rata-rata dari semua benda uji core drill yang diambil di ruas tersebut, yang harus sama atau lebih besar dari tebal nominal rancangan yang ditentukan dalam gambar rencana. Toleransi tebal ini disyaratkan untuk mengantisipasi ketidaktepatan pencapaian tebal padat di lapangan karena beberapa faktor penyebab, antara lain: tebal hampar tidak dihitung dengan faktor konversi yang tepat, gangguan teknis pada alat penghampar maupun pemadat, perubahan cuaca yang mendadak sehingga pelaksanaan penghamparan dan pemadatan tidak berlangsung sesuai standar yang ditetapkan, dan beberapa proses pencampuran ada perubahan gradasi agregat tetapi masih dalam rentang spesifikasi teknisnya.

cxxxii

Tabel 2.6 Tebal nominal minimum lapisan beraspal dan toleransinya.

Jenis campuran Simbol Tebal nominal minimum (cm)

Toleransi tebal (mm)

Latasir kelas A SS-A 1,5 + 2,0

Latasir kelas B SS-B 2,0 + 2,0

Lataston: lapis aus HRS-WC 3,0 + 3,0 lapis pondasi HRS-Base 3,5 + 3,0 Laston: lapis aus AC-WC 4,0 + 3,0

lapis pengikat AC-BC 5,0 + 4,0 lapis pondasi AC-Base 6,0 + 5,0

Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

c. Persyaratan bahan agregat secara umum dimulai dari jenis batuannya merupakan batuan andesit yang memiliki daya lekat sempurna dengan aspal, penyerapan terhadap air maksimum 3%. Berat jenis (bulk spesific gravity) agregat kasar dan halus minimum 2,5 gr/cc dan perbedaannya tidak boleh lebih dari 0,2.

1) Fraksi agregat kasar merupakan butiran agregat yang tertahan saringan ayakan nomor 8 (diameter 2,36 mm) yang bersih, keras, awet dan bebas dari lempung atau bahan yang tidak dikehendaki lainnya dan memenuhi ketentuan standar mutu, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.7. Agregat kasar merupakan komponen yang terbesar dalam struktur perkerasan sehingga harus dibangun dalam konstruksi yang kuat, kompak dan tahan lama. Salah satu parameter yang memegang peranan penting adalah: (i) bentuk butiran agregat yang bersudut banyak tidak beraturan dan tidak pipih atau lonjong, agar dicapai internal friction yang tinggi antar butiran kasar; (ii) tektur permukaan butiran agregat yang kasar sehingga mampu menyerap aspal efektif untuk membentuk ikatan antar butiran yang kuat sehingga didapatkan kohesi campuran yang kuat.

Tabel 2.7 Sifat-sifat fisik agregat kasar sebagai bahan susun campuran beraspal

Pengujian mutu Metode Persyaratan

Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan natrium dan magnesium sulfat

SNI 03-3407-1994 < 12% Abrasi dengan mesin Los Angeles SNI 03-2417-1991 < 40% Kelekatana agregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991 > 95% Angularitas (kedalaman dari permukaan <10 cm SNI 03-6877-2002 95/90(*) Angularitas (kedalaman dari permukaan > 10 cm) SNI 03-6877-2002 80/75(*) Partikel pipih dan lonjong ASTM D-4791 < 10% Material lolos saringan No.200 SNI 03-4142-1996 < 1% Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

(*) 80/75 menunjukkan bahwa 80% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah satu atau lebih dan 75% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah dua atau lebih.

2) Fraksi agregat halus dapat berasal dari pasir atau hasil pengayakan batu pecah yang lolos saringan ayakan nomor 8 (diameter 2,36 mm) sesuai SNI 03- 6819-2002, yang bersih, keras, bebas dari lempung atau bahan yang tidak dikehendaki lainnya dan memenuhi standar mutu, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.8. Butiran halus mengisi rongga antar butiran kasar sehingga didapatkan kohesi campuran yang kuat. Oleh karenanya butiran halus harus memiliki bentuk pecah bersudut banyak dan tidak pipih serta bertekstur kasar.

Tabel 2.8. Sifat-sifat fisik agregat halus sebagai bahan susun campuran beraspal

Pengujian mutu Metode Persyaratan

Nilai setara pasir SNI 03-4428-1997 > 50 %

Material lolos saringan # 200 SNI 03-4142-1996 < 8 % Angularitas (kedalaman dari permukaan < 10 cm) SNI 03-6877-2002 > 45 Angularitas (kedalaman dari permukaan ≥ 10 cm) SNI 03-6877-2002 > 40

Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

3) Bahan pengisi (filler) yang ditambahkan dalam campuran beraspal dapat berasal dari cement portland dan atau debu batu atau abu batu (stonedust) yang harus kering dan bebas dari gumpalan-gumpalan. Bahan pengisi ini harus mengandung bahan halus yang lolos saringan ayakan nomor 200 (diameter 75

micron) dengan kadar tidak kurang dari 75% terhadap beratnya dan bersifat non plastis (SNI 03-6723-2002). Peranan agregat pengisi ini amat penting terutama untuk mengisi ruang-ruang kecil yang kosong antar butiran halus sehingga akan didapatkan campuran padat yang memiliki rongga sesuai spesifikasi teknisnya.

4) Gradasi agregat gabungan untuk campuran beraspal, ditunjukkan dalam persentase terhadap berat agregat lolos saringan yang harus memenuhi nilai rentang antara batas bawah dan batas atas, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.9. Ketepatan gradasi ukuran butiran agregat gabungan merupakan kunci penting untuk mencapai mutu campuran dan efektivitas kadar aspal karena hampir 85% volume campuran beraspal terisi agregat. Gradasi agregat yang memenuhi standar mutu akan berdampak membentuk campuran yang kompak karena internal friction

cxxxiv

merata sehingga akan menghasilkan tekstur perkerasan yang memiliki skid resistance yang tinggi.

Tabel 2.9 Gradasi agregat gabungan untuk campuran beraspal

Ukuran ayakan ASTM

Persentase berat yang lolos (%)

Latasir (SS) Lataston (HRS) Laston (AC)2

(inch) (mm) Kelas A Kelas B WC Base WC BC Base

1½” 37,5 100 1” 25 100 90 - 1003) ¾” 19 100 100 100 100 100 90 - 1003) Maks. 90 ½” 12,5 90 - 1003) 90 - 1003) 90 - 1003) Maks. 90 3/8” 9,5 90 – 1003) 75 - 85 65 - 100 Maks. 90 No.8 2,36 75 - 1003) 50 – 721 35 - 551 28 - 58 23 – 49 19 - 45 No.16 1,18 No.30 0,600 35 - 60 15 - 35 No.200 0,075 10 - 15 8 - 13 6 - 12 2 – 9 4 - 10 4 – 8 3 - 7 DAERAH TERLARANG No.4 4,75 - - 39,5 No.8 2,36 39,1 34,6 26,8 – 30,8 No.16 1,18 25,6 – 31,6 22,3 – 28,3 18,1 – 24,1 No.30 0,600 19,1 – 23,1 16,7 – 20,7 13,6 – 17,6 No.50 0,300 15,5 13,7 11,4

Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

Catatan:

1. Untuk HRS-WC dan HRS-Base, paling sedikit 80% agregat lolos ayakan No. 8 (2,36 mmm) harus juga lolos ayakan No. 30 (0,600 mm). Kriteria gradasi senjang yang lolos ayakan No. 8 (2,36 mm) dan tertahan ayakan No. 30 (0,600 mm) dalam Tabel 2.10.

2. Untuk AC, digunakan titik kontrol gradasi agregat, berfungsi sebagai batas-batas rentang utama yang harus ditempati oleh gradasi-gradasi tersebut. Batas-batas gradasi ditentukan pada ayakan ukuran nominal maksimum, ayakan menengah (2,36 mm) dan ayakan terkecil (0,075 mm).

3. Ukuran nominal maksimum masing-masing campuran.

Tabel 2.10. Kriteria gradasi senjang agregat gabungan

Ukuran ayakan Persentase berat yang lolos (%)

Alternatif-1 alternatif-2 alternatif-3 alternatif-4

# 8 40 50 60 70

# 30 > 32 > 40 > 48 > 56

Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

c. Persyaratan aspal diawali dengan pemilihan jenis aspal, dapat berasal dari aspal keras penetrasi 60/70, aspal polimer, aspal dimodifikasi dengan asbuton atau aspal multigrade yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.11 sampai dengan Tabel 2.14. Pengambilan contoh aspal (SNI 06-6399- 2000) dari tiap truk tangki harus dilaksanakan pada bagian atas, tengah dan bawah. Aspal dapat diekstraksi dari benda uji campuran beraspal sesuai SNI 03-3640-1994. Setelah konsentrasi larutan aspal yang terekstraksi mencapai 200 ml, partikel mineral yang terkandung harus dipindahkan dengan alat sentrifugal. Brown &

cxxxvi

peranan penting dalam menentukan kekuatan campuran walaupun kadarnya jauh lebih kecil dibandingkan agregat. Peranan itu dinyatakan dalam kekakuan aspal (bitumen stiffness) yang merupakan fungsi dari nilai angka penetrasi, titik lembek, dan kecepatan beban kendaraan. Sedangkan kekakuan campuran (mixed stiffness) merupakan fungsi dari bitumen stifness dan voids in the mineral aggregate (jumlah rongga dalam campuran agregat).

Tabel 2.11. Sifat-sifat fisik aspal keras penetrasi 60/70

No Pengujian mutu Metode Persyaratan

1. Penetrasi, 25 ’C; 100 gr; 5 detik; 0,1 mm SNI 06-2456-1991 60 – 70 2. Titik Lembek, oC SNI 06-2434-1991 48 – 58 3. Titik Nyala, oC SNI 06-2433-1991 > 200 4. Daktilitas 25 ’C, cm SNI 06-2432-1991 > 100 5. Berat jenis SNI 06-2441-1991 > 1,0 6. Kelarutan dalam Trichlor Ethylen, % berat RSNI M-04-2004 > 99 7. Penurunan Berat (dengan TFOT), % berat SNI 06-2440-1991 < 0,8 8. Penetrasi setelah penurunan berat, % asli SNI 06-2456-1991 > 54 9. Daktilitas setelah penurunan berat, % asli SNI 06-2432-1991 > 50 10. Uji noda aspal

- Standar Naptha - Naptha Xylene - Hephtane Xylene

SNI 03-6885-2002 negatif

Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

Tabel 2.12. Sifat-sifat fisik aspal polimer

No Pengujian mutu Metode Persyaratan

Plastomer Elastomer

1. Penetrasi, 25 ’C; 100 gr; 5 detik; 0,1 mm SNI 06-2456-1991 50-70 60 – 70

2. Titik lembek, oC SNI 06-2434-1991 > 56 >54 3. Titik nyala, oC SNI 06-2433-1991 > 232 > 232

4. Berat jenis SNI 06-2441-1991 >1,0 > 1,0 5. Kekentalan pada 135 oC, cSt SNI 06-6721-2002 150-1500 < 2000 6. Stabilitas penyimpanan pada 163 oC

selama 48 jam, perbedaan titik lembek, oC

SNI 06-2434-1991 homogen* < 2 7. Kelarutan dalam Trichlor Ethylen, % berat RSNI M-04-2004 > 99 > 99 8. Penurunan berat (dengan TFOT), % berat SNI 06-2440-1991 > 1,0 < 1,0 9. Perbedaan penetrasi setelah RTFOT; %

asli - Kenaikan penetrasi - Penurunan penetrasi SNI 06-2456-1991 < 10 < 40 < 10 < 40 10. Perbedaan titik lembek setelah RTFOT, %

asli

- Kenaikan titik lembek - Penurunan titik lembek

SNI 06-2432-1991

< 6,5 < 2

< 6,5 < 2 11. Elastic recovery residu RTFOT, % AASHTO T301-95 < 45

Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

Catatan *: pada permukaan tidak terjadi lapisan (kulit), kerut dan tidak terjadi endapan

Tabel 2.13. Sifat-sifat fisik aspal dimodifikasi dengan asbuton

No Pengujian mutu Metode Persyaratan

1. Penetrasi, 25 ’C; 100 gr; 5 detik; 0,1 mm SNI 06-2456-1991 40 – 55

2. Titik lembek, oC SNI 06-2434-1991 > 55

3. Titik nyala, oC SNI 06-2433-1991 > 225 4. Daktilitas 25 ’C, cm SNI 06-2432-1991 > 50 5. Berat jenis SNI 06-2441-1991 > 1,0 6. Kelarutan dalam Trichlor Ethylen, % berat RSNI M-04-2004 > 90 7. Penurunan berat (dengan TFOT), % berat SNI 06-2440-1991 < 2 8. Penetrasi setelah penurunan berat, % asli SNI 06-2456-1991 > 55 9. Daktilitas setelah TFOT, % asli SNI 06-2432-1991 > 50 10. Mineral lolos saringan No. 100, % * SNI 03-1968-1990 > 90 Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

Tabel 2.14. Sifat-sifat fisik aspal multigrade

No Pengujian mutu Metode Persyaratan

1. Penetrasi, 25 ’C; 100 gr; 5 detik; 0,1 mm SNI 06-2456-1991 50 – 70

2. Titik lembek, oC SNI 06-2434-1991 > 55 3. Titik nyala, oC SNI 06-2433-1991 > 225

4. Daktilitas 25 ’C, cm SNI 06-2432-1991 > 100 5. Berat jenis SNI 06-2441-1991 > 1,0 6. Kelarutan dalam Trichlor Ethylen, % berat RSNI M-04-2004 > 99 7. Penurunan berat (dengan TFOT), % berat SNI 06-2440-1991 < 0,8 8. Penetrasi setelah penurunan berat, % asli SNI 06-2456-1991 > 60 9. Daktilitas setelah penurunan berat, % asli SNI 06-2432-1991 > 50 Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

d. Campuran agregat dan aspal dapat dilakukan dengan perbandingan berat atau volume. Pada perbandingan berat, proporsi agregat hampir 94% sisanya aspal sekitar 6%, artinya ditinjau dari satuan berat maka fungsi struktural agregat batuan sangat penting dalam mendukung beban lalulintas kendaraan (Watanatada et al., 1987 dalam Paterson, 2007.b). Aspal dalam perbandingan berat ini memiliki kadar berat yang kelihatannya kecil namun memegang peranan penting sebagai bahan ikat antar butiran agregat karena memiliki modulus elastisitas yang mampu memperkuat internal friction antar butiran yang kuat sehingga campuran agregat makin kompak (Brown & Brunton, 1987 dalam Mulyono, 2002).

Pada perbandingan volume, hampir 85% diisi agregat dan sisanya 15% diisi aspal, artinya ditinjau dalam satuan volume ruang maka fungsi struktural agregat

cxxxviii

sedangkan peranan aspal mengisi rongga udara yang ada di dalam butiran dan antar butiran agregat (Brown & Brunton, 1987 dalam Mulyono, 2002). Persentase aspal aktual yang ditambahkan ke dalam campuran akan bergantung pada penyerapan agregat yang digunakan.

Balitbang Departemen PU (2005.d) dan Ditjen Bina Marga (2006.a) Departemen PU sebagai institusi pembina teknis menerapkan model perbandingan berat dengan pertimbangan, antara lain: (i) sifat fisik agregat (termasuk berat jenis) lebih diutamakan daripada bentuk ruang agregat; (ii) penggunaan aspal lebih efisien (hemat) karena kondisi tekstur permukaan agregat lebih diperhatikan dalam proses interaksinya dengan aspal; (iii) secara ekonomi, pengadaan alat unit produksi AMP tipe batch plant lebih mudah dan lebih ekonomis daripada AMP tipe continuous plant terutama dikaitkan ketersediaan unit produksi tersebut yang harus menyebar di wilayah Indonesia yang luas. Prosedur pencampuran agregat aspal pada umumnya harus melalui dua tahapan, yaitu: (i) Design Mix Formula (DMF), sebagai tahap awal pengujian mutu bahan untuk merancang perbandingan antara agregat dan aspal secara laboratorium, termasuk juga pengujian sifat fisik agregat dan aspal; (ii) Job Mix Formula (JMF), sebagai tahap merancang perbandingan antara agregat dan aspal di lapangan dengan operasional unit produksi AMP, yang dilanjutkan dengan trial penghamparan dan pemadatan lapangan.

1) Prosedur DMF dimulai sejak usulan penggunaan agregat dan aspal sebagai bahan susun campuran sampai perancangan perbandingan kadar agregat dan aspal, yang secara berurutan adalah: (i) menetapkan sumber material dan mengambil contoh sampel agregat dari hot bin AMP sesuai kebutuhan benda uji yang disepakati; (ii) uji mutu awal terhadap sifat-sifat fisik agregat dan aspal; (iii) uji mutu analisis saringan gradasi agregat gabungan sesuai dengan spesifikasi teknis, grafik gradasi yang dianalisis sebaiknya mendekati grafik ideal yang berada di tengah antara batas atas dan bawah; (iv) menentukan perbandingan berat antara agregat kasar, halus dan filler terhadap total kebutuhan agregat; (v) mencampur agregat dan aspal untuk membuat benda uji dengan variasi kadar aspal dari yang terendah sampai yang tertinggi dengan interval 0,5% pada model gradasi agregat tertentu; (vi) melakukan uji Marshall untuk menghitung nilai stabilitas, kelelehan plastis (flow), jumlah rongga udara dalam keadaan padat, jumlah rongga udara yang

terisi aspal dan kepadatan laboratorium; (vii) menentukan kadar aspal optimum dengan metode grafis atau analitis; (viii) menghitung perbandingan berat agregat dan aspal terhadap total campuran. Spesifikasi teknis uji mutu campuran agregat dan aspal dapat ditunjukkan dalam Tabel 2.15 sampai Tabel 2.18. Perkiraan awal kadar aspal benda uji dirancang dengan Persamaan (2.1), selanjutnya dibuat tiga kadar aspal di atas dan dua kadar aspal di bawah kadar aspal perkiraan awal yang sudah dibulatkan mendekati 0,5%. Misalnya dari hasil perhitungan dengan Persamaan (2.1) didapatkan Pb = 5,7%, dibulatkan Pb = 5,5%; selanjutnya dibuat benda uji dengan kadar aspal 5,5%; langkah berikutnya membuat benda uji dengan kadar aspal 6,0%; 6,5%; 7,0%; dengan 4,5%; dan 5,0%.

Pb = 0,035 (% CA) + 0,045 (% FA) + 0,18 (% FR) + konstanta (2.1) dengan: (i) Pb = kadar aspal perkiraan awal; (ii) CA = kadar agregat kasar tertahan saringan nomor 8; (iii) FA = kadar agregat halus lolos saringan nomor 8 dan tertahan nomor 200; (iv) FR = kadar agregat halus lolos saringan nomor 200; (v) nilai konstanta sekitar 0,5 - 1,0 untuk AC dan HRS.

Tabel 2.15. Spesifikasi teknis uji mutu campuran latasir (lapis tipis aspal pasir)

Pengujian mutu Persyaratan

Kelas A & B

Penyerapan aspal (%) < 2,0

Jumlah tumbukan per bidang (kali) 50 Rongga dalam campuran (%)(3) 3,0 – 6,0 Rongga dalam agregat (VMA) (%) > 20

Rongga terisi aspal (%) > 75

Stabilitas Marshall (kg) > 200

Pelelehan (mm) 2 – 3

Marshall Quotient (kg/mm) > 80

Stabilitas Marshall Sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60 oC(4) > 75 Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

Tabel 2.16. Spesifikasi teknis uji mutu campuran lataston (lapis tipis beton aspal)

Pengujian mutu Persyaratan

WC BC

Penyerapan aspal (%) < 1,7

Jumlah tumbukan per bidang (kali) 75 Rongga dalam campuran (%)(3) 3,0 – 6,0 Rongga dalam agregat (VMA) (%) > 18 > 17

cxl

Stabilitas Marshall (kg) > 800

Pelelehan (mm) > 250

Marshall Quotient (kg/mm) > 80

Stabilitas Marshall Sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60 oC(4) > 75 Rongga dalam campuran (%) pada (2) kepadatan membal (refusal) > 2

Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

Tabel 2.17. Spesifikasi teknis uji mutu campuran laston (lapis beton aspal)

Pengujian mutu Persyaratan

WC BC Base

Penyerapan aspal (%) < 1,2

Jumlah tumbukan per bidang (kali) < 75 < 112 (1)

Rongga dalam campuran (%)(3) 3,5 – 5,5

Rongga dalam agregat (VMA) (%) > 15 > 14 > 13 Rongga terisi aspal (%) > 65 > 63 > 60 Stabilitas Marshall (kg) > 800 > 1500(3)

Pelelehan (mm) > 3 > 5(1)

Marshall Quotient (kg/mm) > 250 > 300 Stabilitas Marshall Sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam,

60 oC(4)

> 75 Rongga dalam campuran (%) pada (2) kepadatan membal (refusal) > 2,5 Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

Catatan:

1. Modifikasi pengujian Marshall (RSNI M-13-2004)

2. Penumbuk bergetar digunakan untuk menghindari pecahnya butiran agregat dalam campuran, 600 getaran untuk benda uji berdiameter 6 inci dan 400 getaran untuk benda uji berdiameter 4 inci

3. Berat jenis efektif dihitung berdasarkan SNI 03-6893-2002

4. Kepekaan campuran beraspal terhadap air diuji berdasarkan AASHTO T 283 5. Pengujian dengan Wheel Tracking Machine (WTM) temperatur 60oC (JRA,1980)

Tabel 2.18 Spesifikasi teknis campuran laston dimodifikasi (AC-Modified)

Pengujian mutu Persyaratan

WC BC Base

Penyerapan aspal (%) < 1,7

Jumlah tumbukan per bidang (kali) < 75 < 112 (1)

Rongga dalam campuran (%)(3) 3,5 – 5,5

Rongga dalam agregat (VMA) (%) > 15 > 14 > 13 Rongga terisi aspal (%) > 65 > 63 > 60 Stabilitas Marshall (kg) > 1000 > 1800(1)

Pelelehan (mm) 3 - 5 3 – 5

Marshall Quotient (kg/mm) > 300 > 350 Stabilitas Marshall Sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60

o

C(4)

> 75 Rongga dalam campuran (%) pada (2) kepadatan membal (refusal) > 2,5 Stabilitas dinamis, lintasan / mm(5) > 2500 Sumber: Balitbang Departemen PU (2005.d)

Catatan:

1 Modifikasi pengujian Marshall (RSNI M-13-2004)

2 Penumbuk bergetar digunakan untuk menghindari pecahnya butiran agregat dalam campuran, 600 getaran untuk benda uji berdiameter 6 inci dan 400 getaran untuk benda uji berdiameter 4 inci.

3 Berat jenis efektif dihitung berdasarkan SNI 03-6893-2002

4 Kepekaan campuran beraspal terhadap air diuji berdasarkan AASHTO T 283 5 Pengujian dengan Wheel Tracking Machine (WTM) temperatur 600oC (JRA,1980)

2) Prosedur JMF pada prinsipnya terdiri atas trial campuran hasil DMF di unit produksi AMP dan trial penghamparan beserta pemadatannya. Uji coba penerapan DMF pada unit produksi AMP meliputi kegiatan: (i) mengecek kelaikan semua komponen AMP termasuk kalibrasinya; (ii) mengalirkan agregat dingin sesuai fraksinya ke dalam alat pemanas dan pengering; (iii) melakukan penimbangan agregat panas sesuai DMF; (iv) mencampurkan aspal terhadap agregat sesuai DMF; (v) memproses pencampuran agregat dan aspal secara panas; (vi) membuat benda uji untuk pengujian nilai Marshall (kepadatan, stabilitas, flow, jumlah rongga udara dalam campuran padat, jumlah rongga udara yang terisi aspal). Uji coba penghamparan meliputi kegiatan: (i) merencanakan jenis dan kapasitas alat penghampar (asphalt finisher) termasuk kelaikan pemakaiannya; dan

Dokumen terkait