• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Pengertian standar mutu.Yates & Aniftos (1998) mendefinisikan standar adalah sesuatu yang digunakan sebagai basis (dasar) untuk perbandingan dan evaluasi karakteristik material dan prosedur kerja beserta hasil implementasinya yang selalu siap pakai jika diperlukan dan selalu mengutamakan aspek keselamatan dan keamanan bagi manusia dan lingkungan. Standar adalah dokumen yang berisi ketentuan teknis dari sebuah produk, metode, proses atau sistem yang dirumuskan secara konsensus (komitmen bersama) dan ditetapkan oleh instansi yang berwenang (Haryono, 2005). Standar disusun dengan tujuan untuk menciptakan keteraturan optimum dalam konteks tertentu menuju keamanan dan keselamatan umat manusia dan lingkungannya. Standar merupakan produk inti (core product) dari kegiatan standardisasi, yakni kegiatan yang dilakukan oleh badan standardisasi, baik secara nasional maupun internasional (Haryono, 2005).

Pada awal tahun 2005, Indonesia memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) sebanyak 6.565 judul yang terdiri dari berbagai bidang usaha dan pekerjaan fisik. Jumlah yang paling besar adalah untuk bidang konstruksi, perindustrian, pertanian atau pangan, kesehatan dan kelistrikan/elektronika. Standar Nasional Indonesia disusun melalui proses perumusan yang panjang dari mulai penyusunan

rancangan oleh Panitia Teknis (Pantek) Perumusan Standar yang berada di bawah koordinasi Instansi Teknis (departemen/lembaga pemerintah non departemen) terkait melalui rapat konsensus para stakeholder hingga ditetapkan menjadi SNI oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Balitbang Departemen PU (2005.a) telah mengelompokkan produk SNI sebagai standar rujukan dalam standar teknis bidang kontruksi jalan dan jembatan. Standar teknis yang dimaksud adalah buku spesifikasi teknis bidang jalan dan jembatan yang di dalamnya terdapat urutan standardisasi: definisi jenis konstruksi, standar rujukan yang digunakan, persyaratan bahan dan peralatan serta metode kerja (tata cara) yang digunakan, pengendalian mutu, pengukuran dan pembayaran.

Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, beberapa pengertian yang berhubungan dengan istilah standar dijelaskan sebagai berikut:

1) Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya;

2) Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, dan merevisi standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pihak;

3) Standar Nasional Indonesia (SNI), adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan berlaku secara nasional;

4) Penerapan Standar Nasional Indonesia adalah kegiatan menggunakan SNI sesuai dengan kebutuhan;

5) Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia adalah keputusan pimpinan instansi teknis yang berwenang untuk memberlakukan SNI secara wajib terhadap barang dan atau jasa;

6) Sistem Standar Nasional Indonesia adalah tatanan jaringan sarana dan kegiatan yang serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional yang meliputi penelitian dan pengembangan standardisasi, perumusan standar, penerapan

cvi

standardisasi, kerjasama, informasi dan dokumentasi, persyaratan dan pendidikan serta pelatihan standardisasi.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa implementasi standar mutu dilakukan untuk mencapai hasil pekerjaan yang mengutamakan aspek keselamatan, keamanan, kenyamanan, kesehatan dan pelestarian lingkungan hidup, sehingga pemberlakuannya memerlukan program- program: sosialisasi (diseminasi) dan distribusi ke seluruh wilayah kerja agar dapat diperoleh penyeragaman mutu. Penilaian penyeragaman mutu tersebut dilakukan dengan monitoring dan evaluasi sistem pemberlakuannya secara terpadu dari sejak penyiapan sumber daya, proses sampai pengoperasian produk dan dampaknya terhadap lingkungan.

Istilah mutu memiliki kata sinonim: kualitas atau quality. Oxford English Dictionary (1999) menjelaskan mutu sebagai: (i) the degree of excellence of a thing (of good quality; poor in quality); (ii) a general excellence (their work has quality). Dengan kata lain, istilah mutu didefinisikan sebagai derajat kebaikan, kehebatan atau kepiawaian sesuatu hal, termasuk benda dan hasil suatu metode kerja. Jahren & Federle (1999) mendefinisikan mutu dalam dua hal, yaitu: (i) pemenuhan terhadap tuntutan dari pelanggan, dan (ii) suatu produk atau jasa yang bebas dari kekurangan. . Mutu adalah derajat yang dicapai oleh karakteristik produk dalam memenuhi persyaratan, kebutuhan dan harapan pelanggan (Haryono, 2005). Bubshait & Al Atiq (1999) menyatakan bahwa persyaratan konstruksi infrastruktur yang bermutu baik adalah: (i) sesuai dengan persyaratan spesifikasi, norma, standar, panduan dan manual yang telah ditetapkan; (ii) efektif dan efisien; (iii) memberikan manfaat yang kuat, aman dan nyaman; dan (iv) selalu hadir pada saat dibutuhkan. Goetsch & Davis (2002) menyimpulkan bahwa keberhasilan pencapaian mutu harus dinilai dalam suatu sistem terpadu mulai dari proses produksi, pengelolaan dan sampai pelayanan, artinya mutu tidak dapat dinilai secara parsial terhadap proses dan produk kerja saja melainkan harus dinilai sampai operasional produknya terhadap keselamatan dan keamanan pengguna. Juran (1993) dalam Nasution (2005) telah merumuskan mutu adalah kesesuaian penggunaan produk (fitness for use) untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan, yang didasarkan atas lima ciri utama, yaitu: (i) teknologi (kekuatan atau

daya tahan); (ii) psikologis (citra rasa atau status); (iii) waktu (kehandalan); (iv) kontraktual (adanya jaminan); dan (v) etika (sopan santun, ramah dan jujur). Crosby (1979) dalam Nasution (2005) menyatakan bahwa mutu adalah

conformance to requirement, yaitu sesuatu yang sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan, artinya sesuatu produk memiliki mutu apabila sesuai dengan standar mutu yang telah ditentukan. Standar mutu yang dimaksud meliputi bahan baku, proses produksi dan produk jadi. Deming (1986) dalam Nasution (2005) juga menyatakan bahwa mutu adalah sesuai dengan kebutuhan pasar, artinya perusahaan harus benar-benar dapat memahami apa yang dibutuhkan konsumen atas suatu produk yang akan dihasilkan. Feigenbaum (1986) dalam Nasution (2005) juga menyimpulkan bahwa mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Goetsch & Davis (2002) menyatakan bahwa mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berkaitan dengan produksi, SDM, proses dan tugas serta dampak lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pengguna. Nasution (2005) menyatakan selera atau harapan pengguna pada suatu produk selalu berubah sehingga kualitas produk juga harus berubah untuk disesuaikan. Perubahan mutu tersebut memerlukan perubahan atau peningkatan pendidikan dan ketrampilan SDM, perubahan proses produksi dan tugas serta perubahan lingkungan agar dapat memenuhi dan melebihi harapan pengguna. Meskipun tidak ada definisi mengenai mutu yang dapat diterima secara universal, namun dari keenam definisi di atas terdapat beberapa persamaan, yaitu dalam hal: (i) mutu mencakup sesuatu yang digunakan sebagai dasar perbandingan terhadap kinerja sumber daya (tenaga kerja, alat dan material), proses dan keluaran produksi, serta dampak lingkungan; (ii) mutu mencakup usaha untuk memenuhi atau melebihi harapan pengguna; (iii) mutu juga mencakup sesuatu yang disyaratkan atau distandarkan; (iv) mutu merupakan suatu kondisi yang selalu berubah, artinya apa yang sekarang dianggap merupakan mutu saat ini mungkin dianggap kurang bermutu pada masa mendatang, sehingga pemberlakuannya perlu dimonitor dan dievaluasi secara berkala untuk penyempurnaan implementasinya di lapangan (Goetsch & Davis, 2002).

Beberapa definisi mutu dikaitkan dengan sektor industri konstruksi, Smith (1996) menyatakan bahwa mutu berkaitan dengan: (i) kemampuan untuk memenuhi

cviii

pengiriman barang yang tidak dikembalikan oleh pelanggan; (iii) kesesuaian dengan persyaratan pengguna; (iv) ketepatan sesuatu untuk digunakan. Bennett et al. (2007) menyebutkan mutu berkaitan erat dengan sesuatu yang dijadikan acuan untuk menilai kekuatan struktural dan fungsional konstruksi jalan dalam mendukung beban lalu lintas kendaraan, bertahan terhadap pengaruh perubahan cuaca terutama air hujan atau genangan air serta tidak terjadi penyimpangan prosedur kerja di lapangan. Dimensi mutu konstruksi jalan menurut Bennett et al. (2007), Tsunokawa (2007) dan Paterson (2007.a & 2007.b) merupakan gabungan dari beberapa kondisi yang terdiri atas:

1) performansi (performance) permukaan yang berkaitan dengan aspek fungsional perkerasan jalan, antara lain: kondisi kerataan (nilai IRI), kemiringan melintang dan memanjang, kondisi kelicinan, kekesatan (nilai SCRIM) dan keamanan berkendaraan;

2) kehandalan (reliability) yang berkaitan dengan aspek struktural perkerasan jalan, antara lain: kondisi daya dukung (rating PCI), kerusakan permukaan (panjang jalan yang memiliki nilai SDI>50), stabilitas perkerasan (tingkat kepadatan) dan genangan air permukaan (lama waktu hydroplaning);

3) konformansi (conformance) yang berkaitan dengan tingkat pencapaian mutu konstruksi terhadap spesifikasi teknis yang telah disepakati sebelumnya, antara lain: ketepatan prosedur implementasi standar mutu; ketepatan mutu, volume dan waktu pengujian; dan

4) daya tahan (durability) yang berkaitan dengan ukuran masa atau waktu operasional perkerasan jalan untuk mendukung dan melayani beban lalu lintas kendaraan, indikasinya adalah jumlah dan jenis kerusakan struktural yang terjadi di awal umur pelayanan, antara lain: cracking, pothole, rutting,

deformation, ravelling, corrugation dan bleeding.

Berkaitan dengan dimensi mutu, Weston & Whiddett (1999) menyatakan bahwa aspek mutu juga memiliki dimensi service ability (kemampuan melayani) dan aesthetics (estetika) yang berkaitan kemudahan pemahamannya dan pengakuan substansinya oleh pengguna, beberapa indikasinya adalah: jenis bahasa yang mampu mendeskripsikan substansinya, sertifikasi dan performansi standar mutu. Selain itu, Soebandono (2006) menyatakan bahwa aspek mutu memiliki dimensi

perceived quality yang berkaitan dengan etika dan perasaan pengguna yang bersifat subyektif terhadap tampilan format standar mutu, misalnya seorang engineer akan lebih bangga dan percaya diri jika mendalami standar mutu produk AASHTO (luar negeri) daripada SNI (dalam negeri) untuk reputasi diri (brand name image).

Berdasarkan definisi pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa mutu terkait dengan suatu sistem atau rangkaian program kegiatan yang sistemik dan terpadu, yang didalamnya memiliki elemen-elemen input, process, output, outcome dan

impact dari suatu program. Mutu adalah keadaan dinamik yang disosialisasikan dengan produk, jasa, orang, proses dan lingkungan yang mampu mencapai atau melebihi harapan.Penilaian mutu perkerasan jalan tidak dapat hanya dievaluasi dari performansi bentuk fisik yang dihasilkan melainkan harus dimonitor dan dievaluasi sejauhmana kecermatan implementasi standar mutunya dari sejak awal sampai operasional.

b. Standar mutu perkerasan lentur jalan di Indonesia. Sebelum tahun 1985, pengelolaan perkerasan jalan sebagian besar dilaksanakan dengan mengacu pada standar Amerika (AASHTO dan ASTM) karena masih belum banyak tersedia standar mutu produk Indonesia yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan daerah di wilayah kerja Indonesia. Pada era tersebut, Indonesia melalui Departemen Pekerjaan Umum telah membangun perkerasan baru dengan bahan konstruksi beton aspal bergradasi tertutup yang mengacu pada AASHTO T84-81, dengan indikasi teknis adalah: (i) kadar aspal optimum sekitar 5,5%; (ii) lebih bersifat kaku karena rongga antar butiran sangat kecil dan internal friction cukup tinggi; (iii) memerlukan kinerja unit produksi AMP tipe batch plant beserta operator yang trampil; dan (iv) memerlukan peralatan mekanis lapangan yang canggih untuk menghampar dan memadatkan campuran panas. Namun dalam tahap operasionalnya, mulai timbul permasalahan teknis yang cukup serius dikaitkan terjadinya kerusakan dini di awal umur pelayanan. Beberapa penyebab kerusakan dini tersebut berasal dari aspek SDM, peralatan, bahan konstruksi, pengendalian mutu dan lingkungan. Kemajuan teknologi campuran beraspal panas sistem mekanis sebagai pengganti teknologi konvensional padat karya (konstruksi Macadam dan Telford), memerlukan teknologi bahan susun yang berupa batu pecah

cx

yang mampu membentuk inter koneksi satu sama lain hingga didapatkan rongga antar butiran yang kecil dan kadar aspal optimum yang efektif. Selain itu diperlukan peralatan penghampran dan pemadatan yang ketersediaan dan kalibrasinya sangat terbatas di tiap wilayah kerja serta kondisi temperatur udara yang jauh lebih tinggi daripada negara asal pembuat standar tersebut, maka diperlukan ketrampilan dan pendidikan SDM yang mampu menerapkan standar mutu produk AASHTO yang tepat di Indonesia. Implikasi penggunaan campuran bergradasi tertutup adalah penyelimutan permukaan butiran agregat oleh aspal sangat terbatas. Pengaruh sinar matahari dan temperatur udara yang tinggi menyebabkan aspal teroksidasi dan menguap sehingga mengganggu ikatan antar butiran, yang pada akhirnya memudahkan terjadinya pelepasan butiran (ravelling), selanjutnya diikuti terbentuknya pothole dan block cracking. Evaluasi kinerja perkerasan berjalan terus, mulai tahun 1991 beralih ke teknologi campuran agregat bergradasi terbuka atau senjang dengan harapan aspal tidak habis karena teroksidasi dan penguapan sehingga durabilitasnya tinggi, tetapi permasalahan yang timbul adalah terjadinya bleeding sehingga mengurangi kenyamanan berkendaraan serta memperkecil kekesatan permukaan atau menambah potensi kecelakaan selip roda kendaraan terhadap permukaan jalan.

Sejak tahun 1991, tepatnya sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1991 tentang SNI dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI); mulai terjadi transisi penerapan standar mutu dari produk luar negeri ke dalam produk dalam negeri. Kegiatan diawali dengan mengusulkan 400 konsep standar mutu bidang jalan dan jembatan untuk mendapatkan sertifikasi SNI. Tahapan tersebut lebih diperjelas lagi dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional yang mewajibkan kepada penyedia jasa dan pengguna jasa untuk memiliki dan menerapkan SNI agar diperoleh suatu pandangan keseragaman mutu konstruksi Indonesia. Berkaitan dengan pelaksanaan perundangan tersebut, Bapekin (2003.a) selaku instansi pembina dari Departemen Kimpraswil yang bertugas untuk membina jasa kontruksi dan investasi, melakukan program aksi sebagai berikut: (i) melaksanakan sosialisasi pemberlakuannya; (ii)

mengawasi distribusinya; (iii) mengevaluasi substansinya yang dikaitkan dengan SDM, peralatan, biaya, material dan lingkungan setempat; dan (iv) memantapkan pemahaman para pelaksana pembangunan melalui program-program pelatihan mutu konstruksi.

Balitbang Depkimpraswil (2002.a & 2002.b) telah menyusun standar peraturan atau NSPM (Norma, Standar, Pedoman, Manual) bidang konstruksi dan bangunan sebagai standar mutu yang diterapkan dalam pekerjaan pembangunan prasarana dan sarana kimpraswil bagi masyarakat. NSPM tersebut dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: (i) metode, spesifikasi dan tatacara, yang ditetapkan oleh BSN sebagai standar rujukan dalam penyusunan spesifikasi teknis dan pedoman pelaksanan (ii) pedoman/petunjuk teknik dan manual yang disahkan oleh Menteri Kimpraswil. Dalam perkembangannnya, Balitbang Departemen PU (2005.a) telah membuat Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan sebagai standar mutu untuk pembangunan perkerasan jalan baru dan peningkatan serta pemeliharaaan jalan lama, yang terdiri atas 11 divisi yaitu: (i) divisi-1 (penjelasan umum): 4 (empat) seksi; (ii) divisi-2 (drainase jalan): 4 (empat) seksi; (iii) divisi-3 (pekerjaan tanah): 4 (empat) seksi; (iv) divisi-4 (pelebaran perkerasan jalan dan bahu jalan): 2 (dua) seksi; (v) divisi-5 (perkerasan berbutir dan beton semen): 7 (tujuh) seksi; (vi) divisi-6 (perkerasan beraspal): 7 (tujuh) seksi; (vii) divisi-7 (struktur jembatan): 18 seksi; (viii) divisi-8 (pengembalian kondisi): 4 (empat) seksi; (ix) divisi-9 (pekerjaan harian): satu seksi; (x) divisi-10 (pemeliharaan rutin): 2 (dua) seksi; dan (xi) divisi-11 (perlengkapan jalan dan utilitas): 4 (empat) seksi. Setiap seksi tersebut terdiri atas: (i) standar-standar mutu yang digunakan sebagai rujukan (produk SNI, AASHTO, BSI); (ii) standar metode pelaksanaan yang terdiri atas persyaratan bahan kontruksi, peralatan dan tata cara kerja; (iii) standar pengendalian mutu; dan (iv) standar pengukuran dan pembayaran hasil pekerjaan. Dalam pembahasan standar mutu perkerasan lentur jalan ini digunakan acuan divisi-3; divisi-5 dan divisi-6.

Dokumen terkait