BAB III METODOLOGI PENELITIAN
1. Kesederhanaan
Kesederhanaan berasal dari kata sederhana yang berarti tidak
berlebihan, tidak melakukan sesuatu secara berlebih-lebihan. Salah satu
nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di
Jendela adalah kesederhanaan. Nilai kesederhanaan ini ditunjukkan oleh
salah satu tokoh sentral, Mr. Kobayashi, sosok kepala sekolah di SD
Tomoe. Mr. Kobayashi mendirikan SD Tomoe Gakuen tidak hanya
sekedar mendirikan sekolah namun dengan tujuan pendidikan tertentu.
Nilai kesederhanaan ini tampak pada alur yang mengawali cerita yaitu
paparan sekaligus latar tempat yang ditunjukkan pada kutipan berikut:
(S.01) TOTTO-CHAN berhenti melangkah ketika melihat gerbang sekolah baru itu. Gerbang sekolahnya yang dulu terbuat dari pilar-pilar beton yang halus. Nama sekolah tertera di sana dengan huruf-huruf besar. Tapi gerbang sekolah baru ini hanya terdiri atas dua batang kayu yang tidak terlalu tinggi. Kedua batang itu masih ditumbuhi ranting dan daun.
”Gerbang ini tumbuh,” kata Totto-chan. ”Mungkin akan terus tumbuh sampai lebih tinggi dari tiang telepon!”
Kedua ”tiang gerbang” memang pohon hidup lengkap dengan akar-akarnya. Ketika berjalan mendekati tiang-tiang tersebut, Totto-chan harus memiringkan kepalanya untuk membaca nama sekolah, karena papan namanya terpasang
miring akibat tertiup angin.
”To-mo-e Ga-ku-en.” (hal 19)
(S.02) BELUM ada yang datang ketika Totto-chan sampai di pintu gerbong yang kemarin ditunjukkan Kepala Sekolah sebagai kelasnya. Gerbong itu model lama, di sisi luar pintunya ada hendel. Untuk membuka pintunya, pegang dengan kedua tangan
Sekolah dalam novel ini berbeda dari sekolah pada umumnya,
gerbangnya terdiri atas dua batang kayu yang tidak terlalu tinggi. Kedua
batang itu ditumbuhi ranting dan daun. Kedua batang ini merupakan
pohon hidup, lengkap dengan akar-akarnya. Untuk ruang kelas, Tomoe
Gakuen menggunakan enam gerbong kereta yang sudah tidak terpakai dan
untuk perpustakaan menggunakan satu gerbong kereta yang sudah tidak
terpakai pula. Tidak biasanya sekolah menggunakan gerbong kereta
sebagai kelas. Pengaturan tempat duduknya pun berbeda dengan kelas
pada umunya, para murid bebas duduk sesuka hati, di mana saja, dan
kapan saja. Gerbong kereta sebagai kelas dan tempat duduk yang nyaman
membuat betah murid untuk belajar.
Tanpa disadari bentuk fisik dari sekolah ini menunjukkan adanya
nilai kesederhanaan, tampak dari gedung sekolah yang hanya dari gerbong
kereta api usang dan tidak adanya gerbang sekolah hanya sebatas dua
batang kayu yang hidup sebagai penanda dan batas. Dari sinilah nilai
kesederhanaan muncul, dalam diri anak akan tertanam nilai kesederhanaan
dan rendah hati. Mereka tidak malu mempunyai gedung sekolah yang
bukan terbuat dari bangunan yang tinggi dan megah dengan fasilitas yang
memadai.
Dari paparan tersebut nilai kesederhanaan tampak. Tidak hanya
dari gedung sekolah yang menunjukkan kesederhanaan, tetapi juga cara
kepala sekolah mendidik murid-muridnya dalam membawa bekal makanan
Tomoe Gakuen yang penuh kesederhanaan yang ditunjukkan pada kutipan
berikut:
(S.03) “Sesuatu dari laut” artinya makanan dari laut, seperti ikan
tsukuda-ni (udang kecil atau sejenisnya yang direbus dengan
kecap dan sake manis). Sementara “sesuatu dari pegunungan” berarti makanan dari daratan—seperti sayuran, daging sapi, daging babi, dan daging ayam.
Lagi pula, Kepala Sekolah menegaskan bahwa orang tua tidak perlu berpikir keras atau berlebih-lebihan untuk memenuhi dua anjuran itu. Makanan dari daratan bisa saja hanya kinpira gabo (sayuran yang dibumbui) atau telur dadar, dan makanan dari laut mungkin hanya keripik ikan. Atau lebih sederhana lagi, anak boleh dibekali nori (sejenis rumput laut yang dikeringkan) untuk “laut” dan acar buah plum untuk “pegunungan”. (hal 42)
Beberapa sekolah ada yang menyediakan makan siang untuk
murid-muridnya, dan biasanya makanan yang disediakan pun merupakan
makanan bergizi yang berguna bagi tumbuh kembang anak. Bahkan orang
tua bersedia membayar berapa pun untuk mendapatkan fasilitas yang
terbaik untuk anaknya di sekolah. Namun, berbeda dengan SD Tomoe,
kepala sekolah menyampaikan pesan pada orang tua murid melalui
anak-anaknya untuk menyiapkan bekal dari “laut” dan “gunung” untuk makan
siang anak-anaknya di sekolah. Bekal dari laut dan gunung mewakili
kubutuhan gizi yang diperlukan untuk tumbuh kembang anak. Sesuatu dari
laut dan gunung ini justru menyehatkan, dan orang tua bisa mengontrol
kebutuhan gizi anak-anaknya karena orang tua sendiri yang
mempersiapkannya dari rumah. Makanan-makanan sederhana yang
dianjurkan kepala sekolah juga mencerminkan kesederhanaan, makanan
Di sisi lain, bekal makanan yang dianjurkan Mr. Kobayashi yang
berupa sesuatu dari ”laut” dan ”gunung” merupakan sistem tanda yang
digunakan penulis. Sesuatu dari ”laut” dan ”gunung” itulah keseimbangan
yang ingin diajarkan, bahwa manusia hidup tidak hanya berenak-enak saja
tetapi juga harus bekerja keras dalam mengupayakan kehidupan yang lebih
baik, oleh karena itu kesederhanaan dilambangkan dengan ”laut” dan
”gunung”. Sistem lain yang ditunjukkan adalah lambang Tomoe. Tomoe
adalah simbol kuno berbentuk koma. Untuk sekolah yang didirikannya,
Mr. Kobayashi memilih lambang tradisional yang terdiri atas dua tomoe
(hitam dan putih) yang bergabung membentuk lingkaran sempurna seperti
Yin dan Yang di Cina. Lambang itu menggambarkan cita-cita kepala
sekolah bagi para muridnya, yaitu tubuh dan pikiran sama-sama
berkembang secara seimbang dan dalam keselarasan yang sempurna.
Keseimbangan dan keselarasan itu akan terwujud dengan cara
mendidiknya yang penuh dengan kesederhanaan.
Nilai kesederhanaan yang ketiga tampak pada aturan kepala
sekolah yang meminta kepada orang tua murid agar menyuruh anak-anak
mereka mengenakan pakaian paling usang untuk bersekolah di Tomoe.
Nilai kesederhanaan ini ditunjukkan pada karakter tokoh Mr. Kobayashi
seperti pada kutipan berikut:
(S.04) Ada beberapa sekolah dasar yang berada dekat Tomoe. Di sana, murid perempuan mengenakan seragam model kelasi dan murid laki-laki mengenakan jas berkerah tinggi dan celana pendek. Murid-murid Tomoe mengenakan pakaian sehari-hari ke sekolah. Guru-guru mengizinkan mereka bermain sepuasnya tanpa perlu memikirkan kebersihan dan keutuhan pakaian mereka. Di masa
sekarang. Jadi semua murid laki-laki di Tomoe celananya bertambal-tambal dan murid-murid perempuan mengenakan rok bawahan atau rok biasa yang terbuat dari kain paling awet yang ada di situ. (hal 111)
Ia ingin semua murid menggunakan pakaian usang agar mereka
tak perlu mengkhawatirkan pakaian mereka akan kena lumpur atau sobek.
Menurutnya, sayang kalau para murid harus takut dimarahi akibat
mengotori pakaian mereka atau ragu-ragu bergabung mengikuti suatu
permainan karena cemas baju mereka akan sobek. Ini membuktikan bahwa
kepala sekolah sangat memahami anak-anak. Tidak adanya aturan yang
mengikat, seperti mengharuskan murid membeli seragam, padahal sekolah
tidak selalu memahami kondisi ekonomi keluarga dari murid-murid.
Dengan cara ini pula anak-anak belajar rendah hati dan saling menghargai
satu sama lain karena tidak ada yang menggunakan pakaian yang mahal
dan bagus yang membuat anak-anak lain menangis ingin memiliki pakaian
yang sama. Kepala sekolah mendidik murid-muridnya dengan
kesederhanaan. Dari upaya ini ada sebuah harapan dari kepala sekolah,
bahwa murid-muridnya dapat menghargai fasilitas apa pun yang mereka
miliki dan jumpai, baik di sekolah, di rumah, maupun di tempat umum.