BAB 2 DESA PADANG DAN UNSUR BUDAYANYA
2.7 Kesenian
Salah satu kesenian yang ada di desa Padang adalah salah satuya adalah main laut. Kesenian ini sifatnya temporer, sewaktu-waktu bisa dimainkan. Kesenian ini tidak terpaku dengan sewaktu-waktu, jika
ada salah satu warga bernazar ingin main laut maka mereka akan meminta para pelaku kesenian untuk main laut. Berdasarkan informan PS, 67 tahun menceritakan bahwa :
“Munculnya kesenian main laut ini sudah dari jaman nenek moyang dahulu kala. Ketika saya masih kecil kesenian main laut ini sudah ada. Dan keluarga saya adalah termasuk salah satu yang mewarisi turun-menurun kesenian ini. “Kesenian “main Laut” di kampung Karimata ini sudah ada sejak jaman kuno… sudah ada sejak jaman datuk nenek moyang saya..yang dahulu itu untuk mengelilingi pulau masih menggunakan sampan kecil”…dan untuk sekarang ini penerusnya tinggal kami berdua, saya dan adik saya yang sekarang ini masih berada di pontianak..”. bentuk kesenian ini adalah berupa tarian dan diiringi oleh perangkat musik berupa kendang dan gong. Kendang yang dimaksud di sini berbeda dengan jenis kendang yang ada di Jawa. Untuk kendang yang dipakai untuk main kesenian “main laut” lebih mirip dengan bedug akan tetapi salah satu sisi dibiarkan terbuka tidak tertutup dengan menggunakan kulit sapi. Untuk ukurannya pun lebih kecil dari ukuran bedug.
Jumlah penari untuk “main laut” ini sendiri tidak tentu jumlahnya, siapa saja yang ingin ingin ikut menari dipersilahkan. Sedangkan untuk gerakannnya sendiri juga cenderung bebas sesuai kreasi masing-masing penari mengikuti alunan musik kendang dan gong. Laki-laki dan perempuan boleh ikut menari dan tidak ada aturan yang mengharuskan penarinya seorang laki-laki. Kostum penarinya biasanya memakai pakaian yang unik, terkadang yang laki-laki menggunakan pakaian perempuan dan bebas/tidak ada ketentuan yang mengharuskan berpakaian yang sama. Saat pelaksanaan kesenian “main laut” ini biasanya aturannya menggunakan sistem “2
kali pukul,1 kali angkat”. Maksudnya adalah 2 kali menari, 1 kali angkat kue.
Angkat kue disini adalah penari istirahat untuk menikmati/menyantap kue atau sajian yang telah dipersiapkan oleh tuan rumah. Mereka para pemain laut ini untuk “main laut” tidak dibayar/tidak menentukan tarif. Kalau ada yang minta untuk “main laut” mereka akan datang dan “main laut”, kalaupun pihak tuan rumah memberi ucapan terimakasih itu sekedarnya untuk uang rokok. Keberadaan kesenian main laut ini kurang lebih sudah ada sekitar 60 tahun. Kondisi peralatan musik berupa kendang dan gong sekarang ini kondisinya sudah sangat tua, dan perlu peremajaan lagi, jumlah kendang ada 2, gong ada 4. Untuk kendang masih bisa berfungsi dengan baik, hanya untuk gong yang masih bisa berfungsi dengan baik cuman 3, yang satu sudah tidak layak bunyi karena memang peralatan dari dahulu sampai sekarang masih tetap sama dan belum ada pembaruan.
Nyemah Laut
Bentuk kesenian lain di desa Padang sendiri terdapat ritual adat “Nyimah Laut” atau sedekah laut. Kegiatan ritual “Nyemah Laut” sendiri dilaksanakan setiap setahun sekali setiap bulan 4 (april) pada awal bulan. Biasanya untuk ritual ini dilaksanakan setiap tanggal 5 (awal bulan). Untuk Upacara “Nyemah Laut” pada tahun ini akan dilaksanakan pada bulan 5, mundur satu bulan dari jadwal yang biasa dilakukan rutin setiap tahun.
Alasan diundurnya ritual ini dikarenakan permintaan dari Pemerintah Kabupaten Kayong Utara yang ingin menjadikan ritual ini agenda tahunan wisata Pulau Karimata. Setelah para dukun yang menjadi pelaksana kegiatan ritual “Nyemah laut” ini bermusyawarah tentang mundurnya jadwal ritual ini, akhirnya diputuskan pelaksanaan “Nyemah Laut” tahun ini boleh ditoleransi mundur satu bulan yakni pada bulan 5 tanggal 28 Mei 2015.
Ritual “nyemah laut” dengan kesenian “main laut” pada dasarnya sama, hanya kostum dan tujuannya yang membedakan. Para pemain musik “nyemah laut” juga pemain kesenian “main laut” juga. Untuk penari di ritual “nyemah laut” menggunakan topeng dan aksesorisnya menggambarkan sosok hantu/sosok pengganggu. Topeng-topeng yang dipakai merupakan kreasi dari para penari sendiri, ada yang terbuat dari kardus, pelepah pohon pinang dan lain-lain. Dan untuk ritual “nyimah laut” ini menggunakan sesaji dan jong/kapal kecil dengan diberi hiasan sedemikian rupa serta balai/replika rumah kecil. Hal itu merupakan sarat mutlak untuk memulai ritual “nyimah laut”. Wilayah di Karimata ini alamnya memang masih angker/masih banyak tempat-tempat yang mistis. Untuk acara “nyimah laut” sendiri pelaksanaannya harus ijin dahulu dengan kepala desa,dan kalau pun kepala desa tidak bisa harus diwakilkan dengan staf desa lainnya.
Tradisi “nyimah laut” ini sendiri sudah ada sejak jaman nenek moyang terdahulu. Dan berdasarkan aturan adat yang ada bahwa sifat pelaksanaan ritual ini wajib dilakukan setiap tahunnya. Pulau Karimata sendiri untuk hal-hal yang berbau mistis masih sangat kuat, dan masih banyak tempat-tempat yang angker dan masih banyak penunggunya dari bangsa makhluk halus/jin. Tujuan dari ritual ini sendiri adalah bentuk sedekah laut, atau memberi makan setiap satu tahun sekali ke penunggu-penunggu sekitar Pulau Karimata dalam bentuk sesaji yang telah ditentukan jenisnya oleh para dukun.
Proses pelaksanaan acara ritual ini dimulai dari tanggal 27 mei. Pada tanggal 27 itu sudah dimulai pembuatan jong(kapal kecil yang nantinya dilarung ke laut) dan balai (semacam rumah-rumahan kecil untuk tempat sesaji), serta membuat topeng-topeng untuk tarian pada malam tanggal 28.
Gambar 2.31
Sesaji untuk ritual nyemah laut Sumber : Dokumentasi Peneliti
Komponen utama pelaksanaan ritual ini harus ada Jong dan Balai. Untuk proses pembuatannya sendiri berbeda tempatnya. Untuk balai dibuat di rumah ketua dukun Pak Hasan di Tanjung Ru. Proses membuat balai ini dimulai pagi hari sekitar jam 08.00. pembuatan balai ini dilakukan secara beramai-ramai/gotong royong. Bahan pembuatan balai ini adalah kayu kecil-kecil yang di susun sedemikian rupa berbentuk segi empat menyerupai rumah-rumahan kecil. Setelah jadi balainya kemudian diberi hiasan-hiasan yang terbuat dari janur/daun kelapa yang masih muda. Menurut ketua dukun bahwa hiasan balai harus terbuat dari janur dan tidak bisa digantikan dengan kertas hias atau aksesoris-aksesoris lainnya.
Suasana gotong royong dalam membuat balai ramai sekali, yang laki-laki bahu membahu membuat balai dan yang ibu-ibu membuat dan mempersiapkan sesaji yang akan digunakan malam nanti. Bentuk sesaji sangat banyak sekali macamnya, diantaranya adalah nasi puncung tujuh lapis/tujuh warna, daun sirih, pinang, kapur, rokok daun nipah,ketupat dan masih banyak lagi lainnya. Angka
tujuh merupakan simbol tempat/tanjung yang merupakan lokasi dimana para penunggu bersemayam.
Sedangkan untuk proses membuat Jong dilakukan di Dusun Benteng Jaya di tempatnya Pak Jabar Pendek, beliau adalah yang nanti memimpin musik dan tarian pada saat ritual tersebut. Untuk menghias Jong digunakan janur yang sudah dianyam dalam bebagai bentuk, serta patung-patung yang terbuat dari stereofoam/gabus dibentuk orang-orangan berjumlah 11. Untuk layar Jong dari kain putih dan warna bendera harus hitam.
Gambar 2.32
Proses pembuatan balai dan jong Sumber : Dokumentasi Peneliti
Setelah balai dan jong selesai dihias, kemudian dibawa ke tempat pelaksanaan ritual. Sekitar jam 4 sore harus sudah di letakkan di depan rumah tua bekas kerajaan yang lokasinya tepat di samping Pustu Padang. Lokasi pelaksanaan ritual ini harus di tempat tersebut dan dari dulu lokasinya disini. Setelah balai dan jong diletakkan sejajar berhadapan, persiapan lainnya adalah menyiapkan lampu penerangan. Berhubung alat disel/genset dusun Pantai lestari ini
sedang rusak, maka untuk penerangannya diambil dari genset masjid. Dibutuhkan lampu sekitar 4 buah dengan kapasitas watt besar untuk bisa menerangi lokasi ritual.
Sekitar jam ½ 6 sore semua persiapan sudah selesai dan untuk ritual acara “nyimah laut” nanti dimulai setelah sholat isya’. Setelah malam tiba, banyak sekali warga masyarakat Padang yang berduyun-duyun ingin melihat ritual ini. Mereka berkumpul di sekitar lokasi balai dan jong. Setelah rombongan pemain musik tiba dan mempersiapkan tempat dan perlengkapan sesaji, para dukun lainnya juga melakukan persiapan masing-masing.
Acara ritual adat “nyemah laut” ini dipimpin oleh para dukun yang ada di Padang. Dukun yang memimpin ritual ini dibagi dua, ada dukun darat dan dukun laut. Dukun darat berjumlah 4 orang, dan dukun laut berjumlah 3 orang. Kedua dukun ini mempunyai tugas masing-masing dan mempunyai tanggung jawab masing-masing.
Selain dukun yang menjadi pelaksana ritual ini, para pemain musik juga termasuk komponen penting yang harus ada dalam ritual ini, sebab jika tidak ada musik maka acara ritual ini tidak akan berjalan. Untuk peralatan musik yang digunakan adalah kendang dan “tetawa”/gong. Persyaratan untuk bisa menjadi pemain musik haruslah berasal dari keturunan datuk nenek moyang terdahulu yang juga memainkan musik Nyimah Laut ini. Musik yang dimainkan ini adalah memang tujuannya untuk memanggil makhluk lain penunggu-penunggu Pulau Karimata.
Gambar 2.33
Proses acara ritual nyemah laut Sumber : Dokumentasi Peneliti
Sebelum acara ritual dimulai ketua dukun meminta ijin dahulu ke perwakilan perangkat desa dalam kesempatan ini diwakili oleh Tengku Abdul Sukur yang merupakan kasie Pemerintahan desa Padang, setelah diberi ijin melaksanakan ritual maka ketua dukun Pak Hasan memberikan instruksi tanda dimulainya ritual ini, segeralah para dukun baik dukun darat dan dukun laut mempersiapkan sesaji untuk diletakkan di balai dan jong.
Setelah kemenyan mulai dinyalakan dan rapalan jampi-jampi dukun diucapkan itu tanda acara akan segera dimulai. Kemudian salah satu dukun pak Usuman menjampi jong dengan menyalakan kemenyan dan mengitari jong 3 kali, setelah itu beliau menepuk-nepuk bagian belakang jong, saat itulah musik pengiring mulai dibunyikan. Setelah musik berbunyi pak Usuman melemparkan beras kuning ke arah jong sambil merapalkan jampi-jampi, mulailah orang-orang menari mengikuti irama musik, yang menari pada ritual ini
bebas saja, baik itu laki-laki dan perempuan boleh saja ikut menari. Mereka menari untuk memuja balai dan jong.
Untuk kostum yang digunakan dalam tarian ini adalah bentuknya menggambarkan sosok hantu laut. Ada yang kostumnya putih-putih dengan topeng yang menyeramkan, dan diselipkan daun-daun di pakaian mereka menambah kesan yang menyeramkan. Sosok yang mereka perankan adalah sosok hantu laut yang menari bergembira mengikuti alunan musik dan mereka akan menyerbu sesaji yang disediakan untuk dimakannya.
Setelah musik berhenti maka para penari-penari tersebut akan kembali ke tempat semula menjauhi balai dan jong. Saat waktu tersebut digunakan oleh para dukun untuk menambah sesaji lagi yang sebelumnya dimakan oleh para peneri-penari tersebut. Musik akan dimainkan lagi ketika ada instruksi dari ketua dukun, dan para penari-penari tersebut kembali ke tempat dimana balai dan jong berada.
Gerakan tari mereka memang tidak beraturan, mereka menari sesuai kreatifitas mereka sendiri, ada yang mengangkat balai mengelilingi lokasi ritual, dan ada juga yang mengangkat jong untuk diarak juga. Setelah acara berjalan sesaui rencana dan untuk malam ini tidak ada yang mengacau/kesurupan, sekitar jam 10 malam acara diakhiri, dan posisi balai dan jong sudah diletakkan di tempat semula. Acara akan dilanjutkan keesokharinya.
Acara pagi hari tanggal 28 adalah dimulai pukul 07.00 WIB. Untuk acara pagi ini dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok yang membawa balai ini berkeliling pulau Karimata 1 hari 1 malam, dan kelompok yang kedua membawa jong untuk diletakkan di Tanjung Serunai yang lokasinya di Dusun Sungai Abon.
kedua kelompok ini sebelum menuju ke sungai untuk membawa balai dan jong mereka main musik sebentar di depan rumah tua bekas kerajaan, baru bersama-sama menuju sungai yang bermuara ke laut. Kedua kelompok ini berpisah arah untuk
melaksanakan tugas masing-masing. Kelompok yang membawa jong menuju ke Tanjung serunai dengan dipimpin oleh dukun Pak Usuman dan dukun Busry. Mereka dengan berjalan kaki menyusuri sungai yang mengarah ke Tanjung Serunai dengan membawa jong.
Dan untuk kelompok yang membawa balai menyusuri sungai yang bermuara ke laut menuju ke dermaga tempat kapal bersandar yang akan digunakan untuk berkeliling Pulau. Selama mereka berjalan sambil membawa balai mereka terus memainkan musik dan akan terus bermain air, saling menyiram air sesama mereka. Air untuk menyiram adatnya sejak dari dulu berupa air rebusan ikan asin, air kencing, oli bekas dan kotoran. Istilah mereka “main kotoran”, maksudnya adalah berbagai macam air kotoran tersebut sebagai simbol untuk melempar balak/gangguan agar “pengacau” dari bangsa Halimun/makhluk halus tidak mengganggu masyarakat Padang.
Perahu yang digunakan untuk berkeliling pulau adalah 1 perahu yang berukuran besar, rombongan ini dipimpin oleh 4 orang dukun yang ikut berkeliling Pulau. Selama berkeliling musik terus mereka mainkan dan akan terus menari di atas perahu, dan bermain segala macam kotoran, ada yang dilempar ke laut, aturannya bila ada yang dilemparkan ke laut untuk mengambil ke atas perahu harus berputar 3 kali putaran terlebih dahulu baru boleh ditolong untuk naik ke atas perahu.
Setelah perahu berangkat dari dermaga Padang, rute perahu menuju ke dusun Tanjung Ru, untuk singgah di rumah ketua dukun Pak Hasan. Mereka akan main musik sebentar di depan rumah dukun hasan, dan dukun yang ikut keliling mempersiapkan sesaji yang telah disiapkan oleh ketua dukun. Perlengkapan sesaji harus lengkap semuanya, jika ada salah satu yang terlupa maka nanti bisa menjadi masalah dalam ritual ini. Setelah dirasa sudah cukup sesajinya, maka pimpinan rombongan yang berkeliling laut dalam hal ini diwakili pak Bambang meminta ijin ke ketua Dukun Pak Hasan untuk melanjutkan perjalanan. setelah ketua dukun mengijinkan semua penari, pemain
musik menuju perahu yang akan digunakan untuk berkeliling. Lama waktu berkeliling Pulau ini 1 hari satu malam. Peran dari ketua dukun pak Hasan dalam ritual ini adalah beliau tidak ikut berkeliling Pulau, selama ritual ini dijalankan pak Hasan tetap tinggal di darat dan mengamankan kondisi darat dari gangguan-gangguan makhluk halus, jika terjadi sesuatu yang menimpa di darat itu sudah merupakan tanggung jawab beliau untuk mengatasinya.
Rute selanjutnya setelah singgah di Tanjung Ru adalah menuju ke Tanah Merah. Di lokasi ini tempat diletakkan balai dan sesaji, serta melepaskan ayam kampung, dari ke 4 dukun tersebut kemudian melakukan ritual sendiri-sendiri secara bergantian, setelah ritual selesai, perjalanan dilanjutkan ke Pelumpang. Di desa Pelumpang ini rombongan singgah dan menginap di desa ini, setelah disambut warga Pelumpang meraka malam harinya akan main musik dan tarian.
Rute perjalanan besoknya adalah menuju Pulau Karimata Tua, di pulau ini para dukun akan melakukan ritual persembahan lagi, Perjalanan berikutnya menuju ke Batu Bertongkat, di tempat ini mereka akan beristirahat sebentar sebelum mereka menuju ke Tanjung Serunai. Sekitar pukul 3 sore mereka harus sudah berada di Tanjung Serunai untuk acara Pecah Perang.
Sementara rombongan yang berkeliling Pulau belum datang, untuk yang di Tanjung Serunai juga terdapat acara yakni pelepasan Jong ke laut. Acara pelepasan Jong dimulai jam 1 siang, sebelum acara dimulai dukun Pak Usuman memimpin persiapan sesaji yang akan diletakkan di Jong. Setelah semua sesaji lengkap diletakkan di Jong, beliau mulai merapal jampi-jampi dan menyalakan kemenyan. Ritual diakhiri dengan melempar beras kuning ke Jong, dan siap dilepaskan di laut. Pemimpin ritual lalu memberi instruksi untuk memainkan musik, dan saat itulah Jong diangkat oleh 2 orang menuju laut, saat itu jong sudah mengambang dan menuju ke tengah laut.
Gambar 2.34
Prosesi pelepasan jong ke laut Sumber : Dokumentasi Peneliti
Ketika rombongan kelompok yang keliling laut tiba, mereka akan disambut oleh kapal yang sudah siap di Tanjung Serunai. Setelah rombongan tiba langsung pecah perang. Yang dimaksud pecah perang ini perang-perangan antara 2 kapal saling berhadapan, mereka akan berkeliling di depan dermaga sebanyak 3 kali untuk perang tersebut. Dalam pecah perang mereka menggunakan limau, buah paku dan pinang. Semua jenis buah tersebut dibuat sarana saling serang diantara kedua kapal tersebut. Berdasarkan penjelasan dukun yang mendampingi ritual ini ketika pecah perang tersebut bila ada yang terkena lemparan mereka tidak akan terasa sakit. Makna dari pecah perang adalah sebagai symbol untuk memerangi hantu laut dan tolak balak.
Setelah pecah perang selesai kemudian kedua kapal melanjutkan perjalanan lagi menuju ke dermaga Benteng Jaya. Di lokasi ini mereka akan melakukan pecah perang lagi seperti yang
dilakukan di Tanjung Serunai. Setelah pecah perang di Benteng Jaya selesai perjalanan dilanjutkan ke lokasi terkhir di padang. Saat sampai di Padang mereka melanjutkan dengan pecah perang lagi, namun bedanya dengan pecah perang sebelumnya adalah pecah perang ini antara darat dan laut. Orang-orang darat sudah menunggu dengan segala perlengkapan perang seperti buah pinang, limau, buah paku.
Gambar 2.35
Salah satu acara pada ritual nyemah laut Sumber : Dokumentasi Peneliti
Ketika rombongan dari laut sampai di padang, begitu sudah terlihat di sungai yang menuju darat mereka akan saling serang dengan kekuatan masing-masing yang sudah dipersiapkan. Acara ritual Nyemah Laut ini selesai ketika dukun pimpinan rombongan melapor ke perwakilan Pemerintahan Desa, bahwa acara sudah dilaksanakan dan sudah selesai.
Dalam ritual Nyemah Laut ini terdapat pantangan-pantangan yang harus ditaati oleh semua masyarakat desa Padang. Jika melanggar pantangan Sangsi akan diterapkan ke semua orang baik itu penduduk asli Padang maupun dari pendatang. Pantangan berlaku
ketika acara ritual Nyemah laut dimulai. Selama 3 hari pantangan tersebut diberlakukan. Terdapat 3 bentuk pantangan yang harus di patuhi, diantaranya adalah :
1. Selama Nyemah Laut tidak boleh melakukan aktifitas laut
2. Selama Nyemah Laut tidak boleh keluar atau masuk Desa Padang 3. Selama Nyemah Laut tidak boleh memetik tumbuhan/menebang
pohon
Sangsi yang diberlakukan ketika ada yang melanggar adalah berupa denda adat yang harus dibayar. Sangsi adat berupa denda uang dan membuat 1000 ketupat. Pelaksanaan sangsi adat ini merupakan wewenang dukun.