• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesesuaian Akad Wadi’ah di Bank Syari’ah dengan Definisi Wadi’ah menurut Syara’

Dalam dokumen Isi Skripsi Analisis Syariah Akad Wadiah (Halaman 89-103)

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

B. Kesesuaian Akad Wadi’ah di Bank Syari’ah dengan Definisi Wadi’ah menurut Syara’

Setelah mengetahui aplikasi wadi’ah dalam bank syariah, penulis mendapati ada beberapa hal yang jika ditelaah lebih lanjut akan ditemukan perbedaan dengan wadi’ah yang sebenarnya (wadi’ah menurut definisi syara’, dalam hal ini penulis mengambil pendapat dari Ali as Salus).

Diketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama maupun praktisi perbankan syariah dalam hal akad wadi’ah dalam produk funding di bank syariah. Ada pendapat yang mendukung maupun setuju bahwasannya produk funding bank syariah menggunakan akad wadi’ah serta ada pula pendapat yang mengatakan bahwa produk perbankan tersebut tidak cocok bila menggunakan akad wadi’ah.

Penerapan akad wadi’ah dalam produk funding bank syariah tidak lepas dari regulasi yang mengaturnya. Dalam pelaksanaannya (khususnya di Indonesia) telah diatur dalam fatwa DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang giro yang memutuskan bahwa giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. Hal yang sama juga terdapat dalam fatwa DSN-MUI No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang

tabungan. Pernyataan inilah yang merupakan pendapat yang mendukung penerapan akad wadi’ah dalam produk funding bank syariah.

Pernyataan lain yang juga mendukung penerapan akad wadi’ah dalam produk funding juga dikemukakan oleh Islamic Deposit Insurance Group Research and Guidance Committee International Association of Deposit Insurers yang meneliti tentang Insurability of Islamic Deposits and Investment Accounts pada bulan Agustus 2014 lalu. Yakni:

Untuk tabungan dan giro wadi’ah, IIFS bertindak sebagai kustodian, menerima simpanan dari nasabah yang meminta agar dananya disimpan oleh pihak bank dan kenyamanan mutlak dalam penggunaannya. Deposan/nasabah adalah pemilik dana dalam kontrak ini. Setelah menerima dana, IIFS dapat menggunakan dana tersebut untuk investasi yang menguntungkan. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo dana mereka setiap saat, dan IIFS menjamin pengembalian dana saldo tersebut setiap saat”.

Praktisi perbankan syariah yang mendukung penerapan akad wadi’ah

dalam produk funding di antaranya yaitu Muhammad Syafi’I Antonio, Ascarya, Prof. Dr. H. Veithzal Rivai S.E.M.M.MBA, Muhammad, dan beberapa praktisi perbankan syariah lainnya yang menyampaikan persetujuannya melalui buku- buku yang mereka tulis.

Pendapat yang mendukung penerapan akad wadi’ah di bank syariah menganggap bahwa sumber dana dari nasabah boleh untuk digabungkan/dicampur untuk kemudian digunakan oleh pihak bank syariah dalam rangka pembiayaan. Sedang bila terdapat keuntungan darinya maka sepenuhnya menjadi milik bank. Bank syariah pun boleh memberikan bonus kepada pemilik dana (nasabah) tanpa ada pemberitahuan atau kesepakatan sebelumnya.

Bila terjadi kerusakan/kerugian yang tidak diduga sebelumnya (bukan kesengajaan pihak bank syariah) maka ada lembaga penjamin simpanan yang menjamin simpanan nasabah hingga 2 miliar rupiah. Atas dasar inilah yang

menjadikan dasar atas kebolehan penerapan akad wadi’ah dalam produk

funding bank syariah. Akad wadi’ah yang digunakan adalah wadi’ah yad dhamanah.

Adapun pendapat yang tidak setuju atas penerapan akad wadi’ah dalam produk funding bank syariah juga memiliki hujjah sendiri. Ini dapat dibuktikan dengan pernyataan menurut Ali as Salus, bahwa wadi’ah pada bank syari’ah bukanlah wadi’ah yang sebenarnya melainkan akad tersebut termasuk ke dalam akad qardh (utang-piutang). Mengutip dari landasan teori di atas, hal tersebut karena bank tidak menjadikannya amanah yang harus dijaga barangnya untuk dikembalikan kepada pemiliknya, tapi (bank) mengkonsumsinya, dalam aktivitasnya, dan mengembalikan semisalnya.

Pendapat Ali as Salus juga didukung oleh pendapat ulama lainnya seperti Abdullah Husain al-Maujaan yang mengatakan dalam kitabnya ahkamul wadi’ah bahwa harta yang berkembang pada bank dengan menggunakan kata

wadi’ah (titipan), maka tidak mungkin dianggap titipan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu alasan beliau adalah Harta yang berkembang pada bank dengan menggunakan kata wadi’ah (titipan), maka tidak mungkin dianggap titipan. Oleh karena itu harta yang berkembang di bank yang dianggap titipan itu adalah muamalah yang masuk kedalam harta riba karena pemilik harta mendapat laba tanpa ada usaha dan tanggungan sedikitpun.

Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Syeikh Muhammad Ibn Qasim al Gazziy yang menganggap perlakuan wadi’ terhadap objek wadi’ah

yang dinilai melampaui batas ialah karena ia menitipkannya pada pihak lain tanpa izin dari pemilik serta tanpa alasan yang jelas (dalam hal ini sumber dana

yang diterima oleh pihak bank untuk kemudian disalurkan dalam bentuk pembiayaan serta dititipkan di bank lain) dan memindahkannya ke tempat lain yang tingkat keamananya lebih rendah daripada tempat semula.

Sumber lain yang juga menganggap akad wadi’ah di perbankan syariah hakikatnya adalah akad qardh yaitu Majallah Buhuts al-Islamiyah, dan al- Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Bab: al-Wadi’ah, Majallah Buhuts al- Islamiyah; 8/247, 8/3001. Ulama lain yang mengatakan hal serupa yakni Al ‘alamah Prof Dr. Abdulr Razzaq As Sanhuri, dan Prof. Ali Jamluddin ‘iwadh,

Syekh Umar bin Abdul Aziz.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis dapat menganalisis akad

wadi’ah di bank syariah dengan beberapa poin berikut ini :

1. Aplikasi wadi’ah di bank syariah tidak sesuai dengan definisi wadi’ah

menurut syara’ (penulis mengacu pada pendapat Ali as Salus yang juga didukung oleh pendapat ulama lainnya).

Sesuai dengan pengertian wadi’ah menurut Ali As Salus dalam kitabnya menerangkan definisi dari wadi’ah yaitu :

اهَبصحص اصَ ىلَعَ كطلَهاتط امَنلإصفَ تاكَلَهَ اذَإصوَ .عصدَواتَسامطلاا دَناعص ظطفَحاتط ةُلنَامَأَ يَهصفَ ةطعَيادصوَلاا املأَ

نصمصاضَ رطياغَ وَهطفَ كَلصذَلصوَ , اهَبص عطافَتصنالاصا هطلَ سَ يالَوَ , عصدَواتَسامطلاا ىلَإص لطقَناتط لَ ةَيلكصلامصلاا نللصَ

هطنامص بص بَسَبص عطايَضى لاا وصأَ اكطلَهَلاا نَاكَ اذَإص للإص , اهَلَ

Wadi’ah adalah amanah yang dijaga oleh orang yang menerima titipan. Apabila titipan (amanah) itu rusak, maka titipan yang rusak itu menjadi risiko pemiliknya, karena kepemilikan (barang) tidak berpindah kepada si penerima titipan, dan dia tidak boleh memanfaatkannya. Oleh karena itu dia (penerima titipan) tidak menanggungnya, kecuali apabila binasa atau hilangnya disebabkan olehnya”201

Pada faktanya, akad wadi’ah menyalahi dari definisi wadi’ah

seperti yang disampaikan oleh Ali as Salus. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Abu Muthiah. Menurutnya, dari sini jelas prinsip dasar wadi’ah

201As-Salus, Ali Ahmad, Mawsu’ah al-Qadhaya al Fiqhiyah al Mua’shirah wa al Iqtishad al- Islami, hal 162

tidak dapat diterapkan terhadap tabungan wadi’ah dalam perbankan. Bank tidak akan bermaksud menjaga zat uang tersebut, tetapi bermaksud menggunakannya untuk mengembalikan semisalnya. Ditambah lagi selama bank diizinkan menggunakan titipan tersebut maka telah hilang keharusan menjaganya karena wadi’ah tersebut hilang dengan digunakan.202

Alasan yang mendasari analisis ini adalah pertama, kepemilikan atas barang berpindah dari penitip (nasabah) kepada pihak penerima titipan (bank). Kedua, titipan nasabah berupa uang digabungkan (pool of fund) dengan sumber dana yang lain. Ketiga, konsekuensi akad wadi’ah ialah barang titipan harus dijaga dan diamankan namun faktanya titipan nasabah digunakan/dimanfaatkan oleh bank untuk kemaslahatannya yakni disalurkan untuk pembiayaan. Keempat, ketika nasabah meminta kembali titipannya, bank memberikan yang semisal dengan titipan nasabah tersebut sehingga tidak murni seperti aslinya.

Dalam referensi lain menyebutkan, jikalau barang titipan itu telah bercampur dengan barang miliknya dan telah dipergunakan untuk diambil manfaatnya, maka ia harus menanggung barang tersebut.203

2. Sebab kemunculan akad wadi’ah yang semula adalah tabarru’ kemudian berubah menjadi tijarah. Maka ini sudah tidak sesuai dengan definisi

wadi’ah seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa akad wadi’ah sifatnya

amanah yakni tidak boleh pihak penerima titipan memanfaatkan barang titipan yang dapat diartikan bahwa bank tidak amanah.

Kebolehan menggunakan al wadi’ah yakni yang dimaksud dengan wadi’ah yad dhamanah ialah apabila penggunaannya untuk memperbaiki barang,

202 www.alsofwah.or.id yang diakses pada tanggal 8 April 2016 pukul 06.30 WIB, tentang “Sudahkah Bank Syariah di Negeri Ini Sesuai dengan Syariah?” yang ditulis oleh Abu Muthiah

203 Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Al-Tanbih fii Fiqhi As-Syafi’I “Kunci Fiqh Syafi’I”, Penterjemah Moh. Hafid Abdullah, Semarang : CV. As-Syifa’, 1992, hlm. 161

karena ketika itu aktivitas tersebut termasuk kepada pemeliharaan dan penjagaan barang. Seperti mengeluarkan wool dari pakaiannya agar tidak dimakan ngengat serta mesin/mobil yang jika tidak digunakan akan berakibat pada kerusakan.

Apabila wadi’ah yang tidak membutuhkan pemeliharaan dan penjagaan dengan menggunakannya seperti uang dan pakaian yang tidk berkibat buruk apabila menyimpannya saja.

3. Pemanfaatan barang titipan dalam akad wadi’ah di bank syariah adalah tidak diperbolehkan, fakta menunjukkan sebaliknya. Bank memanfaatkan barang titipan nasabah maka ini termasuk bathil. Jika bank menginginkan pemanfaatan titipan nasabah yang berupa barang maka akadnya bukanlah

wadi’ah yad dhamanah melainkan berubah menjadi ‘Ariyah (pinjam meminjam). Dengan konsekuensi apabila terjadi kerusakan dan semisalnya maka ia harus bertanggungjawab. Bila nasabah meminta kembali titipan tersebut maka pihak bank harus memberikan barang tersebut sama seperti aslinya. Namun, jika bank menginginkan adanya keuntungan dari pemanfaatan barang titipan maka akad yang digunakan bukanlah akad

wadi’ah (wadi’ah yad dhamanah) melainkan akad mudharabah.

4. Ketidakjelasan pertanggungjawaban dalam akad wadi’ah di bank syariah. Benar bahwa apabila terjadi kerusakan atau kehilangan terhadap barang titipan nasabah yang disebabkan karena kelalaian pihak bank syariah selaku penerima barang titipan, maka pihak bank syariah bertanggungjawab atasnya. Namun yang menjadi permasalahan adalah apabila kerusakan/kehilangan terjadi bukan karena kalalaian atau kesengajaan dari pihak bank semisal karena bencana alam, maka pihak bank tidak

bertanggungjawab atasnya. Sehingga pemilik dana tidak dapat meminta pengembalian barang titipannya (dalam hal ini pemilik dana dirugikan).

Selain itu, setiap dana simpanan nasabah telah dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan hingga sebesar 2 miliar rupiah. Tetapi bila dananya melebihi 2 miliar rupiah, LPS tidak menjamin jika terjadi kehilangan. Inilah yang penulis maksud dengan ketidakjelasan dalam hal pertanggungjawabannya. Dibandingkan dengan akad wad’ah, akad qardh

lebih jelas pihak mana yang bertanggungjawab jika terjadi kehilangan/kerusakan. Jika terjadi kehilangan atau kerusakan maka yang bertanggungjawab adalah pihak yang meminjam, dalam hal ini adalah pihak bank. Baik itu terjadi karena kelalaian ataupun bukan.

5. Pada hakikatnya akad wadi’ah di bank syariah saat ini bukanlah akad

wadi’ah yang sesungguhnya sesuai dengan definisi syara’ melainkan lebih tepat menggunkan akad qardh.

تسيل يهف , اهتقيقح ريّغب تيمإس اكونبلا عئادو نأب لوقلا نكمي ّقبإس ام ءوض يف

يف اهكلهتسي امنإو اهباحصأ ىاإ درتل اهنيعب ظفتحي ةحنامأ اهذخأي ل كنبلا نل , ةعيدو

لثملا درب مزتليو هلامعأ

.

“Pada pendapat sebelumnya mungkin saja ada ungkapan bahwa wadi’ah pada bank dinamai tidak dengan hakikatnya. Maka ia (wadi’ah pada bank) bukanlah wadiah. Karena bank tidak menjadikannya amanah yang harus dijaga barangnya untuk dikembalikan kepada pemiliknya, tapi (bank) mengkonsumsinya dalam aktifitasnya, dan mengembalikan semisalnya.”204

Apabila kita memperhatikan undang-undang maka kita dapati aturan syari’at di sebagian besar negara-negara Arab menganggap wadi’ah ini sebagai qardh. Pendapat Ali as Salus juga didukung oleh Al ‘alamah Prof

204 As-Salus, Ali Ahmad, Mawsu’ah al-Qadhaya al Fiqhiyah al Mua’shirah wa al Iqtishad al- Islami, hal.163

Dr. Abdul Razzaq As Sanhuri berkata dalam bukunya “Al wasith fi Asy syarhi Al qonuni Al madani”:205

((ىلَإص ضَ رَتَقامطلاا ءصياشللا ةَيلكصلامص لطقطنايَ ضَ راقَلاا نلاَ يفص ةصعَيادصوَلاا نصعَ ضط راقَلاا زطيلمَتَيَوَ

ةَيلكصلامص لطقطناتَ لَ فَ ةطعَيادصوَلا املأَ , ضص رصقامطلاا ىلَإص ضص راقَلاا ةصيَاهَنَ يفص هطلَثامص دلرطيَ ناأَ ىلَعَ ضص رَتَقامطلاا

نلأَ ىلَإص اذَهَ . اتص اذللابص هطدلرصتَسايَوَ عصدىوَمَلاا كطلامص ىقَبايَ لابَ , هطدَناعص عصدلوَمطلاا ىلَإص عصدلوَمطلا ءصياشللا

عطفصتَنايَ لَ فَ هطدَناعص عطدلوَمطلا املأَ , هطلَاكَلصامَ حَبَصا أَ ناأَ دَعابَ ضص راقَلاا ّغصلىبَمطبص عطفصتَنايَ ضَ رصتَقامطلا

هصبصحصاصَ ىلَإص هطديرطيَ ىتلحَ هصظصفاحصبص مطزصتَلايَ لابَ عصدَوامَلا ءصياشللابص

“Qardh itu berbeda dengan wadi’ah. Pada aqad Qardh ada pemindahan kepemilikan terhadap sesuatu dari pemberi pinjaman kepada peminjam dan peminjam mengembalikan dengan yang serupa dengan yang (ia pinjam) pada akhir waktu peminjaman. Adapun wadi’ah tidak ada perpindahan kepemilikan penitip kepada yang diberi titipan, tetapi kepemilikan tetap bagi orang yang menitip dan (yang diberi titipan) harus mengembalikan barang yang asli. Peminjaman memanfaatkan barang sampai akhir pinjaman setelah menjadi miliknya (milik peminjam), adapun orang yang diberi titipan tidak memanfaatkan sesuatupun barang titipan tetapi ia harus menjaganya sampai dikembalikan kembali ke pemiliknya.

Prof. Ali Jamluddin ‘iwadh dalam bukunya aktifitas bank-bank dari segi hukum juga menguatkan pendapat dari Ali as Salus yang menerangkan: “Apabila kita menyaksikan utamanya pada wadi’ah bank kita dapati (wadi’ah itu) seperti qardh. Karena wadi’ah itu ada dengan tujuan untuk memelihara/menjaga (harta) dan penerima titipan melayani penitip. Pada qardh peminjam menggunakan harta orang lain harta pada suatu kemaslahatan”.

Dilihat dari definisi menurut Ali as Salus dan didukung dengan pendapat ulama lainnya, aplikasi akad wadi’ah di bank syari’ah lebih tepat bila menggunakan akad qardh bukan akad wadi’ah. Hal ini sesuai dengan definisi qardh menurut salah satu ulama yakni Hanafiyah sebagai berikut :

ديرطيَ صُل واصط خامَ دُلقاعَ وَهط ىرَخاأط ةصرَابَعصبص واأَ ,ءطاضَ اقَلص ىلصثامص للامَ نامص هصياطصعاتَ امَ وَهط ضط راقَلااَ

هطلَثامص ديرطيَلص رَخَلصَ ىلصثامص للامَ عصفاد ىلَعَ

Qardh adalah harta yang diberikan kepada orang lain dari mal mitsli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.206

Akad wadi’ah akan berubah menjadi qardh saat pihak muda’

mengambil manfaat dari barang tersebut, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Zubair bin Awwam ra. Berikut penjelasannya. Rasulullah SAW yang dikenal julukan al Amin, dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayyidina Ali ra untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya. dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut.207

Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilih tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda: pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban mengembalikannya utuh.208

Aplikasi akad ini menjadikan nasabah bertindak selaku pihak kreditur (pemberi pinjaman dana) dan bank bertindak selaku debitur (peminjam dana). Implikasinya yakni harta yang semula milik nasabah ketika terjadi

206 Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. III, 1989 hlm.720

207 Buku Saku Perbankan Syariah yang diterbitkan oleh Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan dibagikan secara gratis ke masyarkat. Jakarta, 2005.

akad qardh dengan bank maka harta tersebut berpindah kepemilikan menjadi milik bank. Berbeda dengan wadi’ah apabila diserahkan harta dari nasabah kepada bank maka harta tersebut tetap menjadi milik nasabah bukan bank. Selain itu, akad qardh dalam pelaksanaan atau penerapannya tidak boleh ada tambahan. Karena bila ada tambahan maka tambahan itu adalah riba.

6. Dalam akad wadi’ah di bank syariah diperbolehkan bank mengenakan biaya administrasi kepada nasabah.

7. Dalam penerapannya pun bank memberikan bonus kepada nasabah. Padahal telah jelas bahwa produk funding di bank syariah dengan akad wadi’ah pada hakikatnya adalah akad qardh. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Rabiah Adawiah Engku dalam penelitiannya yang berjudul “Applied Shari’ah in Financial Transactions” yang menyimpulkan bahwa “Pemahaman kontemporer dan dipraktikkan Wadi'ah Yad Dhaman hanya lebih seperti Qardh (pinjaman), sehingga semua prinsip-prinsip pinjaman akan berlaku.” Maka tambahan (bonus) yang diberikan oleh bank syariah dalam akad ini hukumnya haram untuk diambil karena ia tergolong sebagai riba.

Seperti yang dijelaskan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fikih Sunnah jilid 5, akad hutang-piutang tidak bukan salah satu sama untuk memperoleh penghasilan dan bukan pula salah satu cara untuk mengeksploitasi orang lain. Oleh karena itu, orang yang berutang tidak boleh mengembalikan kepada orang yang memberi hutang kecuali apa yang telah diutangnya atau yang serupa dengannya.209 Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih :

ابَرصوَهطفَ ةحعَفَنامَرلجَ ضل راقَ ليك

”Setiap qardh yang meminta manfaat adalah riba”210

Dalam riwayat yang lain dijelaskan :

هضرق ىلع ةدايز طرتشا اذإ ضرتقملا نأ ىلع ءاملعلا ّقفتا دقو : ةيميت نبا لاق

امارح كلذ ناك

Imam Ibnu Taimiyyah berkata, “Ulama telah sepakat bahwa pemberi pinjaman (qardh) jika mensyaratkan tambahan atas pinjamannya (qardh), maka tambahan itu haram.”211

فلخ ريّغب مارح وهف هديزي نأ هيف طرش ضرق لك ةمادق نبا لاق

Imam Ibnu Qudamah berkata, “Setiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan padanya, maka tambahan itu adalah riba tanpa ada perbedaan pendapat.”212

Keharaman ini berlaku jika manfaat dari akad hutang piutang disyaratkan atau disesuaikan dengan tradisi yang berlaku. Jika manfaat ini tidak disyaratkan dan tidak dikenal dalam tradisi, maka orang yang berhutang boleh membayar hutangnya dengan sesuatu yang lebih baik kualitasnya dari apa yang diutangnya, atau menambah jumlahnya, atau menjual rumahnya kepada orang yang memberi hutang.213

Bank ketika memberikan bonus kepada nasabah, maka jatuhnya adalah riba karena setiap pinjaman yang disertai tambahan maka tambahan itu adalah riba.

8. Penerapan akad wadi’ah di bank syariah yang sesuai dengan definisi syara’ dapat dijelaskan sebagai berikut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, akad wadi’ah yad amanah yang sesuai dengan definisi syara’ ialah ketika barang titipan itu tidak dicampur dengan harta lain yang akan mengakibatkan akan sulit untuk dipisahkan serta terjadi kerusakan/perpecahan/perselisihan. Bisa saja dengan menempatkan barang titipan tersebut pada suatu tempat khusus yang terjamin keamanannya.

210 Muhammad Abdul Aziz Al Halawi, Fatawa Wa Aqhdiyah Amiruk Mukminin, alih bahasa Zubeir Suryadi Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hal. 378

211 Majmu’ul Fatawa, Juz 29, hlm.334 212 Al Mughni, Juz 4, hlm. 360 213 Ibid, hlm. 238

Akad wadi’ah yad amanah mengharuskan pihak bank menjaga dan mengamankan titipan nasabah baik dalam bentuk barang maupun uang. Keduanya harus disimpan dalam suatu tempat tertentu sehingga terjaga keasliannya seperti dalam lemari dan semisalnya. Nasabah pun ketika meminta kembali titipannya, ia akan menerimanya dalam bentuk yang masih utuh seperti saat diserahkan pertama kepada bank.

Sedangkan penerapan wadi’ah yad dhamanah yang sesuai dengan definisi syara’ ialah barang titipan yang berupa barang yang mengharuskan untuk digunakan, apabila tidak digunakan maka akan timbul kerusakan. Uang tidak tergolong pada barang titipan yang diizinkan penggunaannya karena bila hal tersebut terjadi maka seringkali akan timbul kerusakan/hilang serta dapat pula terjadi perselisihan/perpecahan.

Maka telah jelas bahwa akad wadi’ah di bank syari’ah bukanlah akad

wadi’ah yang sesungguhnya melainkan itu adalah akad qardh. Tetapi hal ini menjadi berbeda kondisi apabila titipan nasabah berupa barang atau uang sama sekali tidak dimanfaatkan oleh bank dan bank hanya menjaga serta mengamankan titipan dengan tidak mengubah keaslian dari titipan tersebut maka akadnya ialah wadi’ah yad amanah karena sesuai dengan definisi syari’ahnya.

Untuk memudahkan pembaca dalam memahami akad wadi’ah di bank syariah dan kesesuaiannya dengan definisi wadi’ah menurut syara, disamping penulis telah memberikan deskripsi seperti di atas, penulis juga membuat diringkasan dalam bentuk tabel seperti tabel di bawah ini.

Tabel 1. Kesesuaian Akad Wadi’ah Di Bank Syariah Dengan Definisi Wadi’ah

Menurut Syara

Definisi Titipan yang amanah Titipan yang diizinkan penggunaannya Sebab kemunculan akad Tabarru’ Tabarru’ Landasan Hukum QS. An Nisa : 58, QS. Al Baqarah : 283 QS. An Nisa : 58, QS. Al Baqarah : 283

Subjek akad Penitip (kreditur) dan pihak yang menerima titipan (debitur)

Penitip (kreditur) dan pihak yang menerima titipan (debitur)

Objek akad Uang dan Barang Uang dan Barang

Kepemilikan setelah Akad

Milik penitip barang (bank) Milik penitip barang (bank) Konsekuensi

Akad

Barang titipan harus dijaga dan diamankan

Barang titipan boleh digunakan

Dan lain lain

Pemanfaatan Tidak boleh digunakan Boleh digunakan

Pengembalian Tetap Tetap

Pengenaan Biaya

Biaya Administrasi, B. ganti pin, B. penarikan tunai, B. cek saldo, rekening dormant

Biaya Administrasi, B. ganti pin, B. penarikan tunai, B. cek saldo, rekening dormant

Bonus Tergantung pihak bank Ada

Hakikatnya QARDH QARDH

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah penulis deskripsikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Penerapan akad wadi’ah di bank syariah saat ini tidak sesuai dengan definisi wadi’ah menurut pendapat Ali as Salus yang juga didukung oleh

ulama lainnya baik akad wadi’ah yad amanah maupun wadi’ah yad dhamanah.

2. Penerapan akad wadi’ah di bank syariah dengan barang titipan (wadi’ah) berupa uang pada hakikatnya merupakan akad qardh bukan akad wadi’ah.

3. Penerapan akad wadi’ah yang benar/tepat pada bank syariah ialah:

a) Akad wadi’ah yad amanah yakni dengan tidak mencampur barang titipan dengan harta lainnya yang memungkinkan sulit dipisahkan atau dapat menimbulkan kerusakan atau kehilangan juga perpecahan atau perselisihan, serta menempatkan barang titipan pada suatu tempat khusus yang terjamin keamananya, sehingga jika sewaktu-waktu

muwaddi’ meminta kembali al wadi’ah maka ia akan mendapati al wadi’ah dalam keadaan utuh seperti ketika awal ia menitipkannya. b) Akad wadi’ah yad dhamanah yakni barang titipan selain uang/pakaian

dan semisalnya (seperti mesin/mobil) yang mengharuskan bagi wadi’

untuk menggunakannya tanpa perlu untuk meminta izin dari muwaddi’. Kepemilikan al wadi’ah masih menjadi milik muwaddi’. Apabila terjadi kerusakan maka wadi’ yang menanggung.

4. Pemberian bonus dalam akad wadi’ah di bank syariah yang hakikatnya adalah qardh maka bonus tersebut merupakan riba yang diharamkan menurut syara.

B. Saran

Dalam dokumen Isi Skripsi Analisis Syariah Akad Wadiah (Halaman 89-103)

Dokumen terkait