• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Kesesuaian lokasi usaha tambak

Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan

serta pola tata guna tanah yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya,

sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha

pemeliharaan kelestariannya (Hardjowigeno 2001). Kapetsky dan Travaglia

(1995) menekankan bahwa investor yang tertarik dalam bidang pengembangan

budidaya juga membutuhkan informasi spasial khususnya pada saat pemilihan

lokasi dari beberapa alternatif pilihan lokasi yang memiliki perbedaan

karakteristik biofisik dan sosial ekonomi. Penilaian kesesuaian lahan merupakan

suatu penilaian secara sistematik dari lahan dan menggolongkannya ke dalam

kategori berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi

kesesuaian lahan bagi suatu usaha tertentu (Bakosurtanal 1996).

Menurut Rossiter (1996), evaluasi kesesuaian lahan sangat penting dilakukan

karena lahan memiliki sifat fisik, sosial, ekonomi dan geografi yang bervariasi

atau dengan kata lain lahan diciptakan tidak sama. Adanya variasi sifat tersebut

dapat mempengaruhi penggunaan lahan yang sesuai, diantaranya untuk

budidaya tambak.

Lokasi budidaya tambak di pesisir harus memperhatikan keberadaan dan

kelestarian mangrove, karena kawasan mangrove memiliki peranan yang sangat

penting, maka diperlukan pengelolaan yang pada dasarnya memberikan legitimasi agar dapat tetap lestari. Penetapan jalur hijau mangrove sebagai

Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor KB.550/264/Kpts/4/1984 dan Nomor

082/Kpts-II/1984, yang menyebutkan bahwa lebar sabuk hijau mangrove adalah 200 m. Surat Keputusan tersebut kemudian dijabarkan melalui Surat Edaran

Nomor 507/IV-BPHH/1990 tentang penentuan lebar sabuk hijau hutan mangrove,

yaitu sebesar 200 meter di sepanjang pantai dan 50 m disepanjang tepi sungai.

Keputusan tersebut diperkuat dengan Keputusan Presiden No.32 tahun 1990

tentang pengelolaan kawasan lindung, yakni lebar jalur hijau (m) adalah 130 x

rata- rata tunggang air pasang purnama (tidal range).

Beberapa komponen penting yang harus diperhatikan guna mewujudkan

keberhasilan usaha tambak yaitu pasokan air, topografi, tipe tanah, vegetasi,

elevasi, serta pengaruh aliran sungai dan banjir (Rabanal et al. 1976, diacu dalamAbdurrahman 2004). Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan

kesesuaian lokasi tambak, antara lain:

2.5.1 Sumber air dan kualitasnya

Salah satu faktor yang menunjang kelangsungan usaha tambak udang adalah sumber air laut. Laut adalah sumber utama pemasok air bagi

pertambakan air payau. Pasokan air tawar untuk tambak dapat diperoleh dari

aliran sungai, saluran irigasi untuk sawah, dan sumur air tanah (Poernomo 1992).

Tambak dibangun dipinggir pantai untuk kemudahan pengairan, yakni

pengisian dengan air laut atau air payau (Kordi dan Tancung 2007). Tambak

udang biasanya dikembangkan di kawasan intertidal, pada area terlindung dekat

sungai, muara sungai, dan area mangrove. Selain sebagai sumber pasokan air,

kedekatan tambak dengan pantai bertujuan untuk mencapai kesempurnaan

pengeluaran air limbah. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap proses pengeringan dasar tambak yang lebih baik, dengan catatan bahwa lokasi

Diluar kuantitas pasokan air yang cukup, kualitas air perlu diperhatikan dalam

usaha tambak. Persyaratan mutu air tambak untuk budidaya udang ditampilkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kualitas air tambak udang

No Parameter Satuan Nilai Ditoleransi Optimum A. Fisika 1 Temperatur (****) °C 23 – 33 26 – 30 2 Salinitas (**) 10,0 – 35,0 15,0 – 20,0 B. Kimia

3 Oksigen terlarut (DO) (*) mg/l  3 4,0 – 8,0

4 pH (****) 6,0 – 9,0 7,5 – 8,5 5 BOD (**) mg/l < 45 < 10 6 NH3 (amonia) (***) Ppm 0,1 0 7 Nitrit (NO2) (**) Ppm < 0,5 0 8 Alkalinitas (***) mg/l  20 80 – 120 9 Organofosfat (***) Ppm < 0,10 0

Sumber: (*)Boyd (1991); (**)Wyban dan Sweeny (1991); (***)Effendi (2003); (****)Amri dan Kanna (2008)

2.5.2 Karakteristik tanah

Tanah yang baik untuk pertambakan adalah liat berpasir atau liat berlumpur.

Tanah tambak umumnya terbentuk dari hasil endapan (alluvial), sehingga kesuburannya sangat ditentukan oleh jenis dan kualitas material yang

diendapkannya (Afrianto dan Liviawaty 1991). Kualitas tanah tambak berperan

penting dalam usaha budidaya tambak, bukan hanya karena pengaruhnya

terhadap produktivitas maupun kualitas air yang berada diatasnya, namun juga

karena faktor kesesuaiannya untuk konstruksi pematang dan selokan disekitar

tambak (Pillay dan Kutty 2005).

Kemampuan tambak dalam menahan volume air didalamnya dipengaruhi

oleh karakteristik tanah. Tekstur dan porositas adalah dua properti fisik yang

paling penting, dimana tekstur bergantung pada proporsi konstituen tanah

berlumpur (silty clay), lempung berliat (clay loam), lempung liat berlumpur (silty clay loam) dan liat berpasir (sandy clay) lebih sesuai untuk konstruksi tambak. Hal ini dikarenakan tekstur tersebut memiliki luas permukaan yang lebih besar

dan dengan demikian dapat menyerap lebih banyak nutrien dan menahan

kemudian melepaskan kembali untuk pembentukan bahan organik dalam tambak

(Pillay dan Kutty, 2005). Karakteristik tekstur tanah ditunjukkan dalam Tabel 2.

Pada tambak udang intensif diperlukan dasar tambak yang kompak dan keras

agar kualitas dasar tambak dapat dipertahankan selama periode pemeliharaan.

Tabel 2. Hubungan antara tekstur tanah dengan kelayakannya sebagai lahan tambak

Tekstur tanah Permeabilitas Kepadatan Kelayakan

Liat (Clay) Kedap air Cukup Sangat baik

Liat berpasir (Sandy

clay) Kedap air Baik Baik

Lempung (Loam) Semi kedap air Sedang Sedang

Silty Semi kedap air Jelek - baik Jelek

Peaty Kedap air Jelek Buruk

Sumber: Afrianto dan Liviawaty (1991)

2.5.3 Topografi

Usaha budidaya tambak sebaiknya memilih lokasi yang datar dan tidak lebih tinggi dari pasang tertinggi atau lebih rendah dari surut terendah. Hal tersebut

berkaitan dengan kemudahan dalam penggalian dan perataan tanah, pergantian

air tambak dan pengeringan serta menghindari kesulitan dalam pengelolaan air

(Poernomo 1992). Pada tanah bergelombang dimungkinkan terjadinya

penggalian tanah yang banyak dan menyebabkan lapisan tanah yang subur terbuang. Tanah yang datar umumnya memiliki tingkat kelerengan sekitar 0 – 3% (Jamulya dan Sunarto 1996).

2.5.4 Curah hujan

Daerah yang ideal untuk dijadikan lahan tambak adalah daerah dengan curah hujan 2000 mm/ tahun dengan bulan kering 2 -3 bulan. Apabila curah hujan

melebihi 2000 mm/ tahun dan tidak terdapat bulan kering atau hujan sepanjang

tahun, maka akan menimbulkan masalah besar. Kondisi seperti ini sangat

penting untuk diperhatikan, agar tambak dapat berproduksi lebih baik dan stabil,

untuk memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan mineralisasi bahan organik,

dan menghilangkan bahan toksik seperti H2S, serta untuk menumbuhkan pakan

alami dalam tambak, maka perlu dilakukan pengeringan dasar tambak secara

rutin menjelang penebaran benur, yang mana semua hal tersebut memerlukan

bulan kering (Soeseno 1988)

2.5.5 Pasang surut

Dua hal yang berkenaan dengan pasang surut adalah proses pemasukkan

dan pembuangan air dalam proses produksi tambak. Pola pasang surut air akan

mempengaruhi tipe dan manajemen tambak serta biaya operasinya. Agar

kelancaran pengelolaan terjamin baik perlu diperhatikan agar tambak terletak

pada lokasi dimana pasang- surutnya menguntungkan (Poernomo 1992).

Kisaran fluktuasi pasang surut air laut yang dianggap memenuhi persyaratan

untuk tambak adalah 1,7 – 2 meter. Jika suatu daerah memiliki fluktuasi pasang surut lebih dari dua meter, maka daerah tersebut membutuhkan pematang ekstra

kuat untuk menahan air pasang. Daerah dengan tunggang pasut lebih rendah

dari 1,7 meter menyebabkan kurangnya suplai air untuk memenuhi kebutuhan

tambak, namun masih dapat dijadikan sebagai tambak, dengan memanfaatkan

pompa untuk membantu mengalirkan air dari dan ke dalam tambak (Martosudarmo dan Ranoemihardjo 1992). Gedrey et al. (1984), diacu dalam Pillay dan Kutty (2005) mengestimasi bahwa konstruksi dan pengoperasian

usaha tambak dengan sistem pompa akan lebih ekonomis daripada tambak yang

bergantung pada pasang surut.

2.6 Data

Data merupakan sekumpulan fakta mentah yang mewakili kejadian yang berlangsung dalam organisasi atau lingkungan fisik sebelum ditata dan diatur ke

dalam bentuk yang dapat dipahami dan digunakan orang (Laudon dan Laudon

1998). Data dapat diolah lebih lanjut untuk menjadi sesuatu yang lebih

bermakna, dan selanjutnya disimpan dalam database.

2.7 Informasi

Informasi memiliki pengertian berbeda dengan data. Informasi merupakan hasil olahan data sehingga lebih bermakna. Hoffer et al. (2005) menyatakan bahwa informasi adalah data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga

meningkatkan pengetahuan seseorang yang menggunakannya. Informasi dapat

sangat berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam pengambilan keputusan

saat ini atau di masa mendatang (Davis 1999). Pemrosesan data menjadi

sebuah informasi (Gambar 3) dapat melalui beberapa tahap seperti peringkasan,

pererataan, penyajian dalam bentuk grafik, atau pemrosesan lainnya, dengan

tujuan memudahkan interpretasi bagi pengguna (Kadir 2009).

Gambar 3. Data, proses, dan informasi

Data Informasi PROSES - Peringkasan - Penyajian grafik - Pengolahan - Transformasi

2.8 Database

Database adalah kumpulan terorganisir dari data yang secara nalar saling berkaitan (Hoffer et al. 2005). Menurut Prahasta (2009) database atau basis data adalah kumpulan data non-redundant yang saling terkait satu sama lainnya, dalam usaha membentuk bangunan informasi yang penting (enterprise) dan dapat digunakan bersama oleh sistem aplikasi yang berbeda. Penerapan

database dalam suatu sistem informasi dinamakan database sistem, yaitu sebuah sistem informasi yang mengintegrasikan kumpulan data yang saling

berhubungan, dan membuatnya tersedia untuk beberapa aplikasi (Kadir 2008).

Komponen- komponen utama dalam sebuah sistem database adalah perangkat keras (hardware), sistem operasi, database, sistem pengelola database (DBMS), pemakai (user), dan aplikasi (perangkat lunak) lainnya (optional) (Fathansyah

2002).

Database dikelola dengan perangkat lunak yang memungkinkan pengguna memakai, memelihara dan mengakses sumberdaya data secara efisien yakni

DBMS atau Database Management System. Kelebihan penggunaan DBMS adalah mengurangi duplikasi data dan untuk keamanan data (Mulyanto 2009).

Kecenderungan peningkatan penggunaan DBMS adalah dalam pengelolaan data

SIG dan data non-spasial. Hampir semua Sistem Informasi Geografis yang

bersifat komersil turut menyertakan beberapa bentuk dari DBMS (Aronoff 1991).

2.8.1 Database Relasional

Database relasional adalah jenis database yang menggunakan model data relasional, dan merupakan jenis database yang sering digunakan saat ini. Model

database relasional terdiri dari data yang direpresentasikan dalam bentuk tabel yang terdiri dari sejumlah baris dan kolom, yang ternormalisasi dengan field kunci sebagai penguhubung relasional antar tabelnya. Model data relasional memiliki

beberapa kelebihan, antara lain cenderung mudah diakses, fleksibel, mudah

dikembangkan strukturnya, serta operasi penambahan atau pengurangan yang diberlakukan tidak menyebabkan anomali atau perubahan hubungan antar tabel

(Prahasta 2009).

Kadir (2009) mengungkapkan bahwa setiap tabel dalam database model relasional dapat berhubungan yang dibentuk melalui mekanisme kunci primer

(primary key) dan kunci asing (foreign key). Kunci primer berperan sebagai identitas yang unik dari setiap record, sedangkan kunci asing adalah kolom yang berperan sebagai penghubung dengan kunci primer di tabel lain (Mulyanto 2009).

Ilustrasi hubungan antar tabel dalam model database relasional ditunjukkan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Kunci primer dan kunci asing dalam hubungan antar relasi