• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS PENERAPAN AKAD MURABAHAH DALAM

A. Kesesuaian Praktik Akad Murabahah dalam Pembiayaan Griya iB

Berdasarkan kaidah fikih bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Kaidah ini menjadikan fikih muamalah fleksibel dan up to date. Sehingga syariah dapat menangkap segala transaksi mauamalah. Fikih muamalah fleksibel, tidak kaku, dan tidak ketinggalan dalam menjawab perkembangan kontemporer interaksi dan transaksi sosial.1

Pembiayaan perumahan inden adalah pembiayaan yang dilakukan oleh nasabah yang hendak memiliki hunian rumah dimana pihak bank dapat memperoleh pembayaran margin dari nasabah kendati rumah tersebut belum jadi. Dalam perbankan konvensional, pembayaran ini dapat dilakukan karena perbankan konvensional menerapkan bunga sehingga mereka tidak merasa kesulitan untuk menarik pembayaran dari nasabah. Proses ini disebut interest during construction (IDC). Maka dari itu, IDC tidak bisa diterapkan dalam perbankan syariah yang sesuai dengan prinsip islam yang melarang keras adanya bunga/riba. Maka dalam pelaksanaan pembiayaan perumahan inden dapat menjadi gharar apabila akad yang digunakan tidak tepat dengan ketentuan Fatwa DSN-MUI dan Surat Edaran OJK.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti kepada Bapak Achmad Rivani Fauzi selaku Administrasi Kredit di Bank BNI Syariah Cabang Fatmawati, bahwa Bank BNI Syariah Kantor Cabang Fatmawati menggunakan akad Murabahah dalam

48

pembiayaan Griya iB Hasanah khususnya untuk pembiayaan perumahan inden adalah untuk memudahkan dalam hal pencatatan dan sudah terbiasa menggunakan akad tersebut dan memodifikasinya. Jika nasabah macet dalam angsuran, pihak bank memberikan opsi kepada pihak nasabah untuk mengkonversi pembiayaan perumahan tersebut terjadi akad Musyarakah Mutanaqisah.2 Pembiayaan Griya iB Hasanah ini mengacu pada Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah.

Jadi jika merujuk pada Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 36/SEOJK.03/2015 Tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, bahwa akad Murabahah tidak sesuai digunakan untuk pembiayaan KPR Inden dikarenakan karakteristik akad tersebut digunakan hanya untuk barang yang mempunyai wujud (ready stock). Apabila tidak memenuhi syarat itu akan menimbulkan resiko, karena ada ketentuan-ketentuan yang tidak terpenuhi sebagai penunjang bahwa akad Murabahah dapat diaplikasikan dalam Griya iB Hasanah inden. Jika merujuk kepada Fatwa DSN dan SEOJK. Maka KPR inden ini sebaikanya menggunakan akad Musyarakah Mutanaqisah yang berdasarkan akad Al-Ijarah Al-Maushufah fi Al-Dzimmah, akad Murabahah Pesanan, maupun akad Istishna’. Akad-akad tersebut memenuhi persyaratan untuk diaplikasikan pada pembiayaan KPR inden yang membolehkan barang/objek dari pembiayaan tersebut belum berwujud atau belum tersedia. Akan tetapi akad Murabahah Pesanan belum mempunyai dasar hukum yang jelas terkait pembiayaan KPR dengan sistem inden. Ketidakjelasan dasar hukum terkait akad Murabahah Pesanan dapat menjadikan celah jika terjadi wanprestasi dalam pembiayaan tersebut. 3

Dalam akad Murabahah itu, pembeli pertama belum menjadi pembeli yang sebenarnya, dikarenakan nasabah hanya mengajukan pembiayaan kepada pihak bank dan bank yang membelikan barang tersebut yang akhirnya baru diserahkan kepada pihak nasabah. Nasabah belum ada transaksi jual beli sebelum bank

2 Hasil Wawancara dari Bapak Achmad Rivani Fauzi selaku bagian Administrasi Kredit di Bank BNI Syariah Kantor Cabang Fatmawati pada 16 Juli 2020 10.05 WIB.

3 Hasil Wawancara dengan Rudi Widodo selaku Kepala Sub Bagian Pengembangan Perbankan Syariah di Otoritas Jasa Keuangan pada 27 Juli 2020 12.08 WIB.

49

memiliki barang/objek tersebut. Pesanan nasabah kepada bank belum termasuk jual beli. Sedangkan akad Istishna’, pesanan yang dilakukan oleh pihak nasabah kepada pihak bank sudah termasuk pembelian.

Akad Murabahah yang digunakan untuk pembiayaan KPR dalam bentuk inden tidak tepat, dikarenakan hanya bahan bangunan/materialnya saja. Maka dari itu, akad Murabahah yang digunakan akan menjadi banyak seperti membeli batu, semen, pasir dan lain-lain. Seharusnya akad Murabahah digunakan untuk membeli objek dalam bentuk rumah bukan bahan material. Sedangkan inden itu belum berbentuk barang, akan tetapi masih dalam bentuk pesanan. Pesanan di dalam Fiqih Muamalah lebih tepat menggunakan akad Istishna’ atau akad Salam. Sesuatu yang belum ada, tetapi kualitas dan kuantitasnya sudah jelas di awal. Sedangkan akad Murabahah yang digunakan untuk pembiayaan inden tidak tepat, dikarenakan barang yang belum ada akan tetapi sudah diperjualbelikan. Akad Murabahah tersebut bisa menjadi permasalahan dalam fiqih yaitu Ba’i Ma’dum atau barang yang belum dimiliki/tidak ada lalu diperjualbelikan dan barang tersebut bersifat gharar atau tidak jelas.

Penggunaan akad Murabahah dalam pembiayaan Griya iB Hasanah inden tidak tepat dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 36/SEOJK.03/2015 Tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah pada karakteristik akad Murabahah yang berbunyi “Barang yang menjadi aset murabahah harus sudah wujud dan sudah tersedia atau siap pakai (ready stock) pada saat akad.” Dari karakteristik tersebut menyatakan bahwa akad Murabahah tidak tepat jika digunakan dalam pembiayaan Griya iB Hasanah Inden dikarenakan barang dalam akad Murabahah harus bersifat jelas diketahui kuantitas, kualitas, harga perolehan dan spesifikasinya.

Sebagaimana penjelasan dari ketentuan di atas, bahwa dalam pembiayaan Griya iB Hasanah khusunya rumah inden tidak tepat menggunakan akad Murabahah dikarenakan rumah inden yang bersifat masih belum jelas dan kemungkinan bisa terjadi tidak sesuai dengan spesifikasi yang nasabah inginkan.

50

Akad yang tepat dengan pembiayaan tersebut adalah akad Musyarakah Mutanaqisah, dan akad Al-Ijarah Al-Maushufah fi Al-dzimmah. Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/SEOJK.03/2015 Tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang berbunyi, “aset Musayarakah Mutanaqisah (MMQ) dapat berupa: a. Aset berwujud atau sudah tersedia atau siap pakai (ready stock); dan/atau b. Aset belum berwujud atau inden.” Sesuai dengan hal tersebut menyatakan bahwa aset akad Musyarakah Mutanaqisah dapat berupa berwujud atau sudah tersedia maupun aset yang belum berwujud atau inden. Dalam hal aset Musyarakah Mutanaqisah merupakan barang belum berwujud atau inden, maka harus menggunakan akad Musyarakah Mutanaqisah yang berdasarkan akad Ijarah Maushufah fi al-Dzimmah, kemudian ada akad Murabahah dengan pesanan, dan akad Istishna’.

Mengacu pada pedoman implementasi MMQ, maka terhadap produk MMQ belaku akad Musyarakah Mutanaqisah, dimana syirkah dalam akad MMQ ini adalah syirkah al-inan, dengan persyaratan paling kurang sebagai berikut:

a) Berlaku ketentuan hukum yang diatur dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 8/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Musyarakah;

b) Akad harus secara jelas memuat karakteristik MMQ;

c) Seluruh porsi hishshah Bank Syariah/LKS beralih kepada nasabah setelah seluruh proses pengalihan selesai;

d) Pendapatan dari MMQ dapat berasal dari margin apabila kegiatan usahanya berdasarkan prinsip jual beli; bagi hasil apabila kegiatan usahanya berdasarkan Musyarakah atau Mudharabah; dan ujroh apabila kegiatan usahanya berdasarkan prinsip ijarah. Pembagian keuntungan atau bagi hasil berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengikuti proporsi kepemilikan modal. Proyeksi keuntungan dalam pembiayaan MMQ dapat didasarkan pada pendapatan masa depan (future income), pendapatan proyeksi (projected income) yang didasarkan pada pendapatan historis (historical income) dari

51

kegiatan MMQ atau pada dasar lain yang disepakati;

e) Dalam hal kegiatan MMQ menggunakan prinsip sewa (ijarah), maka objek dapat dimanfaatkan oleh nasabah atau pihak lain dengan membayar ujrah yang disepakati. Dengan demikian, apabila nasabah yang memanfaatkan objek MMQ, maka nasabah merupakan pihak yang mengambil manfaat dari objek tersebut (intifa’ bil ma’jur) dan membayar ujrah;

f) Dalam hal kegiatan usaha MMQ menggunakan prinsip sewa menyewa dan objek ijarah yang dibiayai dalam proses pembuatan pada saat akad (indent), maka seluruh rincian kriteria, spesifikasi dan waktu ketersediaan objek harus dinyatakan dan disepakati, baik kualitas maupun kuantitasnya (ma’luman mawshufan mudhabithan munafiyan lil jahalahl), sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian (gharar) dan perselisihan (niza’).

g) Dalam hal kegiatan usaha MMQ menggunakan prinsip sewa menyewa, objek MMQ dapat diatasnamakan nasabah secara langsung dengan persetujuan Bank Syariah.

Dalam perkembangannya, DSN-MUI telah menerbitkan Fatwa Nomor 102/DSN-MUI/X/2016 Tentang Akad Al-Ijarah Al-Maushufah fi Al-dzimmah untuk Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) Inden. Fatwa ini ada karena sejalan dengan penggunaan akad MMQ atau akad Ijarah Muntahiya bi Al-Tamlik (IMBT). Dengan demikian, landasan hukum untuk pembiayaan pemilikan rumah dengan akad MMQ semakin kuat. Hal baru yang diatur secara spesifik dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 102/DSN-MUI/X/2016 ini adalah pengaturan tentang uang muka dan jaminan. Dalam Pembiayaan Pemilikan Rumah dengan inden dimungkinkan adanya uang muka sebagai wujud kesungguhan (hamisy jiddiyah) yang diserahkan oleh penyewa kepada pemberi sewa. Selain berfungsi sebagai wujud keseriusan penyewa, uang muka dapat dijadikan ganti rugi (al-ta’widh) oleh pemberi sewa karena proses mewujudkan barang sewa apabila penyewa membatalkan sewa, dan menjadi pembayaran sewa (ujrah) apabila dilaksanakan sesuai kesepakatan.

52

Akad Ijarah Maushufah fi al-Dzimmah dianggap tepat digunakan dalam pembiayaan perumahan inden, karena peluang untuk mendapatkan pembayaran margin dari nasabah kendati rumah masih dalam tahap proses konstruksi dan terukur spesifikasinya. Penggunaan akad Ijarah Maushufah fi al-Dzimmah lebih dipilih dibandingkan dengan istishna’ karena pembiayaan istishna’ biasanya memiliki tenor waktu yang lama. Dampak dari hal tersebut adalah perbankan tidak bisa memperoleh ujrah dalam masa tempo pembangunan properti. Oleh karena itu, pilihan yang lebih baik adalah menggunakan akad Ijarah Maushufah fi al-Dzimmah.

Dalam aset Akad Musyarakah Mutanaqisah sebagai persyaratan untuk memenuhi barang yang belum berwujud adalah berdasarkan akad Ijarah Al-Maushufah fi Al-Dzimmah. Menurut Fatwa DSN-MUI Nomor 101/DSN-MUI/X/2016 Tentang akad Al-Ijarah Al-Maushufah fi Al-Dzimmah. Menyatakan bahwa akad IMFZ adalah sewa menyewa barang atau jasa yang pada saat akad disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kualitas dan kuantitas). Untuk manfaat barang dan jasa menggunakan cara pemesanan. Sesuai dengan prinsip KPR inden, yaitu aset yang berupa rumah dengan spesifikasi yang sudah dipesan dari segi kualitas maupun kuantitas. Jadi akad MMQ sebagai akad awal untuk melakukan pembiayaan KPR dengan sistem inden, dan diikuti akad IMFZ yang digunakan untuk pemesanan dan spesifikasi rumah yang akad dibangun serta pengangsurannya dengan cara menyewa rumah tersebut agar porsi kepemilikan salah satu pihak berkurang yang menjadikan berpindah kepemilikan diakhir saat pelunasan. Maka dari itu, akad IMFZ belum bisa berdiri sendiri menjadi akad untuk KPR inden walaupun sudah mempunyai dasar hukum.

Akad IMFZ disebut juga forward lease atau salam fi al-manafi’ sebagaimana jual beli salam (forward sale). Berbeda dengan salam, maka IMFZ adalah pembayaran atas manfaat yang akan diperoleh di kemudian hari. Pada jual beli salam terjadi bay’ al-‘ain, sedangkan pada IMFZ terjadi jual beli manfaat/jasa (bay’ al-manafa’ah) dimana harga dibayarkan duluan, sementara manfaat barang diperoleh belakangan. Sebagaimana halnya pada jual beli salam, harga (uang)

53

dibayarkan duluan, sedangkan barangnya ditangguhkan dan menjadi hutang (zimmah) pihak penjual. Menurut jumhur fuqaha dari Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, akad IMFZ boleh dilakukan. Mereka memandangnya sebagai salam fi al-manafi’ (jasa). Dalil kebolehan IMFZ sama seperti salam, yaitu istihsan. Demikian pula menurut Hanafiyah IMFZ tidak dibolehkan.4

Akad Murabahah dengan Pesanan adalah Murabahah yang dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam Murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah, dan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam hal tersebut, bank dapat meminta uang muka atas pembelian barang kepada nasabah.

Akad Murabahah dengan pesanan ini digunakan dalam pembiayaan KPR inden hanya diperuntukan untuk pembiayaan bahan bangunan/materialnya saja. Akan tetapi akad tersebut tidak mempunyai dasar hukum yang jelas terkait pembiayaan KPR inden, karena akad Murabahah bersifat jelas dan harus tersedia barang yang diperjualbelikan. Pihak Otoritas Jasa Keuangan mengkonfirmasi bahwa akad tersebut belum memiliki dasar hukum terkait pembiayaan KPR inden dikarenakan sedang dalam tahap proses pergantian akad untuk produk KPR inden ini yaitu menggantinya dengan akad Istishna’ yang membutuhkan waktu 2-3 tahun kedepan. Produk yang tidak memiliki ketentuan atau regulasi yang mengikat, mempunyai beberapa pertimbangan dari resiko operasional, resiko kredit dan lain-lain.5

Seharusnya akad Murabahah yang digunakan untuk pembiayaan KPR Inden bisa dijadikan hukum, karena sesuai dengan kaidah fiqih “Adat kebiasaan bisa menjadi sandaran hukum”. Akan tetapi, akad tersebut kurang tepat digunakan

4 Penjelasan lengkap mengenai Ijrah Mausufah fi al-Zimmah, lihat, AhmadMuhammad Mahmud Nashshar, “Fiqh Mausufah fi Zimmah wa Tathbiqatuha fi MuntajatiMaliyah al-Islamiyyah li Tamwil al-Khadamat” disampaikan pada Muktamar Perbankan Islam tanggal 31 Mei 2009.

5 Hasil Wawancara dengan Rudi Widodo selaku Kepala Sub Bagian Pengembangan Perbankan Syariah di Otoritas Jasa Keuangan pada 27 Juli 2020 12.08 WIB.

54

untuk KPR Inden, maka akad tersebut hanya dimodifikasi menjadi akad Murabahah Pesanan. Pelaksanaan akad Murabahah Pesanan dalam pembiayaan KPR Inden tidak mempunyai dasar hukum yang menaunginya.

Kelebihan pembiayaan menggunakan akad Murabahah yaitu terdapat kepastian bagi bank, karena harga dari awal hingga akhir tidak akan berubah sehingga kesannya menjadi mahal. Sedangkan kelemahan pembiayaan menggunakan akad Murabahah yaitu bank tidak fleksibel, bank tidak bisa merubah harga yang mengakibatkan bank syariah tidak bisa bersaing dengan bank konvensional khususnya dalam hal pembiayaan rumah. Maka dari itu, muncul lah akad Ijarah Muntahiya bit Tamlik dan akad Musyarakah Mutanaqisah yang dapat merubah harga untuk persaingan antara bank syariah dan bisa bersaing dengan bank konvensional.

B. Akibat Hukum dari Ketidaksesuaian Akad Murabahah dalam Pembiayaan

Dokumen terkait