• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3. METODE PENELITIAN

5.5 Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Puskesmas Kampung

Menurut Schneid dan Collins (2001), kesiapsiagaan yang sesuai sebelum suatu bencana terjadi adalah dasar untuk mengurangi resiko dan mengurangi kerusakan. Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006), kesiapsiagaan merupakan elemen penting dan berperan besar dari kegiatan pengendalian resiko bencana sebelum terjadi bencana dan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana. Dengan kesiapan tenaga kesehatan fase kesiapsiagaan/pra bencana yang baik, akan sangat mendukung kegiatan penanggulangan bencana banjir pada saat bencana dan tahap pasca bencana banjir.

Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat yang bertanggungjawab diwilayah kerjanya. Puskesmas sebagai sarana kesehatan ditingkat kecamatan dalam kejadian bencana dapat terlibat secara langsung sebagai bagian Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Sehari-hari (SPGDT) bencana sesuai tahapan bencana. Apabila Puskesmas tidak menjadi korban dan masih dapat berfungsi bila terjadi suatu bencana maka pada tahap awal yang melaksanakan penanggulangan bencana adalah Puskesmas yang berfungsi sebagai pos lapangan sambil menunggu bantuan dari tingkat yang lebih tinggi (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005). Oleh karena itu, tenaga kesehatan Puskesmas harus mampu mempersiapkan diri dalam fase kesiapsiagaan menghadapi bencana banjir.

Berdasarkan analisis univariat kesiapsiagaan tenaga kesehatan Puskesmas menghadapi bencana banjir dari 22 responden, 5 responden (22,7%) memiliki kesiapsiagaan menghadapi banjir. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyaknya tenaga kesehatan Puskesmas Kampung Baru yang belum memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana banjir.

Berdasarkan hasil penelitian, kurangnya kesiapsiagaan tenaga kesehatan Puskesmas Kampung Baru dalam menghadapi bencana banjir di Kecamatan Medan Maimun dapat dilihat dari masih rendahnya kemampuan tenaga kesehatan melakukan penilaian tatanan beresiko atau tidak beresiko banjir, melakukan pemetaan daerah rawan banjir, mengartikan rambu-rambu bencana banjir, memantau sistem peringatan dini, melakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat mengenai kesiapsiagaan menghadapi bencana banjir, melakukan kerjasama dengan pihak kelurahan/kecamatan dalam upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana banjir, melakukan pembinaan kader dalam penyelenggaraan UKBM, melakukan pelatihan kepada kader agar siap siaga menghadapi bencana, melakukan kemitraan dengan organisasi kemasyarakatan/LSM, melakukan pemberdayaan kepada keluarga agar siap siaga menghadapi bencana, melakukan SOP penanganan gawat darurat dan rujukannya, melakukan perencanaan dalam penyiapan obat dan perbekalan kesehatan untuk menghadapi bencana banjir, dan mengikuti pelatihan mengenai penanggulangan bencana banjir.

Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan

berubahnya tata kehidupan masyarakat. Menurut WHO Kobe Centre (2007), pengujian pada empat kejadian gempa bumi mengenai tingkat kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana (dua di California, satu di Kobe dan satu di Armenia). Hasil pengujian menunjukkan bahwa dua sistem di California menghasilkan tingkat kesiapsiagaan menghadapi bencana yang tinggi, dan memiliki rata-rata case fatality yang rendah (sekitar 1 kematian dari 100 orang yang cedera). Kobe yang terletak di Jepang ikut terlibat dalam kesiapsiagaan , memiliki 31 kematian dari 100 orang yang cedera. Hasil studi ini memvalidasikan pentingnya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dalam sektor kesehatan untuk menghindari terjadinya cedera yang parah bahkan sampai terjadi jatuhnya korban jiwa. Dengan demikian, peneliti dapat menyimpulkan bahwa masih rendahnya kemampuan tenaga kesehatan Puskesmas Kampung Baru menghadapi bencana banjir, dikhawatirkan akan menimbulkan banyaknya masyarakat yang mengalami cedera tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sehingga kemungkinan dapat menjadi cedera yang lebih parah atau bahkan bisa terjadi jatuhnya korban jiwa.

Berdasarkan hasil indepth interview, alasan informan tidak melakukan tindakan penilaian tatanan beresiko atau tidak beresiko banjir dan tidak melakukan tindakan pemetaan daerah rawan banjir, karena menganggap bukan tugas dari tenaga kesehatan tersebut. Sedangkan alasan hampir semua informan tidak melakukan tindakan pelaksanaan standar operasional prosedur penanganan gawat darurat dan rujukannya, karena tidak adanya standar operasional penanganan darurat dan rujukan, bukan tugas dari tenaga kesehatan dan hanya tugas bagian emergensi. Hal inilah yang

menyebabkan hasil uji statistik eksak fisher menunjukkan bahwa sikap tidak berhubungan secara signifikan terhadap kesiapsiagaan tenaga kesehatan menghadapi bencana banjir. Artinya semakin favorable atau semakin positif tenaga kesehatan dalam mendukung upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana banjir meliputi dukungan tenaga kesehatan pada saat pra, saat dan pasca bencana banjir, maka akan semakin kurang atau minimal melakukan tindakan kesiapsiagaan menghadapi bencana banjir.

Menurut Coppola (2007), perencanaan operasional penanganan gawat darurat adalah suatu dokumen yang menggambarkan secara menyeluruh dan detail tentang orang dan badan yang akan terlibat dalam meresponi kejadian yang berbahaya termasuk bencana, tanggungjawab dan tindakan-tindakan individu dan badan dan kapan dan dimana tanggungjawab tindakan itu akan digunakan. Perencanaan operasional penanganan gawat darurat dibutuhkan disetiap level pemerintahan dari lokal sampai dari nasional. Perencanaan dapat disusun oleh dalam keberadaan sebagai individu, seperti sekolah, rumah sakit, puskesmas, penjara dan pengguna lainnya. Menurut Ditjen Binkesmas (2005), kesiapsiagaan dalam pelayanan gawat darurat sehari-hari mencakup penerapan protap penanganan korban gawat darurat dan rujukannya, dan perencanaan dapat diinformasikan melalui latihan kesiapsiagaan/gladi untuk mensimulasi protap yang telah disusun oleh tim Puskesmas.

Menurut Fadillah (2010), dalam penelitiannya tentang Penentuan Variabel yang Berpengaruh dalam Penanganan Bencana di Indonesia menunjukkan faktor-

faktor utama dalam penanganan bencana yang harus diperhatikan salah satunya adalah kapasitas atau kemampuan petugas. Faktor kapasitas bersama dengan faktor lainnya yaitu ukuran (besarnya bencana), transportasi, startegi supply chain, inventori telah mempengaruhi 80% dari keseluruhan penanganan bencana. Untuk membentuk kapasitas petugas dalam penanganan bencana diperlukan kesiapsiagaan petugas dan kesiapsiagaan suatu instansi.

Menurut Guerdan (2009), dalam penelitiannya tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana dan pengelolaan bencana menunjukkan kemampuan profesional dokter dalam pelayanan kesehatan dasar berhubungan secara signifikan antara kemampuan yang baik pada saat kesiapsiagaan menghadapi bencana dan pada saat mengelola suatu bencana. Berdasarkan hasil penelitian ini, langkah pertama untuk mengembangkan kemampuan dokter dalam pelayanan kesehatan dasar pada saat bencana adalah dengan pengkajian pengetahuan yang adekuat.

Menurut Green dalam Notoadmodjo (2007), perilaku dipengaruhi 3 faktor utama, yaitu faktor predisposisi (predisposising) meliputi pengetahuan, sikap, keyakinan, faktor pemungkin (enabling) yaitu ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan, faktor penguat (reinforcing) meliputi dukungan dari orang yang dianggap penting, dukungan kebijakan yang terkait dengan kesehatan, peran contoh.

Hasil analisis regresi logistik memnujukkan bahwa probabilitas tenaga kesehatan untuk siap menghadapi bencana banjir dengan pengetahuan baik adalah 66,6 %. Sedangkan sisanya 33,4 % dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk ke dalam model persamaan regresi logistik. Berdasarkan hasil wawancara, indepth

interview dan hasil observasi peneliti menyimpulkan bahwa faktor lain yang turut memengaruhi kesiapsiagaan tenaga kesehatan Puskesmas Kampung Baru dalam menghadapi bencana banjir di Kecamatan Medan Maimun adalah ketersediaan fasilitas, ketersediaan SOP penanganan gawat darurat dan rujukan, dukungan kebijakan dan komitmen staf adalah sebagai berikut :

1. Ketersediaan Fasilitas

Menurut Notoatmodjo (2007), untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas. Menurut Coppola (2007), pengembangan alat dan persediaan membantu respon terhadap bencana dan pemulihan suatu bencana dimana badan/instansi yang melakukan respon tersebut dapat menurunkan jumlah yang cedera dan kematian dan jumlah kerusakan harta benda secara drastis. Menurut Van Wassenhove (2006) dalam Leeuw dkk (2009), menyatakan perencanaan logistik/fasilitas yang baik memastikan penggunaan material dan kemampuan yang tepat adalah suatu yang krusial dalam rangka persiapan menghadapi bencana banjir. Menjadi siap adalah suatu yang krusial untuk suatu respon yang efektif.

Berdasarkan hasil observasi bahwa perbekalan kesehatan untuk penanggulangan bencana di Puskesmas Kampung Baru, untuk sebagian jenis perbekalan kesehatan hanya sebagian terpenuhi dan belum tersedianya unit gawat darurat beserta sistem triase di Puskesmas. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas perlengkapan, bahwa untuk sebagian jenis obat-obatan hanya sebagian mencukupi untuk kebutuhan Puskesmas Kampung Baru di tahun 2011. Oleh karena

itu, kondisi fasilitas tersebut menjadi penggerak perilaku kesiapsiagaan tenaga kesehatan dalam menghadapi bencana banjir di masa yang akan datang.

Dijten Binkesmas Depkes (2005), menyatakan peran puskesmas dalam penanggulangan bencana mengenai pelayanan gawat darurat sehari-hari, salah satunya adalah kesiapsiagaan sarana prasarana pelayanan gawat darurat yang dimiliki. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1097/Menkes/Per/VI/2011 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Kesehatan Dasar Jamkesmas menyatakan pelayanan kesehatan dasar di pelayanan rawat jalan tingkat pertama yang dapat diberikan puskesmas adalah penanganan gawat darurat.

Berdasarkan kondisi diatas diperlukan sarana prasarana pelayanan gawat darurat sehari-hari pada suatu puskesmas terutama bagi puskesmas yang sering berhadapan dengan resiko bencana. Berdasarkan hasil observasi, dan wawancara mendalam, untuk mengantisipasi keadaan gawat darurat yang dihadapi tenaga puskesmas, dilakukan dengan penyediaan kerjasama tenaga kesehatan Puskesmas melalui rujukan pasien menggunakan ambulans ke rumah sakit yang ada di Kecamatan Medan Maimun atau di luar Kecamatan Medan Maimun. Rumah sakit dan klinik yang ada di setiap kelurahan yang ada di kecamatan Medan Maimun merupakan pusat kesehatan kelurahan (Puskelkel). Jadwal posko piket hari libur/minggu disediakan oleh Kepala Puskesmas bila terjadi bencana untuk mengantisipasi keadaan tersebut.

2. Ketersediaan SOP Penanganan Gawat Darurat dan Rujukan

Menurut PPKK Kemenkes (2011), upaya kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana. Upaya yang dapat dilakukan antara lain penyusunan rencana kontijensi. Menurut Ditjen Binkesmas Depkes (2005), upaya pelayanan gawat darurat sehari-hari merupakan bentuk awal kesiapsiagaan pelayanan gawat darurat dalam bencana. Kesiapsiagaan sehari-hari mencakup penerapan protap penanganan gawat darurat dan rujukannya. Menurut LIPI- UNESCO/ISDR (2006), dalam rencana tanggap darurat diperlukan suatu rencana untuk pertolongan pertama korban, dan rencana untuk penyelamatan korban bencana dan transportasi/sistem ambulans.

Berdasarkan hasil indepth interview, menunjukkan bahwa hampir semua informan tidak melakukan standar operasional prosedur penanganan gawat darurat dan rujukannya dengan alasan tidak ada SOP tersebut. Berdasarkan hasil observasi peneliti menunjukkan belum adanya Unit Gawat Darurat di Puskesmas dan belum dijalankannya sistem triase.

Menurut Coppola (2007), bagian konsep perencanaan operasional gawat darurat menjelaskan kepada pengguna bagaimana perencanaan respon bencana akan dilakukan. Konsep perencanaan operasional gawat darurat ini dimaksudkan untuk memberikan kepada yang membaca suatu gambaran yang umum bagaimana berespon bila terjadi suatu bencana.

3. Dukungan Kebijakan

Menurut Notoatmodjo (2007), diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lalin untuk terbentuknya suatu tindakan. Menurut Citizen Corps (2006), suatu strategi untuk mencapai perilaku yang diharapkan dapat berubah dengan perubahan kebijakan instansi atau dengan beberapa sistem penghargaan dan sanksi.

Menurut Ditjen Binkesmas Depkes (2005), Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota mendukung upaya Puskesmas dalam penanggulangan bencana karena adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki Puskesmas dalam penanggulangan bencana. Dukungan tersebut mencakup dukungan dalam upaya kesehatan, dukungan dalam pembiayaan, dukungan dalam sumber daya manusia, dukungan obat dan perbekalan kesehatan dan dukungan dalam manajemen kesehatan.

Berdasarkan hasil indepth interview menunjukkan bahwa Dinas Kesehatan mendukung dalam penyiapan sarana, obat dan perbekalan kesehatan, pelatihan. Namun kesimpulan peneliti berdasarkan hasil indepth interview, wawancara beserta observasi, dukungan ini masih perlu ditingkatkan pada fase pra bencana atau fase kesiapsiagaan tanpa mengabaikan fase saat bencana banjir dan fase sesudah bencana banjir.

Menurut Alhadi (2011), dalam penelitiannya tentang Upaya Pemerintah Kota Padang Untuk Meningkatkan Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Ancaman Bencana Gempa dan Tsunami menunjukkan upaya Pemerintah Kota Padang untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman gempa dan tsunami secara umum belum mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini

dibuktikan antara lain dengan sikap Pemerintah Kota Padang yang lebih mengutamakan penanggulangan bencana pada tahap tanggap darurat, edukasi kesiapsiagaan yang belum merata. Oleh karena itu, untuk menghasilkan suatu kesiapsiagaan suatu instansi atau pemerintah diperlukan perubahan paradigma yang lebih memperhatikan tahap pra bencana berupa kesiapsiagaan sebagai upaya untuk mengurangi resiko bencana.

Menurut Sarim (2003), dalam penelitiannya tentang Analisis Kesiapan Menghadapi Bencana Di Instansi Rawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Se- Wilayah Pembangunan Cirebon menunjukkan bahwa seluruh Rumah Sakit Umum Daerah di Wilayah Cirebon tidak siap menghadapi kegawatdaruratan bencana/sehari- hari. Alasan ketidaksiapan adalah pertama karena kurangnya dukungan para Direktur Rumah Sakit Umum Daerah terhadap sistem penanggulangan gawat darurat terpadu/sehari-hari yang disebabkan antara lain kurangnya pemahaman tentang SPGDT-B/S, kurang sosialisasi tentang standar klasifikasi instalasi rawat darurat, dan keterbatasan Rumah Sakit, dan kedua karena kurangnya sosialisasi SPGDT-B/S serta dukungan akan kelengkapan sumbr daya Instalasi rawat Darurat.

4. Komitmen Staf

Menurut Yousef (2000) dalam Darwito (2008), mengemukakan bahwa pekerja dengan komitmen tinggi akan cenderung lebih sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi, mau memberikan usaha lebih kepada organisasi dan berupaya memberikan manfaat kepada organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa karyawan dengan komitmen tinggi akan bertanggungjawab dalam pekerjaannya.

Menurut Babakus (1996) dalam Muhadi (2007), menyatakan bahwa komitmen pada organisasi membahas kedekatan karyawan pada organisasi. Keterlibatan dan kesetiaan ini sangat dipengaruhi oleh seberapa besar pekerjaan yang dibebankan pada karyawan sesuai dengan harapan mereka.

Berdasarkan hasil indeph interview menunjukkan sebagian informan mengatakan tidak melakukan tindakan kesiapsiagaan, dengan alasan adalah informan berpandangan bahwa kegiatan kesiapsiagaan bukan tugas tenaga kesehatan tersebut tetapi tugas bagian yang telah ditentukan yaitu bagian emergensi.

Menurut Ogedegbe dkk (2012), menyatakan bahwa tenaga pelayanan kesehatan terjadi peningkatan dalam berhadapan dengan ancaman bencana alam atau non alam yang terus menerus. Frekuensi insidensi kecelakaan yang tinggi menyebabkan perspektif tenaga pelayanan kesehatan berubah kearah kesiapsiagaan menghadapi bencana.

Hasil penelitian Widodo (2010), tentang Analisis Pengaruh Keamanan dan Komitmen Organisasional Terhadap Turn Over Intention Serta Dampaknya Pada KInerja Karyawan oursourcing, menunjukkan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.

5.6 Keterbatasan Penelitian

Variabel yang diteliti secara statistik pada penelitian ini hanya terbatas pada dua variabel yakni pengetahuan dan sikap. Berdasarkan hasil indepth interview, hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa ketersediaan fasilitas, ketersediaan SOP

penanganan gawat darurat dan rujukan, dukungan kebijakan dan komitmen staf dapat turut memengaruhi kesiapsiagaan tenaga kesehatan Puskesmas dalam menghadapi bencana banjir. Pengujian statistik untuk variabel-variabel ini belum dilakukan, sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut.

Dokumen terkait