• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini berisikan kesimpulan dari penulisan ini dan saran sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengukuran Kinerja Perusahaan

Pengukuran kinerja dari suatu sistem sangatlah penting demi terus berlangsungnya proses improvement ke arah yang lebih baik. Pengukuran kinerja ini dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan dari sistem yakni bisnis, perusahaan maupun lembaga-lembaga lainnya seperti pemerintahan dan lain-lain sudah sesuai dengan target/hasil yang diinginkan. Selama ini, pengukuran kinerja perusahaan hanya berfokus pada perspektif keuangan saja, yang hanya mengambarkan kinerja pada satu sisi yaitu perusahaan (internal), sedangkan sisi luar perusahaan (eksternal) kurang tersentuh. Maka pengukuran kinerja seperti ini dirasa kurang efektif sehingga diperlukan lagi pengukuran kinerja yang lebih efektif. Hal ini berguna bagi perusahaan untuk memenangkan persaingan domestik dan global yang semakin kompetitif.

Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert, 1996). Kinerja merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang

diproyeksikan, dengan dasar efisiensi, pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan semacamnya.

Adapun definisi dari pengukuran kinerja itu sendiri menurut para ahli (Yuwono,Sony, Edy Sukarno, dan Muhammad Ichsan, 2006), antara lain sebagai berikut :

1. Mulyadi (1993)

“Penentuan secara periodik efektivitas operasional dari suatu organisasi sebagai bagian organisasi dan karyawannya, berdasarkan : sasaran, standar dan kriteria yang telah diharapkan sebelumnya”.

2. Vincent Gaspersz (2003)

“Pengukuran kinerja merupakan suatu cara mengukur arah dan kecepatan perubahan, yang dapat diibaratkan seperti meteran pengukur kecepatan dari sebuah mobil “

3. Stoner et. al (1996)

“Suatu ukuran seberapa efisien dan efektif individu atau organisasi dalam tujuan yang memadai”. http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/ekonomi /Eko32.htm

4. Anderson dan Clancy (1991)

“Feedback from the accountant to management that provides information about how well the action represent the plants, it also identifies where manager may need to make correction or adjusmention future planning and controlling activities”.

5. Anthony, Banker, Kaplan dan Young (1997)

“The activity of measuring the performance of an activity or the entire value chain”.

Dalam manajemen modern, pengukuran terhadap fakta-fakta akan menghasilkan data, yang kemudian apabila data itu dianalisis secara tepat akan memberikan informasi yang akurat, yang selanjutnya informasi itu akan berguna bagi peningkatan pengetahuan para manajer dalam mengambil keputusan atau tindakan manajemen untuk meningkatkan kinerja organisasi.

(http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/ekonomi/Eko32.htm)

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada dalam perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik dimana perusahaan memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktifitas perencanaan dan pengendalian.

Penilaian kinerja dapat digunakan untuk menekan perilaku yang tidak semestinya dan untuk merangsang serta menegakkan perilaku yang semestinya diinginkan, melalui umpan balik hasil kinerja pada waktunya serta pemberian penghargaan, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Dengan adanya penilaian kinerja, manajer puncak dapat memperoleh dasar yang obyektif untuk memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi yang disumbangkan masing-masing pusat pertanggungjawaban kepada perusahaan secara keseluruhan. Semua ini

diharapkan dapat membentuk motivasi dan rangsangan pada masing-masing bagian untuk bekerja lebih efektif dan efisien.

Menurut Mulyadi (1993), tujuan pengukuran kinerja adalah :

1. Untuk menentukan kontribusi suatu bagian dalam perusahaan terhadap organisasi secara keseluruhan.

2. Untuk memberikan dasar bagi penilaian suatu prestasi dalam berorganisasi.

3. Untuk memberikan motivasi bagi manajer bagian dalam (internal) menjalankan bagiannya seirama dengan tujuan pokok perusahaan secara keseluruhan.

Menurut Mulyadi penilaian kinerja dapat dimanfaatkan oleh manajemen untuk: 

1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum.

2. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawannya seperti promosi, pemberhentian, mutasi.

3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.

4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengeai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka.

5. Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan.

Menurut Lynch dan Cross (1993), manfaat dari sistem pengukuran kinerja yang baik adalah :

a. Menelusuri manfaat kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan membawa perusahaan menjadi lebih dekat pada pelanggannya dan membuat seluruh orang dalam organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan. b. Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan kepada pelanggan sebagai

bagian dari mata rantai pelanggan dan pemasok internal.

c. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya–upaya pengurangan terhadap pemborosan tersebut (reduction of waste).

d. Membuat suatu tujuan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih konkret sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi.

e. Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi “reward” atau perilaku yang diharapkan tersebut.

Adapun ukuran penilaian kinerja yang dapat digunakan untuk manilai kinerja secara 

kuantitatif (Mulyadi, 1997): 

1. Ukuran Kinerja unggul.  

Adalah  ukuran  kinerja  yang  hanya  menggunakan  satu  ukuran  penilaian.  Dengan 

digunakannya hanya satu ukuran kinerja, karyawan dan manajemen akan cenderung 

untuk memusatkan usahanya pdada kriteria tersebut dan mengabaikan kriteria yang 

lainnya, yang mungkin sama pentingnya dalam menentukan sukses tidaknya perusahaan 

atau bagian tertentu. 

2. Ukuran kinerja beragam. 

Adalah ukuran kinerja  yang  menggunakan  berbagai macam ukuran  untuk menilai 

kinerja tunggal. Berbagai aspek kinerja manajer dicari ukuran kriterianya sehingga 

manajer diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria. 

3. Ukuran kinerja gabungan. 

Dengan adanya kesadaran beberapa kriteria lebih penting bagi perusahaan secara 

keseluruah dibandingkan dengan tujuan lain, maka perusahaan melakukan pembobotan 

terhadap ukuran kinerjanya. Misalnya manajer pemasaran diukur kinerjanya dengan 

menggunakan dua unsur, yaitu provitabilitas dan pangsa pasar dengan pembobotan 

masing‐masing 5 dan 4. Dengan cara ini manajer pemasaran mengerti yang harus 

ditekankan agar tercapai sasaran yang dituju manajer puncak. 

(http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/ekonomi/Eko32.htm)

2.2. Supply Chain Management

Istilah supply chain mungkin sudah kerap didengar. Didalam Bahasa Indonesia sering dijumpai terjemahan supply chain sebagai “Rantai Pengadaan atau Penyediaan ataupun Pasokan Barang dan Jasa”. Pada hakikatnya supply chain adalah jaringan organisasi yang menyangkut hubungan ke hulu dan ke hilir (upstream– downstream), dalam proses dan kegiatan yang berbeda, yang menghasilkan nilai yang berwujud dalam barang dan jasa ditangan pengguna atau konsumen akhir. Proses dan kegiatan yang berbeda tersebut melibatkan hubungan antara para pelaku, dari penghasil atau pemasok, pembuat atau pengolah, pendistribusi atau penyalur sampai kepada pengguna atau konsumen.

Pola hubungan mereka tidak hanya merupakan “suatu mata rantai yang tersambung” tetapi juga merupakan “suatu jaringan mata rantai”. J. Aitken - pakar di bidang ini, lebih lanjut mendefiniskannya menjadi “suatu jaringan organisasi yang saling terkait dan saling ketergantungan antara satu dan lainnya dan secara bersama-sama bekerja untuk mengawasi, mengelola, dan melakukan perbaikan pada aliran pengadaan barang dan jasa serta informasi sejak dari penghasil atau pemasok sampai kepada pengguna atau konsumen akhir”. Dari sini dapat difahami bahwa filosofi manajerial didalam supply chain merupakan pengelolaan suatu jaringan mata rantai pengadaan barang dan jasa sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh, dan bukan secara terpisah-pisah.

(http://aped-project.org/artikel /cupu. php?id=24)

Konsep Supply Chain merupakan konsep baru dalam melihat persoalan logistik. Konsep lama melihat logistik lebih sebagai persoalan intern masing-masing perusahaan, dan pemecahannya dititikberatkan pada pemecahan secara intern di perusahaan masing-masing. Dalam konsep baru ini, masalah logistik dilihat sebagai masalah yang lebih luas yang terbentang sangat panjang sejak bahan dasar sampai barang jadi yang dipakai konsumen akhir, yang merupakan mata rantai persediaan barang. Oleh karena itu, manajemen supply chain dapat didefinisikan sebagai berikut :

“Supply chain management is a set of approaches utilized to efficiently integrate suppliers, manufacturers, warehourses, and stores, so that merchandise is produced and distributed at the right quantities, to the right locations, at the right time, in

order to minimized systemwide costs while satisfying service level requirement. (David Simchi Levi et al.,2000)”

Melihat definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa supply chain adalah logistic network. Dalam hubungan ini, ada beberapa pemain utama yang merupakan perusahaan-perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama, yaitu suppliers, manufacturer, distribution, retail outlets dan customers. (http://bushido02.wordpress.com/2010/06/08/konsep-supply-chain/)

Menurut ( Pujawan, 2005) pada suatu supply chain biasanya ada 3 macam aliran yang harus dikelola. Pertama adalah aliran barang yang mngalir dari hulu (upstream) ke hilir(downstream). Yang kedua adalah aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu. Yang ketiga adalah aliran infomasi yang bisa terjadi dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya.

Menurut (Turban, Rainer, Porter 2004), terdapat 3 macam komponen rantai suplai, 

yaitu: 

1. Rantai Suplai Hulu/Upstream supply chain. Bagian upstream (hulu) supply chain meliputi 

aktivitas dari suatu perusahaan manufaktur dengan para penyalurannya (yang mana 

dapat manufaktur, assembler, atau kedua‐duanya) dan koneksi mereka kepada pada 

penyalur mereka (para penyalur second‐trier). Hubungan para penyalur dapat diperluas 

kepada beberapa strata, semua jalan dari asal material (contohnya bijih tambang, 

pertumbuhan tanaman). Di dalam upstream supply chain, aktivitas yang utama adalah 

pengadaan. 

2. Manajemen Internal Suplai Rantai/Internal supply chain management. Bagian dari  internal  supply  chain meliputi  semua  proses  pemasukan  barang  ke gudang  yang 

digunakan dalam mentransformasikan masukan dari para penyalur ke dalam keluaran 

organisasi itu. Hal ini meluas dari waktu masukan masuk ke dalam organisasi. Di dalam 

rantai suplai internal, perhatian yang utama adalah manajemen produksi, pabrikasi, dan 

pengendalian persediaan. 

3. Segmen Rantai Suplai  Hilir/Downstream supply chain  segmentDownstream (arah 

muara) supply chain meliputi semua aktivitas yang melibatkan pengiriman produk 

kepada pelanggan akhir. Di dalam downstream supply chain, perhatian diarahkan pada 

distribusi, pergudangan, transportasi, dan after‐sales‐service

(http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen_rantai_suplai)   

 

Gambar 2.1 Simplifikasi model Supply Chain dan 3 macam aliran yang dikelola (Sumber : Pujawan, 2005)

Istilah SCM pertama kali dikemukakan oleh Oliver & Weber pada tahun 1982 (cf. Oliver & Weber, 1982; Lambert et al. 1998). Kalau supply chain adalah jaringan

fisiknya, yakni perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam memasok bahan baku, memproduksi barang, maupun mengirimkannya ke pemakai akhir, SCM adalah metode, alat, atau pendekatan pengelolaannya. Namun perlu ditekankan bahwa SCM menghendaki pendekatan atau metode yang terintegrasi dengan semangat kolaborasi. Ada beberapa definisi tentang SCM, misalnya the Council of Logistic Management memberikan definisi berikut :

”Supply chain management is the systematic, strategic coordination of the tradisional business functions within a particular company and across businesses within the supply chain for the perpose of improving the long-term performance of the induvidual company and the supply chain as a whole.”

Jadi, supply chain management tidak hanya berorientasi pada urusan internal sebuah perusahaan, melainkan juga urusan eksternal yang menyangkut hubungan dengan perusahaan partner. Perlu diadakan kolaborasi karena perusahaan-perusahaan yang berada pada suatu supply chain pada intinya ingin memuaskan konsumen akhir yang sama, mereka harus bekerjasama untuk membuat produk yang murah, mengirimkannya tepat waktu, dan dengan kualitas yang bagus. Hanya dengankerjasama antara elemen-elemen pada supply chain tujuan tersebut akan tercapai. Oleh karena itu, cukup tepat kalau banyak orang mengatakan bahwa persaingan dewasa ini bukan lagi antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain, tetapi antara supply chain yang satu dengan supply chain yang lain.

Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa supply chain adalah Logitics Network. Dalam hubungan ini, entiti dalam network tersebut

merupakan perusahaan–perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama yaitu suppliers, manufacture, distribution, retailer outlets, dan customers.

2.2.1. Pengukuran Kinerja Supply Chain

Pengukuran performansi berkembang di perusahaan seringkali hanya untuk menampilkan performansi dari masing-masing departemen. Pengukuran tersebut dirasakan kurang efektif karena adanya kecenderungan bahwa masing-masing departemen hanya berusaha untuk meningkatkan performansinya sendiri- sendiri dan bukan performansi perusahaan secara keseluruhan.

Pengukuran performansi adalah suatu proses untuk mengukur efektivitas dan efisiensi dari suatu aktivitas. Dalam sistem manajemen bisnis modern, pengukuran performansi bukan hanya sekedar sistem pengukuran dan perhitungan saja, melainkan juga dapat memberikan kontribusi pada peningkatan performansi.

Model SCOR menyediakan lebih dari 150 indikator prnilaian yang mengukur performa pada proses rantai pasokan (www.wikipedia.org). indikator-indikator tersebut dinyatakan dalam ukuran kuantitatif yang disebut dengan metrik-metrik penilaian. Gunanya menggunakan ukuran kuantitatif adalah agar performa/kinerja rantai pasokannya dapat diukur dengan baik, dapat menentukan target peningkatan yang dikehendaki, dan dapat dievaluasi di kemudian hari mengenai besarnya peningkatan performa yang dicapai.

Metrik-metrik penilaian tersebut dinyatakan dalam beberapa level tingkatan meliputi level 1, level 2, dan level 3. Dengan demikian, selain proses rantai pasokan yang dimodelkan ke dalam bentuk Hierarki proses, metrik penilaiannya dinyatakan dalam bentuk Hierarki penilaian. Banyaknya matrik dan tingkatan metrik dan tingkatan metrik yang digunakan disesuaikan dengan jenis dan banyaknya proses, Serta tingkatan proses rantai pasokan yang diterapkan di dalam perusahaan yang bersangkutan (Supply Chain Council, 2006). Jadi tidak semua indikator yang disediakan dalam model SCOR, digunakan untuk mengukur suatu performa rantai pasokan perusahaan.

Kriteria yang digunakan dalam pengukuran performa rantai pasokan disebut dengan atribut performa, meliputi reliabilitas rantai pasokan, responsifitas rantai pasokan, fleksibilitas rantai pasokan, biaya rantai pasokan, dan manajemen aset rantai. Masing-masing dari atribut performma tersebut terdiri dari satu atau lebih metrik level 1. Umumnya, para pimpinan perusahaan menggunakan metrik level 1 ini sebagai dasar untuk menentukan strategi pengembangan rantai pasokan yang hendak dicapai oleh perusahaan, disesuaikan dengan atribut performa yang paling dikehendaki oleh pembeli (eksternal) dan perusahaan (internal) (Bolstroff 2003). Definisi dari masing-masing atribut performa tersebut dijelaskan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Atribut performa manajemen rantai pasokan beserta metrik performa

Atribut Performa Definisi Metrik level 1

Reliabilitas Rantai Pasokan

Performa rantai pasokan perusahaan dalam memenuhi pesanan pembeli dengan produk, jumlah, waktu, kemasan, kondisi dan dokumentasi yang tepat sehingga mampu memberikan kepercayaan kepada pembeli bahwa pesanannya akan dapat terpenuhi dengan baik

Pemenuhan pesanan sempurna

Responsivitas Rantai Pasokan

Waktu (kecepatan) rantai pasokan perusahaan dalam memenuhi pesanan konsumen

Siklus pemenuhan konsumen

Fleksibilitas Rantai Pasokan

Keuletan rantai pasokan perusahaan dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan pasar untuk memelihara keuntungan kompetitif rantai pasokan Fleksibilitas rantai pasokan atas Adaptibilitas rantai pasokan atas Adaptibilitas rantai pasokan bawah Biaya Rantai Pasokan

Biaya yang berkaitan dengan pelaksanaan proses rantai pasokan

Biaya total SCM Biaya pokok produk Manajemen Aset

Rantai Pasokan

Efektifitas suatu perusahaan dalam memanajemmen asetnya untuk

mendukung terpenuhinya kepuasan konsumen

Siklus Cash-to-cash Retusn on Supply Chain Fixed Assets Return on Working Capital

Metrik level 1 merupakan agregat penilaian dari metrik-metrik level 2, matrik level 2 merupakan agregat penilaian dari matrik-matrik level 3. Dengan demikian, proses pengukuran performa rantai pasokan diawali dengan mengukur pross-proses pada level paling bawah ( level 3) kemudian seterusnya hingga level 1. Namun, metrik level 1 berkaitan dengan performa proses level 1. Sebagai contohnya, performa siklus waktu pemenuhan pesanan (matrik level 1) tidak hanya dinilai dari Deliver (D) saja, melainkan dinilai dari siklus proses Plan (P), Source (S), dam Make (M). jadi, nilai dari suatu metrik level 1 bisa dipengaruhi dari performa beberapa

proses level 1, sedangkan untuk matik level 2 umumnya di asosiasikan dengan proses level 2 yang berkaitan. Seperti misalnya metrik performa pengiriman barang (metrik level 2) dinilai dari banyaknya proses pesanan yang terkirim ke pembeli tepat waktu.

Menurut (Marimin dan Maghfiroh, N, 2010) pengukuran performa rantai pasokan kemudian dilanjutkan dengan menentukan target pencapaian yang dibutuhkan perusahaan untuk menghasilkan performa yang terbaik dan mampu memenangi persaingan pasar. Penentuan target pencapaian tersebut dapat dilakukan dengan proses Benchmarking. Benchmarking merupakan proses membandingkan kondisi perusahaan saat ini dengan kondisi perusahaan kompetitor yang paling maju dibidangnya (Best In Class Performance), sehingga data pembanding yang digunakan adalah berasal dari perusahaan-perusahaan Best In Class tersebut. Namun demikian, ada kalanya membandingkan dengan perusahaan kompetitor sulit dilakukan sehingga data benchmark dapat juga diperoleh berdasarkan target internal perusahaan yang hendak dicapai tanpa harus membandingkannya dengan perusahaan lain (Bolstroff, 2003)

Ada berbagai macam cara pengukuran performansi yang pernah dilakukan perusahaan-perusahaan dunia. Salah satunya adalah cara pengukuran yang dilakukan oleh sebuah supermarket. Pertama mereka menentukan obyektif performansi yang dibutuhkan di dalam pengukuran tersebut, seperti quality, speed, reliability, flexibility, dan sebagainya. Obyektif tersebut diberi skor dan bobot. Tingkat pemenuhan performansi didefinisikan oleh normalisasi dari indikator performansi tersebut. Untuk strategi Supply Chain yang pasti, berlaku hubungan sebagai berikut :

Pi =

n i j j ij W S , Dimana :

Pi = Total performansi supply chain varian i n = Jumlah obyektif performansi

Sij = Skor supply chain ke i didalam obyektif performansi ke j Wj = Bobot dari obyektif performansi

Di dalam pengukuran ini, langkah pertama adalah melakukan pembobotan. Pembobotan dilakukan dengan cara Analytic Hierarchy Process (AHP), dimana setiap obyektif performansi dipasangkan dan dilakukan perbandingan tingkat kepentingannya. Langkah kedua adalah pendefinisian dari indikator performansi dan melakukan pengukuran. Skor di dalam obyektif pengukuran yang berbeda-beda didefinisikan dengan bantuan 6 langkah, yaitu :

1. Pendefinisian setiap indikator 2. Pendefinisian normalisasi

3. Pendefinisian interval skor untuk setiap indikator 4. Pendefinisian skor dari indikator

5. Penjumlahan skor 6. Normalisasi dari skor

Setiap indikator memiliki bobot yang berbeda-beda dengan skala ukuran yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, diperlukan proses penyamaan parameter, yaitu dengan cara normalisasi tersebut. Di sini normalisasi memegang peranan cukup penting demi tercapainya nilai akhir dari pengukuran performansi.

Proses normalisasi dilakukan dengan rumus normalisasi Snorm dr De boer, yaitu :

 

100 min max min x S S S Si Snorm    Keterangan :

Si = Nilai indikator aktual yang berhasil dicapai

Smin = Nilai pencapaian performansi terburuk dari indikator performansi Smax = Nilai pencapaian performansi terbaik dari indikator performansi

Pada pengukuran ini, setiap bobot indikator dikonversikan ke dalam interval nilai tertentu yaitu 0 sampai 100. Nol (0) diartikan paling jelek dan seratus (100) diartikan paling baik. Dengan demikian parameter dari setiap indikator adalah sama, setelah itu didapatkan suatu hasil yang dapat dianalisa.

Menurut (Trienekens dan Hvolby, 2000) untuk memantau nilai pencapaian performansi terhadap nilai pencapaian terbaik atau target yang ingin dicapai oleh perusahaan maka dibutuhkan sistem monitoring indikator performansi. Jika nilai kinerja < 40 maka pencapaian performansinya dapat dikategorikan kedalam kondisi yang sangat rendah (poor), 40-50 dikatagorikan marginal, 50-70 dikategorikan average, 70-90 dikategorikan good sedangkan jika skor normalisasi mencapai nilai diatas 90 maka dapat dikategorikan sangat baik sekali (excellent), dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Sistem Monitoring Indikator Performansi Sistem Monitoring Indikator Performansi

> 90 Exellent

70 – 90 Good

50 – 70 Average

40 – 50 Marginal

< 40 Poor

Sumber : Trienekens dan Hvolby, 2000

2.2.2. Ruang Lingkup Pengukuran Kinerja Supply Chain

Pengukuran kinerja supply chain mencakup pengukuran kinerja perusahaan pada proses internal dan proses eksternal perusahaan. Proses internal perusahaan merupakan seluruh proses yang terjadi didalam perusahaan mulai dari proses perencanaan produksi hingga pengiriman produk kepada customer. Sedangkan proses eksternal merupakan proses yang melibatkan hubungan perusahaan dengan stage yang berada diluar perusahaan, yaitu supplier dan Customer.

Gambar 2.2 Ruang lingkup pengukuran kinerja supply chain

Pengukuran kinerja supply chain tidak hanya difokuskan hanya pada salah satu proses internal atau eksternal saja. Keduanya mempengaruhi kinerja perusahan secara keseluruhan.

Indikator kinerja yang berkaitan dengan proses eksternal terdiri dari 2 bagian, yakni yang berkaitan dengan supplier dan customer. Untuk indikator kinerja yang berkaitan dengan supplier antara lain adalah sebagai berikut :

1. Delivery flexibility of supplier (tingkat fleksibilitas supplier dalam melakukan pengiriman).

2. Ability to respon to an urgent demand (kemampuan supplier untuk memenuhi demand dari perusahan yang muncul mendadak).

3. Quality performance supplier (kemampuan supplier untuk mengirimkan item yang sesuai dengan standart kualitas perusahaan).

4. Delivery time for specific item (waktu yang dibutuhkan supplier untuk mengirimkan item yang dipesan).

Sedangkan indikator kinerja dalam kaitannya dengan customer antara lain sebagai berikut :

1. On time delivery (besarnya persentase pengiriman yang dilakukan perusahan pada saat atau sebelum batas waktu yang disepakati dengan customer).

2. Kualitas produk yang dikirimkan kepada pelanggan.

3. Customer satisfaction (tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan perusahaan).

4. Defect rate (persentase produk cacat yang dikirimkan kepada customer).

Indikator kinerja yang berkaitan dengan proses internal perusahaan antara lain sebagai berikut :

2. Production lead time (lamanya produksi yang dibutuhkan perusahaan untuk menjalankan proses produksi).

3. Process capability (lamanya proses produksi perusahaan).

4. Mean time between failure (berkaitan dengan kehandalan mesin yang digunakan untuk melakukan proses produksi).

5. Volume flexibility (tingkat fleksibilitas perusahaan untuk mengubah volume produksi untuk memenuhi permintaan customer).

6. Mix flexibility (tingkat fleksibilitas perusahaan untuk menambah variasi produk). 7. Forecast Accuracy (tingkat keakuratan teknik forecasting yang dilakukan

perusahaan).

8. Sophistication of planning system (tingkat kecanggihan sistem perencanaan perusahaan).

2.3. Supply Chain Operation Reference (SCOR) Model

Salah satu metode pengukuran kinerja supply chain yang digunakan dalam skripsi ini adalah SCOR. Model ini telah dikembangkan oleh Supply Chain Council

Dokumen terkait