BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Supply Chain Management
Istilah supply chain mungkin sudah kerap didengar. Didalam Bahasa Indonesia sering dijumpai terjemahan supply chain sebagai “Rantai Pengadaan atau Penyediaan ataupun Pasokan Barang dan Jasa”. Pada hakikatnya supply chain adalah jaringan organisasi yang menyangkut hubungan ke hulu dan ke hilir (upstream– downstream), dalam proses dan kegiatan yang berbeda, yang menghasilkan nilai yang berwujud dalam barang dan jasa ditangan pengguna atau konsumen akhir. Proses dan kegiatan yang berbeda tersebut melibatkan hubungan antara para pelaku, dari penghasil atau pemasok, pembuat atau pengolah, pendistribusi atau penyalur sampai kepada pengguna atau konsumen.
Pola hubungan mereka tidak hanya merupakan “suatu mata rantai yang tersambung” tetapi juga merupakan “suatu jaringan mata rantai”. J. Aitken - pakar di bidang ini, lebih lanjut mendefiniskannya menjadi “suatu jaringan organisasi yang saling terkait dan saling ketergantungan antara satu dan lainnya dan secara bersama-sama bekerja untuk mengawasi, mengelola, dan melakukan perbaikan pada aliran pengadaan barang dan jasa serta informasi sejak dari penghasil atau pemasok sampai kepada pengguna atau konsumen akhir”. Dari sini dapat difahami bahwa filosofi manajerial didalam supply chain merupakan pengelolaan suatu jaringan mata rantai pengadaan barang dan jasa sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh, dan bukan secara terpisah-pisah.
(http://aped-project.org/artikel /cupu. php?id=24)
Konsep Supply Chain merupakan konsep baru dalam melihat persoalan logistik. Konsep lama melihat logistik lebih sebagai persoalan intern masing-masing perusahaan, dan pemecahannya dititikberatkan pada pemecahan secara intern di perusahaan masing-masing. Dalam konsep baru ini, masalah logistik dilihat sebagai masalah yang lebih luas yang terbentang sangat panjang sejak bahan dasar sampai barang jadi yang dipakai konsumen akhir, yang merupakan mata rantai persediaan barang. Oleh karena itu, manajemen supply chain dapat didefinisikan sebagai berikut :
“Supply chain management is a set of approaches utilized to efficiently integrate suppliers, manufacturers, warehourses, and stores, so that merchandise is produced and distributed at the right quantities, to the right locations, at the right time, in
order to minimized systemwide costs while satisfying service level requirement. (David Simchi Levi et al.,2000)”
Melihat definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa supply chain adalah logistic network. Dalam hubungan ini, ada beberapa pemain utama yang merupakan perusahaan-perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama, yaitu suppliers, manufacturer, distribution, retail outlets dan customers. (http://bushido02.wordpress.com/2010/06/08/konsep-supply-chain/)
Menurut ( Pujawan, 2005) pada suatu supply chain biasanya ada 3 macam aliran yang harus dikelola. Pertama adalah aliran barang yang mngalir dari hulu (upstream) ke hilir(downstream). Yang kedua adalah aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu. Yang ketiga adalah aliran infomasi yang bisa terjadi dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya.
Menurut (Turban, Rainer, Porter 2004), terdapat 3 macam komponen rantai suplai,
yaitu:
1. Rantai Suplai Hulu/Upstream supply chain. Bagian upstream (hulu) supply chain meliputi
aktivitas dari suatu perusahaan manufaktur dengan para penyalurannya (yang mana
dapat manufaktur, assembler, atau kedua‐duanya) dan koneksi mereka kepada pada
penyalur mereka (para penyalur second‐trier). Hubungan para penyalur dapat diperluas
kepada beberapa strata, semua jalan dari asal material (contohnya bijih tambang,
pertumbuhan tanaman). Di dalam upstream supply chain, aktivitas yang utama adalah
pengadaan.
2. Manajemen Internal Suplai Rantai/Internal supply chain management. Bagian dari internal supply chain meliputi semua proses pemasukan barang ke gudang yang
digunakan dalam mentransformasikan masukan dari para penyalur ke dalam keluaran
organisasi itu. Hal ini meluas dari waktu masukan masuk ke dalam organisasi. Di dalam
rantai suplai internal, perhatian yang utama adalah manajemen produksi, pabrikasi, dan
pengendalian persediaan.
3. Segmen Rantai Suplai Hilir/Downstream supply chain segment. Downstream (arah
muara) supply chain meliputi semua aktivitas yang melibatkan pengiriman produk
kepada pelanggan akhir. Di dalam downstream supply chain, perhatian diarahkan pada
distribusi, pergudangan, transportasi, dan after‐sales‐service.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen_rantai_suplai)
Gambar 2.1 Simplifikasi model Supply Chain dan 3 macam aliran yang dikelola (Sumber : Pujawan, 2005)
Istilah SCM pertama kali dikemukakan oleh Oliver & Weber pada tahun 1982 (cf. Oliver & Weber, 1982; Lambert et al. 1998). Kalau supply chain adalah jaringan
fisiknya, yakni perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam memasok bahan baku, memproduksi barang, maupun mengirimkannya ke pemakai akhir, SCM adalah metode, alat, atau pendekatan pengelolaannya. Namun perlu ditekankan bahwa SCM menghendaki pendekatan atau metode yang terintegrasi dengan semangat kolaborasi. Ada beberapa definisi tentang SCM, misalnya the Council of Logistic Management memberikan definisi berikut :
”Supply chain management is the systematic, strategic coordination of the tradisional business functions within a particular company and across businesses within the supply chain for the perpose of improving the long-term performance of the induvidual company and the supply chain as a whole.”
Jadi, supply chain management tidak hanya berorientasi pada urusan internal sebuah perusahaan, melainkan juga urusan eksternal yang menyangkut hubungan dengan perusahaan partner. Perlu diadakan kolaborasi karena perusahaan-perusahaan yang berada pada suatu supply chain pada intinya ingin memuaskan konsumen akhir yang sama, mereka harus bekerjasama untuk membuat produk yang murah, mengirimkannya tepat waktu, dan dengan kualitas yang bagus. Hanya dengankerjasama antara elemen-elemen pada supply chain tujuan tersebut akan tercapai. Oleh karena itu, cukup tepat kalau banyak orang mengatakan bahwa persaingan dewasa ini bukan lagi antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain, tetapi antara supply chain yang satu dengan supply chain yang lain.
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa supply chain adalah Logitics Network. Dalam hubungan ini, entiti dalam network tersebut
merupakan perusahaan–perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama yaitu suppliers, manufacture, distribution, retailer outlets, dan customers.
2.2.1. Pengukuran Kinerja Supply Chain
Pengukuran performansi berkembang di perusahaan seringkali hanya untuk menampilkan performansi dari masing-masing departemen. Pengukuran tersebut dirasakan kurang efektif karena adanya kecenderungan bahwa masing-masing departemen hanya berusaha untuk meningkatkan performansinya sendiri- sendiri dan bukan performansi perusahaan secara keseluruhan.
Pengukuran performansi adalah suatu proses untuk mengukur efektivitas dan efisiensi dari suatu aktivitas. Dalam sistem manajemen bisnis modern, pengukuran performansi bukan hanya sekedar sistem pengukuran dan perhitungan saja, melainkan juga dapat memberikan kontribusi pada peningkatan performansi.
Model SCOR menyediakan lebih dari 150 indikator prnilaian yang mengukur performa pada proses rantai pasokan (www.wikipedia.org). indikator-indikator tersebut dinyatakan dalam ukuran kuantitatif yang disebut dengan metrik-metrik penilaian. Gunanya menggunakan ukuran kuantitatif adalah agar performa/kinerja rantai pasokannya dapat diukur dengan baik, dapat menentukan target peningkatan yang dikehendaki, dan dapat dievaluasi di kemudian hari mengenai besarnya peningkatan performa yang dicapai.
Metrik-metrik penilaian tersebut dinyatakan dalam beberapa level tingkatan meliputi level 1, level 2, dan level 3. Dengan demikian, selain proses rantai pasokan yang dimodelkan ke dalam bentuk Hierarki proses, metrik penilaiannya dinyatakan dalam bentuk Hierarki penilaian. Banyaknya matrik dan tingkatan metrik dan tingkatan metrik yang digunakan disesuaikan dengan jenis dan banyaknya proses, Serta tingkatan proses rantai pasokan yang diterapkan di dalam perusahaan yang bersangkutan (Supply Chain Council, 2006). Jadi tidak semua indikator yang disediakan dalam model SCOR, digunakan untuk mengukur suatu performa rantai pasokan perusahaan.
Kriteria yang digunakan dalam pengukuran performa rantai pasokan disebut dengan atribut performa, meliputi reliabilitas rantai pasokan, responsifitas rantai pasokan, fleksibilitas rantai pasokan, biaya rantai pasokan, dan manajemen aset rantai. Masing-masing dari atribut performma tersebut terdiri dari satu atau lebih metrik level 1. Umumnya, para pimpinan perusahaan menggunakan metrik level 1 ini sebagai dasar untuk menentukan strategi pengembangan rantai pasokan yang hendak dicapai oleh perusahaan, disesuaikan dengan atribut performa yang paling dikehendaki oleh pembeli (eksternal) dan perusahaan (internal) (Bolstroff 2003). Definisi dari masing-masing atribut performa tersebut dijelaskan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Atribut performa manajemen rantai pasokan beserta metrik performa
Atribut Performa Definisi Metrik level 1
Reliabilitas Rantai Pasokan
Performa rantai pasokan perusahaan dalam memenuhi pesanan pembeli dengan produk, jumlah, waktu, kemasan, kondisi dan dokumentasi yang tepat sehingga mampu memberikan kepercayaan kepada pembeli bahwa pesanannya akan dapat terpenuhi dengan baik
Pemenuhan pesanan sempurna
Responsivitas Rantai Pasokan
Waktu (kecepatan) rantai pasokan perusahaan dalam memenuhi pesanan konsumen
Siklus pemenuhan konsumen
Fleksibilitas Rantai Pasokan
Keuletan rantai pasokan perusahaan dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan pasar untuk memelihara keuntungan kompetitif rantai pasokan Fleksibilitas rantai pasokan atas Adaptibilitas rantai pasokan atas Adaptibilitas rantai pasokan bawah Biaya Rantai Pasokan
Biaya yang berkaitan dengan pelaksanaan proses rantai pasokan
Biaya total SCM Biaya pokok produk Manajemen Aset
Rantai Pasokan
Efektifitas suatu perusahaan dalam memanajemmen asetnya untuk
mendukung terpenuhinya kepuasan konsumen
Siklus Cash-to-cash Retusn on Supply Chain Fixed Assets Return on Working Capital
Metrik level 1 merupakan agregat penilaian dari metrik-metrik level 2, matrik level 2 merupakan agregat penilaian dari matrik-matrik level 3. Dengan demikian, proses pengukuran performa rantai pasokan diawali dengan mengukur pross-proses pada level paling bawah ( level 3) kemudian seterusnya hingga level 1. Namun, metrik level 1 berkaitan dengan performa proses level 1. Sebagai contohnya, performa siklus waktu pemenuhan pesanan (matrik level 1) tidak hanya dinilai dari Deliver (D) saja, melainkan dinilai dari siklus proses Plan (P), Source (S), dam Make (M). jadi, nilai dari suatu metrik level 1 bisa dipengaruhi dari performa beberapa
proses level 1, sedangkan untuk matik level 2 umumnya di asosiasikan dengan proses level 2 yang berkaitan. Seperti misalnya metrik performa pengiriman barang (metrik level 2) dinilai dari banyaknya proses pesanan yang terkirim ke pembeli tepat waktu.
Menurut (Marimin dan Maghfiroh, N, 2010) pengukuran performa rantai pasokan kemudian dilanjutkan dengan menentukan target pencapaian yang dibutuhkan perusahaan untuk menghasilkan performa yang terbaik dan mampu memenangi persaingan pasar. Penentuan target pencapaian tersebut dapat dilakukan dengan proses Benchmarking. Benchmarking merupakan proses membandingkan kondisi perusahaan saat ini dengan kondisi perusahaan kompetitor yang paling maju dibidangnya (Best In Class Performance), sehingga data pembanding yang digunakan adalah berasal dari perusahaan-perusahaan Best In Class tersebut. Namun demikian, ada kalanya membandingkan dengan perusahaan kompetitor sulit dilakukan sehingga data benchmark dapat juga diperoleh berdasarkan target internal perusahaan yang hendak dicapai tanpa harus membandingkannya dengan perusahaan lain (Bolstroff, 2003)
Ada berbagai macam cara pengukuran performansi yang pernah dilakukan perusahaan-perusahaan dunia. Salah satunya adalah cara pengukuran yang dilakukan oleh sebuah supermarket. Pertama mereka menentukan obyektif performansi yang dibutuhkan di dalam pengukuran tersebut, seperti quality, speed, reliability, flexibility, dan sebagainya. Obyektif tersebut diberi skor dan bobot. Tingkat pemenuhan performansi didefinisikan oleh normalisasi dari indikator performansi tersebut. Untuk strategi Supply Chain yang pasti, berlaku hubungan sebagai berikut :
Pi =
n i j j ij W S , Dimana :Pi = Total performansi supply chain varian i n = Jumlah obyektif performansi
Sij = Skor supply chain ke i didalam obyektif performansi ke j Wj = Bobot dari obyektif performansi
Di dalam pengukuran ini, langkah pertama adalah melakukan pembobotan. Pembobotan dilakukan dengan cara Analytic Hierarchy Process (AHP), dimana setiap obyektif performansi dipasangkan dan dilakukan perbandingan tingkat kepentingannya. Langkah kedua adalah pendefinisian dari indikator performansi dan melakukan pengukuran. Skor di dalam obyektif pengukuran yang berbeda-beda didefinisikan dengan bantuan 6 langkah, yaitu :
1. Pendefinisian setiap indikator 2. Pendefinisian normalisasi
3. Pendefinisian interval skor untuk setiap indikator 4. Pendefinisian skor dari indikator
5. Penjumlahan skor 6. Normalisasi dari skor
Setiap indikator memiliki bobot yang berbeda-beda dengan skala ukuran yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, diperlukan proses penyamaan parameter, yaitu dengan cara normalisasi tersebut. Di sini normalisasi memegang peranan cukup penting demi tercapainya nilai akhir dari pengukuran performansi.
Proses normalisasi dilakukan dengan rumus normalisasi Snorm dr De boer, yaitu :
100 min max min x S S S Si Snorm Keterangan :Si = Nilai indikator aktual yang berhasil dicapai
Smin = Nilai pencapaian performansi terburuk dari indikator performansi Smax = Nilai pencapaian performansi terbaik dari indikator performansi
Pada pengukuran ini, setiap bobot indikator dikonversikan ke dalam interval nilai tertentu yaitu 0 sampai 100. Nol (0) diartikan paling jelek dan seratus (100) diartikan paling baik. Dengan demikian parameter dari setiap indikator adalah sama, setelah itu didapatkan suatu hasil yang dapat dianalisa.
Menurut (Trienekens dan Hvolby, 2000) untuk memantau nilai pencapaian performansi terhadap nilai pencapaian terbaik atau target yang ingin dicapai oleh perusahaan maka dibutuhkan sistem monitoring indikator performansi. Jika nilai kinerja < 40 maka pencapaian performansinya dapat dikategorikan kedalam kondisi yang sangat rendah (poor), 40-50 dikatagorikan marginal, 50-70 dikategorikan average, 70-90 dikategorikan good sedangkan jika skor normalisasi mencapai nilai diatas 90 maka dapat dikategorikan sangat baik sekali (excellent), dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Sistem Monitoring Indikator Performansi Sistem Monitoring Indikator Performansi
> 90 Exellent
70 – 90 Good
50 – 70 Average
40 – 50 Marginal
< 40 Poor
Sumber : Trienekens dan Hvolby, 2000
2.2.2. Ruang Lingkup Pengukuran Kinerja Supply Chain
Pengukuran kinerja supply chain mencakup pengukuran kinerja perusahaan pada proses internal dan proses eksternal perusahaan. Proses internal perusahaan merupakan seluruh proses yang terjadi didalam perusahaan mulai dari proses perencanaan produksi hingga pengiriman produk kepada customer. Sedangkan proses eksternal merupakan proses yang melibatkan hubungan perusahaan dengan stage yang berada diluar perusahaan, yaitu supplier dan Customer.
Gambar 2.2 Ruang lingkup pengukuran kinerja supply chain
Pengukuran kinerja supply chain tidak hanya difokuskan hanya pada salah satu proses internal atau eksternal saja. Keduanya mempengaruhi kinerja perusahan secara keseluruhan.
Indikator kinerja yang berkaitan dengan proses eksternal terdiri dari 2 bagian, yakni yang berkaitan dengan supplier dan customer. Untuk indikator kinerja yang berkaitan dengan supplier antara lain adalah sebagai berikut :
1. Delivery flexibility of supplier (tingkat fleksibilitas supplier dalam melakukan pengiriman).
2. Ability to respon to an urgent demand (kemampuan supplier untuk memenuhi demand dari perusahan yang muncul mendadak).
3. Quality performance supplier (kemampuan supplier untuk mengirimkan item yang sesuai dengan standart kualitas perusahaan).
4. Delivery time for specific item (waktu yang dibutuhkan supplier untuk mengirimkan item yang dipesan).
Sedangkan indikator kinerja dalam kaitannya dengan customer antara lain sebagai berikut :
1. On time delivery (besarnya persentase pengiriman yang dilakukan perusahan pada saat atau sebelum batas waktu yang disepakati dengan customer).
2. Kualitas produk yang dikirimkan kepada pelanggan.
3. Customer satisfaction (tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan perusahaan).
4. Defect rate (persentase produk cacat yang dikirimkan kepada customer).
Indikator kinerja yang berkaitan dengan proses internal perusahaan antara lain sebagai berikut :
2. Production lead time (lamanya produksi yang dibutuhkan perusahaan untuk menjalankan proses produksi).
3. Process capability (lamanya proses produksi perusahaan).
4. Mean time between failure (berkaitan dengan kehandalan mesin yang digunakan untuk melakukan proses produksi).
5. Volume flexibility (tingkat fleksibilitas perusahaan untuk mengubah volume produksi untuk memenuhi permintaan customer).
6. Mix flexibility (tingkat fleksibilitas perusahaan untuk menambah variasi produk). 7. Forecast Accuracy (tingkat keakuratan teknik forecasting yang dilakukan
perusahaan).
8. Sophistication of planning system (tingkat kecanggihan sistem perencanaan perusahaan).