• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN .................................... 109-122

Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi dari penelitian dan juga menyimpulkan hasil penelitian. Dalam bab ini juga akan dimuat diskusi dan saran.

17

Dalam bab dua ini, akan dibahas semua teori yang dapat menjelaskan masing-masing variabel penelitian. Terlebih dahulu teori yang akan dibahas adalah mengenai teori-teori yang berkenaan dengan intensi yang dimulai dengan definisi intensi sendiri, perkembangan teori serta komponen intensi itu sendiri.

Selanjutnya akan dibahas pula mengenai wirausaha, yang kemudian akan membentuk sebuah pengertian baru tentang intensi berwirausaha yang disimpulkan dari definisi intensi dan definisi wirausaha. Setelah itu peneliti akan membahas faktor-faktor psikologis yang dianggap sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha pada mahasiswa.

Peneliti juga memberikan pengertian tentang wirausaha yang merupakan objek dalam penelitian ini. Kerangka berpikir pun akan dibahas oleh peneliti karena kerangka berpikir ini merupakan alur pemikiran peneliti secara garis besar. Selanjutnya yang terakhir adalah hipotesis penelitian yang nantinya akan dibuktikan dalam penelitian ini.

2.1. Intensi Berwirausaha 2.1.1. Definisi Intensi

Fishbein dan Ajzen (1975) menjelaskan definisi Intensi, sebagai berikut:

we have defined intention as a person’s location on a subjective probability dimention involving a relation between himself and some action. A behavioral

intention, therefore, refers to a person’s subjective probability that the will perform some behavior.”

Intensi didefinisikan sebagai dimensi probabilitas subjektif individu dalam kaitan antara diri dan perilaku. Intensi merupakan perkiraan seseorang mengenai seberapa besar kemungkinannya untuk melakukan suatu tindakan tertentu.

Fishbein dan Ajzen (1975) mengartikan intensi merupakan komponen dalam individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu. Pengertian tersebut menyatakan bahwa intensi merupakan faktor motifasional yang memiliki sebuah akibat pada perilaku; dengan mengindikasikan seberapa keras keinginan untuk mencoba; seberapa banyak berusaha dalam merencanakan yang semuanya bertujuan pada sebuah tingkah laku.

Dalam sebuah penelitian, Bandura (1986; dalam Wijaya, 2007) menyatakan bahwa intensi merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas tertentu atau menghasilkan keadaan tertentu di masa depan.

Dari keseluruhan definisi-definisi diatas, itensi dapat diartikan sebagai seberapa besar keinginan seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Dalam penelitian ini, peneliti memilih menggunakan teori yang dijelaskan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) yang mengartikan intensi merupakan komponen dalam individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu. Hal tersebut dikarenakan teori ini telah banyak dipakai didalam setiap penelitian intensi dan peneliti lebih mudah menemukan sumbernya.

2.1.2. Teori Mengenai Intensi

Teori intensi mengalami perkembangan, dimana pada awalnya hanya berisi mengenai Theory of Reasoned Action, kemudian teori tersebut berkembang menjadi Planned Behavior Theory. Berawal dari timbulnya kritik terhadap teori dan pengukuran sikap yang seringkali tidak tepat, yaitu tidak dapat memperkirakan perilaku yang akan timbul. Maka Fishbein dan Ajzen mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) dengan mencoba melihat anteseden perilaku volisional (perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri) (Ajzen, 1988). Berdasarkan Theory of Reasoned Action, suatu tingkah laku ditentukan oleh intensi berperilaku, dan intensi berperilaku ini dipengaruhi oleh dua faktor, yang satu bersifat personal yaitu sikap dan yang lain merefleksikan pengaruh sosial yang biasa disebut norma subjektif (Ajzen, 2005).

Dari Theory of Reasoned Action tersebut, kemudian diperluas dan dimodifikasi oleh Ajzen (1988). Modifikasi ini dinamakan teori perilaku terencana. Kerangka pemikiran teori ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah

control volisional yang belum lengkap dalam teori terdahulu. Inti dari Theory of Planned Behavior tetap berada pada faktor intensi perilaku namun determinan intensi tidak hanya dua (sikap terhadap perilaku yang bersangkutan dan norma-norma subjektif) melainkan tiga dengan diikutsertakannya aspek Perceived Behavioral Control (PBC). Dengan demikian intensi merupakan fungsi dari tiga determinan, yaitu bersifat personal, merefleksikan pengaruh sosial dan berhubungan dengan isu kontrol (Ajzen, 2005).

2.1.3. Komponen Intensi

Di dalam pembentukan intensi Fishbein dan Ajzen (1975) mengemukakan bahwa terdapat empat elemen penting, yaitu:

1. Tingkah laku

Mengukur sikap terhadap niat (intensi) menurut Fishbein dan Ajzen sama dengan mengukur perilaku itu sendiri. Karena menurut mereka, hubungan antara niat dan perilaku adalah paling dekat. Setiap perilaku bebas, yang ditentukan oleh kemauan sendiri selalu didahului oleh niat.

2. Situasi dimana tingkah laku dimunculkan

Intensi untuk menampilkan sesuatu perilaku yang memungkinkan tampil pada situasi atau lokasi tertentu.

3. Waktu saat tingkah laku ditampilkan

Intensi muncul pada waktu tertentu, pada periode khusus atau periode waktu tanpa batas (waktu yang akan datang). Sehingga untuk dapat meramalkan perilaku secara akurat, maka intensi berwirausaha dapat diuraikan melalui empat komponen intensi dimana intensi berwirausaha merupakan perilaku spesifik, dan berwirausaha adalah target objek dilakukannya perilaku. Sedangkan situasi dan waktu adalah saat dilakukannya perilaku.

4. Target objek; seperti berwirausaha.

2.1.4. Determinan Intensi

Terbentuknya intensi dapat diterangkan dengan teori perilaku terencana yang mengasumsikan manusia selalu mempunyai tujuan dalam berperilaku (Fishbein & Ajzen, 1988). Secara umum, faktor anteseden intensi dapat diungkapkan melalui

Theory Planned of Behavior(TPB) yaitu keyakinan atau sikap berperilaku, norma subjektif dan kontrol perilaku. Teori ini menyebutkan bahwa intensi adalah fungsi dari tiga determinan dasar, yaitu:

a. Sikap, merupakan dasar bagi pembentukan intensi. Di dalam sikap terhadap perilaku terdapat dua aspek pokok, yaitu: keyakinan individu bahwa menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu, dan merupakan aspek pengetahuan individu tentang obyek sikap dapat pula berupa opini individu hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu obyek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap obyek sikap tersebut, demikian pula sebaliknya (Fishbein & Ajzen, 1988). b. Norma subjektif, yaitu keyakinan individu akan norma, orang sekitarnya dan

motivasi individu untuk mengikuti norma tersebut. Di dalam norma subjektif terdapat dua aspek pokok, yaitu: keyakinan akan harapan, harapan norma referensi, merupakan pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh individu yang menyarankan individu untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu serta motivasi kesediaan individu untuk melaksanakan pendapat atau pikiran pihak lain yang dianggap penting bahwa individu harus atau tidak harus berperilaku.

c. Kontrol perilaku, yang merupakan dasar bagi pembentukkan kontrol perilaku yang dipersepsikan. Kontrol perilaku yang dipersepsi merupakan persepsi terhadap kekuatan faktor-faktor yang mempermudah atau mempersulit suatu

perilaku. Dalam beberapa penelitian kewirausahaan, kontrol perilaku dioperasionalkan dalam bentuk efikasi diri.

2.1.5. Definisi Kewirausahaan

Kewirausahaan mulai dikenal secara populer pada awal abad ke-18. Pada tahun 1755, seorang Irlandia bernama Richard Cantillon yang berdiam di Perancis merupakan orang yang pertama yang menggunakan istilah “wirausaha” didalam bukunya Essai Sur la Nature du Commerce en Generale (terjemahan). Di dalam bukunya tersebut, ia menjelaskan bahwa wirausaha adalah seorang yang menanggung resiko. Pada awalnya, istilah wirausaha merupakan sebutan bagi para pedagang yang membeli barang kemudian menjualnya dengan harga yang tidak pasti. Namun istilah tersebut berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan.

Menurut Schumpeter (1912) wirausaha tidak selalu berarti pedagang atau manajer, tetapi juga seorang unik yang memiliki keberanian dalam mengambil resiko dan memperkenalkan produk-produk inovatif serta teknologi baru ke dalam perekonomian.

Sejalan dengan konsep kewirausahaan, Drucker (1994) mendefinisikan kewirausahaan sebagai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya peluang. Secara luas definisi tersebut dikemukakan oleh Peter Hisrich (1995: 10) (dalam Suryana, 2007), yang mengatakan bahwa kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang berbeda untuk menghasilkan nilai dengan mencurahkan

waktu dan usaha, diikuti penggunaan uang, fisik, resiko, dan kemudian menghasilkan balas jasa berupa uang serta kepuasan dan kebebasan pribadi.

Banyak sekali definisi kewirausahaan karena wirausaha dapat dipandang dari berbagai sudut dan konteks, seperti dari sudut pandang ahli ekonomi, manajemen, pelaku bisnis, psikologi, dan pemodal (Suryana, 2007). Namun dalam hal ini, peneliti akan lebih mengacu pada pengertian atau definisi kewirausahaan dalam sudut pandang pelaku bisnis, karena dianggap lebih relevan dengan maksud dan tujuan penelitian ini.

Menurut Scarborough dan Zimmerer (1993: 5), mengenai definisi wirausaha: “an entrepreneur is one who creates a new business in the face of risk and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying opportunities and assembling the necessary resources to capitalize on those opportunities”.

Dalam definisi ini wirausaha adalah orang yang menciptakan suatu bisnis baru dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian dengan maksud untuk memperoleh keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengenali peluang dan mengkombinasikan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang tersebut.

Dun Steinhoff dan John F. Burgess (1993: 35), pengusaha adalah orang yang mengorganisasikan, mengelola, dan berani menanggung risiko sebuah usaha atau perusahaan (a person who organizes, manages, and assumes the risk of a business or enterprise is an entrepriner).

Menurut Sri Edi Swasono (1978: 38), wirausaha adalah pengusaha, tetapi tidak semua pengusaha adalah wirausaha. Kewirausahaan juga didefinisikan sebagai nilai yang diperlukan untuk mengembangkan usaha (Soeharto Prawiro, dalam Suryana, 1997).

Enterpreneurship atau kewirausahaan menurut Suryana (2007) adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses.

Dengan demikian, peneliti memilih teori yang dikemukakan oleh Scarborough dan Zimmerer (1993: 5) bahwa wirausaha adalah orang yang menciptakan suatu bisnis baru dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian dengan maksud untuk memperoleh keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengenali peluang dan mengkombinasikan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang tersebut. Definisi ini peneliti anggap lebih sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan mengenai wirausaha.

2.1.6. Karakteristik Kewirausahaan

Dengan menggunakan gabungan pandangan dari Thomas dan McClelland (1961), Thomas F. Zimmerer (1996: 6-8) (dalam Suryana, 2001) memperluas karakteristik sikap dan perilaku wirausaha yang berhasil sebagai berikut:

1. Commitment and Determination, yaitu memiliki komitmen dan tekad yang bulat untuk mencurahkan semua perhatian terhadap usaha. Sikap yang setengah hati mengakibatkan besarnya kemungkinan untuk gagal dalam berwirausaha.

2. Desire for responsibility, yaitu memiliki rasa tanggung jawab dalam mengendalikan sumber daya yang digunakan dan keberhasilan berwirausaha, oleh karena itu wirausaha akan mawas diri secara internal. 3. Opportunity obsession, yaitu berambisi untuk selalu mencari peluang.

Keberhasilan wirausaha selalu diukur dengan keberhasilan untuk mencapai tujuan. Pencapaian tujuan terjadi apabila terdapat peluang.

4. Tolerance for risk, ambiguity, and uncertainty, yaitu tahan terhadap resiko dan ketidakpastian. Wirausaha harus belajar mengelola risiko dengan cara mentransfernya kepihak lain. Wirausaha yang berhasil biasanya memiliki toleransi terhadap pandangan yang berbeda dan ketidakpastian.

5. Self confidence, yaitu percaya diri. Wirausaha cenderung optimis dan memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk berhasil.

6. Creativity and flexibility, yaitu berdaya cipta dan luwes. Salah satu kunci penting adalah kemampuan untuk menghadapi perubahan permintaan. 7. Desire for immidiate feedback, yaitu selalu memerlukan umpan balik

dengan segera. Wirausaha selalu ingin mengetahui hasil dari apa yang dikerjakannya. Oleh karena itu, dalam memperbaiki kinerjanya, wirausaha selalu memiliki kemampuan untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya dan belajar dari kegagalan.

8. High level of energy, yaitu memiliki tingkat energi yang tinggi. Wirausaha yang berhasil biasanya memiliki daya juang yang lebih tinggi dibanding

kebanyakan orang, sehingga ia lebih suka kerja keras walaupun dalam waktu yang relatif lama.

9. Motivation to excel, yaitu memiliki dorongan untuk selalu unggul. Wirausaha selalu ingin lebih unggul dan berhasil dalam mengerjakan apa yang dilakukannya dengan melebihi standar yang ada. Motivasi ini muncul dari dalam diri (internal) dan jarang dari faktor eksternal.

10. Orientation to the future, yaitu berorientasi pada masa depan. Untuk tumbuh dan berkembang, wirausaha selalu berpandangan jauh ke masa depan yang lebih baik.

11. Willingness to learn from failure, yaitu selalu belajar dari kegagalan. Wirausaha yang berhasil tidak pernah takut akan kegagalan. Ia selalu memfokuskan kemampuannya pada keberhasilan.

12. Leadership ability, yaitu kemampuan dalam kepemimpinan. Wirausaha yang berhasl memiliki kemampuan untuk menggunakan pengaruh tanpa kekuatan serta harus memiliki taktik mediator dan negosiator daripada diktator.

2.1.7. Definisi Intensi Berwirausaha

Intensi kewirausahaan menurut Katz dan Gartner (1988) dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukan suatu usaha. Dalam hasil penelitian oleh Wijaya (2007) bahwa salah satu faktor wirausaha adalah adanya keinginan dan keinginan ini oleh Fishbein dan Ajzen (1975) disebut sebagai intensi yaitu komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu.

Berdasarkan hal diatas, maka peneliti mengambil kesimpulkan bahwa intensi berwirausaha adalah seberapa kuat keinginan atau niat seseorang dalam mencoba dan berusaha merencanakan untuk mencapai tujuan dalam pembentukan suatu usaha atau melakukan kegiatan wirausaha.

2.1.8. Indikasi dari Intensi Berwirausaha

Indikasi intensi berwirausaha diambil dari Jean-Pierre Boissin et. al. (2009) dari Feisbein dan Ajzen (1988) adalah:

a. Seberapa keras seseorang mencoba berwirausaha.

b. Seberapa banyak seseorang merencanakan untuk berwirausaha.

2.1.9. Alat Ukur Intensi Berwirausaha

Model intensi berwirausaha merupakan hal yang cukup perlu untuk menganalisa intensi seseorang menjadi wirausahawan, oleh karena itu dibutuhkan alat ukur yang baik untuk mengukur intensi. Di dalam jurnal penelitian yang berjudul

Student and entrepreneurship; a comparative study of France and USA, alat ukur yang digunakan untuk mengukur intensi berwirausaha menggunakan adalah

Entrepreneurial Intention Quesionnaire (EIQ) yang telah dikembangkan berdasarkan teori dan studi empirik. EIQ juga telah diuji ulang oleh peneliti lainnya, seperti Kolveired (1996), Kolvereid dan Isaksen (in press), Chen et al. (1998), Kickul dan Zaper (2000), Krueger et al. (2000) atau Veciana et al. (2005) yang secara hati-hati merevisi guna mengatasi diskrepansi yang mungkin muncul antara instrumen yang berbeda. Alat ukur ini memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi dengan nilai alpha cronbach0.947.

Di dalam jurnal penelitian Gender effects on entrepreneurial intentions: a TPB multigroup analysis at factor and indicator level alat ukur untuk intensi berwirausaha menggunakan alat ukur yang dikembangkan sendiri berdasarkan teori perilaku berencana (perceived behavior control) milik Ajzen (1991) (Leroy et al., 2009). Alat ukur tersebut terdiri dari lima item dengan model skala Likert dengan rentang poin 1 ”sangat tidak setuju” sampai poin 5 “sangat setuju”. Sedangkan dalam jurnal penelitian conceptualizing academic-entrepreneurial intentions: An emperical test oleh Prodan dan Drnovsek (2010) alat ukur yang digunakan berbeda dengan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam penelitian ini menggunakan alat ukur yang setiap itemnya diambil serta dikombinasikan dari beberapa hasil peneliti lain. Penelitian ini terdiri dari enam buah item serta menggunakan skala Likert dengan rentang lima poin, dimana untuk setiap item memiliki pilihan jawaban pernyataan yang berbeda-beda. Item yang pertama diambil dari Chen et al., (1998) dengan skala “tidak tertarik sama sekali” sampai “sangat tertarik”. Item yang kedua juga diadaptasi dari item miliki Chen et al., (1998) dimana memilki pernyataan skala “tidak menentukan sama sekali” sampai “sangat menentukan”, untuk item yang ketiga memiliki pernyataan skala “sangat tidak setuju” sampai dengan “sangat setuju” yang diadaptasi dari Kassicieh et al., (1997), sedangkan item keempat dan kelima menggunakan rentangan skala yang menggunakan nilai, yaitu nilai 0% sampai 100% (Krueger et al., 2000), dan item yang keenam responden diminta untuk menuliskan aktifitas yang berhubungan dengan untuk memulai suatu bisnis sebanyak 14 aktifitas dimana item ini diadaptasi dari Gatewood et al., (1995).

Dalam penelitian sebelumnya, kuesioner dengan item tunggal juga telah digunakan pada penelitian terdahulu. Krueger et al. (2000), Peterman dan Kennedy (2003), Veciana et al. (2005) atau Kolvereid dan Isaksen (in press) pernah menggunakan alat ukur intensi berwirausaha dengan item tunggal. Namun, Nunnally (1978; dalam Linan dan Chen, 2006) menyebutkan bahwa alat ukur dengan banyak item lebih baik dibanding dengan item tunggal.

Dari berbagai jenis alat ukur dan pendapat yang dikemukakan oleh beberpa ahli, maka peneliti menentukan untuk menggunakan item

Entrepreneurial Intention Quesionnaire (EIQ) dengan jumlah item enam buah dan model pengisiannya menggunakan model skala likert dengan rentangan 7, dengan skala 1 menunjukkan “sangat tidak setuju” sampai dengan skala 7 yang menunjukkan “sangat setuju”. Peneliti menggunakan alat ukur ini karena peneliti menganggap alat ukur ini sudah cukup banyak digunakan oleh para peneliti sebelumnya serta mudah untuk diaplikasikan dilapangan, memiliki nilai alpha cronbachlebih tinggi dibanding alat ukur yang telah peneliti jelaskan sebelumnya serta lebih sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian yang akan peneliti lakukan. Namun demikian, karena alat ukur tersebut berasal dari tempat dengan budaya yang berbeda serta karakteristik sampel yang berbeda pula, maka perlu dilakukan adaptasi agar sesuai dengan kondisi dan karakteristik sampel yang akan peneliti gunakan.

2.2. Self Efficacy

2.2.1 DefinisiSelf Efficacy

Self efficacy didefinisikan menurut Bandura (1977) adalah “as a person’s belief about their ability to organize and execute course of action necessary to achieve a goal” yang memiliki arti bahwa efikasi diri sebagai keyakinan seseorang mengenai kemampuan mereka untuk mengatur dan menjalankan berbagai kegiatan yang sesuai guna mencapai sebuah tujuan.

Dalam buku psikologi sosial diketahui bahwa efikasi diri, yakni ekspektasi tentang kemampuan kita untuk melakukan tugas tertentu (Bandura, 1986).

Durkin menyatakan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan individu dimana seseorang bisa melatih kontrol selama kejadian yang mempengaruhi kehidupannya (Bandura, 1986).

Sedangkan Bandura (1977) dalam Baron and Byrne (1991) mendefinisikan efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan.

Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah penilaian tentang kemampuan seseorang untuk melaksanakan sebuah tugas dalam hal yang spesifik.

Efikasi diri yakni sebuah rasa optimis mengenai kompetensi dan efektifitas dalam dirinya (Bandura et. al., 1999; Maddux and Gosselin, 2003).

Self efficacy juga diartikan sebagai “Belief refer to the spesific expectations that we hold about our abilities to accomplish spesific task”

spesifik yang kami pegang mengenai kemampuan kita untuk menyelesaikan tugas yang jelas.

Bandura dan Wood (dalam Ghufron dan Rini, 2010) menjelaskan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk menggerakan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi.

Bandura (1997) juga mengatakan bahwa efikasi diri pada dasarnya adalah hasil dari proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa efikasi diri adalah keyakinan didalam diri individu mengenai kemampuan dirinya untuk melakukan dan menyelesaikan suatu tugas sehingga tercapai hasil yang diinginkan. Orang yang memiliki keyakinan tinggi terhadap kemampuannya akan memandang tugas sulit sebagai suatu tantangan yang harus dikuasai, bukan sebagai ancaman yang harus dihindari. Kesimpulan ini lebih mengarah ke teori dari Bandura dikarenakan teori tersebutlah yang lebih sesuai dan banyak digunakan oleh peneliti mengenai

self efficacy.

2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhiSelf Efficacy

Bandura (2000: 212-213) menyatakan bahwa ada empat cara untuk mengembangkan suatu pemahaman yang kuat mengenai efikasi diri :

1. Mastery experiences, hal ini menjelaskan bahwa kesuksesan dapat membangun kepercayaan terhadap kemanjuran seseorang, sedangkan kegagalan akan meruntuhkan kepercayaan terhadap kemanjurannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika seseorang meraih kesuksesan dengan cara yang mudah maka dia akan mudah terpukul karena kegagalan. Mengembangkan rasa tabah terhadap kemampuan diri memerlukan pengalaman dalam mengatasi berbagai hambatan melalui usaha yang tekun.

2. Social modeling atau vicarious learning, seseorang melihat orang lain seperti dirinya bisa meraih kesuksesan melalui usaha yang berkesinambungan, maka dia akan mempercayai bahwa dirinya juga memiliki kapasitas untuk meraih kesuksesan seperti orang tersebut. Sebaliknya, bila yang diamati adalah kegagalan orang lain, hal ini dapat menanamkan keraguan terhadap kemampuannya untuk menguasai aktivitas yang sama. Model yang kompeten dapat pula membangun efikasi dengan menyampaikan pengetahuan dan keahlian untuk mengatur tuntutan lingkungan.

3. Bujukan sosial atau persuasi, seseorang dibujuk bahwa ia memiliki semua potensi dan kemampuan untuk meraih kesuksesan maka ia akan mengerahkan usaha yang lebih banyak ketika menghadapi suatu masalah. Para ahli persuasi sosial yang efektif melakukan lebih banyak hal ketimbang sekadar menyuntikkan keyakinan kepada seseorang tentang kemampuannya.

4. Psychological dan physical states, dimana seseorang membaca tekanan, kecemasan, dan depresi diri mereka sebagai tanda ketidakmampuan personal di dalam kegiatan-kegiatan yang memerlukan kekuatan dan stamina. Mereka

menafsirkan kejenuhan dan penderitaan sebagai indikator kemanjuran fisik yang lemah.

2.2.3. Dimensi-dimensi Self Efficacy

Menurut Bandura (1997), efikasi diri pada diri tiap individu akan berbeda antara satu individu dengan yang lainnya berdasarkan tiga dimensi. Berikut ini adalah tiga dimensi tersebut.

1. Dimensi tingkat (level)

Derajat kesulitan tugas ketika individu merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu dihadapkan pada tugas-tugas yang mudah, sedang, atau bahkan meliputi tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat.

2. Dimensi kekuatan (strength)

Tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung. Sebaliknya, pengharapan

Dokumen terkait