• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intensi berwiraisaha siswa sekolah menengah kejuan (SMK) Negeri 22 Jakarta: peran self efficacy, loc, risk taking behavior, eq, dan aq

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Intensi berwiraisaha siswa sekolah menengah kejuan (SMK) Negeri 22 Jakarta: peran self efficacy, loc, risk taking behavior, eq, dan aq"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERAN

SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING

BEHAVIOR, EQ

, DAN

AQ

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

Teddy Djuliarki Kurniawan

NIM : 107070002604

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1433H/2011

i

PERAN

SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING

BEHAVIOR, EQ

, DAN

AQ

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

Teddy Djuliarki Kurniawan

NIM : 107070002604

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1433H/2011

i

PERAN

SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING

BEHAVIOR, EQ

, DAN

AQ

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

Teddy Djuliarki Kurniawan

NIM : 107070002604

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ii

PERAN

SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING

BEHAVIOR, EQ

, DAN

AQ

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

TEDDY DJULIARKI KURNIAWAN NIM : 107070002604

Dibawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Jahja Umar, Ph.D Miftahuddin, M.Si

NIP. 130 885 522 NIP. 19730317 200604 1001

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

iii

MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA: PERAN SELF

EFFICACY, LoC, RISK TAKING BEHAVIOR, EQ, DAN AQ telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 08 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 08 Desember 2011 Sidang Munaqasyah

Dekan/Pembimbing I/Ketua Pembantu Dekan/Sekretaris

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si

NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001

Anggota :

Drs. Sofiandy Zakaria, M.Psi Yunita Faela Nisa, M.Psi. Psi

NIDN. 031 505 4701 NIP. 15036 8748

(4)

iv Nama : Teddy Djuliarki Kurniawan

NIM : 107070002604

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul INTENSI BERWIRAUSAHA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) NEGERI 22 JAKARTA:

PERAN SELF EFFICACY, LoC, RISK TAKING BEHAVIOR, EQ, DAN AQ

adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini diperbuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 08 Desember 2011 Yang Menyatakan

(5)

v

Sebaik-baik manusia adalah manusia

yang bermanfaat bagi makhluk hidup

lainnya

i am not a good guy but i’ll try to become a

good guy and do good things, so..

i‘ll do MY BEST

’

for YOU

(6)

vi

Skripsi ini ku persembahkan karena –Nya, untuk semua (orang tuaku, my

brothers n my big family) serta masa depanku

.

...there’s a will..

,,there’s a wish..

.,there’s a way...

Dari semua kata sedih yang terucap atau tertulis....

(7)

vii (A) Fakultas Psikologi

(B) Desember 2011

(C) Teddy Djuliarki Kurniawan

(D) Intensi Berwirausaha Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta: Peran self efficacy, locus of control, risk taking behavior, emotional quotient, danadversity quotient

(E) xvii + 170 halaman (termasuk lampiran)

(F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran self efficacy, locus of control, risk taking behavior, emotional quotient, dan adversity quotient terhadap intensi berwirausaha siswa SMK Negeri 22 Jakarta. Intensi berwirausaha merupakan prediktor terbaik dalam menggambarkan kemunculan perilaku berwirausaha di masa depan. Dalam memunculkan intensi berwirausaha, siswa banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor psikologis, demografis dan lingkungan. Faktor-faktor psikologis merupakan faktor internal seseorang yang mempengaruhi munculnya intensi berwirausaha. Diduga faktor psikologis seperti

self efficacy, internal locus of control, external locus of control, risk taking behavior, emotional quotient, dan adversity quotient memiliki peran dalam mempengaruhi intensi berwirausaha siswa, dikarenakan faktor-faktor psikologis tersebut merupakan latar belakang dari munculnya intensi berwirausaha pada seseorang.

(8)

viii

(DOSPERT), emotional quotient, dan adversity quotient (ARP). Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik regresi berganda dengan menggunakan program SPSS versi 16. Sedangkan untuk pengujian validitas konstruk menggunakan LISREL 8.7

Berdasarkan hasil perhitungan regresi berganda didapatkan R square sebesar 0,441 hal ini berarti 44,1% variabel intensi berwirausaha dapat dijelaskan oleh variasi dari ke enam variable, yaitu self efficacy, internal locus of control, external locus of control, risk taking behavior, emotional quotient, dan adversity quotientdengan indeks signifikansi sebesar 0,000 yang berarti P<0,05. Sehingga hipotesis mayor (H1) yang menyatakan ada pengaruh self efficacy, locus of control, risk taking behavior, emotional quotient, dan adversity quotientterhadap intensi berwirausaha siswa diterima.Berdasarkan koefisien regresi dari masing-masing independen variabel, terdapat dua variabel yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap intensi berwirausaha, sehingga hipotesis minor (H2)

yang menyatakan terdapat pengaruh yang signifikan dari self efficacy terhadap intensi berwirausaha diterima dan hipotesis minor (H7) yang menyatakan

terdapat pengaruh yang signifikan dari adversity quotient terhadap intensi berwirausaha diterima. Hal ini disebabkan self efficacy dan adversity quotient

memiliki pengaruh secara signifikan. Sedangkan empat variabel lainnya tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap intensi berwirausaha, sehingga hipotesis minor (H3,H4,H5,H6) yang menyatakan terdapat pengaruh yang signifikan dari

(9)

ix

terdapat beberapa variabel yang menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap intensi berwirausaha siswa, namun masih terdapat dua variabel lainnya yang mempengaruhi intensi berwirausaha siswa. Intensi berwirausaha merupakan awal dari munculnya perilaku berwirausaha, untuk itulah pentingnya meningkatkan faktor-faktor psikologis lainnya yang belum ada dalam penelitian ini, seperti sikap, motivasi, value, pengalaman kerja, kemampuan kewirausahaan, dan faktor demografi, karena faktor-faktor tersebut secara teoritis pun menentukan kemunculan dari intensi berwirausaha.

(10)

x

Bismillahirahmanirrahiim

Alhamdulillahhi rabbil ‘alamin, puji syukur kehadirat Allah Swt, hanya dengan izin-Nya terlaksana segala macam kebajikan serta kebaikan dan diraih segala macam kesuksesan. Dengan rahmat dan karunia-Nya yang telah maupun yang akan diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Rasulullah Muhammad Saw, pemimpin dan tauladan kaum yang beriman, beserta keluarga, sahabat, tabi, tabi’in, dan seluruh umatnya yang setia.

Tentunya dalam proses terselesaikannya skripsi ini, penulis tidak luput dari arahan, bimbingan, semangat, dorongan, serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi, pembimbing I, atas waktu luang, bimbingan, arahan, kesabaran, koreksi, saran dan kritik yang membangun dalam penyelesaian skripsi.

2. Miftahuddin, M.Si, pembimbing II, atas kesabaran, pengertian, perhatian, keramahan, bimbingannya, motivasi serta koreksi yang membuat semangat dan melihat secercah cahaya dalam menyelesaikan skripsi.

3. M. Avicenna, M.H, Psy. Dosen pembimbing akademik, atas dukungan dan keramahannya yang tidak pernah berhenti untuk selalu membuat penulis bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Sofiandy Zakaria, Drs, M.Psi dan Yunita Faela Nisa, M.Psi, Psi. Penguji I dan II atas pengertian dan kesediaannya meluangkan waktu untuk memberikan arahan demi kesempurnaan skripsi.

5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membimbing dan memberikan ilmu pengetahuannya dengan kesabaran dan keikhlasan.

6. Staf bagian Akademik, Umum, Keuangan dan perpustakaan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membantu kelancaran secara administratif bagi peneliti.

7. Kepala sekolah SMKN 22 Jakata, Amron, Drs, M.M atas keramahan dan ijin penelitian yang telah diberikan serta Wakasek bidang kurikulum Renny R, Dra. yang telah membantu dalam memperlancar penelitian tersebut. Peneliti merasa sangat terbantu dengan kebaikan keluarga besar SMKN 22 Jakarta.

(11)

xi

yang membuat semangat untuk menyelesaikan skripsi.

10. Herlina Pratami (UNJ), Hasty Fajri dan ibu Tuti (STEKPI), terima kasih banyak atas bantuan kalian dalam proses mendapatkan data sehingga penulis merasa bersemangat dan mampu dalam menyelesaikan skripsi tepat waktu. Maaf juga telah merepotkan kalian. Summimasen.

11. DeeDee, pengalaman mengenalmu selalu ada. Banyak hal yang bisa dipelajari darimu. U’re the best spirit that i’ve ever had, Thank you so much.

12. Semua teman seperjuangan skripsi (pulengbeknilminayrenankahandimdll), semoga kebersamaan kita disaat melalui masa-masa skripsi dapat menuai kenangan indah yang tidak terlupakan. Tetap semangat dan bermanfaat.

13. Ka Adiyo, ka Savinaz, ka Sarah, dan kaka-kaka yang lainnya, yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memberikan keberkahan pada ilmu kalian.

14. Imam, Adit, pipit n temennya mereka, terima kasih atas kehadirannya, semangat kalian dari belakang saat sidang merupakan semangat luar biasa.

15. Sahabat-sahabat LDK Syahid dan Komda Psikologi, semangat, kebaikan, kebersamaan, dan pengalaman bersama kalian merupakan kebaikan untuk semua yang tak mungkin terlupakan. Pengalaman ada guru yang terbaik dan kalian adalah pengalaman terbaik.We’re the best..

16. Teman-teman TC dan CPA yang juga telah banyak memberikan pengalaman dan pembelajaran berorganisasi. Tetap semangat.

17. Ka Deas, ka Al, ka Hari, ka Dim, dan bang Jarwo, terima kasih atas waktu, ilmu, tenaga, bahkan pinjaman bukunya dan kesediaannya dalam mendukung kelancaran proses penyelesaian skripsi.

18. Sahabat-sahabat Kelas B ”The One” Fakultas Psikologi 2007 Reguler, atas kebersamaan, keceriaan, kebanggaan dan semangat yang indah dimasa-masa kuliah bersama. Kalian baik semua (jadi bingung mau nulis nama siapa). Tetap semangat kawan-kawan.I’m gonna miss u all..

Akhirnya penulis memohon kepada Rabb Pencipta Semesta Alam agar seluruh dukungan, bantuan, bimbingan dari semua pihak di balas oleh Allah Swt dengan sebaik-baiknya balasan. Amin.

Jakarta, 08 Desember 2011

(12)

xii

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN ...ii

LEMBAR PENGESAHAN ...iii

MOTTO ...v

PERSEMBAHAN...vi

ABSTRAK ...vii

KATA PENGANTAR ...x

DAFTAR ISI ...xii

DAFTAR TABEL ...xv

DAFTAR LAMPIRAN ...xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-16 1.1. Latar Belakang Masalah...1

1.2. Rumusan dan Batasan Masalah...12

1.2.1. Rumusan Masalah...12

1.2.2. Batasan Masalah...13

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian...14

1.3.1. Tujuan Penelitian...14

1.3.2. Manfaat Penelitian...14

1.3.2.1. Manfaat Teoritis...14

1.3.2.2. Manfaat Praktis...14

1.4. Sistematika Penulisan...15

BAB 2 LANDASAN TEORI... 17-58 2.1. Intensi Berwirausaha...17

2.1.1. Definisi Intensi...17

2.1.2. Teori Mengenai Intensi...19

2.1.3. Komponen Intensi...20

2.1.4. Determinan Intensi...20

2.1.5. Definisi Kerwirausahaan...22

2.1.6. Karakteristik Kerwirausahaan...24

(13)

xiii

2.2.2. Faktor-Faktor yang MempengaruhiSelf Efficacy...31

2.2.3. Dimensi-dimensiSelf Efficacy...33

2.2.4. Alat Ukur Self Efficacy...34

2.3. Locus of Control...34

2.3.1. Definisi Locus of Control...35

2.3.2. Aspek-aspek Locus of Control...35

2.3.3. DimensiLocus of Control...36

2.3.4. KarakteristikLocus of Control...37

2.3.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Locus of Control...38

2.3.6. Alat Ukur Locus of Control...39

2.4. Adversity Quotient... 40

2.4.1. Definisi Adversity Quotient...40

2.4.2. Bentuk-bentuk Adversity Quotient...41

2.4.3. DimensiAdversity Quotient...41

2.4.4. Jenis-jenis Karakteristik Manusia...42

2.4.5. Alat UkurAdversity Quotient...44

2.5. Emotional Quotient... 44

2.5.1. Definisi Emotional Quotient...44

2.5.2. Indikator Emotional Quotient...46

2.5.3. Alat UkurEmotional Quotient...49

2.6. Risk Taking... 50

2.6.1. Definisi Risk Taking...50

2.6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risk Taking...51

2.6.3. Karakteristik Situasi yang MempengaruhiRisk Taking...52

2.6.4. DimensiRisk Taking...52

2.6.5. Alat UkurRisk Taking...53

2.7. Kerangka Berpikir Penelitian... 54

2.8. Hipotesis Penelitian... 57

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 59-92 3.1. Populasi dan Sampel ... 59

3.2. Variabel Penelitian ... 60

3.3. Definisi Operasional Variabel ... 60

3.4. Instrumen Pengumpulkan Data ... 62

3.5. Prosedur Pengujian Alat Ukur... 68

3.5.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 68

(14)

xiv

4.2.2 Analisis Proporsi Varian Pada Masing-Masing

Independent Variabel... 104

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN...109-122 5.1. Kesimpulan ... 109

5.1. Diskusi ...110

5.2. Saran...118

5.1. Saran metodologis...118

5.2. Saran praktis... 120

(15)

xv

Tabel 3.1 Tabel skoring dan interpretasi alat ukur EIQ, SES, dan MLCS Tabel 3.2 Blue print Multidimension Locus of Control(MLCS)

Tabel 3.3 Blue print Emotional Intelligence

Tabel 3.4 Blur Print skoring Emotional Intelligence

Tabel 3.5 Muatan Faktor Item EIQ untuk Intensi Berwirausaha

Tabel 3.6 Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran pada butir-butir item Intensi Berwirausaha

Tabel 3.7 Muatan Faktor Item untuk self efficacy

Table 3.8 Muatan Faktor Item untuk external locus of control

Tabel 3.9 Muatan Faktor Item untuk internal locus of control

Table 3.10 Muatan Faktor Item untuk risk taking

Table 3.11 Muatan Faktor Item untuk emotional quotient

Tabel 3.12 Muatan Faktor Item untuk adversity quotient control

Table 3.13 Muatan Faktor Item untuk adversity quotient origin & ownership

Tabel 3.14 Muatan Faktor Item untuk adversity quotient reach

Tabel 3.15 Muatan Faktor Item untuk adversity quotient endurance

Tabel 4.1 Distribusi populasi penelitian berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.2 Distribusi sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin Tabel 4.3 Distribusi populasi penelitian berdasarkan program keahlian Tabel 4.4 Distribusi sampel penelitian berdasarkan program keahlian Tabel 4.5 Distribusi populasi penelitian berdasarkan tingkatan kelas Tabel 4.6 Distribusi sampel penelitian berdasarkan tingkatan kelas

Tabel 4.7 Distribusi sampel penelitian berdasarkan jenis pekerjaan orang tua siswa

(16)

xvi

[image:16.612.116.542.54.455.2]
(17)

xvii Jakarta

Lampiran 2 Blue Print Alat Ukur Penelitian

Lampiran 3 Output Confirmatory Factor Analisis(CFA) tiap-tiap skala penelitian Lampiran 4 Analisis Faktor Konfirmatorik untuk masing-masing Variabel

(18)

1

Dalam bab ini peneliti akan memaparkan beberapa hal, yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pembatasan masalah, dan sistematika penulisan.

1.1. Latar Belakang Masalah

(19)

perbaikan perekonomian khususnya dalam permasalahan pengurangan pengangguran di Indonesia. Seperti yang telah diketahui bahwa perekonomian di dunia tidaklah selamanya stabil dan akan selalu terjadi fluktuasi setiap saatnya. Permasalahan pengangguran perlu dengan segera dicarikan solusi yang tepat tanpa harus bergantung dengan pertumbuhan perekonomian saja, karena jika hal tersebut dibiarkan terus menerus maka dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif dalam sosial masyarakat, seperti ketentraman keluarga terganggu, peningkatan tindakan kriminal dan masalah tekanan jiwa dan keyakinan diri pada masyarakat (Yanuar, 2010). Tindakan bunuh diri yang diakibatkan depresi karena sudah lama menganggur merupakan salah satu contohnya, seperti yang diungkapkan oleh Kapolsek Kebayoran Baru AKBP Irsan, Selasa (2010). Tindakan bunuh diri dilakukan oleh seorang pria dengan inisial A.S (45 tahun) yang diduga karena tekanan ekonomi dan sudah lama tidak bekerja. Ia melompat dari lantai VI, di salah satu Mall di Jakarta Selatan.

(20)
(21)

wirausaha, hingga buruh. Dimana program ini diharapkan dapat menjadi tambahan skillbagi siswa setelah lulus nantinya. Di sekolah ini, siswa juga tidak hanya diajarkan secara teoritis saja, namun praktek langsung mengenai berwirausaha, seperti menjaga koperasi sekolah, toko foto copy, dan bahkan mini bank. Semua kegiatan tersebut diajarkan kepada mereka agar mereka dapat langsung merasakan bagaimana menjadi seorang wirausahwan. Hal tersebut sesuai dengan visi sekolah, yaitu menjadikan SMK Negeri 22 Jakarta berstandar Nasional untuk menghasilkan tamatan yang profesional, unggul dan mandiri (smkn22.ac.id).

Dengan modal keterampilan dan pengetahuan yang didapatkan dari sekolah serta ditambah dengan pengetahuan kewirausahaan melalui pelajaran kewirausahaan yang telah masuk kedalam kurikulum sekolah seharusnya siswa SMK tidak hanya menjadi seorang pencari kerja, namun dapat menjadi seorang pembuka lapangan kerja atau seorang pengusaha. Dengan berwirausaha ia dapat mandiri dan bahkan membantu dalam membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain. Namun demikian keinginan atau intensi untuk berwirausaha yang muncul sejak dini merupakan tujuan utama dalam proses pembentukan wirausahawan-wirausahawan baru. Oleh karena itu perlunya menumbuhkan semangat berwirausaha di antara para siswa agar mereka sejak dini menjadi paham dan memiliki semangat untuk berwirausaha.

(22)

satu instrumen efektif untuk menghapus kemiskinan dan ketertinggalan bangsa (dalam Setyorini, 2000). Hal ini telah terbukti pada negara maju, yaitu Amerika Serikat. Drucker (1996) menyatakan bahwa wirausaha merupakan penyumbang terbesar perekonomian di Amerika dan bukan perusahaan-perusahaan besar berteknologi tinggi, melainkan dunia wirausaha yang menciptakan ribuan lapangan kerja.

McClelland (dalam Wijaya, 2008) juga menyatakan bahwa suatu negara akan maju jika terdapat enterpreneur sedikitnya sebanyak 2% dari jumlah penduduk. Data dari Global Enterpreneurship Monitor (GEM) pada tahun 2004 dan 2005 menunjukkan bahwa Singapura memiliki 7,2% entrepreneurdari jumlah penduduknya, China dan Jepang memiliki 10%, India 7% dan Amerika lebih dari itu, yaitu sebesar 11,5% (Smescoukm, 2010), bahkan Indonesia masih jauh tertinggal dengan Malaysia yang memiliki 3% pengusaha karena Indonesia hanya memiliki 0,18% pengusaha dari seluruh jumlah penduduknya. Dengan demikian dari penjelasan diatas, semakin menjelaskan pentingnya dalam meningkatkan jumlah pelaku wirausaha sebagai salah satu sarana yang efektif dan tepat dalam mengatasi permasalahan pengangguran.

(23)

Salah satu cara mengatasi pengangguran adalah dengan memperbanyak lapangan pekerjaan yang berarti perlu adanya peningkatkan jumlah pelaku wirausaha. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa keinginan berwirausaha para pelajar merupakan sumber bagi lahirnya wirausaha-wirausaha masa depan (Gorman et al., 1997; Kourilsky dan Walstad, 1998).

(24)

Dalam melakukan kegiatan berwirausaha terlebih dahulu harus ada keinginan dalam diri seseorang, karena dalam setiap perilaku atau perbuatan terlebih dahulu diawali oleh adanya keinginan. Keinginan ini oleh Fishbein dan Ajzen (1975) disebut dengan intensi, yaitu komponen dalam diri individu yang mangacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi diasumsikan dapat menangkap faktor-faktor yang memotivasi dan yang berdampak kuat pada tingkah laku. Sehingga intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha (Choo dan Wong, 2006; dalam Indarti & Rostiani, 2008).

Intensi kewirausahaan juga dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukkan suatu usaha (Katz dan Gartner, 1988). Berdasarkan hasil penelitian lain oleh Krueger dan Carsrud (1993) bahwa intensi telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena itulah pentingnya mengetahui intensi dalam penelitian ini guna memprediksi perilaku yang akan muncul, seperti yang dijelaskan kembali oleh Fishbein dan Ajzen (1975) bahwa kemauan yang kuat untuk melakukan suatu tingkah laku dapat dijelaskan melalui konsep intensi.

(25)

setiap individu itu sendiri. Dalam penelitian ini faktor-faktor internal atau psikologis dalam individualah yang lebih difokuskan dalam mempengaruhi seseorang memiliki intensi kewirausahaan.

Penelitian mengenai faktor-faktor psikologis yang berhubungan dengan intensi berwirausaha telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Salah satunya hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Indarti dan Kristiansen (2003), bahwa proses pembentukan Intensi berwirausaha melalui beberapa tahapan, yaitu need for achievement, self efficacy danlocus of control.

Faktor psikologis seperti self efficacy (Wijaya, 2008; Ramayah & Harun, 2005; Zhao et al., 2005; Fitzsimmons & Douglas, 2006; Shook & Bratianu, 2008; Hmieleski & Corbett, 2006; Linan, 2008; Marco et al., 2006) juga diterangkan memiliki hubungan dengan Intensi berwirausaha. Setiap individu memiliki tingkat

self efficacy atau penilaian terhadap kemampuannya sendiri dalam melakukan suatu hal yang berbeda-beda. Bandura (1986) dan Lent et al., (1994) dalam Boissin et al., (2009) mengungkapkan adanya hubungan antara self efficacy dan intensi berwirausaha dengan demikian persepsi diri dan kemampuan diri berperan dalam membangun intensi. Sehingga jika seseorang memiliki self efficacy yang tinggi maka orang tersebut memiliki tingkat intensi dalam melakukan sesuatu lebih tinggi dibandingkan lainnya dalam hal ini intensi berwirausahanya.

Selanjutnya, hasil penelitian dari Indarti dan Kristiansen (2003) mengenai

(26)

dalam mencapai sesuatu membentuk kepercayaan diri dan pengendalian diri yang tinggi pada individu, maka dengan demikian apakah individu memiliki eksternal ataupun internal locus of control akan membuat individu berani mengambil keputusan serta resiko yang ada.

Dalam setiap keputusan yang diambil oleh siapapun, pasti akan mengandung resiko yang berbeda-beda. Resiko menurut British Medical Association (dalam Yates, 1994) diinterpretasikan sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang tidak diharapkan atau yang tidak menyenangkan.

Dalam penelitian fear of success dan risk taking pada wirausaha wanita Bali oleh Riyanti (2007), Yates (1994) menyatakan bahwa segala perilaku yang muncul ketika seseorang dihadapkan pada situasi resiko dapat dijelaskan dengan konsep perilaku pengambilan resiko atau risk taking behavior. Dalam literatur lainnya juga dijelaskan bahwa intensi berwirausaha dipengaruhi oleh risk taking

(Stewart and Roth, 2001; Weber, Blais, & Betz, 2002; dalam Fini, unyears) Sehingga sikap individu yang mampu mentoleransi resiko (Zhao et al., 2005; Seagel et al., 2005) dan berani menghadapi rintangan dalam dunia usaha memiliki intensi untuk berwirausaha.

(27)

Goleman (2000) menyatakan bahwa IQ saja tidak mampu menerangkan 75% keberhasilan-keberhasilan dalam pekerjaan, atau bahkan sampai 96%. Faktor yang paling menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja adalah faktor

emotional quotient(Cooper dan Sawaf, 2000).

Inti dari kewirausahaan menurut Drucker (1959, dalam Suryana, 2000) adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya peluang. Zimmerer (1996:51) juga mengungkapkan bahwa kewirausahaan merupakan proses penerapan kreatifitas dan inovasi untuk memecahkan masalah dan mencari peluang yang dihadapi setiap orang dalam setiap hari.

Chandra (2001, dalam Ifham, 2002) menyebutkan bahwa emosi dapat memicu kreatifitas dan inovasi. Tindakan inovatif memerlukan unsur baik kognitif maupun emosi. Bisa mempunyai wawasan kreatif merupakan unsur kognitif – tetapi untuk menyadari nilai-nilainya, menumbuhkannya, dan menerapkannya memerlukan kecakapan emosi seperti rasa percaya diri, inisiatif, ketekunan, dan kemampuan membujuk (Goleman, 1999). Sehingga seseorang yang benar-benar mengoptimalkan emotional quotient, akan lebih jeli dalam melihat peluang terlebih bagi seorang wirausaha.

(28)

Stoltz (2000) menyatakan bahwa seorang individu yang memiliki kecerdasan menghadapi rintangan diduga akan lebih mudah menjalani profesi sebagai seorang wirausahawan karena memiliki kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang. Hal tersebut juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2007), yaitu ada hubungan positif yang signifikan antara adversity quotientdengan intensi berwirausaha.

Selain faktor-faktor psikologis di atas, masih terdapat banyak faktor lain yang juga begitu penting dalam mempengaruhi intensi berwirausaha. Dalam hal ini hasil penelitian dari Kristiansen (2003) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha. Faktor tersebut berupa faktor demografi diantara lain, yaitu latar belakang pendidikan, usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan orang tua siswa, dan pengalaman kerja serta faktor eksternal lainnya.

Salah satu faktor lainnya adalah pendidikan kewirausahaan, Hisrich dan Peters (1998) menyatakan bahwa pendidikan penting bagi wirausaha, tidak hanya gelar yang didapatkannya saja, namun pendidikan juga mempunyai peranan yang besar dalam membantu mengatasi masalah-masalah dalam bisnis seperti keputusan investasi dan sebagainya. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 78,8% siswa SMK yang pada dasarnya telah mendapatkan pendidikan kewirausahaan memiliki intensi berwirausaha yang cukup tinggi dibandingkan dengan siswa SMA (Riyanti, 2007).

(29)

menumbuhkan dan mengembangkan hasrat, jiwa dan perilaku berwirausaha di kalangan generasi muda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa yang mendapat pendidikan kewirausahaan memiliki kemungkinan intensi berwirausaha yang lebih tinggi.

Berdasarkan penjelasan dan hasil penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas, maka peneliti merasa penting untuk meneliti “Intensi Berwirausaha Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta:

Peran Self Efficacy, Locus of Control, Risk Taking Behavior, Emotional Quotient, dan Adversity Quotient sebagai judul penelitian. Namun pada penelitian ini, peneliti hanya memfokuskan pada taraf intensi berwirausaha bukan pada perilaku wirausahanya.

1.2. Rumusan dan Batasan Masalah

1.2.1. Rumusan Masalah

Intensi berwirausaha merupakan hal yang penting dalam terwujudnya perilaku berwirausaha. Intensi berwirausaha pada siswa dapat muncul oleh banyak faktor. Namun karena keterbatasan waktu, dana serta tenaga yang dimilki peneliti, maka peneliti hanya merumuskan beberapa masalah dalam penelitian ini. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah ada pengaruhself efficacyterhadap Intensi berwirausaha pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta?

(30)

3. Apakah ada pengaruh external locus of control terhadap Intensi berwirausaha pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta?

4. Apakah ada pengaruh risk taking behavior terhadap Intensi berwirausaha pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta?

5. Apakah ada pengaruh emotional quotient terhadap Intensi berwirausaha pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta?

6. Apakah ada pengaruhadversity quotientterhadap Intensi berwirausaha pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta?

1.2.2. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam hal ini digunakan agar penelitian ini tidak membahas hal-hal yang diluar jangkauan peneliti, maka dibuat pembatasan masalah demi kemudahan penelitian kedepannya. Peneliti hanya membatasi penelitian pada variabel intensi bewirausaha siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta saja.

(31)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dan seberapa besar sumbangan variabel faktor self efficacy, internal locus of control, eksternal locus of control, risk taking, emotional quotient, dan adversity quotient terhadap intensi berwirausaha siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 22 Jakarta.

1.3.2. Manfaat Penelitian

1.3.2.1. Manfaat Teoritis

Harapan penulis manfaat dari penelitian ini agar dapat menambah serta mengembangkan khasanah keilmuan khususnya di bidang psikologi industri dan organisasi dan umumnya dibidang yang menyangkut kewirausahaan di Indonesia. Serta mengubah khasanah keilmuan bagi siapa saja yang membaca secara umum sebagai pemikiran bagi penelitian selanjutnya.

1.3.2.2. Manfaat Praktis

(32)

untuk berwirausaha dapat terwujudkan. Sehingga nantinya dapat menyerap banyak tenaga kerja baru yang berarti telah membantu pemerintah baik secara langsung maupun tidak dalam mengurangi jumlah pengangguran serta membangkitkan perekonomian bangsa kedepannya.

1.4. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini berpedoman pada sistematika penulisan American Psychology Association (APA) style. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis menyusunnya dalam bentuk beberapa bab sebagai berikut:

BAB 1 : Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.

BAB 2 : Landasan Teori

Pada bab ini memuat tentang hal-hal mengenai teori-teori mengenai intensi berwirausaha; definisi intensi, teori mengenai intensi, komponen intensi, determinan intensi, definisi kewirausahaan, karakteristik kewirausahaan, definisi intensi berwirausaha, indikasi dari teori intensi berwirausaha; faktor-faktor yang berhubungan dengan intensi berwirausaha, kerangka berpikir dan hipotesis.

BAB 3 : Metode Penelitian

(33)

BAB 4 : Hasil Penelitian

Merupakan presentasi dan analisis data yang berisi tentang analisa deskriptif, dan uji hipotesis.

BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

(34)

17

Dalam bab dua ini, akan dibahas semua teori yang dapat menjelaskan masing-masing variabel penelitian. Terlebih dahulu teori yang akan dibahas adalah mengenai teori-teori yang berkenaan dengan intensi yang dimulai dengan definisi intensi sendiri, perkembangan teori serta komponen intensi itu sendiri.

Selanjutnya akan dibahas pula mengenai wirausaha, yang kemudian akan membentuk sebuah pengertian baru tentang intensi berwirausaha yang disimpulkan dari definisi intensi dan definisi wirausaha. Setelah itu peneliti akan membahas faktor-faktor psikologis yang dianggap sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha pada mahasiswa.

Peneliti juga memberikan pengertian tentang wirausaha yang merupakan objek dalam penelitian ini. Kerangka berpikir pun akan dibahas oleh peneliti karena kerangka berpikir ini merupakan alur pemikiran peneliti secara garis besar. Selanjutnya yang terakhir adalah hipotesis penelitian yang nantinya akan dibuktikan dalam penelitian ini.

2.1. Intensi Berwirausaha

2.1.1. Definisi Intensi

Fishbein dan Ajzen (1975) menjelaskan definisi Intensi, sebagai berikut:

(35)

intention, therefore, refers to a person’s subjective probability that the will perform some behavior.”

Intensi didefinisikan sebagai dimensi probabilitas subjektif individu dalam kaitan antara diri dan perilaku. Intensi merupakan perkiraan seseorang mengenai seberapa besar kemungkinannya untuk melakukan suatu tindakan tertentu.

Fishbein dan Ajzen (1975) mengartikan intensi merupakan komponen dalam individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu. Pengertian tersebut menyatakan bahwa intensi merupakan faktor motifasional yang memiliki sebuah akibat pada perilaku; dengan mengindikasikan seberapa keras keinginan untuk mencoba; seberapa banyak berusaha dalam merencanakan yang semuanya bertujuan pada sebuah tingkah laku.

Dalam sebuah penelitian, Bandura (1986; dalam Wijaya, 2007) menyatakan bahwa intensi merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas tertentu atau menghasilkan keadaan tertentu di masa depan.

(36)

2.1.2. Teori Mengenai Intensi

Teori intensi mengalami perkembangan, dimana pada awalnya hanya berisi mengenai Theory of Reasoned Action, kemudian teori tersebut berkembang menjadi Planned Behavior Theory. Berawal dari timbulnya kritik terhadap teori dan pengukuran sikap yang seringkali tidak tepat, yaitu tidak dapat memperkirakan perilaku yang akan timbul. Maka Fishbein dan Ajzen mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) dengan mencoba melihat anteseden perilaku volisional (perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri) (Ajzen, 1988). Berdasarkan Theory of Reasoned Action, suatu tingkah laku ditentukan oleh intensi berperilaku, dan intensi berperilaku ini dipengaruhi oleh dua faktor, yang satu bersifat personal yaitu sikap dan yang lain merefleksikan pengaruh sosial yang biasa disebut norma subjektif (Ajzen, 2005).

Dari Theory of Reasoned Action tersebut, kemudian diperluas dan dimodifikasi oleh Ajzen (1988). Modifikasi ini dinamakan teori perilaku terencana. Kerangka pemikiran teori ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah

(37)

2.1.3. Komponen Intensi

Di dalam pembentukan intensi Fishbein dan Ajzen (1975) mengemukakan bahwa terdapat empat elemen penting, yaitu:

1. Tingkah laku

Mengukur sikap terhadap niat (intensi) menurut Fishbein dan Ajzen sama dengan mengukur perilaku itu sendiri. Karena menurut mereka, hubungan antara niat dan perilaku adalah paling dekat. Setiap perilaku bebas, yang ditentukan oleh kemauan sendiri selalu didahului oleh niat.

2. Situasi dimana tingkah laku dimunculkan

Intensi untuk menampilkan sesuatu perilaku yang memungkinkan tampil pada situasi atau lokasi tertentu.

3. Waktu saat tingkah laku ditampilkan

Intensi muncul pada waktu tertentu, pada periode khusus atau periode waktu tanpa batas (waktu yang akan datang). Sehingga untuk dapat meramalkan perilaku secara akurat, maka intensi berwirausaha dapat diuraikan melalui empat komponen intensi dimana intensi berwirausaha merupakan perilaku spesifik, dan berwirausaha adalah target objek dilakukannya perilaku. Sedangkan situasi dan waktu adalah saat dilakukannya perilaku.

4. Target objek; seperti berwirausaha.

2.1.4. Determinan Intensi

(38)

Theory Planned of Behavior(TPB) yaitu keyakinan atau sikap berperilaku, norma subjektif dan kontrol perilaku. Teori ini menyebutkan bahwa intensi adalah fungsi dari tiga determinan dasar, yaitu:

a. Sikap, merupakan dasar bagi pembentukan intensi. Di dalam sikap terhadap perilaku terdapat dua aspek pokok, yaitu: keyakinan individu bahwa menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu, dan merupakan aspek pengetahuan individu tentang obyek sikap dapat pula berupa opini individu hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu obyek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap obyek sikap tersebut, demikian pula sebaliknya (Fishbein & Ajzen, 1988). b. Norma subjektif, yaitu keyakinan individu akan norma, orang sekitarnya dan

motivasi individu untuk mengikuti norma tersebut. Di dalam norma subjektif terdapat dua aspek pokok, yaitu: keyakinan akan harapan, harapan norma referensi, merupakan pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh individu yang menyarankan individu untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu serta motivasi kesediaan individu untuk melaksanakan pendapat atau pikiran pihak lain yang dianggap penting bahwa individu harus atau tidak harus berperilaku.

(39)

perilaku. Dalam beberapa penelitian kewirausahaan, kontrol perilaku dioperasionalkan dalam bentuk efikasi diri.

2.1.5. Definisi Kewirausahaan

Kewirausahaan mulai dikenal secara populer pada awal abad ke-18. Pada tahun 1755, seorang Irlandia bernama Richard Cantillon yang berdiam di Perancis merupakan orang yang pertama yang menggunakan istilah “wirausaha” didalam bukunya Essai Sur la Nature du Commerce en Generale (terjemahan). Di dalam bukunya tersebut, ia menjelaskan bahwa wirausaha adalah seorang yang menanggung resiko. Pada awalnya, istilah wirausaha merupakan sebutan bagi para pedagang yang membeli barang kemudian menjualnya dengan harga yang tidak pasti. Namun istilah tersebut berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan.

Menurut Schumpeter (1912) wirausaha tidak selalu berarti pedagang atau manajer, tetapi juga seorang unik yang memiliki keberanian dalam mengambil resiko dan memperkenalkan produk-produk inovatif serta teknologi baru ke dalam perekonomian.

(40)

waktu dan usaha, diikuti penggunaan uang, fisik, resiko, dan kemudian menghasilkan balas jasa berupa uang serta kepuasan dan kebebasan pribadi.

Banyak sekali definisi kewirausahaan karena wirausaha dapat dipandang dari berbagai sudut dan konteks, seperti dari sudut pandang ahli ekonomi, manajemen, pelaku bisnis, psikologi, dan pemodal (Suryana, 2007). Namun dalam hal ini, peneliti akan lebih mengacu pada pengertian atau definisi kewirausahaan dalam sudut pandang pelaku bisnis, karena dianggap lebih relevan dengan maksud dan tujuan penelitian ini.

Menurut Scarborough dan Zimmerer (1993: 5), mengenai definisi wirausaha: “an entrepreneur is one who creates a new business in the face of risk and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying opportunities and assembling the necessary resources to capitalize on those

opportunities”.

Dalam definisi ini wirausaha adalah orang yang menciptakan suatu bisnis baru dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian dengan maksud untuk memperoleh keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengenali peluang dan mengkombinasikan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang tersebut.

(41)

Menurut Sri Edi Swasono (1978: 38), wirausaha adalah pengusaha, tetapi tidak semua pengusaha adalah wirausaha. Kewirausahaan juga didefinisikan sebagai nilai yang diperlukan untuk mengembangkan usaha (Soeharto Prawiro, dalam Suryana, 1997).

Enterpreneurship atau kewirausahaan menurut Suryana (2007) adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses.

Dengan demikian, peneliti memilih teori yang dikemukakan oleh Scarborough dan Zimmerer (1993: 5) bahwa wirausaha adalah orang yang menciptakan suatu bisnis baru dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian dengan maksud untuk memperoleh keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengenali peluang dan mengkombinasikan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang tersebut. Definisi ini peneliti anggap lebih sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan mengenai wirausaha.

2.1.6. Karakteristik Kewirausahaan

Dengan menggunakan gabungan pandangan dari Thomas dan McClelland (1961), Thomas F. Zimmerer (1996: 6-8) (dalam Suryana, 2001) memperluas karakteristik sikap dan perilaku wirausaha yang berhasil sebagai berikut:

(42)

2. Desire for responsibility, yaitu memiliki rasa tanggung jawab dalam mengendalikan sumber daya yang digunakan dan keberhasilan berwirausaha, oleh karena itu wirausaha akan mawas diri secara internal. 3. Opportunity obsession, yaitu berambisi untuk selalu mencari peluang.

Keberhasilan wirausaha selalu diukur dengan keberhasilan untuk mencapai tujuan. Pencapaian tujuan terjadi apabila terdapat peluang.

4. Tolerance for risk, ambiguity, and uncertainty, yaitu tahan terhadap resiko dan ketidakpastian. Wirausaha harus belajar mengelola risiko dengan cara mentransfernya kepihak lain. Wirausaha yang berhasil biasanya memiliki toleransi terhadap pandangan yang berbeda dan ketidakpastian.

5. Self confidence, yaitu percaya diri. Wirausaha cenderung optimis dan memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk berhasil.

6. Creativity and flexibility, yaitu berdaya cipta dan luwes. Salah satu kunci penting adalah kemampuan untuk menghadapi perubahan permintaan. 7. Desire for immidiate feedback, yaitu selalu memerlukan umpan balik

dengan segera. Wirausaha selalu ingin mengetahui hasil dari apa yang dikerjakannya. Oleh karena itu, dalam memperbaiki kinerjanya, wirausaha selalu memiliki kemampuan untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya dan belajar dari kegagalan.

(43)

kebanyakan orang, sehingga ia lebih suka kerja keras walaupun dalam waktu yang relatif lama.

9. Motivation to excel, yaitu memiliki dorongan untuk selalu unggul. Wirausaha selalu ingin lebih unggul dan berhasil dalam mengerjakan apa yang dilakukannya dengan melebihi standar yang ada. Motivasi ini muncul dari dalam diri (internal) dan jarang dari faktor eksternal.

10. Orientation to the future, yaitu berorientasi pada masa depan. Untuk tumbuh dan berkembang, wirausaha selalu berpandangan jauh ke masa depan yang lebih baik.

11. Willingness to learn from failure, yaitu selalu belajar dari kegagalan. Wirausaha yang berhasil tidak pernah takut akan kegagalan. Ia selalu memfokuskan kemampuannya pada keberhasilan.

12. Leadership ability, yaitu kemampuan dalam kepemimpinan. Wirausaha yang berhasl memiliki kemampuan untuk menggunakan pengaruh tanpa kekuatan serta harus memiliki taktik mediator dan negosiator daripada diktator.

2.1.7. Definisi Intensi Berwirausaha

(44)

Berdasarkan hal diatas, maka peneliti mengambil kesimpulkan bahwa intensi berwirausaha adalah seberapa kuat keinginan atau niat seseorang dalam mencoba dan berusaha merencanakan untuk mencapai tujuan dalam pembentukan suatu usaha atau melakukan kegiatan wirausaha.

2.1.8. Indikasi dari Intensi Berwirausaha

Indikasi intensi berwirausaha diambil dari Jean-Pierre Boissin et. al. (2009) dari Feisbein dan Ajzen (1988) adalah:

a. Seberapa keras seseorang mencoba berwirausaha.

b. Seberapa banyak seseorang merencanakan untuk berwirausaha.

2.1.9. Alat Ukur Intensi Berwirausaha

Model intensi berwirausaha merupakan hal yang cukup perlu untuk menganalisa intensi seseorang menjadi wirausahawan, oleh karena itu dibutuhkan alat ukur yang baik untuk mengukur intensi. Di dalam jurnal penelitian yang berjudul

Student and entrepreneurship; a comparative study of France and USA, alat ukur yang digunakan untuk mengukur intensi berwirausaha menggunakan adalah

(45)
(46)

Dalam penelitian sebelumnya, kuesioner dengan item tunggal juga telah digunakan pada penelitian terdahulu. Krueger et al. (2000), Peterman dan Kennedy (2003), Veciana et al. (2005) atau Kolvereid dan Isaksen (in press) pernah menggunakan alat ukur intensi berwirausaha dengan item tunggal. Namun, Nunnally (1978; dalam Linan dan Chen, 2006) menyebutkan bahwa alat ukur dengan banyak item lebih baik dibanding dengan item tunggal.

Dari berbagai jenis alat ukur dan pendapat yang dikemukakan oleh beberpa ahli, maka peneliti menentukan untuk menggunakan item

(47)

2.2. Self Efficacy

2.2.1 DefinisiSelf Efficacy

Self efficacy didefinisikan menurut Bandura (1977) adalah “as a person’s belief about their ability to organize and execute course of action necessary to achieve a

goal” yang memiliki arti bahwa efikasi diri sebagai keyakinan seseorang mengenai kemampuan mereka untuk mengatur dan menjalankan berbagai kegiatan yang sesuai guna mencapai sebuah tujuan.

Dalam buku psikologi sosial diketahui bahwa efikasi diri, yakni ekspektasi tentang kemampuan kita untuk melakukan tugas tertentu (Bandura, 1986).

Durkin menyatakan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan individu dimana seseorang bisa melatih kontrol selama kejadian yang mempengaruhi kehidupannya (Bandura, 1986).

Sedangkan Bandura (1977) dalam Baron and Byrne (1991) mendefinisikan efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan.

Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah penilaian tentang kemampuan seseorang untuk melaksanakan sebuah tugas dalam hal yang spesifik.

Efikasi diri yakni sebuah rasa optimis mengenai kompetensi dan efektifitas dalam dirinya (Bandura et. al., 1999; Maddux and Gosselin, 2003).

Self efficacy juga diartikan sebagai “Belief refer to the spesific expectations that we hold about our abilities to accomplish spesific task”

(48)

spesifik yang kami pegang mengenai kemampuan kita untuk menyelesaikan tugas yang jelas.

Bandura dan Wood (dalam Ghufron dan Rini, 2010) menjelaskan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk menggerakan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi.

Bandura (1997) juga mengatakan bahwa efikasi diri pada dasarnya adalah hasil dari proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa efikasi diri adalah keyakinan didalam diri individu mengenai kemampuan dirinya untuk melakukan dan menyelesaikan suatu tugas sehingga tercapai hasil yang diinginkan. Orang yang memiliki keyakinan tinggi terhadap kemampuannya akan memandang tugas sulit sebagai suatu tantangan yang harus dikuasai, bukan sebagai ancaman yang harus dihindari. Kesimpulan ini lebih mengarah ke teori dari Bandura dikarenakan teori tersebutlah yang lebih sesuai dan banyak digunakan oleh peneliti mengenai

self efficacy.

2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhiSelf Efficacy

(49)

1. Mastery experiences, hal ini menjelaskan bahwa kesuksesan dapat membangun kepercayaan terhadap kemanjuran seseorang, sedangkan kegagalan akan meruntuhkan kepercayaan terhadap kemanjurannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika seseorang meraih kesuksesan dengan cara yang mudah maka dia akan mudah terpukul karena kegagalan. Mengembangkan rasa tabah terhadap kemampuan diri memerlukan pengalaman dalam mengatasi berbagai hambatan melalui usaha yang tekun.

2. Social modeling atau vicarious learning, seseorang melihat orang lain seperti dirinya bisa meraih kesuksesan melalui usaha yang berkesinambungan, maka dia akan mempercayai bahwa dirinya juga memiliki kapasitas untuk meraih kesuksesan seperti orang tersebut. Sebaliknya, bila yang diamati adalah kegagalan orang lain, hal ini dapat menanamkan keraguan terhadap kemampuannya untuk menguasai aktivitas yang sama. Model yang kompeten dapat pula membangun efikasi dengan menyampaikan pengetahuan dan keahlian untuk mengatur tuntutan lingkungan.

3. Bujukan sosial atau persuasi, seseorang dibujuk bahwa ia memiliki semua potensi dan kemampuan untuk meraih kesuksesan maka ia akan mengerahkan usaha yang lebih banyak ketika menghadapi suatu masalah. Para ahli persuasi sosial yang efektif melakukan lebih banyak hal ketimbang sekadar menyuntikkan keyakinan kepada seseorang tentang kemampuannya.

(50)

menafsirkan kejenuhan dan penderitaan sebagai indikator kemanjuran fisik yang lemah.

2.2.3. Dimensi-dimensi Self Efficacy

Menurut Bandura (1997), efikasi diri pada diri tiap individu akan berbeda antara satu individu dengan yang lainnya berdasarkan tiga dimensi. Berikut ini adalah tiga dimensi tersebut.

1. Dimensi tingkat (level)

Derajat kesulitan tugas ketika individu merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu dihadapkan pada tugas-tugas yang mudah, sedang, atau bahkan meliputi tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat.

2. Dimensi kekuatan (strength)

Tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung. Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan dalam usahanya.

3. Dimensi Generalisasi (generality)

(51)

Berdasarkan dari teori-teori di atas, maka penulis memilih salah satu teori yang sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu teori dari Bandura (1997: 55), menggambarkan self efficacy sebagai kepercayaan atau keyakinan terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk mengorganisasikan dan menentukan tindakan untuk menghasilkan sesuatu dari apa yang ingin dicapai.

2.2.4. Alat Ukur Self Efficacy

Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur self efficacy dalam penelitian ini menggunakan alat ukur milik Kolvereid (1996) dengan item berjumlah enam. Alat ukur ini telah sering digunakan oleh peneliti sebelumnya, seperti Chen et al., 1998; DeNoble et al., 1999; Zhao et al., 2005. Dalam jurnal Testing The Entrepreneurial Intention Model On a Two-Country Sample (Linan dan Chen, 2006) diketahui bahwa alat ukur self efficacy yang dikembangkan oleh kolvereid (1996) yang berjumlah enam item memiliki hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan alat ukur Klovereid dan Issaksen (in press) yang menggunakan 18 item dimana item-item tersebut dibagi menjadi empat faktor. Hal tersebut dapat dilihat dengan nilai alpha cronbach sebesar 0.898 yang berarti alat ukur ini memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi dalam mengukur self efficacy

(52)

2.3. Locus of Control

2.3.1. DefinisiLocus of control

Locus of control (Jung, 1978) adalah gambaran keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya.

Locus of control juga diartikan oleh Julian B. Rotter (1966) sebagai peristiwa yang dialami seseorang sebagai suatu reward atau reinforcement, dapat dipersepsikan secara berbeda dan juga menimbulkan reaksi yang berbeda pada setiap individu.

locus of control (Rotter, 1966) juga didefinisikan sebagai sesuatu ukuran harapan umum seseorang mengenai pengendalian (control) terhadap penguat (reinforcement).

Locus of control merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan perilaku individu dan juga locus of control didefinisikan sebagai gambaran pada keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya (Rotter, 1996; dalam Ghufron dan Rini, 2010).

Lindzey dan Aroson (1975) menyebutkan tiga istilah utama yang digunakan Rotter dalam teori belajar sosial, yaitu perilaku potensial, harapan, dan nilai penguat. Diketahui bahwa locus of control menurut Petri (1980) adalah konsep yang secara khusus berhubungan dengan harapan individu mengenai kemampuannya untuk mengendalikan penguat tersebut.

2.3.2. Aspek-aspek Locus of Control

(53)

1. Potensi perilaku, yaitu setiap kemungkinan yang secara relatif muncul pada situasi tertentu. Hal ini berkaitan dengan hasil yang diinginkan dalam kehidupan seseorang.

2. Harapan merupakan suatu kemungkinan dari berbagai kejadian yang akan muncul dan dialami oleh seseorang.

3. Nilai unsur penguat adalah pilihan terhadap berbagai kemungkinan penguatan atas hasil dari beberapa penguat hasil-hasil lainnya yang dapat muncul pada situasi serupa.

4. Suasana psikologis adalah bentuk rangsangan baik secara internal maupun eksternal yang diterima seseorang pada suatu saat tertentu, yang meningkatkan atau menurunkan harapan terhadap munculnya hasil yang sangat diharapkan.

2.3.3. Dimensi Locus of Control

Rotters (1966) menyatakan bahwa seseorang menyakini bahwa penguat yang mereka dapatkan dikontrol oleh perilaku dirimereka sendiri, orang lain, atau tekanan dari luar seperti keberuntungan atau nasib. Sehingga locus of control

dapat didiklasifikasikan menjadi dua dimensi, yaitu:

(54)

dengan penguat atau “reinforcement” yang didapatkannya sebagai hubungan sebab akibat. Dimana mereka akan menyalahkan diri sendiri bila gagal dan akan merasa bangga jika berhasil karena atas upaya sendiri (dalam Ghufron & Rini, 2010).

2. External control, menunjukkan ekspektansi bahwa kontrol berada di luar kendali mereka atau di luar diri seseorang (Rotter, 1966). Orang yang memiliki locus of control eksternal melihat keberhasilan dan kegagalan dari faktor keberuntungan dan nasib. Oleh karena itu, apabila mengalami kegagalan cenderung menyalahkan lingkungan sekitar yang menjadi penyebabnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang dengan

locus of control eksternal memiliki anggapan bahwa peristiwa atau hal-hal yang terjadi dalam dirinya, baik maupun buruk lebih disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, seperti keberuntungan, nasib, lingkungan sekitar, dan orang-orang sekitarnya.

2.3.4. Karakteristik Locus of Control

Perbedaan karakteristik antara internal dan external locus of control menurut Crider (1983) dijelaskan sebagai berikut.

1. Internal controlmempunyai ciri-ciri: a. Suka berkerja keras

b. Memiliki inisiatif yang tinggi

(55)

e. Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil

2. External controlmempunyai ciri-ciri: a. Kurang memiliki inisiatif

b. Mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan

c. Kurang suka berusaha karena mereka percaya bahwa faktor luarlah yang mengontrol

d. Kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah

Namun demikian pada setiap individu memiliki kedua-duanya; baik internal dan external locus of control, seperti yang dikatakan oleh Munandar dan Suhirman (1977) bahwa setiap orang memiliki faktor internal dan eksternal sekaligus. Hanya saja akan ada kecenderungan pada salah satunya.

2.3.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Locus of Control

(56)

Faktor-faktor yang mempengaruhi locus of controladalah: 1. Orang tua

Solomon (Coop & White, 1974), Locus of controlke arah internal didukung oleh sikap orang tua yang konsisten, fleksibel dan mendorong anak untuk mandiri. Orang tua yang bersifat menghukum, memusuhi, mendominasi serta menolak terhadap anak akan mendorong ke arah eksternal.

2. Pemberian respon

Monk menjelaskan bahwa pemberian respon yang tepat terhadap perilaku anak akan menimbulkan motif yang dipelajari yang disebut locus of control, selain itu perilaku orang tua yang hangat dan bertanggung jawab terhadap anak akan membantu anak mengembangkan locus of control kearah internal.

3. Lingkungan

Rotter dan Battle menjelaskan, jika individu banyak menghadapi hambatan dalam lingkungannya serta kurang mendapat kesempatan maka ia akan beranggapan semua hasil yang telah dicapai berasal dari sesuatu diluar dirinya.

2.3.6 Alat ukur Locus of Control

(57)

peneliti menentukan hanya menggunakan item internal dan external locus of control saja. Sehingga item yang peneliti gunakan hanya 16 item. Ada banyak jenis alat ukur locus of control yang sejauh ini peneliti ketahui, seperti alat ukur

locus of control milik Rotter (1996), yaitu Generalized expectancies for internal versus external control of reinforcement yang berjumlah 13 item yang saling berpasangan. Cara pengerjaan alat ukur milik Rotter memungkinkan kita untuk memilih salah satu dari setiap pasang item. namun peneliti tidak menggunakan alat ukur locus of control milik Rotter dikarenakan peneliti belum mengetahui cara penilaiannya dan tidak adanya keterangan mengenai jenis setiap item tersebut. Dengan demikian peneliti memutuskan untuk menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Levenson (1981) dengan alasan mudahnya mengidentifikasi jenis item yang digunakan, model penilaian yang juga menggunakan skala likert, serta kemudahan peneliti dalam mendapatkannya.

2.4. Adversity Quotient

2.4.1. Definisi Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2000), teori kecerdasan menghadapi rintangan adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan.

(58)

Adversity merupakan hasil riset penting dari tiga cabang ilmu pengetahuan, yaitu: psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan meliputi dua komponen penting dari setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa kecerdasan dalam menghadapi rintangan dapat menentukkan siapa yang akan berhasil melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi-potensi yang ada.

2.4.2. Bentuk-bentuk Adversity Quotient

Stolz (2000) menyebutkan bahwa terdapat tiga bentuk kecerdasan, yaitu:

1. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan adalah suatu kerangka baru dalam memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.

2. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan mempunyai pengukur untuk mengetahui respon individu terhadap kesulitan.

3. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan merupakan serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap kesulitan yang akan mengakibatkan perbaikan efektivitas pribadi dan profesional individu secara keseluruhan.

2.4.3. Dimensi Adversity Quotient

(59)

a. Control(C)

Dimensi ini ditunjukan untuk mengetahui seberapa banyak kendali yang dapat kita rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Hal yang terpenting dari dimensi ini adalah sejauh mana individu dapat merasakan bahwa kendali tersebut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan seperti mampu mengendalikan situasi tertentu dan sebagainya.

b. Origindan Ownership(O2)

Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seseorang menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sebagai penyebab dan asal usul kesulitan seperti penyesalan, pengalaman dan sebagainya.

c. Reach(R)

Dimensi ini mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu seperti hambatan akibat panik, hambatan akibat malas dan sebagainya.

d. Endurance(E)

Dimensi ketahanan yaitu mempertanyakan dua hal yang berkaitan dengan berapa lama penyebab kesulitan itu akan terus berlangsung dan tanggapan individu terhadap waktu dalam menyelesaikan masalah seperti waktu bukan masalah, kemampuan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan sebagainya.

2.4.4. Jenis-jenis Karakteristik Manusia

(60)

1. Quitters: mereka yang berhenti yaitu individu yang memilih keluar menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka menninggalkan dorongan untuk mendaki, dan kehilangan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan. Quitters dalam bekerja memperlihatkan sedikit ambisi. Motivasi rendah dan mutu dibawah standar. Mereka mengambil resiko sedikit mungkin dan biasanya tidak kreatif, kecuali pada saat harus menghindari tantangan yang besar.

2. Campers: mereka yang berkemah, yaitu orang-orang yang karena bosan menghindari pendakiannya sebelum sampai puncak dan mencari tempat yang datar dan rata serta nyaman sebagai tempat sembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Mereka puas dengan apa yang mereka raih dan merasa dirinya sebagai individu yang berhasil. Campers masih menunjukkan sejumlah inisiatif, sedikit motivasi dan beberapa usaha yang lama kelamaan campers akan kehilangan keunggulannya, menjadi lamban dan lemah, serta kenirjanya terus merosot.

3. Climbers: para pendaki, yaitu pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan tidak pernah membiarkan usia, jenis kelamin, ras, cacat fisik dan mental atau hambatan lainnya menghambat pendakiannya. Tanpa menghiraukan ke belakang, rugi atau untung climbers akan terus mendaki.

(61)

2.4.5. Alat Ukur Adversity Quotient

Dalam penelitian ini untuk mengukur adversity quotient seseorang, peneliti menggunakan alat ukur yang sudah baku milik Stoltz (1997). Alat ukur ini terdiri dari 60 item yang terbagi menjadi empat dimensi, dimana setiap dimensinya terdiri dari 15 item. Dari 15 item tersebut terdapat 5 item positif yang nantinya tidak akan diskoring saat dilakukan penghitungan. Alat ukur ini telah diterjemahkan oleh Hermaya (2000) dan diedit oleh Hardiwati (2000). Peneliti menggunakan alat ukur ini karena kemudahan dalam mendapatkannya serta yang paling penting adalah karena Stoltz (1997) adalah tokoh yang mengembangkan

adveristy quotient.

2.5. Emotional Quotient

2.5.1. DefinisiEmotional Quotient

Emosi menurut Goleman (1997) adalah perasaan dan pikiran yang khas, keadaan biologis dan psikologis dan kecenderungan untuk bertindak. Dalam oxford english dicionary emosi didefinisikan sebagai “...any agination or disturbance of mind, feeling, passion; any vehement or excited mental state” (dalam Hartati, 2006).

(62)

Dalam kamus American Psychology Asociation (APA) menjelaskan bahwa EQ adalah Emotional intelligence a type of intelligence that involves the ability to process emotional information and use it in reasoning and other cognitive activities, proposed by U.S. psychologist Salovey (1958) and Mayer (1953). Bahwa kecerdasan emosi adalah sebuah tipe kecerdasan yang meliputi kemampuan memproses informasi emosi dan menggunakannya dalam penalaran dan aktifitas kognitif lainnya.

Masih dalam kamus American Psychology Asociation (APA): “According to Mayer and Salovey’ 1997 model, it comprises four abilities; to perceive and

appraised emotions accurately; to access and evoke emotions when they facilitate cognition; to comprehend emotional language and make use of emotional information; and to regulate one’s own and others’ emotions to promote growth

and well-being”.

Salovey dan Mayer (1990) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memantau perasaan emosi sendiri dan orang lain, memilih antara emosi-emosi yang muncul dan menggunakan informasi tersebut untuk membimbing pikiran dan tindakan seseorang.

Kamus APA juga menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan mengenai arti dari emotional quotientdengan emotional intelligence dikarenakan kedua-duanya memiliki arti yang sama.

(63)

Kecerdasan emosi atau emotional quotient merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 1999).

Patton (1998) memberi definisi mengenai kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan yang produktif, dan meraih keberhasilan.

Dari pengertian-pengertian mengenai teori kecerdasan emosi di atas, maka peneliti mengambil kesimpulan mengenai kecerdasan emosi menurut teori Goleman (1999) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Teori ini lebih populer dan mudah didapatkan sumbernya sehingga peneliti menggunakannya.

2.5.2. IndikatorEmotional Quotient

Goleman (1997) mengemukakan bahwa ada lima indikator untuk meningkatkan kecerdasan emosi yaitu kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi sosial, empati dan keterampilan.

(64)

akan pikiran serta hal-hal yang dilakukannya. Atwater (1983) menyatakan bahwa jika individu sadar bahwa emosi hanyalah merupakan momentary experience dapat menjadikannya lebih bijaksana dalam mengambil keputusan dan selaras dalam mengungkapkan emosi karena ia sadar bahwa emosinya tidak akan terpaku pada satu keadaan melainkan akan berubah-ubah. Kesadaran diri merupakan prinsip utama dalam penyesuaian diri yang efektif. 2. Pengendalian diri adalah kemampuan mengendalikan emosi diri, mengolah

emosi agar dapat terungkap dengan tepat. Orang yang mampu mengendalikan emosi tidak akan terus menerus bergumul dengan perasaan negatif sebab ia mampu keluar dari perasaan dan kegagalan itu. Pengendalian diri bertujuan untuk memperoleh keseimbangan dan keselarasandalam mengungkapkan emosi bukan suppresion atau lepas kontrol. Setiap emosi adalah baik, mempunyai nilai dan makna. Jika tidak dikendalikan atau berkelanjutan akan menjadi patologis, dan jika terlalu ditekan akan menimbulkan perilaku yang explosive dan akan memperparah masalah yang ada (Atawter, 1983). Ekspresi verbal yang asertif atau sehat menurut Atwater penting dalam pengendalian emosi.

(65)

memiliki keterampilan memotivasi diri cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam segala hal yang dikerjakannya.

4. Empati adalah kemampuan membaca emosi orang lain, kemampuan merasakan perasaan orang lain. Orang yang memiliki empati lebih mampu mengungkapkan sinyal-siny

Gambar

Table 4.10Model Summary
Tabel 3.1 Skoring dan interpretasi alat ukur  EIQ, SES dan MLCS.
Blue Print Tabel 3.2 Multidimension Locus of Control Scale (MLCS)
Blue Print Tabel 3.3 Emotional Quotient
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji hipotesis antara variabel prokrastinasi dan self efficacy menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan namun kurang memadai antara

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan Self-Efficacy terhadap kemandirian belajar siswa pada mata pelajaran produktif

hasil yang mendukung dan menerima hipotesis 4 yaitu terdapat Pengaruh positif dan signifikan Kemudahan Penggunaan, Kepercayaan dan Computer Self Efficacy secara

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurfitriyani (2017: 81) menjelas- kan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara self-efficacy terhadap hasil

Hasil uji hipotesis ketiga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara self efficacy dan motivasi belajar dengan hasil belajar matematika

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa: Terdapat pengaruh self efficacy siswa terhadap kemampuan berfikir kreatif

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat ditarik kesimpulan adanya pengaruh negatif yang signifikan antara self efficacy terhadap work stress, maka semakin

KESIMPULAN Berdasarka n hasil analisa data yang telah dilakukan pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara self efficacy dan burnout terhadap produktifitas