• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal yaitu sebagai berikut:

1. Selama periode tahun 2020, terdapat 102 putusan perkara tindak pidana pencucian uang yang melibatkan 128 terdakwa. Rekapitulasi tersebut terdiri dari 65 putusan berasal dari Pengadilan Negeri (Tingkat Pertama), 31 putusan Pengadilan Tinggi (Tingkat Banding) dan 6 putusan Mahkamah Agung (Tingkat Kasasi).

2. Secara umum karakteristik putusan perkara tindak pidana pencucian uang selama tahun 2020 adalah sebagai berikut:

a) Tindak pidana asal yang dominan yaitu tindak pidana narkotika dengan 32 putusan (31%), tindak pidana korupsi dengan 22 putusan (22%) dan tindak pidana penipuan (21%).

b) Sebaran wilayah lembaga peradilan yang menangani tindak pidana pencucian uang didominasi oleh DKI Jakarta sebanyak 34 putusan (33%) Maluku sebanyak 9 putusan (9%) dan Sumatera Utara sebanyak 8 putusan (8%).

c) Estimasi nilai kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana pencucian uang, didominasi oleh tindak pidana yaitu tindak pidana korupsi sekitar Rp17.350.625.741.999 (93% dari total estimasi nilai kerugian pada tahun 2020), tindak pidana penipuan sebesar Rp896.163.098.576 (5% dari total estimasi nilai kerugian pada tahun 2020) serta tindak pidana narkotika sekitar Rp154.887.560.445 (1% dari total estimasi nilai kerugian pada tahun 2020).

d) Pada tahun 2020, penanganan perkara tindak pidana pencucian uang berhasil melakukan pengembalian negara yang berasal dari aset yang dirampas, uang pengganti dan uang denda sebesar Rp17.252.032.296.641 atau sebesar mencapai 92% dari total estimasi nilai kerugian yang ditimbulkan pada tahun 2020. Namun estimasi ini belum terakumulasi untuk perampasan aset yang berupa aset properti ataupun kendaraan.

e) Delik pidana pelaku pencucian uang pada tahun 2020 didominasi oleh pelaku aktif atau didakwa Pasal 3 sebanyak 102 terdakwa (80%), lalu pasal pasif atau didakwa Pasal 5 sebanyak 23 terdakwa (18%) dan untuk Pasal 4 sebanyak 2 terdakwa (2%).

f) Para pelaku tindak pidana pencucian uang didominasi didakwa pidana penjara kurang dari 5 tahun dengam jumlah 69 terdakwa (54%) dan penjara diatara 5 dan 10 tahun sebanyak 38 tahun (30%). Sementara denda didominasi oleh denda dibawah Rp1 Miliar sebanyak 111 terdakwa (87%).

g) Profil yang dominan melakukan tindak pidana pencucian uang pada tahun 2020 adalah penguasaha/wiraswasta sebanyak 47 terdakwa (37%) dan pegawai swasta/karyawan sebanyak 40 terdakwa (31%). Sementara para pelaku tersebut didominasi oleh usia aktif yaitu usia 30 hingga 40 sebanyak 48 terdakwa (38%), kemudian usia 40 hingga 50 tahun sebanyak 33 terdakwa (26%) serta usia di atas 50 tahun sebanyak 29 terdakwa (23%).

Selain itu, jenis kelamin para pelaku mayoritas adalah laki – laki sebanyak 101 terdakwa (79%).

3. Sesuai dengan uraian Immediate Outcome 6.2 menyatakan bahwa salah satu ukuran rezim APUPPT telah diimplementasikan dengan baik di suatu negara adalah sejauh mana otoritas terkait menerima atau meminta laporan (dalam hal ini LTKM, LTKT, LTKL, LTPBJ dan LPUT) yang mengandung informasi terkait dan akurat guna mendukung Lembaga Penegak Hukum dalam menjalankan tugasnya. Kemudian dari 128 terdakwa, ditemukan keterkaitan database laporan PPATK terhadap putusan perkara tindak pidana pencucian tahun 2020 adalah sebagai berikut:

a) Sebanyak 42 terdakwa atau sebesar 33% pernah dilaporkan dalam LTKM PPATK.

b) Sebanyak 29 terdakwa atau sebesar 23% pernah dilaporkan dalam LTKT PPATK.

c) Sebanyak 19 terdakwa atau sebesar 15% pernah dilaporkan dalam LTKL PPATK.

d) Sebanyak 6 terdakwa atau sebesar 5% pernah dilaporkan dalam LTPBJ PPATK.

e) Tidak ada terdakwa pada putusan Pengadilan TPPU Tahun 2020 yang pernah dilaporkan dalam LPUTLB PPATK.

Sementara itu, uraian pokok Immediate Outcome FATF 6.3 yang menyatakan bahwa perlu diketahui sejauh mana Hasil Analisis dan diseminasi dari FIU (dalam hal ini PPATK) mendukung kebutuhan operasional otoritas yang berwenang. Kemudian berdasarkan hasil penelusuran pada database PPATK yaitu Hasil Analisis, Hasil Pemeriksaan dan Keterangan Ahli, ditemukan keterkaitan antara putusan pengadilan TPPU tahun 2020, diuraikan sebagai berikut:

d. Dari 102 putusan pengadilan TPPU tahun 2020 ditemukan bahwa terdapat pemanfaatan Hasil Analisis PPATK dalam pengungkapan kasus tindak pidana pencucian uang sebanyak 28% atau 29 kasus pada putusan pengadilan tersebut. Namun dari pemanfaatan Hasil Analisis ini berhasil mengungkapkan potensi nilai kerugian sebesar 93,7% atau sebesar Rp17.518.420.497.146 dari total potensi nilai kerugian sebesar Rp18.693.381.099.346.

e. Selain itu, dari 102 putusan pengadilan tersebut juga ditemukan bahwa terdapat kontribusi Hasil Pemeriksaan PPATK dalam pengungkapan kasus tindak pidana pencucian uang sebesar 4% atau sebanyak 4 kasus pada putusan tersebut. Namun dari pemanfaatan Hasil Pemeriksaan ini berhasil mengungkapan potensi nilai kerugian sebesar sebesar 89,9% atau Rp16.807.343.375.000 dari total nilai potensi kerugian berdasarkan putusan tahun 2020.

f. Di sisi lain, PPATK juga berkontribusi dengan pemenuhan Keterangan Ahli yang membantu Lembaga Penegak Hukum dalam mengungkapkan kasus tindak pidana pencucian uang ataupun memperkuat dakwaan yaitu sebesar 63% atau 64 kasus pada putusan pencucian uang tahun 2020.

4. Tipologi pencucian uang dari beberapa putusan perkara tindak pidana pencucian uang pada tahun 2020 yaitu:

a) Penyalahgunaan bisnis yang sah dengan pemalsuan dokumen sehingga menyebabkan cacat administrasi.

b) Pemindahan dana melalui transfer ke berbagai pihak.

c) Pencairan cek atas nama perusahaan.

d) Pemindahan dana ke rekening pribadi.

e) Pembuatan rekening baru untuk menampung dana hasil kejahatan.

f) Pembelian aset berupa tanah, bangunan, rumah dan mobil.

g) Pembelian barang – barang mewah seperti jam tangan mewah, tas mewah.

h) Penipuan berbasis penggalangan dana masyarakat yang terjaring ke dalam suatu sistem.

i) Pemalsuan dokumen pendirian perusahaan fiktif sebelum membuka rekening perusahaan.

j) Pemberian santunan kepada anak yatim.

k) Penukaran mata uang asing dalam jumlah yang signifikan dengan cara mentransfer ke perusahaan money changer.

l) Mengkreditkan faktur pajak yang tidak sah yang diperoleh Wajib Pajak dari penerbit faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya.

m) Uang hasil kejahatan diguanakan untuk membeli sejumlah apartemen, yang kemudian dijual kembali dan dicairkan ke rekening pribadi.

n) Secara aktif memberikan bantuan sosial atau keagamaan bahkan aktif dalam kegiatan yayasan di sekitar lingkungan.

o) Melakukan pembukaan rekening, setor tunai, dan tarik tunai .

Selain itu, berdasarkan rangkuman hasil wawancara dengan Lembaga Penegak Hukum, modus dari tindak pidana pencucian uang berdasarkan pengalaman ataupun pengetahun dari responden adalah sebagai berikut:

a) Mayoritas responden menjawab bahwa modus pencucian uang sering dilakukan melalui cara menggabungkan hasil kejahatan dengan bisnis yang sah (mingling) untuk mengaburkan asal – usul tindak pidana dimana bisnis ini tidak mengejar keuntungan sehingga penyidik kesulitan untuk melacak aset yang harus disita;

b) Penyalahgunaan bisnis yang sah dimana susah diindetifikasi oleh Lembaga Penegak Hukum karena sering dianggap sebagai transaksi wajar;

c) Penggunaan identitas palsu, dokumen palsu atau pihak perantara seperti korupsi dana perusahaan melalui pemalsuan dokumen laporan keuangan;

d) Penggunaan rekening nominee (milik orang lain) baik milik pihak yang dikenal pelaku atau pihak asing (diperoleh melalui jual beli rekening);

e) Pengoperasian perusahaan cangkang (perusahaan yang tercatat secara hukum namun tidak terdapat aktivitas, biasanya digunakan untuk menyembunyikan harta dari tindak pidana);

f) Pola transaksi dengan menggunakan uang tunai (cash basis) seperti tarik tunai, setor tunai untuk menyamarkan identitas;

g) Transaksi pass – by dimana dana yang masuk langsung ditransfer kembali atau ditarik kembali;

h) Pembelian saham ataupun investasi di pasar modal dari hasil tindak pidana;

i) Penggunaan pihak lain/perantara dan pihak keluarga dalam upaya menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta hasil tindak pidana;

j) Pembelian barang – barang mewah seperti perhiasan, barang – barang antik ataupun barang – barang branded (tas dan jam mewah);

k) Pengunaan identitas palsu;

l) Pencucian uang yang berasal dari tindak pidana penipuan – Business Email Compromise; serta

m) Penukaran dengan mata uang jenis lain.

Sementara itu potensi modus – modus terbaru yang dapat berkembang berdasarkan hasil wawancara dengan para Lembaga Penegak Hukum adalah sebagai berikut:

a) Pembelian aset kripto dari harta hasil tindak pidana mengingat pelacakan aset kripto ini cukup sulit dan Lembaga Penegak Hukum masih awam akan hal ini;

b) Investasi ataupun pemberian sumbangan pada lembaga keagamaan;

c) Modus tindak pidana pencucian uang dengan skema investasi dengan menggunakan E – Dinar Cash (EDC), yang merupakan

penipuan/penggelapan pengumpulan dana yang nantinya akan dijanjikan dengan pembelian aset kripto;

d) Penggunaan fasilitas limit dalam transaksi saham oleh broker yang dikendalikan oleh pelaku kejahatan;

e) Dana hasil tindak pidana yang digunakan untuk menaikkan harga saham kembali sebagaimana pada kasus Jiwasraya dan ASABRI;

f) Tindak pidana pencucian uang dengan skema perdagangan (trade base money laundering);

g) Penggunaan safe deposit box;

h) Modus dengan pembayaran kartu kredit yang melebihi limit kemudian kelebihan dana tersebut dikirimkan kembali ke rekening pelaku sehingga uang tersebut seolah – olah berasal dari transaksi yang sah. Modus ini ditemukan dalam kasus Pinangki;

i) Skema U – Turn, yaitu terdapat beberapa transaksi dari satu perusahaan ke perusahaan cangkang (shell company) padahal transaksi tersebut tidak sesuai dengan dengan core business perusahaan serta hanya dijadikan sebagai underlying untuk perputaran dana hasil tindak pidana yang kemudian dikembalikan ke rekening asal. Skema berikut ditemukan dalam kasus pencucian uang pada Jiwasraya;

j) Skema Cuckoo Smurfing, yaitu mengaburkan asal usul sumber dana dengan mengirimkan dana – dana hasil tindak kejahatannya melalui rekening pihak ketiga dimana pihak ketiga ini tidak menyadari bahwa dana yang diterima adalah hasil tindak pidana. Transaksi ini biasanya digunakan untuk membeli aset ataupun mengakuisisi bisnis di luar negeri. Modus ini ditemukan dalam kasus pencucian uang pada Jiwasraya;

k) Modus dengan penyuapan kepada pejabat menggunakan polis asuransi dengan melebihkan pembayaran premi yang selanjutnya kelebihan tersebut dikembalikan kepada pejabat tersebut;

l) Modus tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal korupsi korupsi proyek dana desa dimana terdapat double financing pada proyek pembangunan infrastruktur desa. Proyek desa yang telah didanai melalui dana CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan swasta diajukan

oleh para pejabat desa pada anggaran desa yang selanjutnya dana tersebut masuk ke rekening pribadi milik para pejabat desa tersebut.

5. Tren variabel pembentuk tipologi berdasarkan putusan perkara tindak pidana pencucian uang, berdasarkan data dua tahun terakhir yaitu rekapitulasi putusan pengadilan TPPU tahun 2019 dan tahun 2020 yaitu sebagai berikut:

a) Pada 2 tahun terakhir pelaku tindak pidana pencucian uang didominasi oleh pengusaha/wiraswasta dan pegawai swasta/karyaswasta.

b) Jenis transaksi yang dominan cenderung digunakan oleh pelaku TPPU adalah transfer, tarik tunai dan setoran tunai pada dua tahun terakhir.

c) Para pelaku pencucian uang masih dominan untuk menggunakan rekening tabungan, uang tunai dan cek/bilyet giro pada dua tahun terakhir.

d) Para pelaku masih dominan memanfaatkan kelompok industri bank, perusahaan sekuritas, pedagang kendaraan bermotor dan penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing pada dua tahun terakhir.

e) Dalam dua tahun terakhir, para pelaku TPPU cenderung masih memanfaatkan rekan kerja, pihak lain yang tidak dikenal, suami/istri serta keluarga sekandung dalam menyembunyikan asal – usul harta hasil tindak pidana.

6. Dinamika dan tantangan yang dihadapi oleh Lembaga Penegak Hukum dalam penelusuran aset dan pembuktian perkara tindak pidana pencucian uang yaitu:

a) Penyidikan

• Waktu penahanan yang relatif singkat selama proses penyidikan;

• Permintaan informasi transaksi kepada Pihak Pelapor masih terbatas pada pihak yang dilaporkan dalam LHA/LHP sehingga kesulitan untuk melakukan pemeriksaan rekening milik lawan transaksi karena adanya regulasi terkait kerahasiaan bank;

• Masih kesulitan mengidentifikasi bukti pembanding dalam menentukan keterkaitan (nexus) suatu kejahatan TPA sementara LHA/LHP belum tergambarkan secara utuh sehingga diperlukan penelusuran lebih dalam;

• Masih sulitnya membuktikan perkara tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan korporasi sebab dilakukan dengan underlying

transaksi perusahaan sehingga seolah – olah tindakan tersebut adalah transaksi bisnis yang wajar;

• Penggunaan rekening dan nominee yang cukup banyak sehingga membutuhkan waktu penyidikan yang cukup lama; dan

• Masih adanya perbedaan pendapat mengenai Pasal 69 mengenai penyidikan TPPU yang harus diselidiki terlebih dahulu TPA pembentuknya.

b) Penuntutan

• Dugaan kasus TPPU ditentukan pada tahap penuntutan. Selain itu adanya terjadi perbedaan persepsi mengenai penanganan perkara antara Jaksa dan Hakim terutama dalam penentuan pasal pidana.

c) Pengadilan

• Tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan bisnis perusahaan sering dianggap sebagai “risiko bisnis”. Selain itu terdapat perbedaan akademisi dan majelis hakim dalam memutuskan transaksi tersebut termasuk tindak pidana sehingga diperlukan business judgment.

d) Penelusuran Aset

• Masih kesulitan dalam menentukan nilai kerugian akibat tindak pidana namun untuk menanganinya para ahli didatangkan saat persidangan untuk memperkirakan nominal nilai kerugian tersebut.

e) Perampasan Aset

• Lembaga Penegak Hukum masih kesulitan memisahkan hasil tindak pidana pencucian uang yang telah diinvestasikan ke dalam suatu bisnis.

Kesulitan ini berupa (i) memisahkan uang hasil tindak pidana dengan hasil bisnis yang sah termasuk jika bisnis tersebut telah berkembang; (ii) pemisahan investasi bagian pelaku dan investor lain; dan (iii) investasi tersebut berubah menjadi aset yang kemudian dialihkan ke pihak ketiga.

Dokumen terkait