• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini menjelaskan simpulan jawaban atas pertanyaan pada bagian rumusan masalah.

26 A. Keadaan Geografis

Daerah Istimewa Yogyakarta secara astronomis terletak antara 7o 30’-8o15’ LS dan 110o-110o50’ BT,1 secara geografis terletak di tengah Pulau Jawa bagian selatan, dan secara geologis termasuk zone tengah dan selatan dari propinsi geologi Jawa Tengah dan Jawa Timur.2 Bentuk keseluruhan wilayah DIY menyerupai segitiga dengan puncak disebelah utara yaitu Gunung Merapi yang memiliki ketinggian 2.911 meter.

DIY berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri di sebelah tenggara, Kabupaten Klaten di sebelah timur laut, Kabupaten Magelang di sebelah barat laut, Kabupaten Purworejo di sebelah barat, dan Lautan Indonesia di sebelah selatan. Luas wilayah DIY adalah 3.185,81 km2, terbagi dalam daerah kotamadya dan empat kabupaten yaitu Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul yang masing-masing memiliki wilayah administratif (lihat lampiran 2).

Kotamadya Yogyakarta terletak pada 7o49’26’’-7o50’84’’ LS dan 110o23’79’’-110o8’53’’ BT.3 Kotamadya Yogyakarta berada pada ketinggian 114 m di atas permukaan laut. Kotamadya Yogyakarta memiliki luas wilayah 32,50 1 Soemargono, Profil Propinsi Republik Indonesia: Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992), hlm. 44.

2 Kantor Pusat Data Propinsi DIY, Monografi DIY Tahun 1979, (Yogyakarta: Kantor Pusat Data, 1981), hlm. 3.

3Biro Hubungan Masyarakat,Kotamadya Yogyakarta, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 19.

km2 terdiri dari 14 kecamatan, 45 kelurahan, 617 RW (Rukun Warga), dan 2.532 RT (Rukun Tetangga).4 Wilayah Kotamadya Yogyakarta berbatasan dengan Kabupaten Sleman di sebelah utara, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul di sebelah barat, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul di sebelah timur, dan Kabupaten Bantul di sebelah selatan (lihat lampiran 3).

Kabupaten Sleman terletak pada 7o34’51’’-7o47’03’’ LS dan 107o 15’03-110o28’30’’ BT.5 Kabupaten Sleman berada pada ketinggian 130-1.200 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian selatan merupakan tanah dataran dengan ketinggian 130 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian tenggara yang meliputi Kecamatan Prambanan dan Kecamatan Brebah merupakan tanah berbukit dengan ketinggian 140-145 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian barat daya berada pada ketinggian 140 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian timur berada pada ketinggian 200-600 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian utara yang merupakan daerah terjal berada pada ketinggian 600-1.200 m di atas permukaan laut.6 Kabupaten Sleman memiliki luas wilayah 547,82 km2 yang terdiri dari 17 kecamatan dan 86 kelurahan. Wilayah Kabupaten Sleman berbatasan dengan Kabupaten Magelang

4 Djoko Suryo, “Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990, dalam Freek Colombijn, Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia Sesudah dan Sebelum Kemerdekaan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005), hlm. 2.

5 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Sleman, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 6.

6Sutrisno Kutoyo,Sejarah tentang Pengaruh Pelita di Daerah terhadap Kehidupan Masyarakat Pedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1981), hlm. 37.

dan Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Klaten disebelah timur, Kabupaten Kulonprogo di sebelah barat, serta Kabupaten Bantul dan Kotamadya Yogyakarta di sebelah selatan (lihat lampiran 4).

Kabupaten Bantul terletak pada 14o4’50’’-14o37’50’’ LS dan 110o18’40’’-110o34’40’’ BT.7Kabupaten Bantul berada pada ketinggian 100 m di atas permukaan laut.8Kabupaten Bantul memiliki luas wilayah 506,85 km2 terdiri dari 17 kecamatan dan 75 kelurahan. Wilayah Kabupaten Bantul berbatasan dengan Kotamadya Yogyakarta di sebelah utara, Kabupaten Kulon Progo di sebelah barat, Kabupaten Gunungkidul di sebelah timur, dan Lautan Indonesia di sebelah selatan9(lihat lampiran 5).

Kabupaten Kulon Progo terletak pada 7o50’ LS dan 3o208’ BT.10 Kabupaten Kulon Progo berada pada ketinggian 160-583 di atas permukaan laut. Kabupaten Kulon Progo bagian utara dan sebagian sebelah barat yang membujur ke selatan yang merupakan bagian dari Pegunungan Menoreh memiliki ketinggian 160-572 m di atas permukaan laut. Kabupaten Kulon Progo bagian selatan dan timur yang berada di sebelah barat Sungai Progo merupakan daerah landai yang memiliki ketinggian sekitar 583 m di atas permukaan laut.11 Kabupaten Kulon

7 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Bantul, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 1.

8Sutrisno Kutoyo,op.cit., hlm. 37.

9Biro Hubungan Masyarakat,op.cit., hlm. 1.

10 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Kulon Progo, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 9.

Progo memiliki luas wilayah 586,28 km2 terdiri dari 12 kecamatan dan 88 kelurahan. Wilayah Kabupaten Kulon Progo berbatasan dengan Kabupaten Magelang di sebelah utara, Kabupaten Purworejo di sebelah barat, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul di sebelah timur, dan Samudra Hindia di sebelah selatan (lihat lampiran 6).

Kabupaten Gunungkidul terletak pada 7o58’ LS dan 110o36’ BT.12 Kabupaten Gunungkidul berada pada ketinggian 100-700 m di atas permukaan laut. Kabupaten Gunungkidul bagian utara (zone utara) berada pada ketinggian 200-700 m di atas permukaan laut. Kabupaten Gunungkidul bagian tengah (zone tengah) atau yang dikenal dengan Ledok Wonosari berada pada ketinggian 150-300 m di atas permukaan laut. Kabupaten Gunungkidul bagian selatan (zone selatan) atau yang dikenal dengan Gunung Seribu merupakan daerah berbukit dan berbatu karang yang berada pada ketinggian 100-300 m di atas permukaan laut.13 Wilayah Kabupaten Gunungkidul memiliki luas wilayah 1485,36 km2terdiri dari 13 kecamatan dan 144 kelurahan. Wilayah Kabupaten Gunungkidul berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah utara, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman di sebelah barat, Kabupaten Wonogiri di sebelah timur, dan Samudra Hindia di sebelah selatan (lihat lampiran 7).

12 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Gunungkidul, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 1.

Iklim adalah suatu keadaan yang menggambarkan suasana mengenai udara dan cuaca di sebuah wilayah dalam kurun waktu tertentu.14 Iklim meliputi temperatur, kecepatan angin, kelembaban udara, dan curah hujan. Temperatur harian di wilayah DIY berkisar 26,68o C dengan rata-rata maksimum 30,48o -33,6oC dan rata-rata minimum 21,1o-23,0oC.15 Kecepatan angin sekitar 5-16 knot per jam (2,57-8,22 m/detik). Kelembaban udara di wilayah DIY berkisar antara 73%-77% dengan maksimum 95%-97% dan minimum 43%-45%. Curah hujan tahunan di wilayah DIY berdasarkan Peta Isohyet rata-rata berkisar dari 1500-3500 mm.

Hidrologi di wilayah DIY terdiri dari hidrologi sungai dan air tanah yang berfungsi sebagai irigasi pertanian dan keperluan sehari-hari penduduk. DIY dialiri oleh beberapa sungai besar yang melewati Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Bantul serta langsung bermuara ke Lautan Indonesia. Sungai tersebut antara lain, Sungai Progo, Sungai Oyo dan Sungai Opak16 yang tergolong sungai besar berdasarkan luas daerah pengalirannya. Sungai Progo dengan daerah pengaliran yang berasal dari Pegunungan Kulon Progo, Gunung Merapi, dan lainnya terletak di luar DIY memiliki luas daerah pengaliran sebesar 69.460 ha. Sungai Opak dengan daerah pengaliran Sungai Oyo yang berasal dari Pegunungan Selatan dan daerah pengaliran yang berasal dari

14 Desi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amalia, 2003), hlm. 177.

15Kantor Pusat Data Propinsi DIY,op.cit, hlm. 16. 16Kantor Pusat Data Propinsi DIY,op.cit, hlm. 27.

lereng selatan Gunung Merapi memiliki luas daerah pengaliran sebesar 50.830 ha, sementara Sungai Oyo memiliki luas daerah pengaliran sebesar 72.710 ha.

Tanah dalam kaitannya dengan pertanian memiliki fungsi yang sangat penting karena tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman pertanian. Tingkat kesuburan tanah sangat mempengaruhi produktivitas tanaman pertanian. Jenis-jenis tanah yang ada di wilayah DIY pada umumnya adalah tanah yang subur sehingga sangat memungkinkan untuk dijadikan area persawahan. Jenis tanah yang terdapat di beberapa kabupaten di DIY memiliki sifat, kesuburan, dan kemampuan yang berbeda-beda. Jenis tanah yang ada di wilayah DIY antara lain, rendsina, mediteran, regosol, kambisol, aluvial, gleisol, latosol, dan gromusol.17

Keadaan geografis di suatu daerah pada dasarnya merupakan faktor utama atas berlangsungnya kehidupan manusia, salah satunya adalah bidang pertanian. Pertanian di DIY sangat dipengaruhi oleh keadaan geografisnya seperti iklim, kelembaban udara, hidrologi, dan jenis tanah yang telah dijelaskan diatas. Pertanian di DIY telah dimulai sejak masa prasejarah ketika masyarakatnya masih bersifat primitif. Pertanian hanya dilakukan dengan cara yang sederhana yaitu dengan mencari dan mengumpulkan bahan makanan dari beberapa tempat.

Perkembangan masyarakat yang semakin maju menyebabkan kemajuan pertanian. Pertanian mulai dilakukan dengan cara menanam padi sehingga masyarakat tidak perlu lagi mencari dan mengumpulkan bahan makan dari beberapa tempat. Penanaman padi di DIY telah dimulai pada masa Kerajaan

Mataram.18 Denys Lombard menyebutkan kepemilikan sawah di Kerajaan Mataram tidak hanya dikuasai oleh raja, tetapi para bangsawan berhak mengelola lahan yang kemudian dikerjakan oleh rakyat biasa.19

Kondisi produksi padi pernah dicatat oleh Residen Yogyakarta yaitu Matthias Waterloo pada tahun 1804.20 Matthias Waterloo mengatakan bahwa produksi padi pada masa itu lebih baik daripada 20 tahun sebelumnya. Thomas Stamford Raffles seorang Gubernur Jenderal yang pernah berkuasa di Jawa pada tahun 1811-1816, juga mengatakan dalam sebuah tulisan bahwa sedikit sekali negeri yang rakyatnya dapat makan nasi dengan baik seperti di Jawa. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kondisi produksi padi di Yogyakarta pada masa itu dapat dikatakan baik. Padi adalah tanaman penting bagi Kesultanan Yogyakarta, karena tanaman tersebut merupakan komoditi ekspor utama, selain produk lainnya seperti tembakau, kain, dan batik.21

Penanaman padi di DIY juga tidak terlepas dari inovasi Pemerintah Jepang khususnya di bidang pertanian rakyat.22 Pemerintah Jepang mencoba

18 Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 24.

19 Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), hlm. 45.

20Ibid. 21Ibid.

22Pemerintah Belanda dan Jepang telah mencoba meningkatkan produksi pertanian. Usaha-usaha tersebut terpusat pada pengenalan teknik-teknik pertanian yang lebih baik, penggunaan pupuk kandang dan pupuk impor, serta pemilihan bibit-bibit yang lebih baik.

memperkenalkan sistem penanaman bergaris23 sebagai teknik penanaman padi yang lebih baik. Pemerintah Jepang juga memperkenalkan pupuk kompos yang terbuat dari guguran daun, kotoran hewan, dan sampah-sampah yang dimasukkan ke dalam tanah, diairi, dan ditutup selama beberapa hari. Bibit padi yang diimpor dari Taiwan merupakan bibit padi unggul yang diperkenalkan oleh Pemerintah Jepang. Bibit tersebut dapat menghasilkan padi yang baik dan bisa dipanen sebanyak tiga kali dalam rentang waktu satu tahun, padahal dalam sistem tradisional padi hanya bisa dipanen sebanyak dua kali.24

Pertanian di DIY termasuk pertanian yang telah maju sehingga sistem pertanian yang diterapkan adalah sistem pertanian menetap (sedentary). Pertanian yang telah maju dilakukan secara teratur dan dicirikan oleh peralatan besi yang cukup seperti cangkul, bajak, dan traktor.25 Sistem pertanian menetap berbeda dengan sistem pertanian berpindah (shifting) yang dilakukan oleh pertanian primitif. Sistem pertanian menetap hanya mengolah tanah pada satu tempat yang telah ditentukan dan dilakukan secara berkelanjutan.

Pertanian di DIY termasuk dalam pertanian rakyat sehingga pola penggunaan tanahnya terdiri dari sawah, ladang atau tegalan, pekarangan, hutan,

23 Sistem penanaman bergaris dilakukan dengan membuat suatu jalur penanaman yang ditentukan dengan merentangkan tali pada kedua sisi sawah, kemudian bibit padi ditanam menurut jarak yang sudah ditentukan. Sistem tersebut membutuhkan sedikit bibit dan tenaga kerja daripada yang dipakai dalam sistem tradisional.

24 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), hlm. 189.

25Johara T. Jayadinata,Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah, (Bandung: Penerbit ITB, 1999), hlm. 70.

dan lain-lain. Sawah merupakan tanah yang diusahakan dan diberi pengairan untuk menanam padi. Sawah menurut jenis pengairannya terdiri dari sawahtadah hujan26 dan sawahoncoran.27Sawahtadah hujanbiasanya berada di daerah yang tidak memiliki pasokan air yang cukup untuk mengairi sawah, sehingga hanya dapat bergantung pada musim hujan.28Sawahtadah hujandi DIY banyak terdapat di Kabupaten Bantul, Kulon Progo, Kabupaten dan Gunungkidul. Sawahoncoran biasanya berada di daerah yang memiliki pasokan air yang cukup untuk mengairi sawah. Sawahoncorandi DIY banyak terdapat di Kabupaten Sleman.29

Pengairan diurus oleh pamong desa yang ada di setiap kelurahan. Pamong desa yang bertugas mengurus pengairan biasanya disebut denganulu-ulu. Pengairan sawah di DIY terutama di daerah pedesaan juga diurus oleh pamong desa atau perabot desa.30 Pengairan untuk sawah selain melalui sistem tadah hujan dan oncoran, dapat juga diperoleh melalui pengairan teknis. Pengairan teknis mulai diadakan di DIY sekitar tahun 1960-an. Pengairan teknis merupakan pengairan yang diperoleh dari sistem irigasi teknis, yaitu terdapat pemisahan antara saluran pemberi dan saluran pembuang dalam jaringan irigasinya agar

26 Sawah tadah hujan adalah sawah yang pengairannya berasal penampungan, penyebaran dan perluasan air hujan.

27 Sawah oncoran adalah sawah yang pengairannya berasal dari saluran irigasi seperti sungai dan selokan.

28Johara T. Jayadinata, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah, (Bandung: ITB, 1986), hlm. 71.

29Depdikbud, Adat Istiadat Daerah Istimewa DIY, (Jakarta: Depdikbud, 1976), hlm. 41.

penyediaan dan pembagian air dapat diatur dengan mudah. Jaringan irigasi teknis terdiri dari saluran induk yaitu saluran air sekunder dan saluran air tersier yang dibangun serta dipelihara oleh Dinas Pengairan atau Pemerintah.31

Sawah sebagai lahan pertanian dilakukan dalam beberapa tahap pengerjaan, antara lain pengolahan sawah, penanaman, pemeliharaan tanaman, pengambilan hasil tanaman, dan pengolahan hasil tanaman. Pengolahan sawah merupakan tahap awal pengerjaan lahan persawahan. Pengolahan sawah dilakukan dengan cara mengolah tanah yaitu membalik lapisan tanah kemudian diberi pupuk agar tanah memiliki kualitas yang baik sehingga siap untuk ditanami. Penanaman dilakukan setelah tahap pengolahan sawah. Penanaman biasanya dilakukan dengan cara menanam bibit tanaman yang akan ditanam pada lapisan tanah yang telah diolah dan diberi pupuk. Penanaman memerlukan alat pertanian sepertikuali,dandang,tombong,gembor,besek,ember, dangayung.

Pemeliharaan tanaman dilakukan setelah tahap penanaman. Pemeliharaan biasanya dilakukan dengan cara memberi pupuk dan obat pada tanaman agar terhindar dari hama dan penyakit. Pemeliharaan tanaman memerlukan alat pertanian seperti hand sprayer32 yang berfungsi sebagai alat penyemprot obat tanaman. Pengambilan hasil tanaman dilakukan setelah tahap pemeliharaan tanaman. Pengambilan hasil tanaman biasanya dilakukan dengan mengambil atau memetik tanaman yang sudah siap untuk dipanen. Pengambilan 31 Isni Herawati dan Sumintarsih, Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannnya di Daerah Istimewa DIY, (Jakarta: Depdikbud, 1989), hlm. 63.

32 Hand sprayer adalah alat penyemprot obat tanaman yang penggunaannya dilakukan dengan cara memompa secara berturut-turut.

hasil tanaman memerlukan alat pertanian seperti sabit, keronjot (karung plastik), klehtek (gerobak kecil), grobog, dan genthong. Pengolahan dilakukan setelah tahap pengambilan hasil tanaman. Pengambilan hasil tanaman memerlukan alat pertanian seperti blungkang (pelepah daun kelapa), threser (alat perontok padi modern),hullerataurice milling unit, lumpang, danalu.

Ladang merupakan bagian dari lahan pertanian yang ada di DIY. Ladang atau tegalan adalah tanah yang diusahakan untuk menanam tanaman selain tanaman pangan, misalnya tanaman palawija dan tanaman sampingan lainnya tanpa dialiri air. Geertz menyebutkan tiga ciri pokok perladangan yaitu perladangan pada tingkat umum dicapai dengan meniru hutan tropis, kualitas yang tinggi antara zat makanan yang tersimpan dalam bentuk hidup dan dalam tanah, serta ladang dan hutan mengikuti arsitektur umum yaitu berstuktur pelindung tertutup.33 Gourou menyebutkan ciri-ciri ladang antara lain, diusahakan di tanah tropis yang gersang, teknik pertanian yang sederhana tanpa menggunakan alat kecuali kampak, kepadatan penduduk rendah, dan tingkat konsumsi rendah.

Otto Soemarwoto seorang ahli ekologi mengatakan sistem perladangan ditandai dengan munculnya kerusakan hutan, erosi, banjir, dan kekeringan tanah. Zein mengatakan ladang sebagai suatu kegiatan ekonomi yang mempunyai akibat ekstern dan tidak tercermin di dalam harga produksi.34 Ladang memiliki persamaan dengan pekarangan dan hutan. Persamaan antara ketiganya adalah

33 Handojo Adi Pranowo, Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi, (DIY: Gadjah Mada University, 1985), hlm. 33.

tidak diberi pengairan secara khusus. Pola perladangan dilakukan dalam beberapa tahap pengerjaan, yaitu memilih tempat, menebas, menebang, membakar dan membersihkan, menanam, mendangir, menjaga dan mengetam.35

Tahap memilih tempat, menebas, menebang, membakar dan membersihkan pada masa sekarang sudah tidak dilakukan lagi, mengingat sistem pertanian yang digunakan pada masa sekarang adalah sistem pertanian menetap (sedentary), sehingga tahap yang dilakukan hanya menanam, mendangir, dan mengetam. Menanam dilakukan dengan cara membuat lubang di dalam tanah ±5 cm dengan menggunakan gejlig.36 Tahap selanjutnya setelah menanam adalah mendangir. Mendangir dilakukan dengan membalik lapisan tanah dengan menggunakan pacul (cangkul) agar mempercepat proses pembusukan dari dedaunan dan juga mematikan rumput-rumput liar yang mengganggu pertumbuhan tanaman.37 Tahap selanjutnya setelah mendangir adalah mengetam. Mengetam dilakukan dengan memetik hasil tanaman yang telah siap panen.

Pekarangan merupakan tanah yang diusahakan untuk menanam tanaman selain padi. Pekarangan dapat juga disebut sebagai kebun kecil yang biasanya terdapat di sekitar rumah. Jenis tanaman yang ditanam di pekarangan adalah sayur-sayuran, buah-buahan, bumbu, atau tanaman lain yang diperlukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Pekarangan juga dapat ditanami tanaman

umbi-35Handojo Adi Pranowo,op.cit., hlm. 35.

36 Gejlig adalah potongan kayu yang runcing di bagian ujungnya, memiliki diameter ± 7 cm dan digunakan untuk membuat lubang di dalam tanah.

umbian seperti berbagai jenis ubi dan singkong.38 Hutan adalah tanah yang diusahakan untuk ditanami pohon-pohon tertentu. Hutan terdiri dari hutan lindung yang biasanya dilindungi dan dirawat oleh pemerintah melalui Dinas Kehutanan, sedangkan hutan liar merupakan hutan yang keberadaannya tidak dilindungi dan dirawat. Hutan dibuat untuk kegunaan tertentu yaitu mencegah bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.

Pola penggunaan tanah di DIY pada dasarnya memiliki kesamaan dengan pola penggunaan tanah di provinsi lain, namun yang membedakan adalah proporsi penggunaan dari setiap jenis lahan pertanian. Hal itu disebabkan oleh keadaan geografis yang berbeda di setiap kabupaten yang ada di DIY.

Tabel 1

Pola Penggunaan Tanah di DIY (dalam hektar)

Penggunaan Tanah

Kotamadya/Kabupaten

Yogyakarta Sleman Bantul Kulon

Progo Gunungkidul Sawah 543 27.387 17.769 7.746 11.043,34 Tegalan 42 6.915 6.428 84.093 28.047,81 Pekarangan 1,447 16.110 18.092 24.493 10.797,19 Hutan - 1.545 918,4 13.378 1.021,10 Lain-lain 101.9 5.609 7.477,6 18.826 7.718,10

Sumber: Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupatn Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul, hlm. 1.

Pola penggunaan tanah di DIY paling besar digunakan untuk tanah tegalan yaitu seluas 125.525,81 ha, kemudian untuk tanah pekarangan seluas 69.493,637 ha, tanah persawahan seluas 64.488,34 ha, tanah lain-lain seluas 39.732,6, dan tanah hutan seluas 16.892,5 ha. Kabupaten Sleman dengan tanah

38 Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1984), hlm. 3.

persawahan seluas 27.387 ha merupakan areal persawahan terluas di DIY39, disusul dengan Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten dan Kabupaten Kulon Progo, dan Kotamadya Yogyakarta yang memiliki areal persawahan terkecil dari kabupaten lainnya yaitu seluas 543 ha.

Kabupaten Kulon Progo dengan tanah tegalan seluas 84.093 ha merupakan areal tegalan terluas di DIY,40 disusul dengan Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kotamadya Yogyakarta yang memiliki luas tegalan terkecil dari kabupaten lainnya yaitu seluas 42 ha. Kabupaten Kulon Progo dengan tanah pekarangan seluas 24.493 ha merupakan areal pekarangan terluas di DIY,41 disusul dengan Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunungkidul, dan Kotamadya Yogyakarta yang memiliki areal pekarangan terkecil dari kabupaten lainnya yaitu seluas 42 ha. Kabupaten Kulon Progo dengan tanah hutan seluas 13.378 ha merupakan areal hutan terluas di DIY,42 disusul Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Bantul, sedangkan Kotamadya Yogyakarta tidak memiliki areal hutan.

39 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Sleman, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 1.

40 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Kulon Progo, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 1.

41Ibid. 42Ibid.

B. Keadaan Penduduk

Penduduk merupakan jumlah orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah pada waktu tertentu dan merupakan hasil proses-proses demografi yaitu fertilitas, mortalitas, dan migrasi.43 Keadaan penduduk yang akan dibahas pada bagian ini adalah jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, dan persebaran penduduk. Penduduk DIY tersebar di wilayah Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Kulon Progo.44

Tabel 2

Jumlah Penduduk DIY Menurut Kotamadya/Kabupaten Tahun 1961-1984

(dalam jiwa)

Tahun Kotamadya/Kabupaten

Yogyakarta Sleman Bantul Gunungkidul Kulon Progo

1961 341.421 526.597 496.155 565.436 353.372 1970 390.363 595.476 574.317 619.226 390.273 1980 386.065 662.354 638.743 685.945 401.043 1981 394.295 673.687 644.779 690.015 403.557 1982 398.277 684.236 651.131 693.374 405.931 1983 408.033 698.789 658.870 697.278 408.710 1984 411.405 708.658 664.511 704.204 407.937

Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1970-1972, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 Bagian I, dan Yogyakarta Dalam Trend Statistik 1982-1986, hlm. 47.

Pertambahan penduduk menurut sensus penduduk tahun 1961-1971 rata-rata sebesar 1,19% per tahun, dan sensus penduduk tahun 1971-1980 rata-rata-rata-rata

43 Said Rusli, Pengantar Ilmu Kependudukan, (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 35.

sebesar 1,1% per tahun.45Pertumbuhan penduduk di Kotamadya Yogyakarta lebih cepat dibanding ke empat kabupaten lainnya. Kotamadya Yogyakarta memiliki rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 1,5% per tahun sedangkan Kabupaten Sleman rata-rata 1,4% per tahun.

Kabupaten Bantul pertumbuhan penduduknya rata-rata 1,3% per tahun, Kabupaten Gunungkidul rata-rata 1,2% per tahun, dan Kabupaten Kulon Progo merupakan kabupaten dengan pertumbuhan penduduk terendah yaitu rata-rata 0,7% per tahun. Pertumbuhan penduduk yang tinggi sangat mempengaruhi tingkat kepadatan penduduk di masing-masing kotamadya dan kabupaten. Kepadatan penduduk Kotamadya Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Kulon Progo.

Tabel 3

Persentase Pertumbuhan Penduduk DIY Menurut Kotamadya/Kabupaten (dalam persen)

Tahun

Kotamadya/Kabupaten

Dokumen terkait