• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modernisasi Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Sosial Ekonomi Petani di DIY Tahun 1968-1984.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modernisasi Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Sosial Ekonomi Petani di DIY Tahun 1968-1984."

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Oleh:

LESTARI EKA PRATIWI 11407141020

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)
(3)
(4)
(5)

v

“the only way to do great works is to love what you do” (Steve Jobs)

“manusia yang bijak itu layaknya seperti padi, semakin berisi semakin merunduk,

semakin berilmu semakin rendah diri” (Penulis)

“masa lalu sudah terbiasa untuk dilupakan, masa kini sudah terbiasa untuk dilalui, namun masa depan biasanya tidak diketahui”

(Penulis)

“sesuatu yang telah pergi tidak akan pernah datang kembali, seperti halnya dengan kesempatan yang tidak akan datang untuk

kedua kalinya,

maka pergunakanlah kesempatan yang ada dengan baik” (Penulis)

(6)

vi

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Drs. H. Ukin Sukiman dan Rodiyah ♥ Kakek dan Nenekku ♥ Imam Prayogo dan Nur Hayati

(7)

vii

SOSIAL EKONOMI PETANI DI DIY TAHUN 1968-1984

Oleh: Lestari Eka Pratiwi NIM. 11407141020

Modernisasi pertanian merupakan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian khususnya padi. Produksi padi yang tinggi dapat menjamin ketahanan pangan masyarakat sehingga dapat mencapai swasembada pangan. Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Hal itu merupakan hasil nyata dari program modernisasi pertanian yang dilaksanakan oleh pemerintah. Modernisasi pertanian dibalik keberhasilannya juga berpengaruh terhadap sosial ekonomi petani khususnya petani kecil. DIY adalah salah satu daerah yang masyarakatnya bermata pencaharian petani khususnya di wilayah pedesaan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui penerapan modernisasi pertanian dan pengaruhnya terhadap sosial ekonomi petani di DIY pada tahun 1968-1984.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah kritis. Pertama, heuristik yang merupakan tahap pengumpulan data atau sumber-sumber sejarah yang relevan. Kedua, kritik sumber, merupakan tahap pengkajian terhadap otentisitas dan kredibilitas sumber-sumber yang diperoleh yaitu dari segi fisik dan isi sumber. Ketiga, interpretasi yaitu dengan mencari keterkaitan makna yang berhubungan antara fakta sejarah yang telah diperoleh sehingga lebih bermakna. Keempat, historiografi atau penulisan yaitu penyampaian sintesis dalam bentuk karya sejarah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keadaan geografis, keadaan penduduk dan kondisi pertanian di DIY menyebabkan sektor pertanian menduduki peranan penting bagi masyarakat. Penerapan modernisasi pertanian yang merupakan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi padi dapat meningkatkan produksi padi di DIY secara signifikan. Modernisasi pertanian yang diterapkan di DIY telah memberi pengaruh baik di bidang sosial dan bidang ekonomi petani antara lain pengaruh terhadap pelapisan sosial masyarakat, pengaruh terhadap sistem pengolahan sawah, pengaruh terhadap ekosistem dan lingkungan, dan pengaruh terhadap pendapatan petani.

(8)

viii

Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan kita sepanjang zaman, sehingga penulis akhirnya mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Modernisasi Pertanian dan Pengaruhnya terhadap Sosial Ekonomi Petani di DIY Tahun 1968-1984” sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana sastra.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang dalam kepada:

1. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial. 2. H.Y. Agus Murdiyastomo, M. Hum selaku Ketua Program Studi

Ilmu Sejarah.

3. Ririn Darini, M. Hum selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya dalam membimbing penulis guna menyelesaikan skripsi ini.

4. Miftahuddin, M. Hum selaku narasumber yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya dalam membimbing penulis guna menyelesaikan skripsi ini.

(9)

ix

7. Seluruh petugas Jogja Library Center, Perpustakaan Lembaga Pendidikan Perkebunan, Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Perpustakaan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, dan Perpustakaan Laboratorium Sejarah UNY, yang seluruhnya telah memberikan pelayanan dengan baik dalam proses pencarian sumber-sumber yang mendukung penulisan tugas akhir skripsi ini.

8. Papaku Bapak Imam Prayogo, mamaku Ibu Nur Hayati, dan adikku Deni Dwi Gahari yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungan.

9. Kakek dan Nenekku, Bapak Drs. H. Ukin Sukiman dan Ibu Rodiyah yang selalu berdoa untuk kesuksesanku.

10. Seluruh keluarga besarku yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan doa.

(10)

x

Yana, Dilla, Elly, Enggal, Fuad, Tio, dan Sena yang tidak pernah lelah untuk memberi semangat, masukan dan bantuan atas terselesaikannya skripsi ini.

13. Para teman-teman Prodi Ilmu Sejarah angkatan 2011 yang selalu memberi dukungan dan motivasi.

14. Teman-teman KKN ND 69, Yuri, Irma, Ratri, Diyanah, Nato, Danu, Erin, Gigih, dan Aldian yang selalu memberi semangat.

15. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas semua bantuannya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk hasil yang lebih baik dikemudian hari. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, Januari 2016

(11)

xi

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………... iii

PERNYATAAN ………. iv

MOTTO ……….. v

PERSEMBAHAN ……….. vi

ABSTRAK ……….. vii

KATA PENGANTAR ………... viii

DAFTAR ISI ……….. xi

DAFTAR ISTILAH ………... xiii

DAFTAR SINGKATAN ………... xxi

DAFTAR UKURAN ……….. xxii

DAFTAR TABEL ……….. xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xxv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ………... 7

C. Tujuan Penelitian ……….. 8

D. Manfaat Penelitian ……… 9

E. Kajian Pustaka ……….. 9

F. Historiografi yang Relevan ………... 12

G. Metode Penelitian dan Pendekatan ……….. 16

H. Sistematika Penulisan ………... 24

BAB II : GAMBARAN UMUM WILAYAH DIY A. Keadaan Geografis ……… 26

(12)

xii

A. Kebijakan Revolusi Hijau di Indonesia ………. 58

B. Penerapan Modernisasi Pertanian di DIY ………. 68

C. Pengaruh Modernisasi Pertanian terhadap Produksi Padi ………. 80

BAB IV: PENGARUH MODERNISASI PERTANIAN TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI DI DIY A. Pengaruh dalam Bidang Sosial ………. 89

B. Pengaruh dalam Bidang Ekonomi ……… 111

BAB V : KESIMPULAN ………... 112

DAFTAR PUSTAKA ……… 116

(13)

xiii

Adhol sendhe : melakukan penggadaian sawah ke orang lain.

Alu : alat berbentuk tongkat yang terbuat dari batu dan digunakan untuk menghaluskan padi.

Bawon : sistem permberian upah berupa padi.

Bimas : akronim dari “bimbingan massal” yaitu bimbingan yang diberikan kepada petani secara bersama-sama dalam program Revolusi Hijau.

Cost of living : biaya hidup.

Delivery mechanism : mekanisme distribusi.

Demonstrasi plot : proyek percontohan atau percobaan.

Derep : menuai padi.

Dibedhahi : dibajak.

Diglidhibage : diupahkan.

Dilebi : diairi.

Dileremake : dibiarkan.

Ditamping : dicangkul dengan posisi miring.

Diwatun : dicabut.

(14)

xiv

membuat lubang di dalam tanah.

Gembor : alat yang digunakan sebagai tempat penyimpan air untuk menyiram tanaman pertanian.

Grobog : alat untuk menyimpan padi yang telah dipanen.

Hand sprayer : alat penyemprot obat tanaman yang penggunaannya dilakukan dengan cara memompa secara berturut-turut. Hand tractor : traktor tangan.

High yield variety : bibit padi varietas unggul.

Huller : alat pertanian yang berupa mesin pengupas kulit gabah. Ijon : menjual tanaman ketika tanaman masih berusia muda

atau belum siap untuk dipanen. Ingerit : penyebaran benih padi.

Intensfikasi : usaha untuk memperbaiki tanaman pertanian secara terstruktur dengan melakukan meningkatkan dan memperluas penggunaan benih unggul bermutu, pupuk berimbang, air dan teknologi pasca panen, serta dengan menerapkan pengendalian hama terpadu.

(15)

xv

“panca usaha”, biasanya dilakukan secara bersama-sama (melalui kelompok) dalam suatu lahan seluas 5-25 hektar.

Intensifikasi umum : jenis intensifikasi padi yang dilakukan selain pada sawah irigasi yang pengairannya setahun penuh dalam sistem “panca usaha”, biasanya dilakukan tidak secara bersama-sama (tidak melalui kelompok).

Keronjot : karung plastik. Klehtek : gerobak kecil.

Kuali : alat berbentuk tabung dengan ukuran diameter ±30 cm dan tinggi ±35 cm yang terbuat dari tanah liat dan digunakan untuk merendam bibit padi yang akan ditanam.

Larikan : sistem penanaman padi yang dilakukan dengan membuat garis lurus dengan alat pelurus dari bambu, bertujuan agar padi mendapat sinar matahari, udara dan nutrisi secara merata, serta mempermudah proses penyiangan.

(16)

xvi untuk menumbuk padi.

Lungka : bongkahan tanah hasil pencangkulan. Mara rolas : sistem pembagian hasil berupa 1/12 bagian. Mara sepuluh : sistem pembagian hasil berupa 1/10 bagian Mara telu : sistem pembagian hasil berupa 1/3.

Mertelu : kata lain dari “mara telu”.

Mara wolu : sistem pembagian hasil berupa 1/8 bagian. Maro : sistem pembagian hasil berupa ½ bagian. Malih tani : kata lain dari “maro”.

Matun : menyiangi rumput.

Mendangir : membalik lapisan tanah.

Merkatak : mekar.

Monopolistik : bersifat monopoli.

Natura : kredit.

Nephotetix apicalis : wereng hijau. Nezara viridula : lembing hijau.

Ngrakal : menyebarkan benih padi di tanah yang sudah lunak. Nilapervata lugens : wereng cokelat.

Nymphula depunctalis : kupu-kupu.

(17)

xvii

“demonstrasi plot” tentang cara-cara pertanian modern, agar teknik baru dalam bercocok tanam dapat ditiru oleh masyarakat sekitarnya.

Onderneming : perkebunan besar.

Paceklik : musim kemarau yang panjang. Pachydiplosis oryzae : ganjur.

Pacul : cangkul (dalam bahasa jawa).

Padi gadhu : jenis padi yang ditanam pada musim kemarau.

Padi gogo : jenis padi yang ditanam di lahan kering atau yang dikenal dengan nama tegalan karena tidak terlalu banyak membutuhkan air, biasanya ditanam di daerah yang memiliki karakteristik tanah yang tandus atau gersang, serta memiliki keadaan hidrologi yang kurang memadai.

Pekuleh : pribadi

Pengairan teknis : sistem pengairan dengan sistem irigasi teknis yang dibangun setelah program Revolusi Hijau.

Petani gurem : golongan petani miskin yaitu petani yang memiliki lahan pertanian dengan luas kurang dari 0,2 hektar Petani lapisan atas : golongan petani yang memiliki tanah lebih dari 1

(18)

xviii

Pranata mangsa : aturan tradisional Jawa mengenai periode-periode menanam padi.

R.r. Brevicaudutus : tikus sawah. R.r. Concolor ephipium : tikus huma.

Receiving-mechanism : mekanisme penerimaan.

Rice milling unit : alat pertanian berupa mesin penggiling padi.

Sabit : alat seperti pisau yang digunakan untuk memotong rumput.

Sawah oncoran : adalah sawah yang pengairannya berasal dari saluran irigasi seperti sungai dan selokan.

Sawah tadah hujan : sawah yang pengairannya berasal penampungan, penyebaran dan perluasan air hujan.

Schunobius bipunctifer : ulat penggerek. Scirpophaga innotata : ulat penggerek.

Sedentary : sistem pertanian menetap. Separo : setengah (dalam bahasa Jawa). Shifting : sistem pertanian berpindah.

(19)

xix

Tanah kas desa : tanah yang dimiliki oleh kelurahan dan digunakan sebagai cadangan apabila kelurahan membutuhkan biaya sewaktu-waktu, misalnya untuk dana pembangunan desa.

Tanah lungguh : istilah lain dari tanah bengkok.

Tanah pangarem-arem : tanah yang dimiliki seseorang karena banyak berjasa terhadap desa, biasaya tanah tersebut hanya dapat dikuasai selama orang tersebut masih hidup, jika sudah meninggal tanah adalah milik kas desa.

Tanem : kegiatan menanam di sawah maupun ladang. Tandur : kata lain dari “tanem”.

Tegalan : kata lain dari ladang yaitu tanah yang diusahakan untuk menanam tanaman selain tanaman pangan, misalnya tanaman palawija dan tanaman sampingan lainnya tanpa dialiri air.

Threser : alat perontok padi modern.

(20)

xx

Ulu-ulu : seorang pamong desa yang bertugas mengurus pengairan.

(21)

xxi BULOG : Badan Urusan Logistik

BUUD : Badan Usaha Unit Desa

FAO :Food Association Organization

IGGI :Inter-Governmental Group on Indonesia IRRI :International Rice Research Institute KUD : Koperasi Unit Desa

PB : Peta Baru

PHT : Pemberantasan Hama Terpadu PPL : Panitia Penyuluhan Lapangan RT : Rukun Tetangga

RW : Rukun Warga

(22)

xxii 1 bau = 0,30 hektar atau 7.096 meter 1 kilometer = 100 meter

1 hektar = 1.000 meter 1 kuintal = 100 kilogram 1 ton = 1.000 kilogram

Sumber:

(23)

xxiii

Tabel 1 Pola Penggunaan Tanah di DIY ………. 38 Tabel 2 Jumlah Penduduk DIY Menurut Kotamadya/Kabupaten ………….. 40 Tabel 3 Persentase Pertumbuhan Penduduk DIY Menurut

Kotamadya/Kabupaten ……… 41 Tabel 4 Persentase Penduduk DIY menurut Kotamadya/Kabupaten ……….. 42 Tabel 5 Persentase Penduduk Menurut Lapangan Pekerjaan di DIY ……….. 43 Tabel 6 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kotamadya Yogyakarta Tahun 1973 ……….. 52 Tabel 7 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kabupaten Sleman

Tahun 1973 ……….. 53 Tabel 8 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kabupaten Bantul

Tahun 1973 ……….. 53 Tabel 9 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kabupaten Kulon Progo Tahun 1973 ………... 54 Tabel 10 Lahan Persawahan yang Ditanami Padi di Kabupaten Gunungkidul Tahun 1973 ……….. 54 Tabel 11 Target dan Realisasi Bimas Padi Musim Penghujan di DIY

Tahun 1968 ……….. 71 Tabel 12 Target dan Realisasi Bimas Padi Musim Kemarau di DIY

Tahun 1969 ……….. 72 Tabel 13 Produksi Padi Sawah dan Padi Gogo di DIY Tahun 1968-1984 … 81 Tabel 14 Produksi Padi Sawah Per Kotamadya/Kabupaten di DIY

Tahun 1968-1984 ………. 86 Tabel 15 Produksi Padi Gogo Per Kotamadya/Kabupaten di DIY

(24)

xxiv

Tabel 18 Distribusi Pemilikan Tanah di Jawa dari 11,5 juta Kepala Keluarga 94 Tabel 19 Distribusi Pemilikan Tanah di Dusun Miri, Kelurahan Sriharjo

(25)

xxv

Lampiran 1 Daftar Responden ………. 123 Lampiran 2 Peta Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta ………. 124 Lampiran 3 Peta Pertanian Kotamadya Yogyakarta ……… 125 Lampiran 4 Peta Pertanian Kabupaten Sleman ……… 126 Lampiran 5 Peta Pertanian Kabupaten Bantul ………. 127 Lampiran 6 Peta Pertanian Kabupaten Kulon Progo ……… 128 Lampiran 7 Peta Pertanian Kabupaten Gunungkidul ………... 129 Lampiran 8Produksi Bahan Makan Per Bulan

di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1968 dan

Perkembangannya Tahun 1959-1968 (Dalam Ton) ……… 130

Lampiran 9Produksi Bahan Makan Per Bulan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1970 dan Perkembangannya

Tahun 1960-1969 (Dalam Ton) ……… 131

Lampiran 10Produksi Bahan Makan Per Bulan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1969 dan Perkembangannya

Tahun 1961-1970 (Dalam Ton) ……….. 132

Lampiran 11Produksi Bahan Makan Per Bulan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972 dan Perkembangannya

Tahun 1967-1972 (Dalam Ton) ………. 133

Lampiran 12Perkembangan Produksi Bahan Makan di Daerah

Istimewa Yogyakarta Tahun 1968-1973 (Dalam Ton) ………... 134

Lampiran 13Produksi Bahan Makan di Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta Tahun 1974-1978 (Dalam Ton) ………... 135

Lampiran 14Produksi Bahan Makan di Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta Tahun 1979-1983 (Dalam Ton) ………... 136

Lampiran 15Produksi Bahan Makan di Propinsi Daerah

(26)

1 A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di wilayah agraris. Sektor pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Keberadaan sektor pertanian telah memberikan kontribusi yang besar untuk pemerintah maupun masyarakat.1 Sekitar 55,5% masyarakat di Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, terutama masyarakat yang hidup di pedesaan dan bermata pencaharian sebagai petani.2 Keberadaan sektor pertanian selalu didukung oleh beberapa variabel penting yang ada di dalamnya seperti pengaturan produksi, tenaga kerja, teknologi, dan ekologi.3

Variabel penting dalam pertanian merupakan hal yang saling berkaitan. Pengaturan produksi sangat bergantung dari adanya tenaga kerja, teknologi dan ekologi yang digunakan dalam pertanian. Produksi pertanian dapat dihasilkan apabila adanya tenaga kerja sebagai pengelola lahan pertanian, teknologi pertanian yang digunakan, dan ekologi yang mendukung dengan memanfaatkan teknologi dan ekologi yang tersedia. Tenaga kerja pertanian memperoleh penghasilan dari produksi pertanian yang telah dihasilkan. Semakin tinggi produksi pertanian maka semakin besar penghasilan yang didapat.

1 Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia,

Pertumbuhan dan Pemerataan dalam Pembangunan Pertanian, (Jakarta: PERHEPI, 1983), hlm. 81.

2 Ibid.

(27)

Produksi pertanian pada dasarnya berhubungan dengan luas lahan pertanian. Semakin luas lahan pertanian maka semakin besar produksi pertanian yang dihasilkan. Petani dengan lahan pertanian yang luas akan memperoleh hasil produksi yang besar, sementara petani dengan lahan pertanian sempit akan memperoleh hasil produksi yang relatif sedikit. Produksi pertanian khususnya produksi pangan pada kenyataannya tidak hanya mempengaruhi kehidupan petani saja, namun mempengaruhi masyarakat luas yang bermata pencaharian di luar petani. Produksi pangan khususnya padi merupakan tanaman yang terpenting di dunia selain gandum dan jagung. Perdamaian dunia dan kesejahteraan fisik umat manusia juga tergantung pada tercukupinya hasil budidaya ketiga tanaman biji-bijian (cerealia) tersebut.4 Padi sebagai tanaman pangan tidak hanya sebagai komoditi ekonomi, namun pada kenyataannya sebagai komoditi politik.

Padi merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia karena kalorinya tinggi apabila dibandingkan dengan makanan pokok lainnya seperti jagung, ketela, kentang, dan kedelai.5 Konsumsi beras di Indonesia yang tinggi membutuhkan persediaan beras yang memadai agar kebutuhan beras masyarakat dapat tercukupi. Indonesia pernah mengalami krisis pangan yang berat pada tahun 1960. Soekarno yang menjabat Presiden Indonesia pada masa itu menjelaskan bahwa dalam peperangan melawan kelaparan produksi beras meningkat dua kali lipat, tetapi pemerintah harus mengimpor beras lebih dari 1 juta ton per tahun

4 Jurgen H. Hohnholz, Geografi Pedesaan:

Masalah Pengembangan Pangan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 134.

(28)

seharga hampir 1 juta dolar AS. Hal itu disebabkan karena jumlah penduduk tidak sesuai dengan pertambahan produksi beras.6 Hal lain yang juga menjadi penyebabnya adalah kemerosotan pertanian yang telah terjadi sejak 1950-an, tetapi tidak ditangani pemerintah. Produksi beras untuk jangka waktu 1950-1960 rata-rata bertambah sekitar 2,4% per tahun, dan untuk jangka waktu 1960-1967 rata-rata bertambah sekitar 1,5% per tahun. Masalah beras pada masa itu sangat berat, inflasi kelompok makanan mencapai 685,36% dan harga beras naik 900%.7

Soeharto yang menjabat Presiden Republik Indonesia pada tahun 1967 berusaha memperbaiki perekonomian Indonesia melalui kebijakan pertanian yaitu pembangunan pertanian. Kebijakan pertanian menjadi prioritas yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pembangunan pertanian tersebut meliputi tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan yang dilaksanakan secara terpadu melalui usaha intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi.8 Pembangunan pertanian dilakukan untuk meningkatkan produksi beras yang sangat sedikit pada tahun-tahun sebelumnya. Pembangunan pertanian juga bertujuan untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat Indonesia dengan terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat. Hasil nyata dari pembangunan pertanian sudah mulai terlihat sejak tahun 1968. Pembelian beras dalam negeri oleh pemerintah dapat mencapai lebih dari

6 Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm.127.

7Ibid.,hlm. 129.

(29)

90% pada tahun 1968. Peningkatan jumlah produksi beras juga terjadi pada tahun 1969 yang mencapai 11,14 juta ton. Jumlah itu melebihi target awal yang ditetapkan pemerintah yaitu sebesar 10,5 juta ton. Kenaikan tersebut disebabkan oleh hujan yang dapat turun sepanjang tahun, sehingga para petani dapat menanam padi dua sampai tiga kali dalam periode itu.9

Peningkatan jumlah produksi beras sangat berpengaruh bagi ekonomi Indonesia yaitu dapat membantu mengurangi pemborosan devisa dan inflasi karena tekanan pada harga pangan yang pernah terjadi sebelumnya.10 Pemerintah dalam usahanya mengamankan persediaan pangan melaksanakan pembelian padi dan beras untuk memperbesar stok nasional, sekaligus menjaga kestabilan harga beras untuk melindungi petani produsen dari kemerosotan harga beras di waktu panen raya.11

Pembangunan pertanian yang dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia pada intinya bertujuan untuk meningkatkan produksi beras dan memperbaiki taraf hidup masyarakat khususnya masyarakat petani. Produksi beras yang tinggi akan berpengaruh pada ketahanan pangan masyarakat. Produksi pertanian yang tinggi juga akan menambah penghasilan yang diperoleh petani. DIY adalah salah satu daerah di Pulau Jawa yang ikut melaksanakan pembangunan pertanian. Produksi

9 Ahmad Nashih Luthfi, dkk, Pemikiran Agraria Bulaksumur:

Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto, (Yogyakarta: Sains Sajogyo Institute, 1980), hlm. 199.

10 Achmad Saubari, dkk, Presiden Soeharto dan Pembangunan Pertanian, (Jakarta: Citra Media Persada, 1992), hlm. 96.

(30)

padi di DIY sebelum adanya kebijakan pembangunan pertanian pernah mengalami peningkatan pada tahun 1950-1958. Jumlah produksi padi tahun 1950 sekitar 132.954 ton dan tahun 1958 sekitar 224.664 ton.12

Peningkatan jumlah produksi padi tahun 1958 menunjukkan sekitar 52 persen lebih besar dibanding dengan tahun 1950. Perbandingan tersebut jauh melebihi tingkat pertambahan penduduk tahun 1950 sebesar 1.848.886 dan untuk tahun 1958 sebesar 2.096.519, menunjukkan kenaikan sekitar 13,5 persen. Hal itu menunjukkan bahwa hasil per bidang tanah cukup tinggi, tetapi berdasarkan hasil per tanah milik seorang petani penghasilan mereka tergolong rendah. Penyebabnya adalah terlalu banyak petani yang bekerja pada tanah-tanah yang subur.

Program pembangunan pertanian di DIY dilaksanakan melalui program Bimbingan Massal (Bimas) yaitu Bimas Padi. Program Bimas Padi dilaksanakan di DIY tahun 1969-1970. Program Bimas Padi sukses dalam meningkatkan produksi beras di DIY. Kesuksesan tersebut dapat dilihat dari rata-rata produksi beras di DIY pada tahun 1981 yaitu sebesar 118,84 ton. Program Bimas merupakan program yang tidak berdiri sendiri, artinya berhubungan erat dengan hal lain seperti penyediaan pupuk dan obat pemberantas hama. Kebutuhan pupuk dalam negeri berkaitan dengan pengembangan industri pupuk dan masalah impor pupuk.13 Rata-rata pembelian dan distribusi beras di Jawa Tengah dan DIY

12 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), hlm. 196.

(31)

menunjukkan bahwa beras untuk distribusi lokal dapat dibeli 58 persen dari jumlah minimum yang dibutuhkan. Hal itu berarti 42 persen dari seluruh kebutuhan beras harus diimpor dari luar daerah,14 mengingat DIY merupakan daerah yang surplus berasnya 400 ribu ton ke bawah.

Program pembangunan pertanian pada kenyataannya telah mampu meningkatkan produksi beras, namun tidak sepenuhnya dapat terhindar dari kendala terutama kendala yang disebabkan oleh alam. Krisis beras yang terjadi tidak dapat dihindari pada tahun 1972. Produksi beras yang sangat minim disebabkan oleh panjangnya musim kemarau yang melanda Indonesia. Hal itu menyebabkan lahan-lahan pertanian tidak dapat memproduksi padi dengan baik. Krisis menyebabkan daerah-daerah yang defisit beras harus mendapat bantuan impor beras dari daerah yang surplus beras.

Program Bimas berhasil meningkatkan produksi beras di DIY, sehingga pemerintah tidak perlu mengimpor beras dari luar daerah. Pelaksanaan Bimas secara teknis tidak mengalami kendala, namun bagi peserta Bimas yang merupakan petani produsen beras program ini agak membebani mereka. Petani harus mengeluarkan biaya tambahan yang berupa biaya pengangkutan pupuk dan gabah yang diangkut dari ladang ke kantor Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Petani merasa terbebani karena penghasilan yang mereka dapatkan harus dipotong untuk biaya tersebut.

Perkembangan kesejahteraan petani ditentukan oleh perkembangan tingkat harga riil padi dan tingkat produktivitas. Biro Pusat Statistik dalam

(32)

kaitannya dengan batas garis kemiskinan menyebutkan bahwa laju perkembangan tersebut belum cukup mengangkat petani khususnya petani gurem atau petani kecil. Peningkatan produktivitas dan harga riil padi itu pun belum cukup menumbuhkan tingkat buruh tani dan buruh kasar di pedesaan.15

Pemilihan tema dan judul skripsi ini dilakukan untuk menggambarkan hubungan antara kebijakan pemerintah dan sasaran kebijakan tersebut yaitu petani padi. Skripsi ini menggunakan tahun 1968 sebagai titik awal kajian karena pada masa tersebut pemerintah Orde Baru mencanangkan program Revolusi Hijau di Indonesia. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri sekaligus mengurangi ketergantungan impor. Hasil beras dalam negeri yang sangat mampu mencukupi kebutuhan beras rakyat menandakan bahwa Indonesia telah berhasil melakukan swasembada beras pada 1984.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik beberapa rumusan yang dapat digunakan sebagai dasar penelitian yang akan dikaji. Rumusan masalah yang dapat dipaparkan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran umum wilayah DIY?

2. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi padi di DIY? 3. Bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi

padi terhadap sosial ekonomi petani di DIY?

15 Agus Pakpahan, dkk,

(33)

C. Tujuan Penelitian

Penulis dalam rangka pengerjaan penelitian, terdorong oleh beberapa tujuan yang akan dicapai. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu :

1. Tujuan Umum

a. Mencapai taraf praktek dalam keilmuan sejarah jenjang Strata-1 dengan menerapkan metodologi sejarah.

b. Melatih berpikir kritis dan sistematis dalam keilmuan sejarah. c. Menambah khasanah penulisan sejarah Indonesia.

2. Tujuan Khusus

a. Memaparkan gambaran umum wilayah Yogyakarta.

b. Memaparkan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi padi di DIY.

c. Memaparkan pengaruh kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi padi terhadap sosial ekonomi petani di DIY.

D. Manfaat Penelitian

Penulis berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan bagi penulis, yaitu:

1. Bagi Pembaca

a. Memahami gambaran umum wilayah DIY.

(34)

c. Memahami pengaruh kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi padi terhadap sosial ekonomi petani di DIY.

2. Bagi Penulis

a. Menjadi tolok ukur penulis mengenai pemahaman pengetahuan kesejarahan.

b. Menjadi tolok ukur penulis mengenai kemampuan terhadap cara berpikir kritis dan sistematis.

c. Menjadi tolok ukur penulis terhadap peranannya dalam perkembangan kesejarahan.

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka atau literatur yang menjadi landasan pemikiran dalam penelitian. Kajian pustaka dalam kaitannya dengan penelitian sejarah penting untuk merekonstruksi suatu peristiwa yang memerlukan rujukan agar karya tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Kajian pustaka dapat menambah informasi yang dibutuhkan dalam proses penulisan. Penulis memahami bahwa kajian pustaka sangat diperlukan dalam terciptanya sebuah karya sejarah yang baik. Penelitian ini menggunakan tiga buku yang berkaitan dengan tema yang akan dikaji.

(35)

jenis tanah, dan komposisi tanah yang mendukung berkembangnya sektor pertanian sebagai sektor ekonomi. Pola penggunaan tanah di DIY yaitu tanah sawah, tanah tegalan, tanah pekarangan, dan hutan. Penggunaan lahan pertanian di DIY didominasi oleh sawah yaitu sekitar 70% dari luas tanah yang ada.

Tanaman pertanian yang ditanam di DIY antara lain palawija, padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, ubi manis, ubi kayu, dan lain-lain. Tanaman pangan seperti padi adalah produk pertanian yang paling dominan karena paling banyak ditanam di berbagai daerah. Padi yang ditanam adalah padi sawah dan padi ladang. Padi sawah produksinya lebih banyak dibanding padi ladang, karena tingkat keberhasilan penanaman padi sawah lebih besar. DIY memiliki daerah penghasil padi di setiap kabupaten, apabila dilihat dari produktivitasnya Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo adalah penghasil padi sawah terbesar, sedangkan Kabupaten Gunungkidul adalah penghasil padi gogo terbesar di DIY.16

Pemerintah Orde Baru dalam melakukan pembangunan pertanian di Indonesia melaksanakan sebuah program yang disebut dengan Revolusi Hijau. Revolusi Hijau bertujuan untuk meningkatkan produksi padi dalam negeri agar persediaan beras cukup. Revolusi Hijau di Indonesia dilakukan dengan menerapkan modernisasi pertanian kepada semua usaha tani agar menciptakan pertanian yang lebih maju. Modernisasi pertanian dilakukan melalui sebuah program yang disebut Bimbingan Massal (Bimas) dengan menerapkan Panca Usaha Tani yang terdiri dari penggunaan bibit unggul, pemupukan, pengairan,

(36)

pemberantasan hama, dan teknik bercocok tanam. Mubyarto mengatakan Program Bimas padi pada 1968-1970 sukses dilaksanakan di Yogyakarta.17

Bimas merupakan model pembangunan pertanian karena segala aktivitas pembangunan desa berkisar pada program ini. Program Bimas telah berhasil mengkoordinir segala aktivitas yang diperlukan dalam usaha meningkatkan produksi padi. Produksi padi pada tahun-tahun pertama Repelita dapat dinaikkan lebih dari 10%. Kunci dari keberahasilan program ini adalah bantuan dan dukungan dari semua instansi yang ada. Modernisasi pertanian yang dilaksanakan melalui program Bimas berhasil meningkatkan produksi padi hampir di seluruh wilayah Jawa khususnya DIY. Program ini mendapat respon baik dari para petani karena pendapatan semakin meningkat semenjak digencarkan pada tahun 1969.

Program Bimas dibalik keberhasilannya ternyata menimbulkan beberapa kerugian. Kerugian program Bimas secara umum antara lain menyebabkan pemborosan biaya tinggi terutama untuk mengimpor bibit dan pupuk buatan, merusak lingkungan akibat penggunaan pestisida dalam jumlah banyak, merendahkan para petani yang mempraktikkan pertanian tradisional khususnya dalam penggunaan bibit padi lokal dan pupuk kompos, selain itu padi Bimas banyak yang mengalami kegagalan.18 Modernisasi pertanian selain memberikan kerugian diatas juga memberikan pengaruh pada sosial ekonomi petani di DIY.

17 Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, (Jakarta: LP3ES, 1973), hlm. 193.

(37)

Pengaruh dari adanya penerapan modernisasi pertanian di bidang sosial adalah semakin terlihatnya pelapisan sosial di masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Pelapisan sosial di masyarakat pedesaan pada umumnya dilihat berdasarkan luas kepemilikan tanahnya. Pengaruh dari adanya penerapan modernisasi pertanian di bidang ekonomi adalah tidak meratanya keuntungan yang didapat dari program tersebut. Keuntungan dari adanya penerapan modernisasi pertanian hanya bisa dirasakan oleh petani kaya dan pamong-pamong desa, sementara petani miskin yang mengalami kekurangan modal tidak dapat merasakan keuntungan.19

F. Historiografi yang Relevan

Historiografi yang relevan merupakan suatu karya sejarah yang mendahului penelitian yang akan ditulis.20 Karya sejarah terdahulu akan dibedah untuk mengetahui perbedaan antara tulisan tersebut dan karya penulis termasuk menelaah kekurangan peneliti terdahulu. Historiografi yang digunakan adalah skripsi tahun 2014 karya Dewi Ragil Pangesti mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul Modernisasi Pertanian di Kabupaten Gunungkidul Tahun 1960-1984: Dari Krisis Pangan Hingga Swasembada Pangan. Skripsi

tersebut membahas modernisasi pertanian di Kabupaten Gunungkidul yaitu awal kemunculan krisis pangan, kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah

19 Frans Husken, Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa, 1830-1980, (Jakarta: PT Gramedia, 1998), hlm. 245.

20 Tim Prodi Ilmu Sejarah,

(38)

pangan, dan dampak modernisasi pertanian terhadap masyarakat di Kabupaten Gunungkidul.

Masyarakat Kabupaten Gunungkidul sebelum adanya program modernisasi pertanian hanya mengkonsumsi ubi kayu. Program modernisasi pertanian yang diterapkan pada tahun 1970 menjadikan petani di daerah tersebut mencoba menanam bibit padi baru yang disesuaikan dengan kondisi tanah yang gersang untuk menanam padi selain padi gogo. Perubahan tersebut juga merubah persepsi tentang daerah Kabupaten Gunungkidul yang miskin dan tidak bisa berkembang. Modernisasi pertanian telah menghidupkan kembali kondisi pertanian yang buruk dan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.

Perbedaan antara karya Dewi Ragil Pangesti dan karya penulis adalah wilayah kajian dan periodisasi kajian. Wilayah kajian Dewi Ragil Pangesti adalah Kabupaten Gunungkidul sedangkan penulis menggunakan wilayah yang lebih luas yaitu DIY. Periodisasi kajian Dewi Ragil Pangesti diawali tahun 1960, sedangkan penulis mengawali periode penelitian tahun 1968.

Penulis menggunakan skripsi tahun 2006 karya Trihapsari Nina Hadiastuti mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul Pengaruh Modernisasi Pertanian pada Kehidupan Masyarakat Desa Sendangagung,

Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman 1970-1984. Skripsi tersebut membahas

(39)

pertanian, dan pengaruhnya pada produksi pertanian, bidang sosial, dan bidang ekonomi terhadap kehidupan masyarakat.

Pemerintah dalam menerapkan modernisasi pertanian di Desa Sendangagung melaksanakan program Bimas. Program tersebut memperkenalkan bibit baru, teknologi modern, dan penerapan Panca Usaha Tani. Revolusi hijau telah mengakibatkan perubahan pada hubungan sosial pedesaan. Penggarapan sawah dan pengolahan hasil panen di Desa Sendangagung sebelum adanya Revolusi Hijau masih relatif bersifat gotong royong, kemudian setelah adanya Revolusi Hijau sepenuhnya didasarkan pada nilai tukar uang yang merupakan ciri masyarakat individualistis. Revolusi Hijau juga menimbulkan dampak di bidang ekonomi terutama terhadap petani miskin dan buruh tani sebagai akibat meningkatnya biaya sarana produksi pertanian.

Perbedaan antara karya Trihapsari Nina Hadiastuti dan karya penulis adalah fokus kajian, wilayah kajian, dan periodisasi kajian. Fokus kajian Trihapsari Nina Hadiastuti adalah pelaksanaan modernisasi pertanian, sedangkan penulis lebih memfokuskan kajian pada hasil produksi padi. Wilayah kajian Trihapsari Nina adalah wilayah Kecamatan Minggir, salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman, sedangkan penulis menggunakan wilayah yang lebih luas yaitu DIY. Periodisasi kajian Trihapsari Nina Hadiastuti diawali tahun 1970, sedangkan penulis diawali tahun 1968.

(40)

membahas mengenai produksi beras di Delanggu yaitu penanaman padi varietas unggul menggantikan padi lokal di persawahan Delanggu, dan pengaruh usaha peningkatan produksi beras terhadap padi lokal Delanggu. Produksi beras di Delanggu pada 1968-1984 tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Orde Baru dalam meningkatkan produksi beras nasional. Petani Delanggu tidak serta merta mengikuti himbauan pemerintah, tetapi secara bertahap.

Kebijakan pemerintah mengenai peningkatan produksi beras melalui intensifikasi pertanian berpengaruh terhadap petani dan pertanian di Delanggu, yaitu masuknya teknologi pertanian baru, berkurangnya varietas Rojolele di Delanggu, dan ketidakseimbangan ekologi. Pengaruh tersebut juga mempengaruhi kehidupan masyarakat Delanggu khususnya petani. Perbedaan antara karya Dyah Ayu Anggraheni Ikaningtyas dan karya penulis adalah wilayah kajian. Wilayah kajian Dyah Ayu Anggraheni Ikaningtyas adalah wilayah Kecamatan Delanggu, salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah sedangkan penulis menggunakan wilayah DIY.

Penulis menggunakan tesis tahun 2011 karya Nor Huda mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang berjudul Revolusi Hijau dan Gerakan Petani di Magelang Pada Masa Akhir Orde Baru. Gerakan petani di Magelang pada masa

akhir Orde Baru merupakan wujud gerakan yang dilakukan oleh petani terhadap dampak dari Revolusi Hijau. Pertanian organik digunakan sebagai ideologi gerakan, yang di dalamnya mengandung nilai-nilai kebebasan, kemandirian, dan keseimbangan

(41)

Kemerdekaan petani yang digagas dengan ideologi pertanian organik pada kenyataannya tidak berjalan sesuai dengan harapan. Gerakan pertanian organik secara ekonomi politik dapat dikatakan gagal. Hambatannya bukan lagi terletak pada kebijakan pemerintah, tetapi mentalitas petani sendiri yang sudah berubah menjadi petani rasional, dalam arti petani modern. Perbedaan antara karya Nor Huda dengan karya penulis adalah wilayah kajian dan periodisasi kajian. Wilayah kajian Nor Huda adalah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah sedangkan penulis menggunakan wilayah DIY. Periodisasi kajian Nor Huda adalah masa akhir Orde Baru, sedangkan periodisasi yang akan dikaji dalam skripsi ini adalah tahun 1968-1984.

G. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode sejarah merupakan cara untuk merekonstruksi peristiwa masa lampau. Sejarah sebagai disiplin ilmu mempunyai metode dalam mengungkapkan peristiwa masa lalu agar menghasilkan karya sejarah yang ilmiah dan objektif. Penulisan ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.21

a. Heuristik

Pengumpulan bahan-bahan memerlukan kemampuan berpikir dan strategi untuk mendapatkan sumber sejarah yang relevan. Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw material) sejarah yang mencakup

21 Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid,

(42)

segala macam bukti atau evidensi yang telah ditinggalkan manusia yang menunjukkan segala aktivitasnya di masa lalu baik berupa tulisan maupun lisan.22 Penulis pada tahap ini berusaha mengumpulkan sumber primer dan sumber sekunder.

Sumber primer dan sumber sekunder diperoleh melalui penelusuran di Laboratorium Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial UNY, Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Pedesaan dan Kawasan UGM, Yogyakarta, dan Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jogja Library Center, dan Perpustakaan Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP). Sumber lisan yang akan diperoleh melalui metode wawancara (interview) dengan informan terkait yang dapat memberikan informasi sesuai dengan judul yang dikaji.

1) Sumber primer

Sumber primer berisi kesaksian seseorang dalam peristiwa sejarah yang bersangkutan.23 Sumber primer dapat dikatakan sebagai bukti yang sezaman dengan peristiwa yang terjadi. Sumber primer terdiri dari prasasti, manuskrip, transkripsi, rekaman pita, arsip, surat, koran, buku harian, sertifikat, peta, diagram, katalog, dan laporan penelitian. Jenis sumber primer yang digunakan dalam skripsi ini adalah sumber lisan (wawancara) dan arsip.

22 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 75.

(43)

a) Sumber lisan

Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengumpulkan data keterangan tentang peristiwa yang diteliti. Wawancara merupakan metode utama dalam observasi. Teknik wawancara dipergunakan untuk tujuan tertentu, dari wawancara akan didapatkan keterangan dari seorang informan. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang berfokus sehingga didapat informasi yang cukup mendalam. Wawancara yang dilakukan untuk penyempurnaan skripsi ini dilakukan kepada petani yang terdapat di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul (lihat lampiran 1).

b) Arsip

Biro Pusat Statistik Daerah Istimewa Jogjakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Jogjakarta Tahun 1968 Bagian II, Jogjakarta: Biro Pusat Statistik, 1969.

Biro Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1969 Bagian II, Yogyakarta: Biro Pusat Statistik, 1970.

Biro Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1970 Bagian II, Yogyakarta: Biro Pusat Statistik, 1971.

Biro Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972 Bagian II, Yogyakarta: Biro Pusat Statistik, 1973.

Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 Bagian I, Yogyakarta: Kantor Statistik, 1979.

(44)

Pusat Pengolahan Data Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta Dalam Trend Statistik 1982-1986, Yogyakarta: Pusat Pengolahan Data, 1985.

2) Sumber Sekunder

Sumber sekunder merupakan sesuatu yang ditulis oleh sejarawan dengan menggunakan sumber primer. Sumber sekunder berisi kesaksian seseorang yang tidak hadir, namun melaporkan kejadian berdasarkan kesaksian orang lain dalam peristiwa sejarah yang bersangkutan.24 Sumber sekunder digunakan untuk memperdalam pemahaman mengenai latar belakang sumber-sumber atau arsip yang sezaman. Sumber tersebut terdiri dari karya-karya sejarah, seperti buku sejarah, dan karya ilmiah sejarah (skripsi, tesis, dan disertasi). Sumber sekunder yang digunakan dalam skripsi ini adalah:

Achmad Saubari, dkk, Presiden Soeharto dan Pembangunan Pertanian, Jakarta: Citra Media Persada, 1992.

Ahmad Nashih Luthfi, dkk, Pemikiran Agraria Bulaksumur: Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto, Yogyakarta: Sains Sajogyo Institute, 1980.

Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, Jakarta: Kompas, 2009.

Biro Pusat Statistik, Peta Konsumsi Pangan di Indonesia 1981, Jakarta: Biro Pusat Statistik, 1981.

Frans Husken, Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa, 1830-1980, Jakarta: PT Gramedia, 1998.

Hohnholz, Jurgen H., Geografi Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986.

(45)

Kantor Pusat Data Propinsi DIY, Monografi DIY Tahun 1979, Yogyakarta: Kantor Pusat Data, 1981.

Kaslan A. Tohir, Pengantar Ekonomi Pertanian, Bandung: Vorkink-Van Hoeve Gravenhage, t.t.

Mubyarto, Masalah Beras di Indonesia, Yogyakarta: Lembaga Penelitian Ekonomi FEB UGM, 1975.

Mubyarto,Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: LP3ES, 1973.

Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Pertumbuhan dan Pemerataan dalam Pembangunan Pertanian, Jakarta: PERHEPI, 1983.

Saafroedin Bahar, dkk, 50 Tahun Indonesia Merdeka: Selayang Pandang Hasil-hasil Pembangunan dalam Pelita I-Pelita V, Jakarta: Sekretariat Negara, 1997.

Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982.

Sri Widodo, Efficiency of Rice Farmers in Java Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988.

Widjojo Nitisastro,Pengalaman Pembangunan Indonesia:Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010.

b. Kritik Sumber

Kritik terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan sangat dibutuhkan untuk menguji kebenaran atau ketepatan (akurasi) sehingga karya sejarah merupakan produk dari suatu proses ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Kritik sumber dalam metode sejarah dilakukan dengan cara melakukan kritik eksternal dan kritik internal.

(46)

menguji kandungan data dalam sumber yang lebih menekankan “aspek-aspek dalam” yaitu isi dari sumber kesaksian (testimoni) untuk diperoleh fakta sejarah, sehingga fakta sejarah yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian sejarah. Kritik sumber mutlak dilakukan untuk menghindari unsur subjektivitas.

c. Interpretasi

Interpretasi terdiri atas interpretasi analitis dan sintesis. Interpretasi analitis adalah proses penguraian fakta-fakta yang terkandung dalam sumber sejarah, sedangkan interpretasi sintesis adalah proses penyatuan fakta-fakta yang terkandung dalam sumber sejarah. Peneliti harus memiliki kemampuan yang baik dalam mengangkat dan menguraikan sebab-akibat peristiwa yang dikaji. Tahap ini seringkali diwarnai oleh subjektivitas, padahal interpretasi tidak dapat dihilangkan dalam memahami suatu peristiwa sejarah.

d. Historiografi

(47)

2. Pendekatan Penelitian

Tulisan sejarah yang melibatkan penelitian suatu gejala sejarah dengan jangka yang relatif panjang (aspek diakronis) dan melibatkan penelitian aspek ekonomi, masyarakat atau politik (aspek sinkronis) memakai pendekatan ilmu-ilmu sosial.25 Pendekatan penelitian digunakan untuk mempermudah pembaca dalam memahami hasil penelitian. Pendekatan penelitian dengan bantuan ilmu-ilmu bantu akan mempermudah penulis dalam proses penelitian sehingga hasil penelitian lebih relevan.26 Pendekatan penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah pendekatan ekonomi dan pendekatan sosial, antara lain sebagai berikut:

a. Pendekatan Ekonomi

Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikosnamos atau oikonomia yang artinya manajemen urusan rumah tangga, khususnya penyediaan administrasi pendapatan.27Ilmu ekonomi menurut Samuelson dan Nordhaus adalah studi tentang perilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumber daya yang langka dan memilih beberapa alternatif penggunaan dalam rangka memproduksi berbagai komoditas, kemudian menyalurkan untuk saat ini dan masa depan kepada berbagai individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat. Ilmu ekonomi merupakan suatu

25Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Pustaka, 1995), hlm. 117.

26 Sartono Kartodirdjo,

Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 3.

27Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial:

(48)

disiplin tentang aspek-aspek ekonomi dalam tingkah laku manusia yang mengkaji peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat. Tujuan dari ilmu ekonomi adalah mencari pengertian tentang hubungan kausal maupun fungsional dan menguasai masalah-masalah ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat.

Penulis menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis hubungan antara masalah pertanian dan kesejahteraan yang merupakan bidang kajian dari ilmu ekonomi yaitu ekonomi kesejahteraan dan ekonomi pertanian. Teori Paretian dalam ekonomi kesejahteraan menyatakan bahwa suatu kebijakan pada umumnya memberi keuntungan dan kerugian, sehingga peningkatan kesejahteraan tidak hanya merasakan kerugian ataupun keuntungan saja.28 Ekonomi pertanian memiliki masalah pokok yaitu memaksimalkan keuntungan pada setiap petani yang memiliki sumber daya dan teknologi tertentu dalam lingkungan ekonomi yang ditandai dengan kompetisi sempurna di semua pasar input dan outputnya.

b. Pendekatan Sosiologi

Istilah sosiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu socius dan logos. Socius berarti kawan, berkawan, ataupun bermasyarakat, sedangkan logos berarti ilmu atau dapat juga berbicara tentang sesuatu. Sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat. Pitirim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu tentang hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial. Penulis menggunakan pendekatan sosiologi untuk

(49)

menganalisis pengaruh yang ditimbulkan dari adanya penerapan modernisasi pertanian terhadap sosial ekonomi petani. Modernisasi pertanian merupakan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi beras secara langsung berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi petani. Perubahan dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian modern tidak hanya mempengaruhi produksi pertanian saja, tetapi turut mempengaruhi kehidupan sosial petani khususnya petani di pedesaan.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi yang berjudul “Modernisasi Pertanian dan Pengaruhnya terhadap Sosial Ekonomi Petani di DIY Tahun 1968-1984” terdiri atas lima bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, historiografi yang relevan, metode penelitian dan pendekatan penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH DIY

Bab ini menjelaskan gambaran umum wilayah DIY yaitu, keadaan geografis, keadaan penduduk, dan kondisi pertanian.

BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN

PRODUKSI PADI DI DIY

(50)

modernisasi pertanian, dan pengaruh modernisasi pertanian terhadap produksi padi.

BAB IV PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM

MENINGKATKAN PRODUKSI PADI TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI DI DIY

Bab ini menjelaskan pengaruh modernisasi pertanian terhadap sosial ekonomi petani di DIY, yaitu pengaruh dalam bidang sosial dan pengaruh dalam bidang ekonomi.

BAB V KESIMPULAN

(51)

26 A. Keadaan Geografis

Daerah Istimewa Yogyakarta secara astronomis terletak antara 7o 30’-8o15’ LS dan 110o-110o50’ BT,1 secara geografis terletak di tengah Pulau Jawa bagian selatan, dan secara geologis termasuk zone tengah dan selatan dari propinsi geologi Jawa Tengah dan Jawa Timur.2 Bentuk keseluruhan wilayah DIY menyerupai segitiga dengan puncak disebelah utara yaitu Gunung Merapi yang memiliki ketinggian 2.911 meter.

DIY berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri di sebelah tenggara, Kabupaten Klaten di sebelah timur laut, Kabupaten Magelang di sebelah barat laut, Kabupaten Purworejo di sebelah barat, dan Lautan Indonesia di sebelah selatan. Luas wilayah DIY adalah 3.185,81 km2, terbagi dalam daerah kotamadya dan empat kabupaten yaitu Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul yang masing-masing memiliki wilayah administratif (lihat lampiran 2).

Kotamadya Yogyakarta terletak pada 7o49’26’’-7o50’84’’ LS dan 110o23’79’’-110o8’53’’ BT.3 Kotamadya Yogyakarta berada pada ketinggian 114 m di atas permukaan laut. Kotamadya Yogyakarta memiliki luas wilayah 32,50

1 Soemargono, Profil Propinsi Republik Indonesia:

Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992), hlm. 44.

2 Kantor Pusat Data Propinsi DIY, Monografi DIY Tahun 1979, (Yogyakarta: Kantor Pusat Data, 1981), hlm. 3.

(52)

km2 terdiri dari 14 kecamatan, 45 kelurahan, 617 RW (Rukun Warga), dan 2.532 RT (Rukun Tetangga).4 Wilayah Kotamadya Yogyakarta berbatasan dengan Kabupaten Sleman di sebelah utara, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul di sebelah barat, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul di sebelah timur, dan Kabupaten Bantul di sebelah selatan (lihat lampiran 3).

Kabupaten Sleman terletak pada 7o34’51’’-7o47’03’’ LS dan 107o 15’03-110o28’30’’ BT.5 Kabupaten Sleman berada pada ketinggian 130-1.200 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian selatan merupakan tanah dataran dengan ketinggian 130 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian tenggara yang meliputi Kecamatan Prambanan dan Kecamatan Brebah merupakan tanah berbukit dengan ketinggian 140-145 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian barat daya berada pada ketinggian 140 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian timur berada pada ketinggian 200-600 m di atas permukaan laut. Kabupaten Sleman bagian utara yang merupakan daerah terjal berada pada ketinggian 600-1.200 m di atas permukaan laut.6 Kabupaten Sleman memiliki luas wilayah 547,82 km2 yang terdiri dari 17 kecamatan dan 86 kelurahan. Wilayah Kabupaten Sleman berbatasan dengan Kabupaten Magelang

4 Djoko Suryo, “Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990, dalam Freek Colombijn, Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia Sesudah dan Sebelum Kemerdekaan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005), hlm. 2.

5 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Sleman, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 6.

(53)

dan Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Klaten disebelah timur, Kabupaten Kulonprogo di sebelah barat, serta Kabupaten Bantul dan Kotamadya Yogyakarta di sebelah selatan (lihat lampiran 4).

Kabupaten Bantul terletak pada 14o4’50’’-14o37’50’’ LS dan 110o18’40’’-110o34’40’’ BT.7Kabupaten Bantul berada pada ketinggian 100 m di atas permukaan laut.8Kabupaten Bantul memiliki luas wilayah 506,85 km2 terdiri dari 17 kecamatan dan 75 kelurahan. Wilayah Kabupaten Bantul berbatasan dengan Kotamadya Yogyakarta di sebelah utara, Kabupaten Kulon Progo di sebelah barat, Kabupaten Gunungkidul di sebelah timur, dan Lautan Indonesia di sebelah selatan9(lihat lampiran 5).

Kabupaten Kulon Progo terletak pada 7o50’ LS dan 3o208’ BT.10 Kabupaten Kulon Progo berada pada ketinggian 160-583 di atas permukaan laut. Kabupaten Kulon Progo bagian utara dan sebagian sebelah barat yang membujur ke selatan yang merupakan bagian dari Pegunungan Menoreh memiliki ketinggian 160-572 m di atas permukaan laut. Kabupaten Kulon Progo bagian selatan dan timur yang berada di sebelah barat Sungai Progo merupakan daerah landai yang memiliki ketinggian sekitar 583 m di atas permukaan laut.11 Kabupaten Kulon

7 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Bantul, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 1.

8Sutrisno Kutoyo,op.cit., hlm. 37.

9Biro Hubungan Masyarakat,op.cit., hlm. 1.

10 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Kulon Progo, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 9.

(54)

Progo memiliki luas wilayah 586,28 km2 terdiri dari 12 kecamatan dan 88 kelurahan. Wilayah Kabupaten Kulon Progo berbatasan dengan Kabupaten Magelang di sebelah utara, Kabupaten Purworejo di sebelah barat, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul di sebelah timur, dan Samudra Hindia di sebelah selatan (lihat lampiran 6).

Kabupaten Gunungkidul terletak pada 7o58’ LS dan 110o36’ BT.12 Kabupaten Gunungkidul berada pada ketinggian 100-700 m di atas permukaan laut. Kabupaten Gunungkidul bagian utara (zone utara) berada pada ketinggian 200-700 m di atas permukaan laut. Kabupaten Gunungkidul bagian tengah (zone tengah) atau yang dikenal dengan Ledok Wonosari berada pada ketinggian 150-300 m di atas permukaan laut. Kabupaten Gunungkidul bagian selatan (zone selatan) atau yang dikenal dengan Gunung Seribu merupakan daerah berbukit dan berbatu karang yang berada pada ketinggian 100-300 m di atas permukaan laut.13 Wilayah Kabupaten Gunungkidul memiliki luas wilayah 1485,36 km2terdiri dari 13 kecamatan dan 144 kelurahan. Wilayah Kabupaten Gunungkidul berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah utara, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman di sebelah barat, Kabupaten Wonogiri di sebelah timur, dan Samudra Hindia di sebelah selatan (lihat lampiran 7).

12 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Gunungkidul, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t), hlm. 1.

(55)

Iklim adalah suatu keadaan yang menggambarkan suasana mengenai udara dan cuaca di sebuah wilayah dalam kurun waktu tertentu.14 Iklim meliputi temperatur, kecepatan angin, kelembaban udara, dan curah hujan. Temperatur harian di wilayah DIY berkisar 26,68o C dengan rata-rata maksimum 30,48o -33,6oC dan rata-rata minimum 21,1o-23,0oC.15 Kecepatan angin sekitar 5-16 knot per jam (2,57-8,22 m/detik). Kelembaban udara di wilayah DIY berkisar antara 73%-77% dengan maksimum 95%-97% dan minimum 43%-45%. Curah hujan tahunan di wilayah DIY berdasarkan Peta Isohyet rata-rata berkisar dari 1500-3500 mm.

Hidrologi di wilayah DIY terdiri dari hidrologi sungai dan air tanah yang berfungsi sebagai irigasi pertanian dan keperluan sehari-hari penduduk. DIY dialiri oleh beberapa sungai besar yang melewati Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Bantul serta langsung bermuara ke Lautan Indonesia. Sungai tersebut antara lain, Sungai Progo, Sungai Oyo dan Sungai Opak16 yang tergolong sungai besar berdasarkan luas daerah pengalirannya. Sungai Progo dengan daerah pengaliran yang berasal dari Pegunungan Kulon Progo, Gunung Merapi, dan lainnya terletak di luar DIY memiliki luas daerah pengaliran sebesar 69.460 ha. Sungai Opak dengan daerah pengaliran Sungai Oyo yang berasal dari Pegunungan Selatan dan daerah pengaliran yang berasal dari

14 Desi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amalia, 2003), hlm. 177.

(56)

lereng selatan Gunung Merapi memiliki luas daerah pengaliran sebesar 50.830 ha, sementara Sungai Oyo memiliki luas daerah pengaliran sebesar 72.710 ha.

Tanah dalam kaitannya dengan pertanian memiliki fungsi yang sangat penting karena tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman pertanian. Tingkat kesuburan tanah sangat mempengaruhi produktivitas tanaman pertanian. Jenis-jenis tanah yang ada di wilayah DIY pada umumnya adalah tanah yang subur sehingga sangat memungkinkan untuk dijadikan area persawahan. Jenis tanah yang terdapat di beberapa kabupaten di DIY memiliki sifat, kesuburan, dan kemampuan yang berbeda-beda. Jenis tanah yang ada di wilayah DIY antara lain, rendsina, mediteran, regosol, kambisol, aluvial, gleisol, latosol, dan gromusol.17

Keadaan geografis di suatu daerah pada dasarnya merupakan faktor utama atas berlangsungnya kehidupan manusia, salah satunya adalah bidang pertanian. Pertanian di DIY sangat dipengaruhi oleh keadaan geografisnya seperti iklim, kelembaban udara, hidrologi, dan jenis tanah yang telah dijelaskan diatas. Pertanian di DIY telah dimulai sejak masa prasejarah ketika masyarakatnya masih bersifat primitif. Pertanian hanya dilakukan dengan cara yang sederhana yaitu dengan mencari dan mengumpulkan bahan makanan dari beberapa tempat.

Perkembangan masyarakat yang semakin maju menyebabkan kemajuan pertanian. Pertanian mulai dilakukan dengan cara menanam padi sehingga masyarakat tidak perlu lagi mencari dan mengumpulkan bahan makan dari beberapa tempat. Penanaman padi di DIY telah dimulai pada masa Kerajaan

(57)

Mataram.18 Denys Lombard menyebutkan kepemilikan sawah di Kerajaan Mataram tidak hanya dikuasai oleh raja, tetapi para bangsawan berhak mengelola lahan yang kemudian dikerjakan oleh rakyat biasa.19

Kondisi produksi padi pernah dicatat oleh Residen Yogyakarta yaitu Matthias Waterloo pada tahun 1804.20 Matthias Waterloo mengatakan bahwa produksi padi pada masa itu lebih baik daripada 20 tahun sebelumnya. Thomas Stamford Raffles seorang Gubernur Jenderal yang pernah berkuasa di Jawa pada tahun 1811-1816, juga mengatakan dalam sebuah tulisan bahwa sedikit sekali negeri yang rakyatnya dapat makan nasi dengan baik seperti di Jawa. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kondisi produksi padi di Yogyakarta pada masa itu dapat dikatakan baik. Padi adalah tanaman penting bagi Kesultanan Yogyakarta, karena tanaman tersebut merupakan komoditi ekspor utama, selain produk lainnya seperti tembakau, kain, dan batik.21

Penanaman padi di DIY juga tidak terlepas dari inovasi Pemerintah Jepang khususnya di bidang pertanian rakyat.22 Pemerintah Jepang mencoba

18 Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 24.

19 Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), hlm. 45.

20Ibid.

21Ibid.

(58)

memperkenalkan sistem penanaman bergaris23 sebagai teknik penanaman padi yang lebih baik. Pemerintah Jepang juga memperkenalkan pupuk kompos yang terbuat dari guguran daun, kotoran hewan, dan sampah-sampah yang dimasukkan ke dalam tanah, diairi, dan ditutup selama beberapa hari. Bibit padi yang diimpor dari Taiwan merupakan bibit padi unggul yang diperkenalkan oleh Pemerintah Jepang. Bibit tersebut dapat menghasilkan padi yang baik dan bisa dipanen sebanyak tiga kali dalam rentang waktu satu tahun, padahal dalam sistem tradisional padi hanya bisa dipanen sebanyak dua kali.24

Pertanian di DIY termasuk pertanian yang telah maju sehingga sistem pertanian yang diterapkan adalah sistem pertanian menetap (sedentary). Pertanian yang telah maju dilakukan secara teratur dan dicirikan oleh peralatan besi yang cukup seperti cangkul, bajak, dan traktor.25 Sistem pertanian menetap berbeda dengan sistem pertanian berpindah (shifting) yang dilakukan oleh pertanian primitif. Sistem pertanian menetap hanya mengolah tanah pada satu tempat yang telah ditentukan dan dilakukan secara berkelanjutan.

Pertanian di DIY termasuk dalam pertanian rakyat sehingga pola penggunaan tanahnya terdiri dari sawah, ladang atau tegalan, pekarangan, hutan,

23 Sistem penanaman bergaris dilakukan dengan membuat suatu jalur penanaman yang ditentukan dengan merentangkan tali pada kedua sisi sawah, kemudian bibit padi ditanam menurut jarak yang sudah ditentukan. Sistem tersebut membutuhkan sedikit bibit dan tenaga kerja daripada yang dipakai dalam sistem tradisional.

24 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), hlm. 189.

25Johara T. Jayadinata,

(59)

dan lain-lain. Sawah merupakan tanah yang diusahakan dan diberi pengairan untuk menanam padi. Sawah menurut jenis pengairannya terdiri dari sawahtadah hujan26 dan sawahoncoran.27Sawahtadah hujanbiasanya berada di daerah yang tidak memiliki pasokan air yang cukup untuk mengairi sawah, sehingga hanya dapat bergantung pada musim hujan.28Sawahtadah hujandi DIY banyak terdapat di Kabupaten Bantul, Kulon Progo, Kabupaten dan Gunungkidul. Sawahoncoran biasanya berada di daerah yang memiliki pasokan air yang cukup untuk mengairi sawah. Sawahoncorandi DIY banyak terdapat di Kabupaten Sleman.29

Pengairan diurus oleh pamong desa yang ada di setiap kelurahan. Pamong desa yang bertugas mengurus pengairan biasanya disebut denganulu-ulu. Pengairan sawah di DIY terutama di daerah pedesaan juga diurus oleh pamong desa atau perabot desa.30 Pengairan untuk sawah selain melalui sistem tadah hujan dan oncoran, dapat juga diperoleh melalui pengairan teknis. Pengairan teknis mulai diadakan di DIY sekitar tahun 1960-an. Pengairan teknis merupakan pengairan yang diperoleh dari sistem irigasi teknis, yaitu terdapat pemisahan antara saluran pemberi dan saluran pembuang dalam jaringan irigasinya agar

26 Sawah tadah hujan adalah sawah yang pengairannya berasal penampungan, penyebaran dan perluasan air hujan.

27 Sawah oncoran adalah sawah yang pengairannya berasal dari saluran irigasi seperti sungai dan selokan.

28Johara T. Jayadinata, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah, (Bandung: ITB, 1986), hlm. 71.

29Depdikbud, Adat Istiadat Daerah Istimewa DIY, (Jakarta: Depdikbud, 1976), hlm. 41.

(60)

penyediaan dan pembagian air dapat diatur dengan mudah. Jaringan irigasi teknis terdiri dari saluran induk yaitu saluran air sekunder dan saluran air tersier yang dibangun serta dipelihara oleh Dinas Pengairan atau Pemerintah.31

Sawah sebagai lahan pertanian dilakukan dalam beberapa tahap pengerjaan, antara lain pengolahan sawah, penanaman, pemeliharaan tanaman, pengambilan hasil tanaman, dan pengolahan hasil tanaman. Pengolahan sawah merupakan tahap awal pengerjaan lahan persawahan. Pengolahan sawah dilakukan dengan cara mengolah tanah yaitu membalik lapisan tanah kemudian diberi pupuk agar tanah memiliki kualitas yang baik sehingga siap untuk ditanami. Penanaman dilakukan setelah tahap pengolahan sawah. Penanaman biasanya dilakukan dengan cara menanam bibit tanaman yang akan ditanam pada lapisan tanah yang telah diolah dan diberi pupuk. Penanaman memerlukan alat pertanian sepertikuali,dandang,tombong,gembor,besek,ember, dangayung.

Pemeliharaan tanaman dilakukan setelah tahap penanaman. Pemeliharaan biasanya dilakukan dengan cara memberi pupuk dan obat pada tanaman agar terhindar dari hama dan penyakit. Pemeliharaan tanaman memerlukan alat pertanian seperti hand sprayer32 yang berfungsi sebagai alat penyemprot obat tanaman. Pengambilan hasil tanaman dilakukan setelah tahap pemeliharaan tanaman. Pengambilan hasil tanaman biasanya dilakukan dengan mengambil atau memetik tanaman yang sudah siap untuk dipanen. Pengambilan

31 Isni Herawati dan Sumintarsih, Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannnya di Daerah Istimewa DIY, (Jakarta: Depdikbud, 1989), hlm. 63.

(61)

hasil tanaman memerlukan alat pertanian seperti sabit, keronjot (karung plastik), klehtek (gerobak kecil), grobog, dan genthong. Pengolahan dilakukan setelah tahap pengambilan hasil tanaman. Pengambilan hasil tanaman memerlukan alat pertanian seperti blungkang (pelepah daun kelapa), threser (alat perontok padi modern),hullerataurice milling unit, lumpang, danalu.

Ladang merupakan bagian dari lahan pertanian yang ada di DIY. Ladang atau tegalan adalah tanah yang diusahakan untuk menanam tanaman selain tanaman pangan, misalnya tanaman palawija dan tanaman sampingan lainnya tanpa dialiri air. Geertz menyebutkan tiga ciri pokok perladangan yaitu perladangan pada tingkat umum dicapai dengan meniru hutan tropis, kualitas yang tinggi antara zat makanan yang tersimpan dalam bentuk hidup dan dalam tanah, serta ladang dan hutan mengikuti arsitektur umum yaitu berstuktur pelindung tertutup.33 Gourou menyebutkan ciri-ciri ladang antara lain, diusahakan di tanah tropis yang gersang, teknik pertanian yang sederhana tanpa menggunakan alat kecuali kampak, kepadatan penduduk rendah, dan tingkat konsumsi rendah.

Otto Soemarwoto seorang ahli ekologi mengatakan sistem perladangan ditandai dengan munculnya kerusakan hutan, erosi, banjir, dan kekeringan tanah. Zein mengatakan ladang sebagai suatu kegiatan ekonomi yang mempunyai akibat ekstern dan tidak tercermin di dalam harga produksi.34 Ladang memiliki persamaan dengan pekarangan dan hutan. Persamaan antara ketiganya adalah

33 Handojo Adi Pranowo, Manusia dan Hutan:

Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi, (DIY: Gadjah Mada University, 1985), hlm. 33.

(62)

tidak diberi pengairan secara khusus. Pola perladangan dilakukan dalam beberapa tahap pengerjaan, yaitu memilih tempat, menebas, menebang, membakar dan membersihkan, menanam, mendangir, menjaga dan mengetam.35

Tahap memilih tempat, menebas, menebang, membakar dan membersihkan pada masa sekarang sudah tidak dilakukan lagi, mengingat sistem pertanian yang digunakan pada masa sekarang adalah sistem pertanian menetap (sedentary), sehingga tahap yang dilakukan hanya menanam, mendangir, dan mengetam. Menanam dilakukan dengan cara membuat lubang di dalam tanah ±5 cm dengan menggunakan gejlig.36 Tahap selanjutnya setelah menanam adalah mendangir. Mendangir dilakukan dengan membalik lapisan tanah dengan menggunakan pacul (cangkul) agar mempercepat proses pembusukan dari dedaunan dan juga mematikan rumput-rumput liar yang mengganggu pertumbuhan tanaman.37 Tahap selanjutnya setelah mendangir adalah mengetam. Mengetam dilakukan dengan memetik hasil tanaman yang telah siap panen.

Pekarangan merupakan tanah yang diusahakan untuk menanam tanaman selain padi. Pekarangan dapat juga disebut sebagai kebun kecil yang biasanya terdapat di sekitar rumah. Jenis tanaman yang ditanam di pekarangan adalah sayur-sayuran, buah-buahan, bumbu, atau tanaman lain yang diperlukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Pekarangan juga dapat ditanami tanaman

umbi-35Handojo Adi Pranowo,op.cit., hlm. 35.

36 Gejlig adalah potongan kayu yang runcing di bagian ujungnya, memiliki diameter ± 7 cm dan digunakan untuk membuat lubang di dalam tanah.

(63)

umbian seperti berbagai jenis ubi dan singkong.38 Hutan adalah tanah yang diusahakan untuk ditanami pohon-pohon tertentu. Hutan terdiri dari hutan lindung yang biasanya dilindungi dan dirawat oleh pemerintah melalui Dinas Kehutanan, sedangkan hutan liar merupakan hutan yang keberadaannya tidak dilindungi dan dirawat. Hutan dibuat untuk kegunaan tertentu yaitu mencegah bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.

[image:63.595.112.515.393.591.2]

Pola penggunaan tanah di DIY pada dasarnya memiliki kesamaan dengan pola penggunaan tanah di provinsi lain, namun yang membedakan adalah proporsi penggunaan dari setiap jenis lahan pertanian. Hal itu disebabkan oleh keadaan geografis yang berbeda di setiap kabupaten yang ada di DIY.

Tabel 1

Pola Penggunaan Tanah di DIY (dalam hektar)

Penggunaan Tanah

Kotamadya/Kabupaten

Yogyakarta Sleman Bantul Kulon

Progo Gunungkidul

Sawah 543 27.387 17.769 7.746 11.043,34

Tegalan 42 6.915 6.428 84.093 28.047,81

Pekarangan 1,447 16.110 18.092 24.493 10.797,19

Hutan - 1.545 918,4 13.378 1.021,10

Lain-lain 101.9 5.609 7.477,6 18.826 7.718,10

Sumber: Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupatn Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul, hlm. 1.

Pola penggunaan tanah di DIY paling besar digunakan untuk tanah tegalan yaitu seluas 125.525,81 ha, kemudian untuk tanah pekarangan seluas 69.493,637 ha, tanah persawahan seluas 64.488,34 ha, tanah lain-lain se

Gambar

Tabel 1Pola Penggunaan Tanah di DIY
Tabel 2Jumlah Penduduk DIY Menurut Kotamadya/Kabupaten
Tabel 3
Tabel 4Persentase Penduduk DIY menurut Kotamadya/Kabupaten
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Nilai Tukar Rupiah, Harga Kopi Internasional dan Produksi Kopi Domestik dengan variabel terikat yaitu Volume Ekspor

Nilai gaya geser setiap lantai didapat dari hasil pemodelan struktur dengan menggunakan program analisis struktur dengan cara Run – Display – Story Respon Plot

20 lebih bisa dikembangkan dan dapat digunakan sebagai Sistem Pendukung Keputusan (SPK) membantu menentukan kelayakan kredit pinjaman yang akurat dan memberi

Konsep pembelajaran (belajar-mengajar) dan pengajaran dapat diperdebatkan, atau diabaikan saja yang penting makna dari keduanya. Konsep-konsep tersebut dapat dipandang

Penelitian selanjutnya akan lebih baik jika mempertimbangkan ukuran perusahaan, melakukan pengamatan yang lebih mendalam terhadap kepemilikan manajerial dan

Hasil penelitian yang telah peneliti lakukan menunjukkan bahwa strategi yang digunakan oleh kepala madrasah MTs Islamiyah Medan dalam meningkatkan budaya disiplin

“Metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya

Hasil percobaan menunjukkan tingkat naungan dan cekaman air berpengaruh nyata pada beberapa variabel pengamatan, yaitu Laju Pertumbuhan Relatif, bobot segar, bobot kering, dan