• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Novel ‘Ginko’ adalah novel karya Jun’ichi Watanabe yang menggambarkan keadaan sejarah Jepang para awal zaman Meiji yang berkisar tahun 1870-1913, terutama kehidupan masyarakat pada zaman itu. Khususnya adalah kehidupan kaum wanita Jepang di masa ini serta kedudukan wanita dari segi peran sosialnya.

2. Melalui novel ‘Ginko’ dapat diketahui bagaimana kedudukan dan status wanita dalam masyarakat Jepang pada saat itu. Wanita di zaman Meiji sebenarnya sudah memperoleh persamaan hukum dengan pria dan tidak boleh diadakan diskriminasi dalam hubungan politik, ekonomi atau sosial berdasarkan ras, kepercayaan, gender, status sosial atau keturunan. Namun diskriminasi terhadap wanita tetap terjadi di masa ini, yakni pada tokoh Gin dalam novel ini.

3. Diskriminasi yang dialami oleh Gin terjadi sepanjang hidupnya. Yakni diskriminasi secara marginalisasi. Pemiskinan yang dialami Gin terjadi saat dia kuliah ke Tokyo, sehingga keluarganya tidak lagi menanggung biayanya karena dia seorang wanita. Dan dialaminya juga saat Gin sudah menjadi seorang dokter, keberadaannya sebagai seorang dokter perempuan sudah mengalami kemunduran dan membuat Gin mengalami peminggiran dari arus pekerjaan utamanya.

4. Diskriminasi secara stereotipe juga dialami oleh Gin. Di masa ini masih berlaku anggapan bahwa tugas wanita hanyalah melayani dan mengurus rumah tangga. 5. Diskriminasi secara subordinasi yakni kedudukan wanita yang dianggap lebih

rendah dibandingkan pria yang terjadi dalam sektor pendidikan juga menimpa Gin.

6. Violence atau diskriminasi dalam bentuk kekerasan fisik maupun non fisik juga dialami Gin sebagai kaum wanita.

7. Novel Ginko ini mengungkapkan bahwa malaupun posisi perempuan di zaman Meiji sudah mengalami perubahan dan sudah mendapatkan persamaan hak dengan laki-laki, namun ternyata hal itu tidak bisa terealisasi. Masih ada perempuan di zaman Meiji yang mengalami diskriminasi gender. Hal ini terjadi karena adanya budaya patriarki yang berkembang di masyarakat dan asumsi yang berasal dari kultur dan budaya yang telah terbentuk dan melekat di masyarakat Jepang.

4.2 Saran

1. Bagi siapa saja yang menganalisis sebuah karya sastra, terutama novel yang dilihat dari sisi diskriminasi gendernya, sebaiknya terlebih dahulu harus mengumpulkan referensi bik mengenai novel yang akan diteliti maupun teori- teori pendukung pada penelitian, serta harus mamahami betul konsep gender dan jenis kelamin (sex).

2. Di dalam novel Jepang tentu terdapat unsur kebudayaan Jepang. Sebaiknya untuk dapat memberi pemahaman yang baik terhadap kebudayaan tersebut

mendalam agar tidak terjadi kesalah pahaman khususnya bagi pemabaca yang bukan orang Jepang.

3. Mempelajari bagaimana kedudukan wanita di Jepang juga merupakan hal yang baik, karena tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk belajar dari pengalaman atau sejarah bangsa lain sebagai studi perbandingan yang bisa menajadi dasar kita berpikir dalam membuat kebijakan.

4. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan masukan terhadap pemahaman tentang karya sastra yang ditinjau dari pendekatan perspektif gender.

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL GINKO DAN PENGERTIAN GENDER

2.1 Defenisi Novel

Sebutan novel berasal dari bahasa Italia, yakni novella yang secara harfiah berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa” (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:9). Dalam bahasa Jerman novel disebut novelle dan dalam bahasa Inggris disebut dengan novel, istilah inilah yang kemudian masuk dalam bahasa Indonesia.

Novel merupakan bentuk prosa rekaan yang lebih pendek dari pada roman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:694), novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Prosa dalam kesusastraan juga disebut sebagai karya fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu karya sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995:2).

Menurut Sumardjo (1999:11-12), novel adalah genre sastra yang berupa cerita, mudah dibaca dan dicerna, juga kebanyakan mengandung unsur suspensi dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya. Walau bersifat imajiner namun ada juga karya fiksi atau novel yang berdasarkan dari fakta. Karya fiksi yang demikian oleh Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:4) digolongkan sebagai fiksi nonfiksi (nonfiction fiction) yang terbagi atas (1) fiksi historical / historical fiction atau novel histori, jika menjadi dasar penulisan fakta

sejarah, (2) fiksi biografis / biographical fiction atau novel biografi, jika yang menjadi dasar penulisanfakta biografi seseorang, dan (3) fiksi sains / science fiction atau novel sains, jika yang menjadi dasar penulisannya adalah fakta mengenai ilmu pengetahuan.

Dilihat dari penggolongannya, maka penulis memasukkan novel “Ginko” ini ke dalam novel biografi karena novel ini ditulis berdasarkan fakta biografi seseorang yang dikumpulkan melalui penelitian dari berbagai sumber.

Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu novel populer dan novel serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita, tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Syarat utama sebuah novel adalah menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah membacanya.

1. Novel Populer

Novel populer sering juga disebut sebagai novel pop. Kata pop erat diasosiasikan dengan kata populer. Kayam dalam Nurgiyantoro (1981:82) mengatakan bahwa istilah pop merupakan istilah baru dalam dunia kesusastraan.

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Novel ini menampilkan masalah-masalah yang aktual dan menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara intens dan tidak berusaha meresapi masalah kehidupan, karena akan dapat membuat novel ini menjadi berat dan berubah menjadi novel serius.

Novel populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur dan menceritakan kembali pengalaman itu. Kayam (1981:88) kembali mengungkapkan novel populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.

Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena novel populer memang hanya semata-mata menyampaikan cerita dan tidak berpotensi mengejar efek estetis melainkan memberikan hiburan langsung dari aksi ceritanya.

2. Novel Serius

Berbeda dengan novel populer, novel serius atau novel sastra sanggup memberikan yang serba kemungkinan. Jika ingin memahami novel sastra diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Disamping memberikan hiburan, novel serius juga memiliki tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.

Novel serius biasanya berusaha mengungkap sesuatu yang baru dengan cara yang baru juga. Karena adanya unsur pembaharuan tersebut teks kesastraan menjadi mengesankan. Oleh karena itu, novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat ketinggalan karena pengarang akan berusaha untuk menghindarinya.

Novel sastra menuntut aktifitas pembaca secara lebih serius, menuntut pembaca untuk mengoperasikan daya intelektualnya. Pembaca dituntut untuk ikut merekonstruksikan duduk persoalan masalah dan hubungan antar tokoh. Teks kesastraan sering mengemukakan sesuatu secara implisit sehingga menyebabkan pembaca harus benar-benar mengerahkan konsentrasinya untuk memahami teks cerita. Luxemburg, dkk (1989:6) mengungkapkan jika cerita bertentangan dengan pola harapan pembaca, disamping itu juga memiliki kontras yang ironis, hal ini justru menjadikan teks yang bersangkutan menjadi suatu cerita yang memiliki kualitas kesusastraan.

Stanton (2007:4) menjelaskan bahwa secara implisit maupun eksplisit disebutkan bahwa novel serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu yang berguna untuk kita dan bukan hanya memberi kenikmatan. Faktanya, novel serius dapat memberikan kenikmatan dan memang begitu adanya. Pernyataan ini telah diungkapkan dan dibuktikan oleh banyak orang.

2.2 Setting Novel Ginko

Setiap karya sastra disusun dari unsur-unsur yang menjadikannya sebuah kesatuan. Salah satu unsur yang sangat mempengaruhi keberadaan karya sastra adalah unsur intrinsik. Setting merupakan salah satu unsur intrinsik yang terdapat dalam karya sastra dalam hal ini adalah novel.

Menurut Abraham dalam Nurgiantoro (1995: 216) setting atau latar yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Setting dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: waktu, tempat, dan sosial. Ketiga unsur itu masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya setting berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

Setting berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi sastrawan setting cerita dapat digunakan untuk mengembangkan cerita. Setting cerita dapat digunakan sebagai penjelas tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Sastrawan juga bisa menggunakan setting cerita sebagai simbol atau lambang bagi peristiwa yang telah, sedang, atau akan terjadi. Sastrawan juga bisa menggunakan latar/ setting cerita untuk menggambarkan watak tokoh, suasana cerita atau atmosfer, alur, atau tema ceritanya. Bagi pembaca, latar cerita bisa membantu untuk membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Latar juga bisa membantu pembaca dalam memahami watak tokoh, suasana cerita, alur, maupun dalam rangka mewujudkan tema suatu cerita.

1. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan denngan masalah kapan terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu factual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

Oleh sebab itu dalam kaitannya sebagai latar waktu maka dalam novel ‘Ginko’ karya Jun’ichi Watanabe mengambil setting pada awal zaman Meiji yakni sekitar tahun 1870-1913.

2. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat- tempat dengan nama tertentu, inisia tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Dalam novel ‘Ginko’ mengambil latar tempat di beberapa tempat di Jepang, seperti di Kanto, Tokyo, Kofu, Hokkaido, Sapporo dan lain sebagainya. Peristiwa- peristiwa tersebut terjadi di tempat-tempat seperti di tepi sungai, rumah sakit, asrama mahasiswa, kuil, klinik, gereja dan lain-lain.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyaran kepada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi maupun nonfiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menensgah atau atas.

Sama halnya juga dalam novel “Ginko” ini terdapat ruang lingkup tempat dan waktu sebagai wahana para tokohnya mengalami berbagai pengalaman dalam hidupnya. Setting peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam novel ini seluruhnya terjadi di Jepang dan berlangsung pada tahun 1870-1913.

Pada zaman ini masih dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme yaitu konsep ryousaikenbo yang mengatakan “bahwa seorang perempuan harus menjadi istri yang baik dan ibu yang bijaksana”. Oleh karena itu, bagi para perempuan pada

zaman Meiji seperti Ogino Gin dalam novel ini untuk berpendidikan tinggi dan berprofesi sebagai dokter wanita merupakan hal yang hampir mustahil.

Sebenarnya, ryousaikenbo merupakan awal dari pandangan wanita Jepang modern. Hal ini disebabkan karena sebelum zaman meiji, para wanita hanya berperan sebagai orang melahirkan anak saja serta tidak diperbolehkan mengurus anaknya sendiri. Tetapi sejak konsep ryousaikebo mulai diterapkan pada zaman meiji, wanita pun harus turut berperan aktif dalam mendidik anak. Bahkan, konsep ryousaikenbo ini semakin diperkuat bahwa keluarga dianggap sebagai rumah. Dengan maksud bahwa di dalam rumah para anggota keluarga akan dirawat secara penuh kasih sayang oleh istri atau ibu.

Meskipun wanita Jepang telah mengalami kemajuan pada zaman itu namun, tetap saja dilakukan pemisahan kelas bagi pria dan wanita. Bahkan, pada saat itu pekerjaan bagi wanita Jepang sangat dibatasi serta pendidikan bagi wanita hanya dapat sampai SMU. Sehingga dapat dikatakan bahwa, konsep

ryousaikenbosebagai awal dari dimulainya ketidakadilan atau diskriminasi gender bagi wanita Jepang. Dimana seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak harus secara penuh mengurus rumah tangga dan merawat anak serta patuh terhadap segala keputusan suami.

Atas dasar konsep ryousaikenbo ini wanita Jepang harus dapat berperan sebagai istri yang baik dan mengatur keadaan rumah dan melayani kebutuhan keluarga terutama suami dan dapat juga bereran sebagai ibu yang bijaksana dalam menyerahkan diri sepenuhnya untuk mendidik anak. Sehingga kedua hal tersebut menjadi prioritas utama

Tidak peduli bagaimanapun terdidiknya perempuan kelas menengah tapi mereka tidak ada peluang di dalam masyarakat untuk menggunakan pendidikan mereka dalam berbagai cara yang efektif. Seperti halnya, Gin yang hidup di zaman Meiji yakni zaman dimana perempuan susah untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut karena ada paham dalam masyarakat yakni paham yang menganggap bahwa wanita harus tinggal di rumah dan tugas wanita yaitu urusan rumah tangga dan merawat anak dan suami. Sehingga Gin harus berjuang untuk bisa kuliah dan menjadi dokter wanita pertama.

2.3 Biografi Jun’ichi Watanabe

Jun’ichi Watanabe dilahirkan di Hokkaido, Jepang, pada tahu 1933. Dia mulai tertarik menulis saat menempuh sekolah menengah. Ketika menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Sapporo, dia bereksperimen dengan tulis menulis dan mulai mempublikasikan tulisannya di sejumlah majalah sastra.

Setelah lulus sebagai dokter, dia membuka praktik sebagai ahli bedah ortopedi, tapi kemudian dia mengundurkan diri dan hijrah ke Tokyo untuk menekuni dunia kepenulisan. Sejal tahun 1969, dia merintis karir sebagai penulis seutuhnya

Sejumlah karyanya berupa novel biografis dan terkadang berlatar dunia kedokteran. Selain Hanauzumi yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa termasuk Indonesia yang judulnya menjadi Ginko, novelnya yang populer adalah Shitsuraken (A Lost Paradise) yang menjadi buku laris di Jepangdan berbagai negara di Asia. Dia telah menulis lebih dari 50 novel dan banyak diantaranya yang telah difilmkan.

Dia juga meraih sejumlah penghargaan dalam bidang sastra dan kepenulisan, antara lain hadiah Naoki 1970 untuk novel Hikari to kage dan hadiah Eiji Yoshikawa tahun 1979 untuk novel Toki rakujitsu.

2.4 Pengertian Gender 2.4.1 Konsep Gender

Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Perbedaan ini sangat penting, karena selama ini sering kali mencampur adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrat dan bukan kodrat (gender).

Kata gender sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau perbedaan jenis kelamin (Sugiarti, 2008: 4). Untuk memahami kata gender, harus dibedakan dengan kata seks atau jenis kelamin. Secara sruktur biologis atau jenis kelamin, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang masing-masing memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat serta tidak dapat dipertukarkan. Laki-laki tidak dapat menstruasi, tidak dapat hamil, karena tidak memiliki organ peranakan. Sedangkan perempuan tidak bersuara berat, tidak bekumis, karena keduanya memiliki hormon yang berbeda.

Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu, (2008: 4). Seks berarti perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang secara kodrati memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda.

Sedangkan konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan (Sugiarti, 2008: 5).

Konsep gender menurut Sugihastuti tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Fakih, yakni konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, (2004: 8). Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.

Dengan demikian gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dilekatkan masyarakat dalm suatu kultur. Namun berhubung kultur dalam masyarakat mengalami perubahan dan perkembangan, maka sifat-sifat yang dilekatkan oleh masyarakat juga mengalami perubahan dan perkembangan.

Tabel : Perbedaan Gender dan Seks

No Karakteristik Seks Gender

1 Sumber Pembeda Tuhan Manusia (masyarakat)

2 Visi, Misi Kesetaraan Kebiasaan

3 Unsur Pembeda Biologis (alat reproduksi) Kebudayaan (tingkah laku)

4 Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukarkan.

Harkat, martabat dapat dipertukarkan.

5 Dampak Terciptanya nilai-nilai kesempurnaan, kedamaian yang menguntungkan kedua belah pihak.

Terciptanya norma/ ketentuan tentang pantas/ tidak pantas dan sering merugikan salah satu pihak.

6 Keberlakuan Sepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal perbedaan kelas.

Dapat berubah, musiman dan berbeda antar kelas.

Selain yang dicantumkan diatas, perbedan gender dan jenis kelamin juga dapat dilihat sebagai berikut: kemampuan wanita untuk melahirkan anak dan menyusui, dan kemampuan pria unuk menghasilkan sperma, merupakan ciri-ciri biologis wanita dan pria yang dicakup oleh konsep jenis kelamin. Sebaliknya, perbedaan-perbedaan yang lazim berlaku dalam banyak masyarakat di muka bumi ini, seperti pria bekerja di luar rumah dan wanita menjaga rumah, pria encari

nafkah dan wanita mengurus anak, merupakan perbedaan-perbedaan yang diciptakan oleh kebudayaan, sehingga hal-hal ini dapat berubah mengikuti perubahan perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat yang bersangkutan.

Sebagai suatu konsep teoritis, ada dua aspek konsep gender yang perlu diperhatikan. Pertama, gender merupakan konsep relasional. Seperti dikatakan oleh Melani Budianta (1998: 6), gender sebagai suatu konsep relasional artinya gagasan tentang pria tidak bisa dipisahkan dari gagasan tentang wanita.pendekatan yang berwawasan gender akhirnya mengoreksi kecenderungan sementara kaum feminis yag memfokuskan perhtian pada masalah wanita saja.

Kedua, seperti dikatakan oleh Tamanoi (1990: 17), gender sebagai konsep relasional mencakup hubungan antara pria dan wanita dalam setiap lapisan maupun kelompok masyarakat. Maksudnya, hubungan antara pria dan wanita bisa saja berbeda pada lapisan masyarakat yang satu dengan yang lainnya.

2.4.2 Ideologi Gender

Ideologi merupakan suatu sistem keyakinan yang digunakan orang untuk menerangkan, menjelaskan, dan membenarkan tingkah lakunya serta menafsirkan dan menilai tingkah laku orang lain. Ideologi gender merupakan seperangkat keyakinan yang mengatur partisipasi orang-orang dalam orde gender (Sugihastuti dan Hadi, 2007: 49). Orde gender merupakan sistem alokasi yang didasarkan pada ketentuan jenis kelamin mengenai hak dan kewajiban, kebebasan dan larangan, batasan dan kemungkinan, serta kekuatan dan subordinasi. Dengan ideologi gender pula orang-orang menjelaskan dan membenarkan apa yang mereka lakukan.

Ideologi gender mengatur perbedaan sifat laki-laki dan perempuan, keadilan, sifat alamiah, asal-muasal, dan berbagai aspek orde gender.

Menurut Saptari dan Holzner, ideologi gender adalah seperangkat aturann nilai, stereotipe yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin. Ideologi ini terbentuk di berbagai tingkat, negara, komunitas dan disosialisasikan melalui pranata-pranata sosial yang dikuasai dan dikendalikan oleh kelompok-kelompok yang berkuasa (1997: 202).

Melalui konstruksi sosial, ideologi gender kemudian dijadikan sebuah norma yang mengatur bagaimana laki-laki dan perempuan harus bersikap, berpenampilan, berprilaku dan mengatur kesetaraan antara perempuan dan laki- laki dengan prinsip yang lebih equal. Artinya, jika ada ideologi dalam budaya masyarakat yang memihak kepada yang “serba laki-laki” atau yang “serba perempuan”, maka disebut ideologi bias gender.

Ideologi bias gender adalah ideologi dimana norma, keyakinan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai lazimnya masih serba laki-laki atau serba perempuan, sehingga ketika menemuka fenomena yang tidak sesuai norma yang “serba laki- laki” (patriarkhi), dianggap menyimpang. Inilah kesalahan mengukur perempuan dari perspektif laki-laki, bukan perspektif manusia. Ideologi gender saat ini sedang menjadi warna perjuangan para feminis melalui kerangka budaya kelompok masyarakat secara kelembagaan maupun melalui kerangka budaya secara perorangan.

Gerakan gender tidak hanya medekonstruksi posisi perempuan yang hanya bekerja di rumah (sektor domestik), tapi gerakan ini juga menawarkan suatu

konsep bahwa perempuan dapat bekerja di sektor publik. Sektor publik dimaksud baik menyangkut sektor ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan.

2.4.3 Ketidakadilan Gender

Hakikatnya, manusia memiliki kedudukan yang setara, laki-laki maupun perempuan. Keduanya diciptakan dalam derajat, harkat, dan martabat yang sama. Kalaupun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda, itu semua agar keduanya

Dokumen terkait