• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL GINKO DAN

3.2 Masalah Gender dalam Novel Ginko karya Jun’ichi Watanabe

3.2.3 Ketidakadilan Gender Berupa Stereotipe

Berikut ini adalah masalah ketidakadilan gender dalam bentuk stereotipe atau pelabelan yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan hal. 19

“Tak peduli betapa pun kecilnya kesalahan suamiku atau meskipun hanya dilakukan sekali seumur hidup, yang jelas dia telah memberiku penyakit ini.”

“Tidak pantas perempuan bicara seperti itu!”

“Lalu kalau seorang perempuan mendapatkan penyakit dari seorang laki- laki dan tak bisa memiliki anak, dia harus menerimanya begitu saja ? Meskipun aku menderita demam, aku tetap harus bangun dari tempat tidur, mematuhi segala perintah Ibu Mertua kepadaku, dan melakukan segalanya semampuku untuk membuat suamiku tetap senang?”

Tomoko tak kuasa menjawab. Tadi dia mengira bahwa bakal lebih bisa memahami permasalahan ini ketimbang ibunya, tapi sekarang, meskipun tak secara langsung menghendakinya, ternyata dia juga ingin memaksa Gin

menjalankan aturan usang tentang apa itu perempuan dan apa yang harus dikerjakannya.

“Kau sendiri sudah tahu bagaimana nanti kata orang.” Tomoko mencoba memberi alasan yang masuk akal.

“Sayang sekali kalau begitu.” Gin berpaling dan memandang ke luar ke arah pohon gardenia putih di kebun. Pohon itu sudah semakin besar semenjak dia menikah dan meninggalkan rumah.

“Coba pikirkan, kau adalah pengantin perempuan sebuah keluarga kaya raya.” Tomoko sadar bahwa dia sedang mengeluh.dari kelima orang bersaudari itu, Ginlah yang menikah dengan keluarga terkaya. Semua saudarinya merasa iri dengan perjodohan itu, sama seperti semua orang lainnya. Sakit atau tidak, tak seorang pun akan mmilih untuk meninggalkan keluarga semacam itu atas kehendaknya sendiri. Tomoko jengkel kalau membayangkan apa kata penduduk desa.

“Kenapa kau bahkan tak mau mempermbangkan untuk kembali kesana?” Tomoko thu pernyataannya bakal sia-sia, tapi dia harus mencoba.

“Aku tak peduli sekaya apa mereka, aku tak sudi menghabiskan hidupku hanya dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.”

“Mengerjakan pekerjaan rumah tangga?”

Gin berpaling kembali ke kebun. Kilau dedaunan hijau memantul ke wajah Gin hingga membuat warna kulitnya semakin menonjolkan derita akibat penyakitnya.

Tomoko bicara lagi. “Memang seperti itulah tugas istri-istri yang masih muda.”

“Aku tidak mau.” Gin berbalik menghadap ke kakaknya. “Menyalakan tungku, membersihkan rumah, menanak nasi....sama sekali tak ada waktu untuk membaca.”

“Maksudmu kau ingin mengatakan kepadaku bahwa selama ini kau masih membaca buku? Dimana-mana tak ada istri petani yang membaca buku. Memangnya apa yang ada dikepalamu?

Analisis :

Cuplikan diatas menunjukkan bahwa Gin mengalami diskriminasi secara stereotipe atau pelabelan. Tomoko, kakak perempuan Gin, menyatakan bahwa perempuan tidak layak untuk membaca buku dan tugas perempuan hanyalah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kakaknya juga secara tak langsung ingin memaksa Gin untuk menjalankan peraturan usang tentang apa itu perempuan dan apa saja yang harus dikerjakan oleh perempuan. Hal ini memberikan pelabelan yang negatif pada perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak layak untuk membaca buku mengakibatkan pembatasan terhadap perempuan.

Memang seperti itulah tugas istri-istri yang masih muda.”

“Aku tidak mau.” Gin berbalik menghadap ke kakaknya. “Menyalakan tungku, membersihkan rumah, menanak nasi....sama sekali tak ada waktu untuk membaca.”

“Maksudmu kau ingin mengatakan kepadaku bahwa selama ini kau masih membaca buku? Dimana-mana tak ada istri petani yang membaca buku. Memangnya apa yang ada dikepalamu?. Kalimat ini meunjukkan indeksikal bahwa di sini Gin mengalami ketidakadilan gender berupa pelabelan. Walaupun

pada saat itu Gin hidup di zaman Meiji, yakni zaman dimana Jepang sudah memasuki zaman modernnya, namun kedudukan perempuan belumlah mengalami perubahan. Dalam kehidupan keluarga Jepang masih ada anggapan bahwa orbit istri adalah rumah tangga dan anak-anaknya. Hal inilah yang membuat kedudukan wanita tidak bisa setara dengan laki-laki dan mengakibatkan adanya diskriminasi gender secara stereotipe seperti halnya yang terjadi pada Gin.

2. Cuplikan hal. 127

Dalam suasana yang begitu memusuhi pendidikan bagi perempuan, hampir suatu keajaiban bahwa Sekolah Guru, atau yang sekarang disebut sebagai sekolah pelatihan guru bagi perempuan, akhirnya berhasil didirikan. Namun sekolah itu memang benar-benar dibuka, meskipun pada awalnya tidak memakai pakaian seragam atau lencana bagi para muridnya dan sebagian besar siswinya masuk sekolah dengan pakaian sehari-hari yang terbuat dari katun atau sutra biasa dan membawa barang-barang mereka dalam kain pembungkus.

Tanpa kecuali, semua perempuan muda yang mendaftar pada tahun – tahun awal, termasuk Gin, mendapat tentangan dari keluarga mereka. Zaman itu dipuji sebagai zaman peradaban dan pencerahan, tapi hal ini hanya terlihat dibagian-bagian tertentu masyarakat Tokyo dan Yokohama. Di sepanjang dataran Jepang selain di kedua kota tersebut, cara berpikir lama masih mengakar dengan kuat.

Sikap mayoritas masyarakat terhadap pendidikan bagi perempuan terbukti pada ucapan-ucapan seperti “Melahirkan anak perempuan yang suka belajar membawa aib pada seluruh keluarga”, “Utamakan pelayanan daripada pelajaran”

dan “Perempuan seharusnya diam di rumah”. Oleh karena itu, sekolah yang melatih pendidik perempuan akan selalu menghasilkan tipe perempuan yang tidak terpikirkan sampai sekarang.

Karena alasan-alasan semacam itulah, gadis-gadis itu melawan keinginan orang tua mereka dan akibatnya berapa bahkan tidak lagi diakui oleh kelurga mereka.

Analisis:

Sikap mayoritas masyarakat terhadap pendidikan bagi perempuan terbukti pada ucapan-ucapan seperti “Melahirkan anak perempuan yang suka belajar membawa aib pada seluruh keluarga”, “Utamakan pelayanan daripada pelajaran” dan “Perempuan seharusnya diam di rumah”, cuplikan ini menunjukkan indeksikal bahwa memang saat itu perempuan Jepang dilabeli secara negatif oleh masyarakat. Perempuan di zaman itu tidak diperbolehkan untuk menempuh pendidikan yang tinggi, apalagi pendidikan yang setara dengan laki-laki.

Hal tersebut diatas termasuk ketidakdilan gender secara stereotipe. Pencitraan yang negatif terhadap perempuan berakibat pada pembatasan terhadap perempuan dalam sektor pendidikan, seperti yang dialami oleh Gin dan perempuan lain yang juga ingin berpendidikan lebih tinggi. Selama masyarakat masih tetap berpegang kepada kepercayaan tradisional bahwa seorang wanita toh akan menikah, meninggalkan keluarga, bergantung kepada suaminya dan memperoleh kebahagiaan dengan suaminya, maka selama itu sistem pendidikan wanita yang sekarang berlaku akan tetap demikian.

Dokumen terkait