• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskriminasi Gender Yang Dialami Oleh Tokoh Gin Dalam Novel “Ginko” Karya Jun’ichi Watanabe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diskriminasi Gender Yang Dialami Oleh Tokoh Gin Dalam Novel “Ginko” Karya Jun’ichi Watanabe"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Aglesindo

Bhasin, Kamla. 1996. Menggugat Patriarki diterjemahkan oleh Nug

Katjasungkana. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian sastra, Yogyakarta: Media Pressindo

Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Illich,Ivan.2005. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Moleong, Lexy.J. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Okamura, Masu. 1983. Peranan Wanita Jepang. Yayasan Obor Indonesia: Gadjah Mada University Press.

Rampan, Korrie Layun. 1984. Suara pancaran Sastra. Jakarta : Yayasan Arus.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

(12)

Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. UMM Press

Sugihastuti. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan;Praktik Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjo, Jacob dan Saini KM. 1999. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : Gramedia

Wahyudi, Siswanto. 2008. Pengantar Teori Sastra, Jakarta :Grasindo

Watanabe, Jun’ichi. 2013. Ginko. Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (terjemahan oleh Budianta). Jakarta: Gramedia.

http://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi 12 nov 2013 21.49

http://id.wikipedia.org/wiki/Citra 17 nov 2013 11.57

http://id.wikipedia.org/wiki/Citra_(Hubungan_Masyarakat) 17 nov 2013 11.58

http://aimizu4869.blogspot.com/2011/11/wanita-jepang-dari-zaman-dahulu-hingga.html 19 nov 2013 20.56

http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika 27 nov 2013 21.11

(13)

BAB III

ANALISIS MASALAH DISKRIMINASI GENDER DALAM NOVEL ‘GINKO’ KARYA JUN’ICHI WATANABE

3.1 Sinopsis Cerita

Novel Ginko merupakan novel yang menyentuh tentang dokter perempuan pertama di Jepang. Ceritanya bermula saat seorang perempuan desa Tarawase yang sudah menikah tiba-tiba kembali ke kampung halamannya tanpa alasan yang jelas. Perempuan itu bernama Gin Ogino, seorang putri bungsu keluarga kelas atas Ogino yang terkenal cantik dan cerdas. Tak berapa lama, tersiar kabar mengenai perceraian Gin, tetapi hanya segelintir orang yang mengetahui bahwa penyebab sebenarnya perceraian itu karena Gin tertular penyakit kelamin dari suaminya. Dan karena penyakit yang ditularkan suaminya Gin tidak bisa lagi memiliki anak. Saat suaminya meminta Gin untuk kembali, Gin dengan berani menolak kembali kepada suaminya. Hal yang tak lazim pada masa itu dimana perempuan tidak boleh secara sepihak meminta cerai.

(14)

keterpurukannya. Mulai saat itu Gin bertekad untuk menjadi dokter demi rasa solidaritasnya terhadap sesama kaum perempuan.

Gin pun menyampaikan tekadnya untuk menjadi dokter kepada ibunya. Gin sudah menduga ibunya akan terkejut dengan keinginannya. Dan seperti dugaannya, ibunya hanya ternganga saat mendengar impian Gin. Ibunya tentu saja tidak mengizinkan Gin untuk menempuh pendidikan kedokteran. Pada masa awal pemerintahan Meiji, untuk meraih gelar dokter merupakan hal yang sulit bagi kaum laki-laki, apalagi Gin yang perempuan. Impiannya terbilang mustahil untuk terwujud. Namun kenyataan itu tidak membuat Gin gentar. Diawali denan mengubah namanya menjadi Ginko sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang mendera perempuan, dia memulai perjuangan untuk menjadi dokter perempuan pertama di Jepang. Gin akhirnya mendapatkan izin dari ibunya dan berangkat ke Tokyo pada April 1873, dia diterima sebagai siswi di sekolah Yorikuni, hingga akhirnya di pindah ke sekolah Guru Perempuan. Setelah lulus dari sekolah itu Ginko berencana untuk masuk ke Universitas Kojuin dan belajar ilmu kedokteran.

(15)

Setelah lulus Gin bekerja sementara waktu sambil menunggu kesempatan untuk ikut ujian lisensi kedokteran.

Pada 23 Oktober 1883, Dewan Besar Negara menetapkan sistem baru peraturan lisensi kedokteran yang diberlakukn sejak 1 Januari 1884. Sejak tanggal tersebut, semua orang yang ingin mendirikan usaha praktik medis harus mengikuti ujian lisensi dari pemerintah dan hanya mereka yang lulus yang akan diizinkan untuk melakukan praktik kedokteran.

Gin adalah perempuan pertama yang mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian lisensi kedokteran itu. Tanpa ragu, Gin mengirimkan surat permohonannya. Seperti yang diduganya, permohonan itu ditolak dengan ketus bersama sebuah pesan: “Belum ada preseden seorang perempuan menerima lisensi kedokteran”. Tahun berikutnya dia mencoba lagi hasilnya tetap sama, Gin gagal. Tahun berikutnya pun dia mencoba lagi namun hasilnya tetap gagal. Ditambah lagi Gin mendapatkan kabar bahwa ibunya telah meninggal. Hal itu membuat Gin semakin bersedih. Gin pun mencoba sekali lagi mengikuti ujian itu namun dengan surat pengantar dari seorang direktur rumah sakit bedah tentara.

Daftar kandidat yang berhasl lulus ditempel pada taggal 20 maret 1885. Gin menemukan namanya “No. 135: Ginko Ogino.” Maka demikianlah, Gin menjadi dokter perempuan pertama yang mendapat sertifikasi dari pemerintah Jepang. Pada mei 1885 Gin membuka Klinik Obsentri dan Ginekolgi Ginko di Tokyo. Ginko juga mulai memeluk agama Kristen. Seorang pendeta membaptisnya pada November 1885.

(16)

dinikahkan oleh Pendeta O.H. Gulick. Shikata adalah lelaki yang lebih muda 13 tahun dari Gin. Selama pernikahannya dengan Shikata, Ginlah yang membiayai smua kebutuhan hidup mereka. Maka dari itu Shikata memutuskan untuk pergi ke Hokkaido dan membuka lahan baru disana serta membangun komunitas Kristen.

Pada Juni 1894, Gin memutuskan untuk menyusul Shikata ke Hokkaido. Dia menutup kliniknya dan membagi semua perabotan kepada suster dan staf kliniknya yang lain.

Pada 23 September 1905 Shikata meninggal dunia. Gin menguburkan jenazah Shikata di sebuah bukit di ujung utara Emmanuel. Setelah kematian Shikata, Gin menjadi semakin pendiam. Tak lama setelah kematian suaminya Gin terserang flu dan agak demam. Penyakitnya memang ringan saja, tetapi disertai dengan nyeri di perut bawahnya.

(17)

3.2 Masalah Gender dalam Novel Ginko Karya Jun’ichi Watanabe 3.2.1 Ketidakadilan Gender Berupa Subordinasi

Berikut ini adalah masalah ketidakadilan gender dalam bentuk subordinasi atau penomorduaan yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan hal. 81

Dari waktu ke waktu,Ogie dan Gin membahas persoalan itu semakin dalam, dan akhirnya Gin memberitahu ibunya mengenai impiannya itu pada akhir musim panas. Seperti yang sudah diduga, Kayo hanya ternganga.

“Apa kau sudah gila?”

“Tentu saja tidak. Aku hanya meminta izin kepada Ibu agar mengizinkanku pergi ke Tokyo.” Mata Gin tampak berbinar-binar saat mengajukan permintaan itu.

Kayo memang sudah cemas karena selama ini Gin hanya berdiam diri di dalam kamar, dan sekarang dia yakin bahwa Gin meracau karena depresi. Dengan hati kalut, dia memandangi putrinya yang berlutut di hadapannya. “Kumohon jangan bicara seperti orang tolol begitu.”

“Aku tidak tolol”

“Di dunia tempat kita hidup sekarang, ada beberapa hal yang mungkin, ada pula yang tidak mungkin. Bercerminlah pada kenyataan.” Kayo berpikir mungkin Gin kerasukan siluman rubah yang menyihirnya hingga kacau seperti ini. Waktu pasti akan memperbaiki keadaan ini dan putrinya akan kembali waras seperti biasanya.

(18)

“Tidak.”

Bahkan untuk membuka buku pun, perempuan itu tidak pantas. Selama mengurus proses perceraian, Kayo merasa bersimpati kepada keluarga Inamura yang mengeluh bahwa Gin gemar belajar. Kayo sengaja tidak mengungkit-ungkit hal itu, tetapi sekarang rasa simpatinya kepada mantan besan itu semakin besar. Gin telah merusak kesempatannya dalam kehidupan pernikahan, ditambah lagi dia tidak punya sedikit pun penyesalan, bahkan dia sekarang mengaku ingin menjadi dokter!

“Dimana letak memalukannya niat seseorang yang ingin membantu orang lain yang menderita?” Gin tetap bersikeras.

“Itu tugas dokter laki-laki. Memotong bagian-bagian tubuh dan melihat darah bukanlah pekerjaan perempuan. Ada banyak hal lain yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan.”

“Seperti mengurus rumah tangga dan merawat keluarga bukan?” “Ya, itu salah satunya.” kata Kayo, ibu Gin.

Analisis :

(19)

kedudukan perempuan jauh di bawah laki-laki. Di masa ini masih ada konsep ryousai kenbou, yakni bahwa seorang perempuan harus menjadi istri yang baik dan ibu yang bijaksana.

“Itu tugas dokter laki-laki. Memotong bagian-bagian tubuh dan melihat darah bukanlah pekerjaan perempuan.”, pada kalimat ini menunjukkan indeksikal bahwa di zaman ini perempuan dinomorduakan posisinya.

Meskipun sejak tahun 1872 sudah ada pengakuan persamaan hak pria dan wanita dalam berbagai hukum sipil dan kesempatan untuk menjalani dunia pendidikan, namun pada kenyataannya kesetaraan itu tidak langsung bisa diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari, karena hukum kuno tentang keluarga tradisional yang patriarki masih banyak mempengaruhi pola pikir dan kebiasaan masyarakat. Begitulah yang terjadi pada Gin, ibunya masih saja beranggapan bahwa posisi perempuan tidak layak untuk sama dengan posisi laki-laki.

2. Cuplikan hal. 85

Gin tahu bahwa pintu untuk mencapai impiannya tidak akan pernah terbuka jika hanya berbicara kepada ibunya. Oleh karena itu, dia mencoba mencari kesempatan pada awal musim semi itu untuk membicarakan persoalan ini dengan Dr. Mannen.

“Ibuku menolak untuk memberikanku izin.” Gin mengadu, air mata memenuhi pelupuk matanya ketika dia menceritakan tentang perbincangannya dengan Kayo. “Apakah Anda bersedia bicara kepadanya?”

(20)

Mannen mengeluh. Dia ingin menolong Gin. Dari sekian banyak siswa yang belajar di bawah bimbingannya selama bertahun-tahun ini, Gin-lah yang paling menonjol karena kecerdasan dan kecantikannya. Lagi pula, Gin masih muda~~kesehatannya telah pulih dan sekarang usianya juga baru dua puluh lebih sedikit.

“Aku memohon kepada anda! Aku tidak akan pernah meminta apapun lagi dari anda!” Gin memohon.

Mannen harus mengakui bahwa dia pernah mendorong Gin agar selalu memiliki harapan yag tinggi. Namun di satu sisi, dia juga sangat mengkhawatirkan reaksi Kayo. Kayo tidak akan memaafkannya kalau sampai mengira dialah yang membuat Gin jadi seperti ini. Lagi pula, dia juga tidak dapat mengabaikan fakta bahwa perempuan memang terhalang untuk bisa menjadi dokter. Permintaan Gin sama sekali tidak sederhana, hal ini akan berpengaruh kepada hal lainnya, tetapi bila dia pikirkan kembali, Mannen tahu dia tidak boleh membuat Gin kecewa.

“Untuk sementara ini, sebaiknya lupakan dulu keinginanmu untuk menjadi dokter.”

(21)

“Tidak pernah ada perempuan yang menjadi dokter sebelumnya. Karena tidak boleh. Mengejar cita-citamu ini sama saja dengan melanggar hukum. Kalau kau pergi ke Tokyo sekarang dan mengatakan kai ingin menjadi dokter, kau tetap tidak bisa melakukannya, kau tidak punya koneksi dan jalan bagi perempuan untuk menempuh pendidikan dokter tidak ada.”

Analisis :

Tidak pernah ada perempuan yang menjadi dokter sebelumnya. Karena tidak boleh. Pada kalimat ini menunjukkan bahwa Manen, guru Gin, pun beranggapan bahwa tidak pernah ada yang menjadi dokter perempuan sebelumnya. Dan jika Gin tetap ingin menjadi seorang dokter, dia harus memiliki koneksi yang kuat untuk bisa meluluskannya di sekolah kedokteran. Ini salah satu indeksikal yang menunjukkan bahwa Gin sebagai kaum perempuan berada di posisi yang kurang beruntung, yakni di posisi subordinat.

(22)

3. Cuplikan hal. 155

Para laki-laki memang memiliki pandangan progresif , tetapi pandangan mereka belum sejauh menerima seorang peempuan di dalam profesi medis yangg secara ekslusif merupakan profesi laki-laki.

Ginko diterima di universitas itu berdasarkan izin pribadi, yang diberikan dengan enggan, dari Rektor universitas. Rektor terpaksa setuju karena permintaan itu datang dari Tadanori Ishiguro, dan terus terang dia tidak senang dengan gesekan yang ditimbulkan penerimaan Ginko dengan para mahasiswa lain. Sungguh rawan menyatukan para mahasiswa dn mahasiswi universitas kedokteran yang sejak kecil telah dipisahkan menurut jeniskelamin.

Tidak akan ada orang yang mau membantuku.

Di pinggiran ruang kuliah, Ginko menanggung semuanya sendirian. Dan, satu-satunya alasan yang membuatnya diasingkan itu karena dia adalah perempuan. Ginko belum pernah merasa sepahit ini tentang nasibnya. Zaman itu, jika hendak makan perempuan harus menunggu sampai para laki-laki selesai, berjalan beberapa langkah di belakang mereka, dan selalu berbicara hormat ketika menghadapi mereka. Kalau seorang laki-laki mengatakan sesuatu, jawaban yang diharapkan dari perempuan adalah “Ya, saya mengerti”. Persoalan perempuan diharuskan terbatas pada pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak saja.

Analisis :

(23)

perempuan memang berada di posisi subordinat. Sistem diskriminasi ini berlandaskan pada sebuah sikap yang terungkap pada pepatah feodal “Pendidikan tak perlu bagi kaum wanita” yang berlanjut dalam versi baru yang berbunyi “Tiada memiliki pendidikan bagi kaum wanita merupakan kebaikan.” (Masu, 1983: 54).

Zaman itu, jika hendak makan perempuan harus menunggu sampai para laki-laki selesai, berjalan beberapa langkah di belakang mereka, dan selalu berbicara hormat ketika menghadapi mereka. Kalau seorang laki-laki mengatakan sesuatu, jawaban yang diharapkan dari perempuan adalah “Ya, saya mengerti”, dan dari kalimat ini ditunjukkan bahwa posisi perempuan memang masih berada jauh di bawah laki-laki. Kepercayaan dan tradisi masyarakat feodal yang berlaku pada zaman Tokugawa dan Meiji menyatakan bahwa kebahagiaan seorang wanita adalah harus memajukan pendidikan di rumahnya. Sehingga jika ditinjau dari sudut agama dan tradisi yang telah lama berlaku dari zaman Tokugawa dan terbawa ke zaman berikutnya khususnya zaman Meiji. Hal ini yang menyebabkan kedudukan wanita tidak mengalami perubahan, dan dalam bidang pendidikan pun posisi wanita tetap berada dibawah laki-laki.

4. Cuplikan hal. 153

Ketika Ginko duduk, para mahasiswa berkerumun disekelilingnya. Lalu tiba-tiba seorang laki-laki besar berkulit gelap dan berambut gimbal melompat ke podium guru dan mulai teriak.

(24)

Kekaisaran yang ditunjuk, hari ini menerima seorang mahasiswi kedokteran. Mengapa? Profesi terhormat kita telah turun martabat menjadi pekerjaan perempuan dan anak-anak. Rupanya belum cukup bahwa perempuan berpendidikan merusak rumah tangga, sekarang mereka melanjutkan untuk menghancurkan profesi medis. Ini keterlaluan!”

Analisis:

(25)

3.2.2 Ketidakadilan Gender Berupa Marginalisasi

Berikut ini adalah masalah ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi atau peminggiran yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan hal. 103

Musim semi tiba. Gin mengganti pakaiannya dengan kimono yang ringan. Dia meninggalkan Tarawase membawa empat kimono dan belum membeli kimono baru sejak tiba di Tokyo.

Masalah makanan jauh lebih memdesak dari pada pakaian. Meskipun Gin pernah menghadapi banyak masalah sebelumnya, kelaparan tidak pernah menjadi masalah baik di rumah orangtuanya ataupun di rumah suaminya---keduanya adalah keluarga kaya. Namun, sekarang keadannya berbeda. Gin makan dengan berhemat, biasanya makan sup miso dan sayuran untuk sarapan sekaligus makan siang, serta ikan kering atau sayuran untuk makan malam. Bagaimanapun, berangsur-angsur uang untuk makanan semacam ini pun mulai habis.

Gin telah menghabiskan separuh dari dananya untuk menyewa rumah di Tokyo dan sekarang dia hanya memiliki kurang dari sepertiga bekalnya. Kakaknya Yasuhei telah berjanji untuk menghidupinya selama satu tahun, tetapi Gin tidak mendengar kabar apa-apa darinya dan dia menjadi semakin gelisah. Gin tahu betul bahwa, setelah dia pergi meskipun sudah dilarang keluarganya, dia tidak boleh mengeluh walaupun tidak pernah mendengar berita dari siapapun di rumah itu lagi.

Analisis:

(26)

gelisah. Gin tahu betul bahwa, setelah dia pergi meskipun sudah dilarang keluarganya, dia tidak boleh mengeluh walaupun tidak pernah mendengar berita dari siapapun di rumah itu lagi. Kalimat ini menunjukan indeksikal bahwa Gin mengalami diksriminasi secara marginalisasi yang berakibat pemiskinan pada hidup Gin. Saat Gin memutuskan untuk belajar di Tokyo, dia tahu bahwa keluarganya tidak ada yang memberikan izin. Akibatnya saat Gin hidup di Tokyo dan kehabisan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, dia hanya bisa berhemat dari sisa uang yang sebelumnya diberi oleh kakaknya, Yasuhei. Disini Gin mengalami diskriminasi gender berupa pemiskinan, karena dia perempuan dan pergi ke Tokyo unutk belajar, anggota keluarganya tidak memberikan bantuan uang untuk biaya hidupnya lagi disana.

2. Cuplikan hal. 449

Ginko hanya menatap lantai dan diam seribu bahasa. Dia tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Muya telah mengingatkan sesuatu yang tak pernah terpikir olehnya. Aku begitu ceroboh. Aku terperangkap dalam bayangan kepuasan diriku yang semu.

“Aku terpaksa mengatakannya, tapi fakta bahwa kau mahasiswi kedokteran teladan duapuluh tahun yang lalu tidaklah cukup.” Muya adlah salah satu dosennya dulu, jadi dia tidak perlu berbasa-basi lagi dengan Ginko.

“Kau benar. Rencanaku ini memang belum matang.”

(27)

“Bukan begitu. Aku bukannya melarangmu untuk membuka praktik disini. Di Sapporo juga masih ada dokter-dokter lain yang menerapkan cara lama. Namun, sewajarnya saja, masyarakat akan mulai meninggalkan mereka. Lalu, keberadaanmu sebagai seorang perempuan mengalami kemunduran. Belakangan ini dokter semakin bersifat ilmiah, dan kaum perempuan tak lagi ragu seperti dulu untuk memeriksakan dirinya kepada dokter laki-laki, jadi tak banyak keuntungan yang bisa kau raih lagi sebagai seorang dokter perempuan.”

Analisis:

Pada cuplikan di atas menunjukkan masalah diskriminasi secara marginalisasi yang dialami oleh Gin. Gin tersingkir dari arus pekerjaan utamanya, karena keberadaan Gin sebagai dokter perempuan sudah mengalami kemunduran.

(28)

sebagai pekerjaan yang tidak produktif, sehingga mengalami pemunduran dari arus pekerjaannya.

3. Cuplikan hal. 312

Pemerintah konstitusional hanya sebatas nama. Tidak hanya itu, hukum yang memungkinkan terpilihnya pejabat tidak memberikan hak bagi perempuan untuk memilih dan dengan sewenang-wenang melarang perempuan untuk menyatakan pandangan politik mereka juga. Sebagian besar penduduk menganggap hal ini biasa saja.

Namun, selama persiapan untuk memilih Dewan Kekaisaran yang sudah lama ditunggu tersebut, terungkaplah bahwa hukum baru telah diberlakukan untuk melarang perempuan mengamati sesi pemilihan anggota dewan. Ginko yang marah karena gagal memperoleh hak memilih bagi perempuan, ketika mengetahui tentang peraturan baru ini, langsung pergi ke Kementrian Kehakiman untuk mendapatkan penjelasan resmi. Namun, Mentri hanya menegaskan bahwa kaum perempuan tidak diizinkan untuk menyaksikan proses pemilihan anggota dewan.

(29)

berarti bahwa seluruh perempuan dianggap tidak lebih dari pemabuk atau preman pembawa senjata”.

Ginko melanjutkan,”Perempuan tidak boleh memilih, dan sekarang hak kita untuk menyaksikan pemilihan anggota dewan pun dicabut. Kita tidak akan pernah memiliki suara di dalam pemerintahan, dan sekarang kesempatan kita untuk mengetahui apa yang dilakukan pemerintah pun telah dirampok. Perempuan yang meraih pendidikan akademis dan pengaruh tidak dihargai.”

Analisis:

Cuplikan diatas menunjukkan diskriminasi gender yang dialamioleh Gin. Sebagai perempuan, Gin tidak diizinkan untuk melaksanakan dan menyaksikan pemilihan anggota dewan. Terlihat dari cuplikan berikut, Pemerintah konstitusional hanya sebatas nama. Tidak hanya itu, hukum yang memungkinkan terpilihnya pejabat tidak memberikan hak bagi perempuan untuk memilih dan dengan sewenang-wenang melarang perempuan untuk menyatakan pandangan politik mereka juga dan Namun, selama persiapan untuk memilih Dewan Kekaisaran yang sudah lama ditunggu tersebut, terungkaplah bahwa hukum baru telah diberlakukan untuk melarang perempuan mengamati sesi pemilihan anggota dewan. Kalimat tersebut menunjukkan indeksikal adanya diskriminasi gender secara marginalisasi atau peminggiran yang dialami oleh Gin.

(30)

Ginko melanjutkan,”Perempuan tidak boleh memilih, dan sekarang hak kita untuk menyaksikan pemilihan anggota dewan pun dicabut. Kita tidak akan pernah memiliki suara di dalam pemerintahan, dan sekarang kesempatan kita untuk mengetahui apa yang dilakukan pemerintah pun telah dirampok. Cuplikan ini juga menunjukkan adanya indeksikal diskriminasi gender secara marginalisasi. Posisi perempuan mengalami peminggiran dalam bidang politik. Budaya patriarki juga menjadi penyebab dipinggirkannya perempuan dalam bidang ini.

3.2.3 Ketidakadilan Gender Berupa Stereotipe

Berikut ini adalah masalah ketidakadilan gender dalam bentuk stereotipe atau pelabelan yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan hal. 19

“Tak peduli betapa pun kecilnya kesalahan suamiku atau meskipun hanya dilakukan sekali seumur hidup, yang jelas dia telah memberiku penyakit ini.”

“Tidak pantas perempuan bicara seperti itu!”

“Lalu kalau seorang perempuan mendapatkan penyakit dari seorang laki-laki dan tak bisa memiliki anak, dia harus menerimanya begitu saja ? Meskipun aku menderita demam, aku tetap harus bangun dari tempat tidur, mematuhi segala perintah Ibu Mertua kepadaku, dan melakukan segalanya semampuku untuk membuat suamiku tetap senang?”

(31)

menjalankan aturan usang tentang apa itu perempuan dan apa yang harus dikerjakannya.

“Kau sendiri sudah tahu bagaimana nanti kata orang.” Tomoko mencoba memberi alasan yang masuk akal.

“Sayang sekali kalau begitu.” Gin berpaling dan memandang ke luar ke arah pohon gardenia putih di kebun. Pohon itu sudah semakin besar semenjak dia menikah dan meninggalkan rumah.

“Coba pikirkan, kau adalah pengantin perempuan sebuah keluarga kaya raya.” Tomoko sadar bahwa dia sedang mengeluh.dari kelima orang bersaudari itu, Ginlah yang menikah dengan keluarga terkaya. Semua saudarinya merasa iri dengan perjodohan itu, sama seperti semua orang lainnya. Sakit atau tidak, tak seorang pun akan mmilih untuk meninggalkan keluarga semacam itu atas kehendaknya sendiri. Tomoko jengkel kalau membayangkan apa kata penduduk desa.

“Kenapa kau bahkan tak mau mempermbangkan untuk kembali kesana?” Tomoko thu pernyataannya bakal sia-sia, tapi dia harus mencoba.

“Aku tak peduli sekaya apa mereka, aku tak sudi menghabiskan hidupku hanya dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.”

“Mengerjakan pekerjaan rumah tangga?”

Gin berpaling kembali ke kebun. Kilau dedaunan hijau memantul ke wajah Gin hingga membuat warna kulitnya semakin menonjolkan derita akibat penyakitnya.

(32)

“Aku tidak mau.” Gin berbalik menghadap ke kakaknya. “Menyalakan tungku, membersihkan rumah, menanak nasi....sama sekali tak ada waktu untuk membaca.”

“Maksudmu kau ingin mengatakan kepadaku bahwa selama ini kau masih membaca buku? Dimana-mana tak ada istri petani yang membaca buku. Memangnya apa yang ada dikepalamu?

Analisis :

Cuplikan diatas menunjukkan bahwa Gin mengalami diskriminasi secara stereotipe atau pelabelan. Tomoko, kakak perempuan Gin, menyatakan bahwa perempuan tidak layak untuk membaca buku dan tugas perempuan hanyalah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kakaknya juga secara tak langsung ingin memaksa Gin untuk menjalankan peraturan usang tentang apa itu perempuan dan apa saja yang harus dikerjakan oleh perempuan. Hal ini memberikan pelabelan yang negatif pada perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak layak untuk membaca buku mengakibatkan pembatasan terhadap perempuan.

Memang seperti itulah tugas istri-istri yang masih muda.”

“Aku tidak mau.” Gin berbalik menghadap ke kakaknya. “Menyalakan tungku, membersihkan rumah, menanak nasi....sama sekali tak ada waktu untuk membaca.”

(33)

pada saat itu Gin hidup di zaman Meiji, yakni zaman dimana Jepang sudah memasuki zaman modernnya, namun kedudukan perempuan belumlah mengalami perubahan. Dalam kehidupan keluarga Jepang masih ada anggapan bahwa orbit istri adalah rumah tangga dan anak-anaknya. Hal inilah yang membuat kedudukan wanita tidak bisa setara dengan laki-laki dan mengakibatkan adanya diskriminasi gender secara stereotipe seperti halnya yang terjadi pada Gin.

2. Cuplikan hal. 127

Dalam suasana yang begitu memusuhi pendidikan bagi perempuan, hampir suatu keajaiban bahwa Sekolah Guru, atau yang sekarang disebut sebagai sekolah pelatihan guru bagi perempuan, akhirnya berhasil didirikan. Namun sekolah itu memang benar-benar dibuka, meskipun pada awalnya tidak memakai pakaian seragam atau lencana bagi para muridnya dan sebagian besar siswinya masuk sekolah dengan pakaian sehari-hari yang terbuat dari katun atau sutra biasa dan membawa barang-barang mereka dalam kain pembungkus.

Tanpa kecuali, semua perempuan muda yang mendaftar pada tahun – tahun awal, termasuk Gin, mendapat tentangan dari keluarga mereka. Zaman itu dipuji sebagai zaman peradaban dan pencerahan, tapi hal ini hanya terlihat dibagian-bagian tertentu masyarakat Tokyo dan Yokohama. Di sepanjang dataran Jepang selain di kedua kota tersebut, cara berpikir lama masih mengakar dengan kuat.

(34)

dan “Perempuan seharusnya diam di rumah”. Oleh karena itu, sekolah yang melatih pendidik perempuan akan selalu menghasilkan tipe perempuan yang tidak terpikirkan sampai sekarang.

Karena alasan-alasan semacam itulah, gadis-gadis itu melawan keinginan orang tua mereka dan akibatnya berapa bahkan tidak lagi diakui oleh kelurga mereka.

Analisis:

Sikap mayoritas masyarakat terhadap pendidikan bagi perempuan terbukti pada ucapan-ucapan seperti “Melahirkan anak perempuan yang suka belajar membawa aib pada seluruh keluarga”, “Utamakan pelayanan daripada pelajaran” dan “Perempuan seharusnya diam di rumah”, cuplikan ini menunjukkan indeksikal bahwa memang saat itu perempuan Jepang dilabeli secara negatif oleh masyarakat. Perempuan di zaman itu tidak diperbolehkan untuk menempuh pendidikan yang tinggi, apalagi pendidikan yang setara dengan laki-laki.

(35)

3.2.4 Ketidakadilan Gender Berupa Violence

Berikut ini adalah masalah ketidakadilan gender dalam bentuk violence atau kekerasan yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan hal. 151

Hari pertama, setelah menyelesaikan berkas-berkas pendaftarannya, Ginko melihat sekelilingnya bertanya-tanya apa yang harus dilakukan berikutnya, tapi tak seorang menawarkan bimbingan atau arahan. Ketika dia bertanya kepada staf kantor kemana dia harus pergi, jawabannya hanya”hmm, tidak tahu” yang dingin. Terlihat jelas dari ekspresi mereka bahwa bagi mereka, kehadirannya menodai reputasi sekolah itu. Tanpa pilihan lain, Ginko pergi sendirian untuk melihat-lihat. Sekolah itu hanya terdiri dari gedung berdinding putih, beratap genteng dengan beberapa ruang kelas dan laboratorium berjajar di koridor. Ginko melongok kedalam melalui pintu salah satu kelas, di tempat sejumlah besar mahasiswa berkumpul.

Tiba-tiba seseorang berteriak, “Ada boneka!” seisi ruangan itu berdiri, bertepuk tangan dan mengentak-entakkan sendal geta kayu mereka di lantai. Ginko buru-buru lari ke luar ruangan itu karena ketakutan, tapi para mahasiswa itu membuntutinya sambil bersiul-siul.

“Cantik, ya?”

“Mm,, dan dia akan mengukur denyut nadi para laki-laki.” “Dan, melihat mereka telanjang juga!”

Godaan dan hinaan menyerbu Ginko.

(36)

Pada cuplikan diatas terlihat bahwa tokoh Gin mengalami diskriminasi gender secara violence atau kekerasan.

“Mm,, dan dia akan mengukur denyut nadi para laki-laki.” “Dan, melihat mereka telanjang juga!”

Godaan dan hinaan menyerbu Ginko. Kalimat ini menunjukkan indeksikal ketidakadilan gender berupa kekerasan atau violence yang dialami oleh tokoh Gin. Kekerasan yang dilakukan oleh para laki-laki itu tidak berupa kekerasan fisik, namun berbentuk kekerasan nonfisik. Ketidakdilan gender yang dialami Gin ini termasuk dalam kategori pelecehan seksual, dimana laki-laki yang membuntuti Gin menyampaikan kata-kata yang cukup vulgar dan membuat Gin malu. Ucapan yang disampikan oleh mahasiswa laki-laki tersebut membuat Gin merasa tidak nyaman dalam melakukan aktifitasnya sebagai mahasiswa baru.

2. Cuplikan hal. 156

Pada pertengahan Mei, satu setengah bulan setelah Ginko mulai masuk kuliah, dia bergegas seperti biasa ke kamar mandi pada akhir kuliah tengah hari. Sekitar sepuluh orang laki-laki di depannya, berbaris dan berbicara keras-keras. Ginko mempercepat langkahnya untuk melewati mereka dan menuju ke WC, ketika tiba-tiba salah seorang berbalik menghadapnya. Menyadari gerakan itu, Ginko mendongak dan mendapati laki-laki itu memperlihatkan kemaluannya sendiri.

(37)

“Tidak, lihatlah! Aku laki-laki!”

Tawa vulgar para laki-laki itu memenuhi seisi kamar mandi.

“Oh, lihat, tampaknya benda ini membuat kesal Nona Cendikiawan.” Sambil berkata demikian, dia melambaikan kemaluan di depan wajah dan mata Ginko yang tertutup rapat.

Analisis:

Pada cuplikan diatas jelas menunjukkan bahwa Gin mengalami diskriminai gender dalam bentuk kekerasan. Kekerasan yang dialami oleh Gin merupakan kekerasan dalam bentuk nonfisik yang mengarah kekerasan dalam bentuk pornografi.

(38)

3. Cuplikan hal. 158

Mereka berencana menyerangnya seperti preman pada umumnya. Jadi Ginko mulai menangis, semuanya akan berakhir baginya. Jadi, Ginko mati-matian mengendalikan diri dan membalas mendelik.

“Kami mau bergiliran, mengerti?”

Ginko berbalik lagi, tapi mereka menghalangi jalan di belakangnya. “Kami tidak akan memberi tahu siapapun, jadi kau tidak perlu sok jual mahal.”

Ginko menoleh ke belakang mereka sejauh-jauhnya, tapi tidak ada orang yang terlihat.

“Lepaskan pakaianmu!”raung si kumis tebal, matanya merah. Mereka semua akan memerkosanya.

“Cepat!”

Ginko tiba-tiba berjongkok, menghindar ke kanan dan kemudian melesat ke kiri bawah lengan yang ada di depannya.

“Tolong!” Ginko berlari secepatnya, buku-bukunya yang terbungkus kain dia jepit di bawah lengannya. Namun kakinya tidak sebanding dengan mereka. Mereka dengan cepat menangkapnya dan menarik kerah bajunya ke belakang.

Analisis:

(39)

“Lepaskan pakaianmu!”raung si kumis tebal, matanya merah. Mereka semua akan memerkosanya. “Cepat!”. Kalimat ini menunjukkan indeksikal adanya diskriminasi gender secara violence atau kekerasan yang dialami oleh Gin. Hal ini dapat terjadi karena berasal dari asumsi bahwa laki-laki dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga memiliki legitimasi untuk menaklukkan dan memaksa perempuan. Selain itu juga berasal dari asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, sedangkan laki-laki adalah makhluk yang kuat sehingga bisa saja laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan dengan kekuatan yang dimilikinya. Hal inilah yang terjadi pada tokoh Ginko, dia mengalami diskriminasi gender berupa kekerasan yang dilakukan oleh para mahasiswa laki-laki dari universitasnya.

4. Cuplikan hal. 251

Pemilik rumah ini adalah perempuan nakal yang bersukaria dengan darah. Kata-kata itu tertulis di seluruh dinding disertai dengan karikatur Ginko yang memegang pisau bedah dengan satu tangan dan wajah setan setengah tertutup oleh rambut panjang yang acak-acakan.

“Bersihkan saja,” kata Ginko enteng, dan kembali ke dalam rumah. Tulisan tersebut sudah dihapus, tapi dua hari kemudian ada lagi. Kiamat sudah dekat kalau seorang perempuan mengukur denyut nadimu. Bidang kedokteran bukanlah pekerjaan bagi perempuan!

Analisis:

(40)

Ginko yang memegang pisau bedah dengan satu tangan dan wajah setan setengah tertutup oleh rambut panjang yang acak-acakan.” Dan pada kalimat ini “Tulisan tersebut sudah dihapus, tapi dua hari kemudian ada lagi. Kiamat sudah dekat kalau seorang perempuan mengukur denyut nadimu. Bidang kedokteran bukanlah pekerjaan bagi perempuan!” menunjukkan indeksikal adanya ketidakadilan gender dalam bentuk violence atau kekerasan.

(41)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Novel ‘Ginko’ adalah novel karya Jun’ichi Watanabe yang menggambarkan keadaan sejarah Jepang para awal zaman Meiji yang berkisar tahun 1870-1913, terutama kehidupan masyarakat pada zaman itu. Khususnya adalah kehidupan kaum wanita Jepang di masa ini serta kedudukan wanita dari segi peran sosialnya.

2. Melalui novel ‘Ginko’ dapat diketahui bagaimana kedudukan dan status wanita dalam masyarakat Jepang pada saat itu. Wanita di zaman Meiji sebenarnya sudah memperoleh persamaan hukum dengan pria dan tidak boleh diadakan diskriminasi dalam hubungan politik, ekonomi atau sosial berdasarkan ras, kepercayaan, gender, status sosial atau keturunan. Namun diskriminasi terhadap wanita tetap terjadi di masa ini, yakni pada tokoh Gin dalam novel ini.

3. Diskriminasi yang dialami oleh Gin terjadi sepanjang hidupnya. Yakni

(42)

4. Diskriminasi secara stereotipe juga dialami oleh Gin. Di masa ini masih berlaku anggapan bahwa tugas wanita hanyalah melayani dan mengurus rumah tangga. 5. Diskriminasi secara subordinasi yakni kedudukan wanita yang dianggap lebih

rendah dibandingkan pria yang terjadi dalam sektor pendidikan juga menimpa Gin.

6. Violence atau diskriminasi dalam bentuk kekerasan fisik maupun non fisik juga

dialami Gin sebagai kaum wanita.

7. Novel Ginko ini mengungkapkan bahwa malaupun posisi perempuan di zaman

Meiji sudah mengalami perubahan dan sudah mendapatkan persamaan hak dengan laki-laki, namun ternyata hal itu tidak bisa terealisasi. Masih ada perempuan di zaman Meiji yang mengalami diskriminasi gender. Hal ini terjadi karena adanya budaya patriarki yang berkembang di masyarakat dan asumsi yang berasal dari kultur dan budaya yang telah terbentuk dan melekat di masyarakat Jepang.

4.2 Saran

1. Bagi siapa saja yang menganalisis sebuah karya sastra, terutama novel yang dilihat dari sisi diskriminasi gendernya, sebaiknya terlebih dahulu harus mengumpulkan referensi bik mengenai novel yang akan diteliti maupun teori-teori pendukung pada penelitian, serta harus mamahami betul konsep gender dan jenis kelamin (sex).

(43)

mendalam agar tidak terjadi kesalah pahaman khususnya bagi pemabaca yang bukan orang Jepang.

3. Mempelajari bagaimana kedudukan wanita di Jepang juga merupakan hal yang

baik, karena tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk belajar dari pengalaman atau sejarah bangsa lain sebagai studi perbandingan yang bisa menajadi dasar kita berpikir dalam membuat kebijakan.

4. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan masukan terhadap

(44)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL GINKO DAN PENGERTIAN

GENDER

2.1 Defenisi Novel

Sebutan novel berasal dari bahasa Italia, yakni novella yang secara harfiah berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa” (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:9). Dalam bahasa Jerman novel disebut novelle dan dalam bahasa Inggris disebut dengan novel, istilah inilah yang kemudian masuk dalam bahasa Indonesia.

Novel merupakan bentuk prosa rekaan yang lebih pendek dari pada roman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:694), novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Prosa dalam kesusastraan juga disebut sebagai karya fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu karya sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995:2).

(45)

sejarah, (2) fiksi biografis / biographical fiction atau novel biografi, jika yang menjadi dasar penulisanfakta biografi seseorang, dan (3) fiksi sains / science fiction atau novel sains, jika yang menjadi dasar penulisannya adalah fakta mengenai ilmu pengetahuan.

Dilihat dari penggolongannya, maka penulis memasukkan novel “Ginko” ini ke dalam novel biografi karena novel ini ditulis berdasarkan fakta biografi seseorang yang dikumpulkan melalui penelitian dari berbagai sumber.

Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu novel populer dan novel serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita, tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Syarat utama sebuah novel adalah menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah membacanya.

1. Novel Populer

Novel populer sering juga disebut sebagai novel pop. Kata pop erat diasosiasikan dengan kata populer. Kayam dalam Nurgiyantoro (1981:82) mengatakan bahwa istilah pop merupakan istilah baru dalam dunia kesusastraan.

(46)

Novel populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur dan menceritakan kembali pengalaman itu. Kayam (1981:88) kembali mengungkapkan novel populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.

Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena novel populer memang hanya semata-mata menyampaikan cerita dan tidak berpotensi mengejar efek estetis melainkan memberikan hiburan langsung dari aksi ceritanya.

2. Novel Serius

Berbeda dengan novel populer, novel serius atau novel sastra sanggup memberikan yang serba kemungkinan. Jika ingin memahami novel sastra diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Disamping memberikan hiburan, novel serius juga memiliki tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.

(47)

Novel sastra menuntut aktifitas pembaca secara lebih serius, menuntut pembaca untuk mengoperasikan daya intelektualnya. Pembaca dituntut untuk ikut merekonstruksikan duduk persoalan masalah dan hubungan antar tokoh. Teks kesastraan sering mengemukakan sesuatu secara implisit sehingga menyebabkan pembaca harus benar-benar mengerahkan konsentrasinya untuk memahami teks cerita. Luxemburg, dkk (1989:6) mengungkapkan jika cerita bertentangan dengan pola harapan pembaca, disamping itu juga memiliki kontras yang ironis, hal ini justru menjadikan teks yang bersangkutan menjadi suatu cerita yang memiliki kualitas kesusastraan.

Stanton (2007:4) menjelaskan bahwa secara implisit maupun eksplisit disebutkan bahwa novel serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu yang berguna untuk kita dan bukan hanya memberi kenikmatan. Faktanya, novel serius dapat memberikan kenikmatan dan memang begitu adanya. Pernyataan ini telah diungkapkan dan dibuktikan oleh banyak orang.

2.2 Setting Novel Ginko

Setiap karya sastra disusun dari unsur-unsur yang menjadikannya sebuah kesatuan. Salah satu unsur yang sangat mempengaruhi keberadaan karya sastra adalah unsur intrinsik. Setting merupakan salah satu unsur intrinsik yang terdapat dalam karya sastra dalam hal ini adalah novel.

(48)

Setting dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: waktu, tempat, dan sosial. Ketiga unsur itu masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya setting berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

Setting berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi sastrawan setting cerita dapat digunakan untuk mengembangkan cerita. Setting cerita dapat digunakan sebagai penjelas tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Sastrawan juga bisa menggunakan setting cerita sebagai simbol atau lambang bagi peristiwa yang telah, sedang, atau akan terjadi. Sastrawan juga bisa menggunakan latar/ setting cerita untuk menggambarkan watak tokoh, suasana cerita atau atmosfer, alur, atau tema ceritanya. Bagi pembaca, latar cerita bisa membantu untuk membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Latar juga bisa membantu pembaca dalam memahami watak tokoh, suasana cerita, alur, maupun dalam rangka mewujudkan tema suatu cerita.

1. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan denngan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu factual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

(49)

2. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisia tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Dalam novel ‘Ginko’ mengambil latar tempat di beberapa tempat di Jepang, seperti di Kanto, Tokyo, Kofu, Hokkaido, Sapporo dan lain sebagainya. Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi di tempat-tempat seperti di tepi sungai, rumah sakit, asrama mahasiswa, kuil, klinik, gereja dan lain-lain.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyaran kepada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi maupun nonfiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menensgah atau atas.

Sama halnya juga dalam novel “Ginko” ini terdapat ruang lingkup tempat dan waktu sebagai wahana para tokohnya mengalami berbagai pengalaman dalam hidupnya. Setting peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam novel ini seluruhnya terjadi di Jepang dan berlangsung pada tahun 1870-1913.

Pada zaman ini masih dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme yaitu konsep ryousaikenbo yang mengatakan “bahwa seorang perempuan harus menjadi istri

(50)

zaman Meiji seperti Ogino Gin dalam novel ini untuk berpendidikan tinggi dan berprofesi sebagai dokter wanita merupakan hal yang hampir mustahil.

Sebenarnya, ryousaikenbo merupakan awal dari pandangan wanita Jepang modern. Hal ini disebabkan karena sebelum zaman meiji, para wanita hanya berperan sebagai orang melahirkan anak saja serta tidak diperbolehkan mengurus anaknya sendiri. Tetapi sejak konsep ryousaikebo mulai diterapkan pada zaman meiji, wanita pun harus turut berperan aktif dalam mendidik anak. Bahkan, konsep ryousaikenbo ini semakin diperkuat bahwa keluarga dianggap sebagai rumah. Dengan maksud bahwa di dalam rumah para anggota keluarga akan dirawat secara penuh kasih sayang oleh istri atau ibu.

Meskipun wanita Jepang telah mengalami kemajuan pada zaman itu namun, tetap saja dilakukan pemisahan kelas bagi pria dan wanita. Bahkan, pada saat itu pekerjaan bagi wanita Jepang sangat dibatasi serta pendidikan bagi wanita hanya dapat sampai SMU. Sehingga dapat dikatakan bahwa, konsep

ryousaikenbosebagai awal dari dimulainya ketidakadilan atau diskriminasi gender bagi wanita Jepang. Dimana seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak harus secara penuh mengurus rumah tangga dan merawat anak serta patuh terhadap segala keputusan suami.

(51)

Tidak peduli bagaimanapun terdidiknya perempuan kelas menengah tapi mereka tidak ada peluang di dalam masyarakat untuk menggunakan pendidikan mereka dalam berbagai cara yang efektif. Seperti halnya, Gin yang hidup di zaman Meiji yakni zaman dimana perempuan susah untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut karena ada paham dalam masyarakat yakni paham yang menganggap bahwa wanita harus tinggal di rumah dan tugas wanita yaitu urusan rumah tangga dan merawat anak dan suami. Sehingga Gin harus berjuang untuk bisa kuliah dan menjadi dokter wanita pertama.

2.3 Biografi Jun’ichi Watanabe

Jun’ichi Watanabe dilahirkan di Hokkaido, Jepang, pada tahu 1933. Dia mulai tertarik menulis saat menempuh sekolah menengah. Ketika menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Sapporo, dia bereksperimen dengan tulis menulis dan mulai mempublikasikan tulisannya di sejumlah majalah sastra.

Setelah lulus sebagai dokter, dia membuka praktik sebagai ahli bedah ortopedi, tapi kemudian dia mengundurkan diri dan hijrah ke Tokyo untuk menekuni dunia kepenulisan. Sejal tahun 1969, dia merintis karir sebagai penulis seutuhnya

Sejumlah karyanya berupa novel biografis dan terkadang berlatar dunia kedokteran. Selain Hanauzumi yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa termasuk Indonesia yang judulnya menjadi Ginko, novelnya yang populer adalah Shitsuraken (A Lost Paradise) yang menjadi buku laris di Jepangdan berbagai

(52)

Dia juga meraih sejumlah penghargaan dalam bidang sastra dan kepenulisan, antara lain hadiah Naoki 1970 untuk novel Hikari to kage dan hadiah Eiji Yoshikawa tahun 1979 untuk novel Toki rakujitsu.

2.4 Pengertian Gender

2.4.1 Konsep Gender

Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Perbedaan ini sangat penting, karena selama ini sering kali mencampur adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrat dan bukan kodrat (gender).

Kata gender sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau perbedaan jenis kelamin (Sugiarti, 2008: 4). Untuk memahami kata gender, harus dibedakan dengan kata seks atau jenis kelamin. Secara sruktur biologis atau jenis kelamin, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang masing-masing memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat serta tidak dapat dipertukarkan. Laki-laki tidak dapat menstruasi, tidak dapat hamil, karena tidak memiliki organ peranakan. Sedangkan perempuan tidak bersuara berat, tidak bekumis, karena keduanya memiliki hormon yang berbeda.

(53)

Sedangkan konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan (Sugiarti, 2008: 5).

Konsep gender menurut Sugihastuti tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Fakih, yakni konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, (2004: 8). Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.

(54)

Tabel : Perbedaan Gender dan Seks

No Karakteristik Seks Gender

1 Sumber Pembeda Tuhan Manusia (masyarakat)

2 Visi, Misi Kesetaraan Kebiasaan

3 Unsur Pembeda Biologis (alat reproduksi) Kebudayaan (tingkah laku)

4 Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukarkan.

Harkat, martabat dapat dipertukarkan.

5 Dampak Terciptanya nilai-nilai kesempurnaan, kedamaian yang menguntungkan kedua belah pihak.

Terciptanya norma/ ketentuan tentang pantas/ tidak pantas dan sering merugikan salah satu pihak.

6 Keberlakuan Sepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal perbedaan kelas.

Dapat berubah, musiman dan berbeda antar kelas.

(55)

nafkah dan wanita mengurus anak, merupakan perbedaan-perbedaan yang diciptakan oleh kebudayaan, sehingga hal-hal ini dapat berubah mengikuti perubahan perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat yang bersangkutan.

Sebagai suatu konsep teoritis, ada dua aspek konsep gender yang perlu diperhatikan. Pertama, gender merupakan konsep relasional. Seperti dikatakan oleh Melani Budianta (1998: 6), gender sebagai suatu konsep relasional artinya gagasan tentang pria tidak bisa dipisahkan dari gagasan tentang wanita.pendekatan yang berwawasan gender akhirnya mengoreksi kecenderungan sementara kaum feminis yag memfokuskan perhtian pada masalah wanita saja.

Kedua, seperti dikatakan oleh Tamanoi (1990: 17), gender sebagai konsep relasional mencakup hubungan antara pria dan wanita dalam setiap lapisan maupun kelompok masyarakat. Maksudnya, hubungan antara pria dan wanita bisa saja berbeda pada lapisan masyarakat yang satu dengan yang lainnya.

2.4.2 Ideologi Gender

(56)

Ideologi gender mengatur perbedaan sifat laki-laki dan perempuan, keadilan, sifat alamiah, asal-muasal, dan berbagai aspek orde gender.

Menurut Saptari dan Holzner, ideologi gender adalah seperangkat aturann nilai, stereotipe yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin. Ideologi ini terbentuk di berbagai tingkat, negara, komunitas dan disosialisasikan melalui pranata-pranata sosial yang dikuasai dan dikendalikan oleh kelompok-kelompok yang berkuasa (1997: 202).

Melalui konstruksi sosial, ideologi gender kemudian dijadikan sebuah norma yang mengatur bagaimana laki-laki dan perempuan harus bersikap, berpenampilan, berprilaku dan mengatur kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dengan prinsip yang lebih equal. Artinya, jika ada ideologi dalam budaya masyarakat yang memihak kepada yang “serba laki-laki” atau yang “serba perempuan”, maka disebut ideologi bias gender.

Ideologi bias gender adalah ideologi dimana norma, keyakinan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai lazimnya masih serba laki-laki atau serba perempuan, sehingga ketika menemuka fenomena yang tidak sesuai norma yang “serba laki-laki” (patriarkhi), dianggap menyimpang. Inilah kesalahan mengukur perempuan dari perspektif laki-laki, bukan perspektif manusia. Ideologi gender saat ini sedang menjadi warna perjuangan para feminis melalui kerangka budaya kelompok masyarakat secara kelembagaan maupun melalui kerangka budaya secara perorangan.

(57)

konsep bahwa perempuan dapat bekerja di sektor publik. Sektor publik dimaksud baik menyangkut sektor ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan.

2.4.3 Ketidakadilan Gender

Hakikatnya, manusia memiliki kedudukan yang setara, laki-laki maupun perempuan. Keduanya diciptakan dalam derajat, harkat, dan martabat yang sama. Kalaupun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda, itu semua agar keduanya saling melengkapi. Namun dalam perjalanan manusia, banyak terjadi perubahan peran dan status atas keduanya, terutama dalam masyarakat. Proses tersebut lama kelamaan menjadi kebiasaan dan membudaya. Dan akhirnya berdampak pada terciptanya perlakuan diskriminatif atau ketidakadilan terhadap salah satu jenis kelamin. Selanjutnya, muncul istilah gender yang mengacu kepada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk dari proses perubahan peran dan status tadi bik secara sosial maupun budaya.

Aplikasi dan implikasi gender di masyarakat belum sesuai dengan yang diharapkan, karena masih sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya setempat. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, perbedaan gender ini dalam beberapa hal akan mengantarkan pada ketidakadilan gender.

(58)

Berikut berbagai bentuk ketidakadilan gender yang dingkapkan oleh Fakih (2004: 13-23).

a. Peminggiran / Marginalisasi

Marginalisasi atau peminggiran adalah kondisi dimana terjadinya peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus pekerjaan utama yang berakibat pemiskinan. Marginalisasi disebut juga pemiskinan ekonomi.

Proses marginalisasi yang mengakibatkan pemiskinan sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender. Banyak studi telah dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan.

Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan.

b. Anggapan tidak penting / Subordinasi

Subordinasi atau anggapan tidak penting adalah anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.

(59)

perempuan tidak bisa memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Perempuan diidentikkan dengan jenis pekerjaan tertentu.

Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Misalnya saja diskriminasi secara subordinasi yang diderita oleh kaum perempuan pada sektor, pekerjaan misalnya presentase jumlah pekerja perempuan, penggajian, pemberian fasilitas, serta beberapa hak-hak perempuan yang berkaitan dengan kodratnya belum terpenuhi.

Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai kaum laki-laki. Keyakinan gender ternyata ikut menyumbangkan diskriminasi terhadap posisi perempuan disegala bidang pekerjaan.

c. Pelabelan / Stereotipe

(60)

Dengan adanya pelabelan tersebut tentu saja akan muncul banyak stereotipe yang dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan laki-laki dan perempuan.

Masyarakat juga memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.

d. Beban kerja berlebih / Double Burden

Double burden atau beban kerja berlebih adalah perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.

Dengan berkembangnya wawasan kemitrasejajaran berdasarkan pendekatan gender dalam berbagai aspek kehidupan, maka peran perempuan mengalami perkembangan yang cukup cepat. Namun perkembangan perempuan tidaklah mengubah peranan yang lama yaitu peranan dalam lingkup rumah tangga. Maka dari itu perkembangan peranan perempuan ini sifatnya menambah, dan umumnya perempuan mengerjakan peranan sekaligus untuk memenuhi tuntutan pembangunan. Untuk itu maka beban kerja perempuan terkesan berlebih.

(61)

perempuan harus bekerja lebih untuk mencari nafkah, maka ia memikul beban kerja ganda atau berlebih.

e. Kekerasan / Violence

Violence atau kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan sering kali terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan sering kali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patriarki yang berkembang di masyarakat (Sugiarti, 2008: 18). Menurut Fakih (2004: 17-20) banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, diantaranya:

Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan

dalam perkawinan. Hal ini terjadi jika seseorang melakukan paksan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan.

Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah

(62)

Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation).

Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran

merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di satu sisi pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi di lain pihak negara juag menarik pajak dari mereka. Sementara seorang pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun pusat kegiatan mereka selalu saja ramai dikunjungi orang.

Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi adalah jenis

kekerasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang.

Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga

Berencana. KB dibanyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan.

Ketujuh, jenis kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang taau menyentuh bagian tubuh tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dn kesempatan tanpa kerelaan dari si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan ataupun di tempat umum.

Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum

dilakukan di masyarakat yakni yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual and emotional harassement. Ada beberapa bentuk yang bisa dikategorikan sebagai

(63)

1. Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar kepada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat ofensif.

2. Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor.

3. Mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau pribadinya.

4. Menyentuh atau menyenggol bagian dari tubuh seseorang.

Dalam penelitian ini digunakan analisis gender agar penulis lebih memahami suatu bentuk ketidakadilan dan kaitannya dengan sistem sosial yang lebih luas. Di dalam menganalisis dengan menggunakan kajian gender, penulis harus mampu memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem dan struktur yang tidak adil, dimana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender tersebut.

(64)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka rasakan atau mereka alami. Selain itu karya sastra menyuguhkan potret kehidupan dengan menyangkut persoalan sosial dalam masyarakat, setelah mengalami pengendapan secara intensif dalam imajinasi pengarang, maka lahirlah pengalaman kehidupan sosial tersebut dalam bentuk karya sastra.

Menurut Semi dalam Wahyudi (2008: 67) sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta. Dengan hadirnya karya sastra yang membicarakan persoalan manusia, antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Sastra dengan segala ekspresinya merupakan pencerminan dari kehidupan manusia. Adapun permasalahan manusia merupakan ilham bagi pengarang untuk mengungkapkan dirinya dengan media karya sastra. Mencermati hal tersebut, jelaslah manusia berperan sebagai pendukung yang sangat menentukan dalam kehidupan sastra.

(65)

Sebagai hasil imajinatif, sastra berfungsi sebagai hiburan yang menyenangkan, juga guna menambah pengalaman batin bagi para pembacanya. Sastra terdiri atas tiga jenis (genre), yaitu prosa, puisi, dan drama. Salah satu jenis prosa adalah novel.

Novel sebagai salah satu produk karya sastra merupakan media yang digunakan pengarang dalam menyampaikan ide-idenya. Sebagai media, karya sastra menjadi jembatan untuk menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Karya sastra sebagai media untuk merefleksikan pandangan si pengarang terhadap berbagai masalah yang diamatinya. Realitas sosial yang terjadi diramu dengan sedemikian rupa menjadi sebuah teks yang memungkinkan menghadirkan pencitraan yang berbeda dibandingkan dengan realitas empiris. Dengan demikian, realitas sosial yang terjadi di masyarakat dihadirkan kembali oleh pengarang melalui teks cerita dalam bentuk dan pencitraan yang berbeda. Dalam karya sastra, hal-hal yang digambarkan tentang masyarakat bisa berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran masing-masing anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin diantara seluruh anggotanya. Secara lebih sederhana, karya sastra menggambarkan unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Interaksi yang terjalin antara keduanya merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji.

(66)

kebudayaan bahwa secara struktural posisi lelaki lebih tinggi dari pada kaum perempuan.

Saat membahas masalah perempuan, salah satu konsep penting yang tidak bisa dilupakan adalah permasalahan gender. Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Kalau dilihat dalam kamus, tidak dijelaskan secara jelas pengertian antara kata sex dan gender. Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.

(67)
(68)

dibandingkan perempuan. Efek negatif yang muncul akibat dari pemilahan peran gender dari budaya patriarki akan memunculkan ketidakadilan gender sehingga akan membentuk diskriminasi perempuan.

Dalam pasal 1 butir 3 UU No. 39/1998 tentang HAM disebutkan pengertian diskriminasi, yakni segala bentuk pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.

Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi , diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, dimana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam kehidupan masyarakat, ini disebabkan kecenderungan manusia membeda-bedakan yang lain. Diskriminasi juga mempengaruhi setiap individu dalam menentukan pilihan dalam kehidupannya.

Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang memperlakukan satu orang atau satu kelompok secara tidak adil dari pada orang yang lainnya.

(69)

stereotipe atau pelabelan, d) Kekerasan / violence , e) Beban kerja berlebih / double burden.

Masalah mengenai diskriminasi khususnya diskriminasi gender juga terdapat dalam sebuah novel Jepang karangan Jun’ichi Watanabe yang berjudul Ginko. Novel Ginko menceritakan tentang seorang gadis desa Tarawase yang bernama Ogino Gin yang memiliki ambisi dan harapan untuk menjadi seorang dokter wanita. Pada masa awal pemerintahan Meiji, untuk meraih profesi dokter merupakan hal yang sangat sulit bagi perempuan. Maka dari itu cita-cita Gin untuk menjadi dokter terbilang mustahil untuk terwujud. Namun semua kenyataan itu tidak menyurutkan niatnya untuk menjadi dokter. Diawali dengan mengubah namanya menjadi Ginko sebagai simbol perlawanannnya terhadap ketidakdilan yang mendera perempuan, dia memulai perjuangan untuk menjadi dokter perempuan pertama di Jepang. Tokoh utama perempuan dalam novel ini beranggapan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk merasakan profesi dokter. Dia berambisi menjadi dokter perempuan agar perempuan-perempuan lain yang sedang sakit dan butuh pertolongan dokter tidak perlu merasa canggung lagi saat mereka akan diperiksa oleh dokter perempuan dan mereka pun dengan senang hati menjalani proses pengobatan apapun. Penyangkalan antara realitas dan keinginan tokoh utama mencerminkan tidak banyak yang dapat dilakukan perempuan jepang untuk melakukan budaya patriarki seperti yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki.

(70)

sistem pembagian kerja dan lain-lain. Walau demikian, tokoh utama wanita tidak pernah menyerah untuk meraih ambisinya untuk menjadi dokter perempuan.

Berdasarkan pada uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk membahas diskriminasi gender yang terdapat dalam novel Ginko karya Jun’ichi Watanabe sehingga akhirnya penulis memilih judul skripsi yaitu “Diskriminasi Gender yang Dialami Oleh Tokoh Gin Dalam Novel ‘Ginko’ Karya Jun’ichi Watanabe”.

1.2 Perumusan Masalah

Istilah gender sudah sangat sering terdengar namun belum semua orang memahami apa itu gender sebenarnya. Sebagian besar orang menganggap gender sama dengan sex atau jenis kelamin. Padahal gender dan sex merupakan dua istilah yang artinya sangat jauh berbeda. Sex atau jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Jenis kelamin ini secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering disebut sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.

Setiap masyarakat dalam komunitas kebudayaan tertentu memiliki pandangan yang tentunya berbeda mengenai sifat laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender sesungguhnya tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak terjadinya diskriminasi atau ketidakadilan gender.

Gambar

Tabel : Perbedaan Gender dan Seks

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ; (1) gaya instruktif berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja dengan kontribusi sebesar 96,0%, (2) gaya konsultatif berpengaruh

Berdasarkan hal tersebut, ditemui fakta bahwa media online yang dimiliki oleh pemilik merupakan “surga” karena media tersebut digunakan sesuka hati khususnya bagi

Larutan hidrotermal yang melewati batuan, ketika berinteraksi atau kontak dengan batuan tersebut maka larutan hidrotermal akan membawa ion-ion atau kation-kation yang

In the limited guidelines on how ecolodege can contributes to the global warming reductions, this paper highlight the important of attraction and development

– Dia humpunan yang saling asing t ersebut adalah pohon biner pada sub pohon kiri (left ) dan sub pohon kanan (right ). – Tergolong dalam pohon berat uran, yait u pohon yang

ABSTRACT: Morphological variables such as phytomass, plant height, leaf area, number of leaves, have been used to express the influence of mineral nutrients on plant growth

4.1.The Antibacterial Activity as Clear Zone of Chrysanthemum indicum Extract on Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, and Escherichia coli

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengaruh