• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL GINKO DAN

3.2 Masalah Gender dalam Novel Ginko karya Jun’ichi Watanabe

3.2.4 Ketidakadilan Gender Berupa Violence

Berikut ini adalah masalah ketidakadilan gender dalam bentuk violence atau kekerasan yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan hal. 151

Hari pertama, setelah menyelesaikan berkas-berkas pendaftarannya, Ginko melihat sekelilingnya bertanya-tanya apa yang harus dilakukan berikutnya, tapi tak seorang menawarkan bimbingan atau arahan. Ketika dia bertanya kepada staf kantor kemana dia harus pergi, jawabannya hanya”hmm, tidak tahu” yang dingin. Terlihat jelas dari ekspresi mereka bahwa bagi mereka, kehadirannya menodai reputasi sekolah itu. Tanpa pilihan lain, Ginko pergi sendirian untuk melihat-lihat. Sekolah itu hanya terdiri dari gedung berdinding putih, beratap genteng dengan beberapa ruang kelas dan laboratorium berjajar di koridor. Ginko melongok kedalam melalui pintu salah satu kelas, di tempat sejumlah besar mahasiswa berkumpul.

Tiba-tiba seseorang berteriak, “Ada boneka!” seisi ruangan itu berdiri, bertepuk tangan dan mengentak-entakkan sendal geta kayu mereka di lantai. Ginko buru-buru lari ke luar ruangan itu karena ketakutan, tapi para mahasiswa itu membuntutinya sambil bersiul-siul.

“Cantik, ya?”

“Mm,, dan dia akan mengukur denyut nadi para laki-laki.” “Dan, melihat mereka telanjang juga!”

Godaan dan hinaan menyerbu Ginko.

Pada cuplikan diatas terlihat bahwa tokoh Gin mengalami diskriminasi gender secara violence atau kekerasan.

“Mm,, dan dia akan mengukur denyut nadi para laki-laki.” “Dan, melihat mereka telanjang juga!”

Godaan dan hinaan menyerbu Ginko. Kalimat ini menunjukkan indeksikal ketidakadilan gender berupa kekerasan atau violence yang dialami oleh tokoh Gin. Kekerasan yang dilakukan oleh para laki-laki itu tidak berupa kekerasan fisik, namun berbentuk kekerasan nonfisik. Ketidakdilan gender yang dialami Gin ini termasuk dalam kategori pelecehan seksual, dimana laki-laki yang membuntuti Gin menyampaikan kata-kata yang cukup vulgar dan membuat Gin malu. Ucapan yang disampikan oleh mahasiswa laki-laki tersebut membuat Gin merasa tidak nyaman dalam melakukan aktifitasnya sebagai mahasiswa baru.

2. Cuplikan hal. 156

Pada pertengahan Mei, satu setengah bulan setelah Ginko mulai masuk kuliah, dia bergegas seperti biasa ke kamar mandi pada akhir kuliah tengah hari. Sekitar sepuluh orang laki-laki di depannya, berbaris dan berbicara keras-keras. Ginko mempercepat langkahnya untuk melewati mereka dan menuju ke WC, ketika tiba-tiba salah seorang berbalik menghadapnya. Menyadari gerakan itu, Ginko mendongak dan mendapati laki-laki itu memperlihatkan kemaluannya sendiri.

“Oh!” Ginko tercekat dengan sendirinya dan menutupi matanya dengan kedua tangannya, berjongkok di tempat.

“Tidak, lihatlah! Aku laki-laki!”

Tawa vulgar para laki-laki itu memenuhi seisi kamar mandi.

“Oh, lihat, tampaknya benda ini membuat kesal Nona Cendikiawan.” Sambil berkata demikian, dia melambaikan kemaluan di depan wajah dan mata Ginko yang tertutup rapat.

Analisis:

Pada cuplikan diatas jelas menunjukkan bahwa Gin mengalami diskriminai gender dalam bentuk kekerasan. Kekerasan yang dialami oleh Gin merupakan kekerasan dalam bentuk nonfisik yang mengarah kekerasan dalam bentuk pornografi.

“Oh, lihat, tampaknya benda ini membuat kesal Nona Cendikiawan.” Sambil berkata demikian, dia melambaikan kemaluan di depan wajah dan mata Ginko yang tertutup rapat. Kalimat ini menunjukkan indeksikal adanya kekerasan yang dialami oleh Gin sebagai perempuan. Tindakan mereka yang telah mempermalukan Ginko di dalam toilet dengan menunjukkan kemaluan mereka merupakan tindakan kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena adanya budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki- laki berkuasa atas perempuan. Pada dasarnya kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patriarki yang berkembang di masyarakat.

3. Cuplikan hal. 158

Mereka berencana menyerangnya seperti preman pada umumnya. Jadi Ginko mulai menangis, semuanya akan berakhir baginya. Jadi, Ginko mati-matian mengendalikan diri dan membalas mendelik.

“Kami mau bergiliran, mengerti?”

Ginko berbalik lagi, tapi mereka menghalangi jalan di belakangnya. “Kami tidak akan memberi tahu siapapun, jadi kau tidak perlu sok jual mahal.”

Ginko menoleh ke belakang mereka sejauh-jauhnya, tapi tidak ada orang yang terlihat.

“Lepaskan pakaianmu!”raung si kumis tebal, matanya merah. Mereka semua akan memerkosanya.

“Cepat!”

Ginko tiba-tiba berjongkok, menghindar ke kanan dan kemudian melesat ke kiri bawah lengan yang ada di depannya.

“Tolong!” Ginko berlari secepatnya, buku-bukunya yang terbungkus kain dia jepit di bawah lengannya. Namun kakinya tidak sebanding dengan mereka. Mereka dengan cepat menangkapnya dan menarik kerah bajunya ke belakang.

Analisis:

Cuplikan diatas menunjukkan tindakan kekerasan yang dialami oleh Ginko sebagai perempuan. Kekerasan yang dialami oleh Ginko berupa kekerasan dalam bentuk fisik. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para laki-laki itu merupakan kekerasan secara langsung.

“Lepaskan pakaianmu!”raung si kumis tebal, matanya merah. Mereka semua akan memerkosanya. “Cepat!”. Kalimat ini menunjukkan indeksikal adanya diskriminasi gender secara violence atau kekerasan yang dialami oleh Gin. Hal ini dapat terjadi karena berasal dari asumsi bahwa laki-laki dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga memiliki legitimasi untuk menaklukkan dan memaksa perempuan. Selain itu juga berasal dari asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, sedangkan laki-laki adalah makhluk yang kuat sehingga bisa saja laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan dengan kekuatan yang dimilikinya. Hal inilah yang terjadi pada tokoh Ginko, dia mengalami diskriminasi gender berupa kekerasan yang dilakukan oleh para mahasiswa laki-laki dari universitasnya.

4. Cuplikan hal. 251

Pemilik rumah ini adalah perempuan nakal yang bersukaria dengan darah. Kata-kata itu tertulis di seluruh dinding disertai dengan karikatur Ginko yang memegang pisau bedah dengan satu tangan dan wajah setan setengah tertutup oleh rambut panjang yang acak-acakan.

“Bersihkan saja,” kata Ginko enteng, dan kembali ke dalam rumah. Tulisan tersebut sudah dihapus, tapi dua hari kemudian ada lagi. Kiamat sudah dekat kalau seorang perempuan mengukur denyut nadimu. Bidang kedokteran bukanlah pekerjaan bagi perempuan!

Analisis:

Pada kalimat “Pemilik rumah ini adalah perempuan nakal yang bersukaria dengan darah. Kata-kata itu tertulis di seluruh dinding disertai dengan karikatur

Ginko yang memegang pisau bedah dengan satu tangan dan wajah setan setengah tertutup oleh rambut panjang yang acak-acakan.” Dan pada kalimat ini “Tulisan tersebut sudah dihapus, tapi dua hari kemudian ada lagi. Kiamat sudah dekat kalau seorang perempuan mengukur denyut nadimu. Bidang kedokteran bukanlah pekerjaan bagi perempuan!” menunjukkan indeksikal adanya ketidakadilan gender dalam bentuk violence atau kekerasan.

Dari kalimat diatas erlihat bagaimana Ginko mengalami diskriminasi gender secara violence atau kekerasan. Kekerasan yang dialami oleh Ginko tidak dalam bentuk serangan terhadap fisik, namun serangan terhadap psikologisnya. Dengan menuliskan kata-kata yang menjatuhkan martabat Ginko sebagai seorang dokter perempuan. Memang di zaman ini masyarakat Jepang belum bisa menerima kehadiran seorang dokter perempuan, sehingga masih banyak yang menjelek- jelekkan perempuan yang berprofesi dokter, seperti halnya yang dialami oleh Ginko.

Dokumen terkait