• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Komplikasi Hipertensi

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok dari penyakit metabolisme, baik itu metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein yang disebabkan oleh penurunan dari fungsi insulin pada proses sekresi insulin, aktivitas insulin (sensitivitas), maupun keduanya (Triplitt, 2011). Hipertensi merupakan suatu penyakit dimana terjadi peningkatan tekanan darah arteri secara persisten (Saseen and Maclaughlin, 2011).

2.1.1 Patofisiologi Penyakit

Hubungan antara resistensi insulin dengan faktor risiko kejadian kardiovaskuler termasuk hiperinsulinemia, hipertensi, obesitas, dislipidemia, dan kelainan pembekuan darah telah diklasifikasikan dengan banyak sebutan, termasuk “sindrom resistensi insulin,” dan “sindrom metabolik.” Seringkali yang menjadi parameter bagi seseorang dikatakan memiliki sindrom metabolik adalah seseorang yang mengalami obesitas disertai dua dari tiga kondisi lainnya, yakni diabetes melitus, dislipidemia, dan hipertensi (Triplitt, 2011).

Secara hipotesis, peningkatan konsentrasi insulin yang menyebabkan hipertensi terjadi akibat peningkatan retensi natrium di ginjal dan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis.Selain itu, insulin memiliki kerja seperti hormon pertumbuhan yang dapat merangsang hipertropi dari sel-sel otot halus dari pembuluh. Insulin juga dapat meningkatkan tekanan darah dengan cara meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler, yang akan mengarah pada

Diabetes melitus merupakan penyakit yang dapat ditangani. Walaupun kadar glukosa darah dapat dikontrol, tetap saja risiko seseorang untuk mengalami penyakit kardiovaskuler masih sangat tinggi. Hal ini diakibatkanseseorang yang memiliki diabetes melitus juga memiliki beberapa kondisilain, yakni:

a. Hipertensi

Hipertensi sudah menjadi risiko utama penyebab penyakit jantung dan stroke sejak dulu.Hal ini terjadikarena terdapat hubungan yang positif antara hipertensi dan resistensi insulin. Ketika seseorang mengalami kedua penyakit tersebut, risiko untuk mengalami penyakit jantung juga akan meningkat dua kali lipat dari sebelumnya.

b. Kadar kolesterol dan trigliserida yang tinggi

Tingginya kadarLow Density Lipoprotein (LDL), rendahnya kadar High

Density Lipoprotein (HDL), dan juga tingginya kadar trigliseridadapat

meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler melalui mekanisme dislipidemia aterogenik.

c. Obesitas

Obesitas telah dikaitkan menjadi salah satu faktor risiko pada penyakit kardiovaskuler. Penurunan berat badan dapat menurunkan risiko tersebut, menurunkan kadar insulin, dan juga meningkatkan resistensi insulin.

d. Kurang aktivitas fisik

e. Asupan makanan yang tidak terkontrol

Pola asupan makanan yang tidak terkontrol dapat menyebabkan banyak faktor risiko untuk diabetes dan hipertensi menjadi lebih tinggi.Terlalu banyak mengkonsumsi glukosa dan makanan kaya natrium dapat menyebabkan risiko penyakit diabetes dan hipertensi menjadi lebih tinggi terjadi pada seseorang. f. Merokok

Merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler, baik itu pada pasien diabetes melitus maupun tidak (Heart.org, 2015).

2.1.3 Klasifikasi Diabetes MelitusDan Hipertensi

Menurut (Triplitt, 2011), klasifikasi penyakit diabetes melitus dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Pengkategorian Status Glukosa

Parameter Keterangan Nilai

Gula Darah Puasa

Normal <100 mg/dL Toleransi Kelainan Glukosa 100 – 125 mg/dL Diabetes Melitus ≥126 mg/dL Gula Darah Dua

Jam Setelah Makan

Normal <140 mg/dL Toleransi Kelainan Glukosa 140 – 199 mg/dL Diabetes Melitus ≥200 mg/dL Menurut (Saseen and Maclaughlin, 2011), klasifikasi penyakit hipertensi dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Klasifikasi Tekanan Darah Pada Orang Dewasa

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi Stage 1 140-159 90-99

2.2.1 Insulin

Target organ utama insulin dalam mengatur kadar glukosa adalah hati, otot, dan jaringan adiposa. Peran utamanya antara lain uptake, utilisasi, dan penyimpanan nutrien di sel. Proses anabolik insulin meliputi stimulasi, utilisasi, dan penyimpanan glukosa, asam amino, asam lemak intrasel; sedangkan proses katabolisme (pemecahan glikogen, lemak, dan protein) dihambat. Semua efek ini dilakukan dengan stimulasi transport substrat dan ion ke dalam sel, menginduksi translokasi protein, mengaktifkan dan menonaktifkan enzim spesifik, merubah jumlah protein dengan mempengaruhi kecepatan transkripsi gen dan translasi mRNA spesifik (Suherman dan Nafrialdi, 2011).

Stimulasi transport glukosa ke otot dan jaringan adiposa merupakan hal yang krusial dari respon fisiologis terhadap tubuh. Glukosa masuk ke dalam sel melalui salah satu jenis glucose-transporter (GLUT), dan 5 dari GLUT ini (GLUT1 sampai GLUT5) berperan pada difusi glukosa ke dalam sel yang bersifat

Na+-independent. Insulin merangsang transport glukosa dengan menginduksi

enersi untuk mentranslokasi GLUT4 dan GLUT1 dari vesikel intrasel ke membran plasma. Efek ini bersifat reversibel, GLUT kembali ke pool intrasel saat insulin tidak bekerja lagi. Gangguan proses regulasi ini dapat menjadi salah satu penyebab DM tipe 2 (Suherman dan Nafrialdi, 2011).

2.2.2 Golongan Sulfonilurea

membran sel-sel β yang menimbulkan depolarisasi membran dan pada keadaan ini akan membuka kanal kalsium. Dengan terbukanya kanal kalsium maka ion Ca2+akan masuk ke dalam sel-β, merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida-C. Kecuali itu, sulfonilurea dapat mengurangi klirens insulin di hepar.Contoh dari obat golongan ini adalah glibenklamid (gliburid), glipizid, gliklazid, dan glimepirid (Suherman dan Nafrialdi, 2011).

2.2.3 Golongan Biguanid

Biguanid sebenarnya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu anti hiperglikemik, tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia.Biguanid menurunkan produksi glukosa di hati dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adiposa terhadap insulin. Efek ini terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP-activated protein kinase).Meski masih kontroversi, adanya penurunan produksi glukosa hati, banyak data yang menunjukkan bahwa efeknya terjadi akibat penurunan glukoneogenesis.Biguanid tidak mempunyai efek yang berarti pada sekresi glukagon, kortisol, hormon pertumbuhan dan somatostatin. Contoh obat golongan ini adalah metformin (Suherman dan Nafrialdi, 2011).

Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat perubahan glukosa menjadi lemak.Oleh karena itu pada pasien diabetes yang gemuk, biguanid dapat menurunkan berat badan namun mekanismenya belum jelas dan pada orang nondiabetes yang gemuk tidak timbul penurunan berat badan dan kadar glukosa darah (Suherman dan Nafrialdi, 2011).

Banyak golongan obat yang dapat diberikan pada pasien hipertensi.Berbagai macam kombinasi obat tersebut dapat dilihat secara ringkas pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Mekanisme kerja berbagai obat anti hipertensi 2.3.1 Golongan Diuretik

Diuretik Kuat (Loop Diuretic)

Diuretik kuat bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit Na+/K+/Cl2- di ansa henle asendens bagian epitel tebal, dimana tempat kerjanya berada di permukaan sel epitel bagian luminal. Perubahan hemodinamik ini akan menyebabkan turunnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal dan

Diuretik Tiazida

Diuretik tiazida bekerja menghambat simporter Na+ dan Cl- di hulu tubulus distal. Sistem transport ini dalam keadaan normal berfungsi membawa Na+ dan Cl- dari lumen ke dalam sel epitel tubulus. Na+ selanjutnya dipompakan keluar tubulus dan ditukar dengan K+, sedangkan Cl- dikeluarkan dari kanal klorida.Efek farmakodinamik tiazid yang utama ialah meningkatkan ekskresi natrium, klorida, dan sejumlah air.Melalui mekanisme tersebut, penurunan tekanan darah dapat terjadi.Contoh obat golongan ini adalah hidroklortiazid, klorotiazid, dan benztiazid (Nafrialdi, 2011).

Diuretik Hemat Kalium – Antagonis Aldosteron

Aldosteron merupakan suatu mineralokortikoid yang berperan memperbesar reabsorpsi natrium dan klorida di tubuli distal serta memperbesar ekskresi kalium. Obat diuretik antagonis aldosteron akan menghambat aldosteron secara kompetitif sehingga timbul efek diuresis yang akan menurunkan tekanan darah. Contoh obat golongan ini adalah spironolakton dan eplerenon (Nafrialdi, 2011).

2.3.2 Golongan ACE – Inhibitor

ACE – Inhibitor menghambat perubahan Angiotensin I menjadi

Angiotensin II yang memiliki sifat vasokonstriktor sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan akan berperan dalam efek vasodilatasi ACE – Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekresi air

ramipril, dan elanapril (Nafrialdi, 2011).

2.3.3 Golongan Angiotensin Receptor Blocker(ARB)

Obat golongan ini bersifat antagonis terhadap angiotensin II, sehingga memiliki mekanisme kerja yakni menduduki reseptor angiotensin II yang memiliki sifat vasokonstriksi.Oleh karena itulah, tekanan darah dapat diturunkan.Contoh obat golongan ini adalah valsartan, losartan, dan irbesartan (Nafrialdi, 2011).

2.3.4 Golongan Beta Blocker

Beta Blocker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik

norephineprin dan ephineprin endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada adrenoreseptor-β.Efek terhadap sistem kardiovaskuler merupakan efek beta blocker yang terpenting, terutama akibat kerjanya pada jantung.Beta blocker

mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard.Disamping itu, hambatan

sekresi renin dari ginjal melalui reseptor β1 juga menimbulkan efek

hipotensif.Sebagian sekresi renin akibat diet rendah natrium juga diblok oleh beta

bloker.Contoh obat ini adalah propanolol, bisoprolol, dan atenolol (Setiawati dan

Sulistia, 2011).

2.3.5 Golongan Calcium Channel Blocker

Pada otot jantung dan otot polos vaskular, kalsium berperan dalam peristiwa kontraksi. Pada otot jantung mamalia, masuknya Ca2+ke dalam sel akan meningkatkan kontraktilitas dari otot jantung melalui peristiwa repolarisasi dan

sel sehingga kontraktilitas tidak terjadi. Selain itu, obat golongan ini juga memiliki efek lainnya seperti meningkatkan sedikit konsumsi oksigen pada jantung sebagai kompensasi akibat penurunan tekanan darah dan denyut jantung.Contoh obat golongan ini adalah nifedipin dan amlodipin (Suyatna, 2011).

2.3.6 Golongan Anti Koagulan – Anti Trombotik

Anti koagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan cara menghambat pembentukan atau menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan darah. Anti trombotik merupakan suatu anti koagulan yang bekerja dengan cara menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yangsering terjadi pada sistem arteri. Berkurangnya viskositas darah dapat menyebabkan turunnya beban pada resistensi vaskuler perifer sehingga dapat menurunkan tekanan darah.Obat anti koagulan oral yang sering digunakan adalah aspilet dan klopidogrel (Dewoto, 2011).

Aspilet (aspirin dosis kecil) menghambat sintesis tromboksan-A2 (TXA2) di dalam trombosit di pembuluh darah dengan menghambat secara irreversible enzim siklooksigenase sebagai akibatnya terjadi pengurangan agregasi trombosit. Penggunaan aspilet juga berguna untuk menurunkan risiko terjadinya kambuhan pada infark miokard dan stroke (Dewoto, 2011).

Klopidogrel memiliki mekanisme kerja dengan cara menghambat agregasi trombosit yang diinduksi oleh ADP namun tidak mempengaruhi metabolisme prostaglandin (Dewoto, 2011).

Dokumen terkait