• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Telaah Masalah Terapi Obat

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukanpenulis mendapatkan gambaran masalah terapi obat secara umum yang terjadi pada pasien yang dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Gambaran Masalah Terapi Obat Pada Pasien Penderita Diabetes

Melitus Komplikasi Hipertensi di Ruang Rawat Inap RSUD Kota Langsa Tahun 2014

Masalah Terapi Obat Jumlah Kasus Persentase

kategori masalah terapi obat yang terjadi. Kelima kategori masalah terapi obat tersebut adalah pemilihan obat yang kurang tepat, kontraindikasi pemakaian obat, obat dengan mekanisme kerja mirip, indikasi tidak terobati, dan potensial interaksi obat.Gambaran dari masalah terapi obat yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Gambaran Masalah Terapi ObatPer Kategori Pada Pasien Penderita

Diabetes Melitus Komplikasi Hipertensi di Ruang Rawat Inap RSUD Kota Langsa Tahun 2014

No Kode Masalah Terapi Obat Jumlah Resep Persentase

1 P2.1 Pemilihan obat yang kurang tepat 39 38,61%

2 P2.6 Indikasi tidak terobati 2 1,98%

3 P2.4 Kontraindikasi pemakaian obat 7 6,93% 4 P2.3 Obat dengan mekanisme kerja mirip 4 3,96%

5 P5.1 Potensial interaksi obat 49 48,51%

Total Seluruh Masalah Terapi Obat 101 100%

Catatan: Jumlah resep merupakan gabungan dari semua terapi yang diterima pasien selama perawatan lalu dianggap mewakili terapi yang diterima oleh pasien

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat potensial interaksi obat merupakan masalah terapi obat yang paling banyak terjadi (mencapai sekitar 48,51%). Kemudian pemilihan obat yang kurang tepat menjadi masalah terapi obat kedua yang paling sering muncul yakni sekitar 38,61%. Untuk masalah terapi obat selanjutnya ialah kontraindikasi pemakaian obat (6,93%), obat dengan mekanisme kerja mirip (3,96%)dan indikasi tidak terobati (1,98%) dimana angka kejadiannya tidak terlalu tinggi. Kesemua masalah terapi obat yang terjadi akan dibahas pada sub-bab berikutnya.

4.4.1 Telaah Masalah Terapi Obat – Pemilihan Obat Yang Kurang Tepat (P2.1)

Pemilihan obat yang kurang tepat seringkali terjadi kepada pasien yang menerima lebih dari satu jenis obat yang dikombinasikan agar didapatkan hasil terapi yang lebih baik ataupun lebih cepat.Biasanya terdapat suatu algoritma pengobatan yang memiliki first line therapy, add-on therapy, dan selanjutnya. Pemberian obat yang tidak mengikuti algoritma terapi tersebut seringkali menjadi masalah terapi obat yang akan mengurangi hasil terapi yang diharapkan atau bisa menimbulkan suatu masalah baru dalam proses pengobatan.

Tabel 4.6 Gambaran Masalah Terapi Obat – Pemilihan Obat Yang Kurang Tepat

Pada Pasien Penderita Diabetes Melitus Komplikasi Hipertensi di Ruang Rawat Inap RSUD Kota Langsa Tahun 2014

No. Pemilihan Obat Yang Kurang Tepat Jumlah Resep Persentase Kombinasi Terapi 1 ACE – I / ARB + BB 20 51,28% 2 ACE – I / ARB + CCB 4 10,25% 3 CCB 2 5,12% 4 ACE – I + Diuretik + BB 4 10,25% 5 ACE – I + ARB + BB 1 2,56% 6 ACE – I / ARB + CCB + BB 5 12,82% 7 BB 1 2,56% 8 Diuretik + BB 1 2,56% 9 ACE – I + AB + CCB 1 2,56%

Total Pemilihan Obat Yang Kurang Tepat 39 100%

Total Dari Seluruh Masalah Terapi Obat 39 38,61%

Keterangan: AB = Alpha Blocker

Berdasarkan Tabel 4.6, dapat dilihat bahwa terjadi 39 kasus (atau sekitar 38,61%) pemilihan obat yang kurang tepat. Hal ini dikarenakan banyaknya pengobatan yang tidak mengikuti algoritma terapi yang telah disarankan oleh panduan terapi.

hipertensi dengan penyakit penyerta diabetes melitus, first line therapy yang diberikan adalah obat-obat golongan ACE – I(contoh: Captopril, Ramipril) atau obat golongan ARB (contoh: Valsartan, Candesartan). Untuk terapi selanjutnya diberikan obat golongan diuretik (contoh: Furosemid, Hidroklortiazid, dan lainnya), kemudian obat golongan CCB(contoh: Amlodipin) dan yang terakhir ialah obat golongan BB (contoh: Bisoprolol). Namun yang seringkali terjadi adalah pemberian obat anti hipertensi golongan BB yang langsung menjadi

add-on therapy pada pasien. Selain itu, didapat juga pemberian obat goladd-ongan Alpha Blocker(contoh: Hytrin, Cardura) yang seharusnya tidak masuk kedalam algoritma

terapi sehingga pemberian obat tersebut masuk kedalam masalah terapi obat yakni pemilihan obat yang kurang tepat.

Menurut (Saseen and Maclaughlin, 2011), pemberian obat golongan ACE – I atau ARB sebagai first line therapy dikarenakan keduanya merupakan obat yang memiliki sifat sebagai nefroprotektor dan juga dapat mengurangi risiko kejadian kardiovaskuler di waktu yang akan datang. Pemberian diuretik terutama tiazid diuretik sebagai add-on therapy dikarenakan obat tersebut dapat menjadi tambahan untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler. Pemberian obat golongan CCB dapat menurunkan risiko kejadian penyakit kardiovaskuler lainnya seperti infark miokard. Obat golongan BB sendiri berguna untuk menurunkan tekanan darah pada penderita diabetes melitus namun obat golongan ini memiliki beberapa kelemahan. Obat golongan BB dapat menutupi tanda dan gejala

homeostasis tubuh dalam meningkatkan kadar glukosa darah apabila terjadi kondisi hipoglikemia (Saseen and Maclaughlin, 2011).

4.4.2 Telaah Masalah Terapi Obat – Indikasi Tidak Terobati (P2.6)

Indikasi tidak terobati merupakan suatu masalah terapi obat yang muncul akibat tidak dilakukannya pemberian terapi kepada pasien yang telah didiagnosa penyakit tersebut.Hal ini seringkali terjadi karena kesalahan pada manusia (human

error) maupun hal yang bersifat tidak disengaja.

Tabel 4.7 Gambaran Masalah Terapi Obat – Indikasi Tidak Terobati Pada Pasien

Penderita Diabetes Melitus Komplikasi Hipertensi di Ruang Rawat Inap RSUD Kota Langsa Tahun 2014

No No. RM Diagnosa TD Pemberian

Obat Jumlah Resep Persentase 1 54.00.10 DM, HT, Trombositopenia 150/100 Gliklazid 1 50% 140/100 2 54.88.26 DM, HT, Tinea 140/60 Metformin, Glimepirid 1 50% 140/70 160/80 140/60

Total Indikasi Tidak Terobati 2 100%

Total Dari Seluruh Masalah Terapi Obat 2 1,98%

Berdasarkan Tabel 4.7 didapatkan dua kasus yang masuk kedalam indikasi tidak terobati. Pada pasien pertama, tekanan darah pasien pertama mencapai 150/100 mmHg sedangkan obat yang diberikan hanyalah obat untuk mengatasi diabetes melitus dari pasien, yakni Gliklazid.Pada pasien kedua didapatkan kejadian yang serupa yakni tekanan darah pasien mencapai 160/80 mmHg dan obat yang diberikan hanya Metformin dan Glimepirid.Hal ini tentu saja dikatakan indikasi tidak terobati karena seharusnya pasien diabetes melitus yang memiliki komplikasi hipertensi harus dikontrol tekanan darahnya hingga dibawah 140/90

pengobatan indikasi yang terjadi pada pasien (AMA, 2013).

4.4.3 Telaah Masalah Terapi Obat – Kontraindikasi Pemakaian Obat (P2.4)

Setiap obat seringkali memiliki kontraindikasi, yang artinya obat tersebut tidak boleh diberikan kepada pasien yang memiliki suatu keadaan atau penyakit khusus yang kemungkinan bisa menimbulkan suatu toksisitas maupun efek samping obat yang berbahaya bagi pasien.

Tabel 4.8 Gambaran Masalah Terapi Obat – Kontraindikasi Pemakaian Obat Pada

Pasien Penderita Diabetes Melitus Komplikasi Hipertensi di Ruang Rawat Inap RSUD Kota Langsa Tahun 2014

No. No. RM Diagnosa Pasien Pemberian Obat Jumlah Resep Persentase 1 48.67.32 DM, HT, HF Metformin 1 14,28% 2 50.38.12 DM, HT, HF, Neuropati Metformin 1 14,28% 3 52.71.81 DM, HT, PJK Metformin 1 14,28% 4 53.64.99 DM, HT, CHF Metformin 1 14,28% 5 53.31.97 DM, HT, CHF, Neuropati Metformin 1 14,28% 6 53.57.98 DM, HT, CHF Metformin 1 14,28% 7 52.75.57 DM, HT, HF Metformin 1 14,28%

Total Kontraindikasi Pemakaian Obat 7 100%

Total Dari Seluruh Masalah Terapi Obat 7 6,93%

Berdasarkan Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa terjadi 7 kasus atau sekitar 6,93%dimana diberikan Metformin kepada pasien yang memiliki penyakit jantung, baik itu heart failure, congestive heart failure, maupun penyakit jantung koroner.

dapat menyebabkan tubuh mengalami mual, muntah, dan kehilangan nafsu makan sebagai gejala awal dan dapat menjadi stupor, koma, dan kejang bila dalam kondisi ekstrim (Diabetes Spectrum, 2009).

4.4.4 Telaah Masalah Terapi Obat – Obat Dengan Mekanisme Kerja Mirip (P2.3)

Banyaknya golongan obat dan penggunaan kombinasi obat seringkali menimbulkan kemungkinan dua obat yang memiliki mekanisme kerjamirip diberikan pada saat yang bersamaan.Hal ini tentu saja menjadi suatu masalah terapi obat dikarenakan kemungkinan risiko efek samping bisa saja muncul dan membahayakan bagi pasien.

Tabel 4.9 Gambaran Masalah Terapi Obat – Obat Dengan Mekanisme Kerja

Mirip Pada Pasien Penderita Diabetes Melitus Komplikasi Hipertensi di Ruang Rawat Inap RSUD Kota Langsa Tahun 2014

No. Obat Dengan Mekanisme Kerja Mirip Jumlah Resep Persentase

1 Captopril + Valsartan 2 50%

2 Aspilet + Clopidogrel 1 25%

3 Furosemid + Spironolakton 1 25%

Total Obat Dengan Mekanisme Kerja Mirip 4 100%

Total Dari Seluruh Masalah Terapi Obat 4 3,96%

Berdasarkan Tabel 4.9 dapat dilihat bahwa terjadi empat kasus pemberian obat dengan mekanisme kerja mirip. Pemberian Captopril dan Valsartan menjadi kasus yang terbanyak dijumpai, yakni sekitar dua kasus (50%) diikuti dengan pemberian Aspilet – Clopidogrel (1 kasus atau 25%) dan Furosemid – Spironolakton (1 kasus atau 25%).Analisis tersebut didasarkan atas pertimbangan penulis karena semua obat yang disebutkan memiliki mekanisme kerja mirip.

berbahaya dan menimbulkan efek samping seperti hiperkalemia, hipotensi,

syncope, dan gangguan ginjal.Penelitian juga menyebutkan bahwa tidak terdapat

keuntungan terapi bila kedua obat tersebut dikombinasikan (Drugs.com, 2015).

4.4.5 Telaah Masalah Terapi Obat – Potensial Interaksi Obat (P5.1)

Pemberian lebih dari satu obat atau polifarmasi seringkali menimbulkan interaksi obat.Bila dilihat dari efek yang dihasilkan, interaksi obat terbagi atas dua, interaksi obat yang bersifat menguntungkan (biasanya bersifat sinergisme) atau bersifat merugikan (antagonis).Namun bila hasil interaksi obat yang dihasilkan dapat menimbulkan kerugian bagi pasien, maka hal itu menjadi suatu masalah terapi obat.

Tabel 4.10 Gambaran Masalah Terapi Obat – Potensial Interaksi Obat Pada

Pasien Penderita Diabetes Melitus Komplikasi Hipertensi di Ruang Rawat Inap RSUD Kota Langsa Tahun 2014

No. Potensial Interaksi Obat Jumlah R/ Persentase

1 ACE – I + Insulin 27 18% 2 BB + Insulin 22 14,66% 3 ACE – I + Aspilet 14 9,33% 4 BB + Aspilet 12 8% 5 ACE – I + Sulfonilurea 12 8% 6 ACE – I + Biguanid 10 6,66% 7 Aspilet + Insulin 10 6,66% 8 BB + Sulfonilurea 9 6% 9 BB + Biguanid 8 5,33% 10 Lainnya 26 17,33%

Total Potensial Interaksi Obat 150 100%

Total Dari Seluruh Masalah Terapi Obat 49 48,51%

golongan BBdan Insulin menjadi potensial interaksi obat selanjutnya yang paling sering terjadi (22 R/ atau 14,66%) dan hasil lainnya telah tercatat pada Tabel 4.10.

Captopril sebagai obat anti hipertensi golongan ACE – I bila dikombinasikan dengan Insulin akan menimbulkan potensial interaksi obat. Captopril dapat meningkatkan sensitivitas dari Insulin sehingga kemungkinan hipoglikemi dapat terjadi melalui efek sinergisme farmakodinamis.Namun interaksi obat ini bersifat potensial. Ahli menyarankan agar terus dilakukan pemantauankadar glukosa darah, terutama untuk pasien dengan usia lanjut dan/atau gangguan ginjal. Pasien juga harus diberitahu tanda dan gejala dari hipoglikemi seperti sakit kepala, pusing, mual, dan lain-lain serta cara penanggulangannya untuk mengurangi risiko yang tidak diinginkan (Drugs.com, 2015).

Dokumen terkait