• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Kesulitan Belajar

1. Pengertian kesulitan belajar

Djamarah (2011: 235) medefinisikan kesulitan belajar sebagai kondisi anak didik yang tidak dapat belajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan atau gangguan dalam belajar. Syah (2008: 173) mendefinisikan kesulitan belajar sebagai menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajar siswa. Kesulitan belajar ditandai dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan berteriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering minggat dari sekolah.

Abdurrahman (2009: 7) mengatakan bahwa kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi tertentu. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan disfungsi sistem saraf. Kesulitan belajar juga terjadi karena adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, hambatan sosial dan emosional) dan berbagai pengaruh lingkungan (perbedaan budaya, dan pembelajaran yang tidak tepat).

Abdurrahman (2009: 9) menjelaskan bahwa kesulitan belajar sebagai suatu kekurangan dalam satu atau lebih bidang akademik, baik dalam mata pelajaran yang spesifik membaca, menulis, mengeja, berhitung; atau dalam berbagai keterampilan yang bersifat lebih umum seperti mendengarkan, berbicara,dan berpikir. Kesulitan belajar juga dapat muncul dalam bentuk penyesuaian sosial atau vokasional, keterampilan kehidupan sehari-hari, atau harga diri.

Dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah hambatan atau gangguan dalam belajar yang dialami oleh anak didik. Faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam, yaitu (1) faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri dan (2) faktor ekstern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa.

2. Gejala-gejala kesulitan belajar

Menurut Sudrajat (2011: 6) gejala-gejala kesulitan belajar antara lain: a. Menunjukkan hasil belajar yang rendah dibawah rata-rata

nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau dibawah potensi yang dimilikinya.

b. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Ada siswa yang sudah berusaha giat belajar akan tetapi nilai yang diperolehnya selalu rendah.

c. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.

d. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya. e. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti

membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu didalam kelas maupun diluar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.

f. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu.

3. Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar

Kegagalan siswa mencapai tujuan-tujuan belajar menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam belajar. Kesulitan belajar tentunya disebabkan oleh berbagai faktor. Untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar perlu diketahui terlebih dahulu faktor apa saja penyebab munculnya kesulitan belajar. Winkel menjelaskan faktor yang berperan dalam proses belajar-mengajar yakni:

“Keadaan awal” yaitu keadaan yang terdapat sebelum proses belajar dimulai, namun dapat berperanan terhadap proses itu. Keadaan awal itu meliputi pribadi siswa, pribadi guru, struktur jaringan hubungan sosial di sekolah, sekolah sebagai institusi pendidikan, dan faktor-faktor situasional. “Keadaan awal” dipandang sebagai sejumlah hal yang, pada dasarnya, dapat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar. “Keadaan awal” juga dipandang sebagai sejumlah kenyataan yang terdapat pada awal proses belajar mengajar tertentu dan nyata-nyata berpengaruh, selama guru dan siswa berinteraksi (Winkel, 2004: 151-152).

Lima aspek “keadaan awal” yakni pribadi siswa, pribadi guru, struktur jaringan hubungan sosial di sekolah, sekolah sebagai institusi pendidikan, dan faktor-faktor situasional, digolongkan dalam dua faktor utama yakni faktor yang berasal dari dalam diri siswa (internal) meliputi pribadi siswa itu sendiri dan faktor yang berasal dari luar diri siswa (eksternal) meliputi pribadi guru, struktur jaringan hubungan sosial di sekolah, sekolah sebagai institusi pendidikan dan faktor situasional. Masing-masing faktor tersebut diuraikan secara lengkap sebagai berikut:

a. Faktor yang berasal dari dalam diri siswa (internal) yaitu pribadi siswa, yang mencakup hal-hal sebagai berikut (Winkel, 2004: 154-217):

1) Fungsi kognitif

Fungsi kognitif terdiri dari (a) taraf inteligensi, (b) bakat, (c) daya fantasi, (d) gaya belajar, (e) konsentrasi. Masing-masing diuraikan sebagai berikut:

a) Inteligensi.

Binet (Santrock, 2009: 152) menjelaskan bahwa inti dari inteligensi terdiri dari proses-proses kognitif yang kompleks, seperti memori, kemampuan membayangkan, pemahaman, dan penilaian. Winkel (2004: 155-159) menjelaskan bahwa inteligensi dalam arti sempit adalah kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah, yang di dalamnya berpikir memegang peranan pokok, kerap disebut “kemampuan intelektual” atau “kemampuan akademik”. Kemampuan intelektual atau kemampuan akademik memegang peranan besar terhadap tinggi-rendahnya prestasi belajar siswa di sekolah, siswa yang memiliki kemampuan akademik, khususnya dalam bidang studi yang menuntut banyak pemikiran seperti matematika dan bahasa akan beprestasi di sekolah. Namun tinggi-rendahnya prestasi belajar tidak hanya ditentukan taraf inteligensi saja, melainkan faktor-faktor lain seperti motivasi. Suparno (2004: 18-19)

Tinggi rendahnya intelegensi seseorang dapat diukur dengan menggunakan tes intelegensi (tes IQ). Pengukuran IQ pada umumnya lebih ditekankan pada intelegensi matematis-logis dan linguistik.

Binet (Mustaqim, 2008: 104) menjelaskan bahwa hakekat inteligensi dapat diilustrasikan sebagai berikut. Pertama, kemampuan memahami sesuatu. Makin tinggi inteligensi orang, makin cepat pula ia memahami sesuatu yang dihadapinya. Kedua, kemampuan berpendapat. Semakin cerdas orang, makin cepat pula ia memiliki ide, dan mampu mengungkapkan ide dengan cara-cara yang tepat. Ketiga, kemampuan kontrol dan kritik. Makin cerdas orang makin tinggi pula daya kontrol dan kritiknya terhadap yang diperbuat, sehingga frekuensi pengulangan kesalahan kecil.

Dalam intelegensi terdapat apa yang disebut dengan organisasi kognitif. Organisasi kognitif menunjuk pada cara materi yang sudah dipelajari disimpan dalam ingatan, cara materi dipelajari dan diolah; makin mendalam dan makin sistematis pengolahan materi pelajaran, makin baiklah taraf organisasi dalam ingatan itu sendiri (Winkel, 2004: 163).

b) Gaya belajar

Gaya belajar merupakan cara belajar yang khas bagi siswa. Gaya belajar dapat digolongkan menjadi gaya visual,

gaya auditif dan gaya kinestetik. Siswa yang memiliki gaya belajar visual cenderung lebih mudah belajar bila materi pelajaran dapat dilihat atau dituangkan dalam bentuk gambar, bagan, dan diagram (Winkel, 2004: 164-166). Uno (2010: 181) menjelaskan bahwa ada beberapa karakteristik yang khas pada orang yang menyukai gaya belajar visual, yaitu (1) kebutuhan melihat sesuatu (informasi/pelajaran) secara visual untuk mengetahui atau memahaminya, (2) memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna, (3) memiliki pemahaman yang kuat terhadap masalah artistik, (4) memiliki kesulitan dalam berdialog secara langsung, (5) terlalu reaktif terhadap suara, (6) sulit mengikuti anjuran secara lisan, (7) seringkali salah menginterpretasikan kata atau ucapan.

Siswa yang memiliki gaya belajar auditif cenderung lebih mudah belajar bila dapat mendengar penjelasan dan merumuskan yang telah didengar dalam bentuk kata-kata dan kalimat, yang kemudian disimpan dalam ingatan (Winkel, 2004: 166). Uno (2010: 181) mendefinisikan gaya belajar auditif sebagai gaya belajar yang mengandalkan pendengaran untuk memahami dan mengingat. Gaya belajar ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama untuk menyerap informasi atau pengetahuan. Karakter orang yang memiliki gaya belajar auditif adalah lebih mudah menyerap informasi

melalui pendengaran, memiliki kesulitan untuk menyerap informasi dalam bentuk tulisan, dan memiliki kesulitan menulis serta membaca.

Menurut Windura (2008: 23) siswa yang memiliki gaya belajar kinestetik lebih mudah belajar dengan praktik langsung atau melalui gerakan, dan mengalami kesulitan dalam belajar jika hanya mendengar dan melihat. Menurut Aunurrahman (2012: 149) siswa yang modalitas belajarnya kinestetik, dalam belajarnya suka menggunakan gerakan-gerakan fisik, misalnya, menggerakan tangan, kaki, dan melakukan eksperimen yang memerlukan aktivitas fisik.

c) Daya fantasi

Menurut Winkel (2004: 163) daya fantasi merupakan aktivitas kognitif yang mengandung banyak pikiran dan sejumlah tanggapan yang bersama-sama menciptakan sesuatu dalam alam kesadaran. Dalam alam fantasi individu menghadirkan kembali hal yang pernah diamati dan menciptakan sesuatu hal baru.

Daya fantasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu fantasi yang disadari dan tidak disadari. Fantasi yang disadari adalah fantasi seperti yang dialami seorang sastrawan yang mengarang kisah roman, dia bergerak dari alam fantasi sadar, sedangkan anak yang menceritakan sesuatu yang sebetulnya tidak terjadi,

bergerak dalam alam fantasi yang tidak disadari. Suryabrata (2006: 39) juga mengatakan bahwa fantasi digolongkan menjadi dua macam yakni pertama, fantasi yang tidak disadari yakni fantasi yang terjadi melampau dunia riil dengan tidak disengaja. Misalnya menyampaikan berita yang tidak benar tapi tidak bermaksud berdusta. Kedua, fantasi yang disadari yakni fantasi yang terjadi dengan sengaja, dan ada usaha dari subjek untuk masuk kedalam dunia imajiner.

d) Konsentrasi-perhatian Winkel (2004: 206) menjelaskan konsentrasi sebagai

pemusatan tenaga dan energi psikis dalam menghadapi suatu objek, seperti peristiwa belajar di kelas dan yang berkait dengan itu. Konsentrasi dalam belajar berkaitan dengan kemauan dan hasrat untuk belajar dan, pada dasarnya, sudah terkandung dalam motivasai belajar. Namun, konsentrasi dalam belajar dipengaruhi pula oleh minat siswa dalam belajar. Siswa yang tidak berminat terhadap materi pelajaran, akan mengalami kesulitan dalam memusatkan tenaga dan energinya. Sebaliknya siswa yang berminat, akan mudah berkonsentrasi dalam belajar, apalagi bila motivasi belajarnya kuat.

Gangguan terhadap konsentrasi belajar dapat timbul dari dari siswa sendiri (internal) dan luar diri siswa (ekternal). Konsentrasi dapat terganggu karena sesuatu yang berasal dari

dalam diri siswa, misalnya mengalami perasaan tertekan karena mengalami masalah dalam keluarga atau dengan teman. Buyarnya konsentrasi siswa dapat juga karena sesuatu yang berasal dari luar diri siswa misalnya, suara bising, suara keras, dan perubahan cuaca.

e) Bakat

Soegarda (Mustaqim, 2008: 140) menjelaskan bakat sebagai benih dari suatu sifat yang baru akan tampak nyata jika mendapat kesempatan atau kemungkinan untuk berkembang. Syah (2008: 150) menjelaskan bahwa bakat merupakan kemampuan individu untuk lebih mudah menyerap informasi dan melaksanakan tugas-tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan. Individu yang memiliki bakat dalam bidang tertentu akan memiliki informasi, pengetahuan dan keterampilan yang lebih pada bidang tertentu sesuai bakatnya.

Ellen Winner (Santrock, 2009: 284) mendeskripsikan tiga kriteria yang menggambarkan anak-anak berbakat: pertama, perkembangan yang cepat. Kedua, mengikuti kemajuan mereka sendiri. Ketiga, hasrat untuk menguasai.

Renzuli (Ambarjaya, 2012: 55) menjelaskan bahwa anak berbakat memiliki tiga sifat dasar sebagai berikut: kemampuan umum dengan\tingkatnya diatas kemampuan

rata-rata, mempunyai komitmen yang tinggi terhadap tugas-tugas, dan mempunyai kreativitas yang tinggi. Anak berbakat adalah anak yang memiliki kecakapan dalam mengembangkan gabungan ketiga sifat tersebut dan mengaplikasikan dalam setiap tindakan yang bernilai.

2) Fungsi konatif-dinamik

Fungsi konatif-dinamik terdiri dari (a) karakter dan (b) motivasi belajar. Selengkapnya dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Hasrat

Dalam “berhasrat” orang mencari apa yang memberikan kepuasan menyingkiri yang tidak memuaskan. Siswa yang berhasrat kuat akan tekun untuk mencapai sesuatu yang memberikan kepuasan baginya. Siswa yang tidak memiliki hasrat kuat dalam belajar tampak tidak tekun dan mengalami kesulitan dalam belajar (Winkel, 204: 168).

b) Motivasi belajar

Winkel (204: 169) menjelaskan motivasi belajar sebagai keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar demi mencapai suatu tujuan. Motivasi belajar memegang peranan penting dalam memberikan gairah atau semangat

dalam belajar, sehingga siswa yang bermotivasi kuat memiliki energi yang banyak untuk melakukan kegiatan belajar.

Menurut Dalyono (2010: 235) motivasi berfungsi menimbulkan, mendasari, mengarahkan perbuatan belajar. Semakin besar motivasi belajar seseorang, semakin besar pula kesuksesan belajarnya. Seorang yang besar motivasinya akan giat berusaha, tampak gigih tidak mudah menyerah, giat membaca buku-buku untuk meningkatkan prestasinya dan memecahkan masalahnya. Sebaliknya seseorang yang motivasinya lemah, tampak acuh tak acuh, mudah putus asa, perhatian tidak tertuju pada pelajaran, suka mengganggu kelas, dan sering meninggalkan pelajaran.

Menurut Syah (2008: 136) motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Termasuk dalam motivasi intrinsik adalah perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi, untuk kehidupan masa depan.

Sadirman (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 31) menjelaskan bahwa ciri-ciri siswa yang memiliki motivasi belajar adalah tekun dalam menghadapi tugas atau dapat bekerja terus menerus dalam waktu lama; ulet dalam

menghadapi kesulitan dan tidak mudah putus asa, tidak cepat puas atas atas prestasi yang diperoleh; menunjukkan minat yang besar terhadap bermacam-macam masalah belajar; lebih suka bekerja sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain; tidak cepat bosan dengan tugas-tugas rutin; dapat mempertahankan pendapatnya; tidak mudah melepaskan apa yang diyakininya; senang mencari dan memecahkan masalahnya.

Adapun motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu yang mendorong melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah, peraturan dan tata tertib sekolah, suri teladan guru, dan orang tua merupakan contoh konkrit motivasi ekstrinsik yang dapat menolong siswa untuk belajar.

3) Fungsi afektif

Fungsi afektif mencakup (a) perasaan, (b) sikap, dan (c) minat, yang akan diuraikan pada bagian berikut:

a) Minat

Winkel (2004: 212) mendefinisikan minat sebagai kecenderungan subjek yang menetap, untuk merasa tertarik pada bidang studi atau pokok bahasan tertentu dan merasa senang mempelajarinya. Djamarah (2011: 166) medefinisikan minat sebagai kecenderungan yang menetap untuk memperhatikan dan

mengenang beberapa aktivitas. Dengan kata lain, minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa tertarik pada suatu hal atau aktivitas. Anak didik yang berminat terhadap suatu hal cenderung memberikan perhatian yang lebih terhadap hal yang bersangkutan dan tidak menghiraukan sesuatu yang lain yang tidak berhubungan dengan objek perhatiannya.

b) Sikap

Winkel (2004: 118) mendefinisikan sikap sebagai kemampuan internal yang berperan dalam mengambil tindakan, dan kemungkinan untuk bertindak. Orang yang memiliki sikap jelas, mampu untuk memilih secara tegas diantara beberapa kemungkinan. Kecenderungan orang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan penilaian terhadap objek. Bila objek dinilai “baik”, orang cenderung bersikap positif, bila objek dinilai “jelek”, orang cenderung bersikap negatif. Bruno (Dalyono, 2010: 216) mendefinisikan sikap (attitude) sebagai kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu. Pada prinsipnya sikap dapat disebut suatu kecenderungan bertindak dengan cara tertentu. Perwujudan perilaku belajar siswa akan ditandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan baru yang telah berubah (lebih maju dan lugas) terhadap suatu objek, tata nilai, dan peristiwa.

Siswa yang memandang belajar di sekolah pada umumnya, atau bidang studi tertentu, sebagai sesuatu yang sangat bermanfaat akan memiliki sikap positif. Sebaliknya, siswa yang memandang belajar sebagai sesuatu yang tidak berguna, akan memiliki sikap negatif.

c) Perasaan

Perasaan yang dimaksudkan adalah perasaan momentan dan intensional. “momentan” berarti perasaan timbul pada saat tertentu; “intensional” bearti reaksi perasaan diberikan terhadap sesuatu, seseorang atau situasi tertentu. Semua reaksi perasaan yang momentum dan intensional bervariasi banyak sekali; namun dapat digolongkan dalam “perasaan senang” dan “tidak senang”. Kalau perasaan momentan dan intensional berulang kali telah mengandung penilaian positif maka akan lahir perasaan senang; perasaan senang tersebut dibawa oleh siswa sebagai sumber energi dalam belajar lebih lanjut. Sebaliknya, bila reaksi perasaan momentan dan intensional berulang kali mengandung penilaian negatif maka lahirnya perasaan tidak senang; membunuh semangat belajar siswa (Winkel, 2004: 210).

Sukmadinata (2009: 78) mendefinisikan perasaan sebagai suatu suasana batin atau suasana hati yang membentuk suatu kontinum atau garis. Kontinum ini bergerak dari ujung yang paling positif yaitu sangat senang sampai dengan ujung

yang paling negatif, yaitu sangat tidak senang. Beberapa bentuk perasaan lain selain senang atau tidak senang adalah suka atau tidak suka, tegang atau lega, dan terangsang atau tidak terangsang.

4) Fungsi sensorik-motorik

Winkel (2004: 213) menjelaskan bahwa kemampuan yang dimiliki siswa di bidang psikomotorik dapat menghambat dan membantu semua proses belajar-mengajar atau, paling sedikit, dalam proses belajar yang harus menghasilkan keterampilan motorik. Perolehan kemampuan yang dimaksud, antara lain kecepatan menulis; kecepatan berbicara dan artikulasi kata-kata; menggunakan alat-alat menggunting, memotong, membuat garis dan lingkaran, dan menggambar. Kekurangan dalam kemampuan motorik yang sudah nampak pada siswa sebelum proses belajar, cenderung membuat siswa merasa kurang percaya diri, agak takut dan gelisah, serta menggoroti motivasi belajar.

5) Kondisi fisik dan psikis a) Individualitas biologis

Individualitas biologis mencakup konstitusi dan habitus. Konstitusi meliputi susunan kimiawi badan, susunan alat-alat perlengkapan badan, daya tahan terhadap penyakit, dan daya hidup. Habitus mencakup bentuk badan

yang khas untuk setiap manusia. Yang berperanan dalam belajar adalah daya tahan terhadap penyakit,daya hidup, dan alat-alat perlengkapan badan (Winkel, 2004: 214). b) Kondisi mental

Kondisi ini merupakan akibat dari keadaan psikis siswa, seperti ketenangan batin, stabilitas dan labilitas mental. Siswa yang menikmati ketenangan batin, karena kehidupan keluarganya harmonis dan pergaulan sosialnya baik, akan jauh lebih mudah berkonsentrasi dalam belajar. Sebaliknya, siswa yang pikirannya kalut dan mudah menjadi bingung, cenderung mempertanyakan diri sendiri; dengan demikian, daya psikisnya kurang terpusat pada berbagai tugas belajar (Winkel, 2004: 214).

c) Vitalitas psikis

Vitalitas menunjuk pada jumlah dan kekuatan energi yang dimiliki seseorang. Orang yang badannya mudah merasa lesu, cepat lelah dan kerap merasa lemah tidak akan memiliki energi yang banyak (Winkel, 2004: 214).

b. Faktor yang berasal dari luar diri siswa (eksternal) meliputi (1) pribadi guru, (2) struktur jaringan hubungan sosial di sekolah, (3) sekolah sebagai institusi pendidikan dan (4) faktor situasional. Masing-masing faktor tersebut diuraikan pada bagian berikut:

1) Pribadi guru

a) Kepribadian guru

Winkel (2004: 219) menjelaskan bahwa ciri khas kepribadian orang nampak dalam cara ia melakukan pekerjaan. Kenyataan ini semakin berlaku dalam pekerjaan seorang guru, yang mendidik generasi muda di sekolah. Kehadiran guru di kelas memberikan pengaruh terhadap perkembangan siswa.

Ciri-ciri kepribadian guru yang ideal antara lain luwes dalam pergaulan, suka humor, mampu menyelami alam pikiran dan perasaan anak, peka terhadap tuntutan keadilan, mampu mengadakan organisasi, kreatif dan rela membantu. Menurut Daradjat (Syah, 2008: 227) ciri guru yang luwes yakni: menunjukkan perilaku demokratis dan tenggang rasa kepada semua siswa, responsif terhadap kelas (mau melihat, mendengar, dan merespon masalah disiplin, dan kesulitan belajar), memandang siswa sebagai partner dalam proses belajar mengajar (PBM), menilai siswa berdasarkan faktor-faktor yang memadai, dan berkesinambungan dalam menggunakan ganjaran dan hukuman sesuai dengan penampilan siswa.

Guru di sekolah juga berperan sebagai korektor. Guru sebagai korektor harus berusaha membetulkan sikap dan tindakan siswa yang tidak sesuai dengan tuntutan kehidupan manusia. Hal ini berarti, seorang guru harus mampu

menggunakan reinforcement dan punishment secara tepat. Pemberian hukuman atau punishment bertujuan membuat siswa merasa jera akan perbuatan yang telah dilakukannya dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Pemberian peneguhan atau reinforcement bertujuan agar siswa mengulang kembali tindakan yang tepat.

Seorang guru juga dituntut menciptakan suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar. Guru harus mampu mengelola kelas sedemikian rupa, sehingga guru dapat mengajar dengan penuh konsentrasi dan siswa dapat belajar dengan tekun. b) Kemampuan didaktis guru

Winkel (2004: 226) menjelaskan bahwa kemampuan didaktis guru menyangkut kompetensi yang perlu dimiliki oleh guru, seperti kemampuan menguasai bahan atau materi, kemampuan mengelola program belajar-mengajar, kemampuan mengelola kelas, kemampuan menggunakan media/sumber, kemampuan mengelola interaksi belajar-mengajar, kemampuan menilai prestasi siswa, dan kemampuan pengenalan fungsi serta penyelenggaraan administrasi sekolah. Menurut Winkel (2004: 224) faktor penguasaan keterampilan didaktis sebanyak mungkin dan menggunakan keterampilan lain yang dimiliki oleh guru sangat penting dalam proses megajar dikelas. Guru juga dituntut untuk mampu menggunakan kemampuan yang

dimilikinya, sesuai dengan kondisi kelas serta gaya mengajar guru sendiri. Beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah Pertama, guru harus mempunyai keahlian dalam penggunaan prosedur didaktis yang mencakup beberapa hal, seperti menyadari keuntungan dan kelemahan dari masing-masing prosedur; memperhatikan kebutuhan siswa. Kedua, guru harus mempunyai keahlian dalam menguasai materi pelajaran. Hal ini merupakan syarat bagi penggunaan berbagai prosedur didaktis. Ketiga, “gaya memimpin kelas” menunjuk pada cara guru memberikan pengarahan pada proses belajar mengajar. Keempat, selama proses belajar mengajar berlangsung, guru dan siswa berinteraksi pula sebagai pribadi; baik guru maupun siswa, mengkomunikasikan sikap dan berbagai perasaan. Slavin (2008: 4 ) menjelaskan bahwa guru yang baik bukan hanya mengetahui permasalahan anak didik, tetapi juga dapat mengkomunikasikan pengetahuan yang dimilikinya terhadap anak didik. Kelima, kemampuan guru untuk berbahasa indonesia yang baik.

2) Sekolah sebagai institusi a) Sarana dan prasarana

Menurut Winkel (2004: 244) sarana dan prasarana meliputi hal-hal seperti gedung sekolah (letaknya, luasnya, dan jumlah ruang kelas), perabot, media pengajaran, ruang

laboratorium, fasilitas perpustakaan, tempat olahraga, fasilitas UKS, ruang BK, ruang guru, dan kamar kecil. Adanya sarana dan prasarana yang lengkap memungkinkan kelancaran selama proses belajar-mengajar.

b) Suasana di sekolah

Suasana di sekolah menunjuk pada iklim psikologis yang terdapat pada suatu sekolah seperti bagaimana cara

Dokumen terkait