• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERMOHONAN SITA JAMINAN ATAS SEBIDANG

B. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hak Tanggungan

Pada tanggal 9 April 1996 diresmikanlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, undang-undang ini kemudian disebut Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Dengan lahirnya UUHT yang mengatur lembaga Hak Tanggungan ini melahirkan satu unifikasi hukum tanah nasional yang mengatur mengenai tanah, yang kelahirannya sekaligus menggantikanHypotheek atas hak atas tanah danCredietverband. Oleh karena itu, ketentuan mengenai Credietverbanddan Hypotheek sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.33

Sesuai dengan Pasal 57 UUPA34maka dikatakan hipotik dan Credietverband hanya bersifat temporer selama UUHT yang diperintahkan Pasal 51 UUPA belum

33

Pasal 29 UUHT, yang berisi: ”Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai mengenaiCredietverbandsebagaimana tersebut dalamStaatsblad1908-542jo. Staatsblad 1909-586 danStaatsblad1909-584 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad1937-190jo. Staatsblad

1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.

34Selama undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia danCredietverband tersebut dalamStaatblad1908 No.542 sebagai yang telah diubah denganStaatblad1937 No.190. (Tim Pustaka Yustia,Pokok-Pokok Hukum Agraria,

diterbitkan, dimana hipotik adalah untuk tanah-tanah yang tunduk kepada KUHPerdata sedangkan Credietverband untuk tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat.35

Kelahiran Hak Tanggungan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) dan UUHT diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan lembaga perbankan sebagai upaya mengamankan kredit yang disalurkan kepada masyarakat.

Berkembangnya Hak Tanggungan selaras dengan tuntutan kemajuan hukum masyarakat dalam menjamin hak atas tanah. Artinya pada saat dibicarakan tentang perkembangan ekonomi bangsa tentunya bilamana kemajuan ekonomi dikehendaki berkembang maka Hak Tanggungan sangat dibutuhkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam memenuhi modal dengan benda tak bergerak sebagai agunannya.

Dengan adanya jaminan maka fasilitas penambahan modal kerja akan mudah diperoleh dengan kredit. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan: “Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Oleh karena itu, agar lembaga jaminan ini berkembang sesuai dengan harapan masing-masing pihak, diperlukan ketentuan-ketentuan Hak Tanggungan yang tegas, mandiri dan konsisten.

Hukum Jaminan sejak diundangkannya UUHT bukan saja mempengaruhi Hukum Jaminan yang pernah dikenal dan berlaku di Indonesia, namun juga 35A.P.Parlindungan, Menjawab Masalah Pertanahan Secara Tepat dan Tuntas (Bandung : Mandar Maju, 1992), hal. 12

mempengaruhi bagaimana dunia ekonomi luar ingin menanamkan investasinya khususnya yang berkaitan dengan dunia properti atau konstruksi dengan menginvestasikan modalnya pada hak-hak atas tanah.

Sistem hukum jaminan terbagi dalam dua bagian yakni sistem hukum jaminan perorangan dan sistem hukum jaminan kebendaan.36 Jaminan yang paling sering digunakan oleh kreditor (bank) adalah jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 5 macam yaitu:

1. Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUHPerdata; 2. Hipotek, yang diatur di dalam Bab 21 Buku II KUHPerdata;

3. Credietverband, yang diatur di dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 danStaatsblad 1909-584 sebagaimana yang telah diubah denganStaatsblad 1937-190jo. Staatsblad1937-191;

4. Hak Tanggungan, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996;

5. Jaminan Fidusia, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.37

Dari kelima macam jaminan kebendaan di atas salah satu jenis jaminan kebendaan adalah hak tanggungan. Saat ini hak tanggungan adalah lembaga hak jaminan atas tanah yang diatur dalam UUHT, yang berarti pembebanan hak atas tanah yang menggunakan lembaga hipotek dan credietverband sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dengan UUHT.38

Sutan Remy Sjahdeini memberikan pengertian tentang hak tanggungan adalah salah satu jenis dari hak jaminan di samping hipotik, gadai dan fidusia. Hak jaminan

36Kartono,Hak-hak Jaminan Kredit(Jakarta : Pradnya Paramita, 1977), hal. 5

37Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 24-25

dimaksudkan untuk menjamin utang seorang debitor yang memberikan hak utama kepada seorang kreditor tertentu yaitu pemegang hak jaminan itu untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain apabila debitor cidera janji.39

Dari definisi mengenai hak tanggungan di atas dapat diketahui bahwa hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Sudah tentu kreditor tertentu yang dimaksudkan adalah kreditor yang memperoleh atau yang menjadi pemegang hak tanggungan tersebut.

UUHT sendiri memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, di dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, sebagai berikut: “Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor yang lain.”

Terdapat beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut yakni:

1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang; 2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA;

3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas hak atas tanah saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.

4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu.

5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.40

Mengenai apa yang dimaksudkan dengan pengertian “kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain” tidak dijumpai dalam Penjelasan dari Pasal 1 ayat (1) UUHT tersebut, tetapi dijumpai di bagian lain, yaitu di dalam angka 4 Penjelasan Umum UUHT.

Dalam Penjelasan Umum tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain ialah bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.41

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi pemegang hak tanggungan diberikan kedudukan yang diutamakan daripada kreditor-kreditor lain dan jika debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan

40 Ibid.,hal. 11

41Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia-Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah

perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain tetapi harus mengalah terhadap piutang-piutang negara. Dengan kata lain, hak negara lebih utama dari kreditor pemegang hak tanggungan.

Pengadaan hak-hak jaminan oleh undang-undang adalah untuk memberikan kedudukan bagi seorang kreditor tertentu untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain. Itu pulalah tujuan dari eksistensi hak tanggungan yang diatur UUHT.

Dalam Pasal 51 UUPA, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembagaHypotheekdanCredietverband.42

Dari penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa istilah hak tanggungan sebagai hak jaminan, dilahirkan oleh UUPA. Selama 30 tahun lebih sejak mulai berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, lembaga Hak Tanggungan di atas belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara lengkap, sesuai yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 Undang-Undang tersebut. Dalam kurun waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 UUPA, sehubungan dengan jaminan tanah diberlakukan ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, sepanjang mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan UUPA.

Hak tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun kenyataannya

seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya, yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut.

Sebagaimana diketahui hukum tanah nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan horisontal. Sehubungan dengan itu, maka dalam kaitannya dengan bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut, hukum tanah nasional menggunakan juga asas pemisahan horisontal. Dalam rangka asas pemisahan horisontal, benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut.

Oleh karena hukum tanah nasional didasarkan pada hukum adat, maka sudah tentu UUHT harus berdasarkan hukum adat yang menganut asas pemisahan horisontal. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (4) UUHT.

Namun demikian penerapan asas-asas hukum adat tidaklah mutlak, melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. Atas dasar kenyataan sifat hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horisontal tersebut, dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa pembebanan hak tanggungan atas tanah, dimungkinkan pula meliputi benda-benda sebagaimana dimaksud di atas. Hal tersebut telah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum dalam praktik, sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan dan keikutsertaannya

dijadikan jaminan dengan tegas dinyatakan oleh pihak-pihak dalam akta pemberian hak tanggungannya.

Bangunan, tanaman, dan hasil karya yang ikut dijadikan jaminan itu tidak terbatas pada yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, melainkan dapat juga meliputi yang dimiliki pihak lain. Sedangkan bangunan yang menggunakan ruang bawah tanah, yang secara fisik tidak ada hubungannya dengan bangunan yang ada di atas permukaan bumi di atasnya, tidak termasuk dalam pengaturan ketentuan mengenai hak tanggungan menurut undang-undang ini.

Hak tanggungan adalah merupakan hak jaminan. Di dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, dari tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan. Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda.43

Konstruksi jaminan dalam definisi ini memiliki kesamaan dengan yang dikemukakan Hartono Hadisoeprapto dan M. Bahsan dimana Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.44

43Salim HS,op.cit., hal. 22

Istilah yang digunakan oleh M. Bahsan, jaminan adalah segala sesuatu yang di terima kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat.45

Dengan demikian secara sistematik, sistem hukum jaminan kebendaan merupakan sub sistem dari hukum benda. Sistem Hukum Jaminan Kebendaan meliputi jaminan gadai (pand), hipotik, hak tanggungan dan jaminan fidusia. Dapat disimpulkan bahwa jaminan hak tanggungan merupakan bagian dari hukum jaminan kebendaan merupakan sub sistem hukum jaminan. Tanpa menetapkan suatu sistem hukum benda terlebih dahulu, bangunan hukum jaminan nasional tidak akan jelas dan undang-undang yang diciptakan sebagai bagian dari hukum jaminan itu akan berdiri sendiri. Konsekuensi yang dikhawatirkan adalah undang-undang itu akan bercerai berai atau tidak berkaitan satu dengan lainnya.46

2. Asas-asas Hak Tanggungan

Adapun asas-asas Hak Tanggungan dalam UUHT adalah sebagai berikut: 1. Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditor pemegang Hak

Tanggungan atau disebutdroit de preference(Pasal 1 ayat (1)); 2. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1));

3. Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 8 ayat (2));

4. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4));

5. Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 4 ayat (4)) dengan syarat diperjanjikan tegas;

6. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accessoir) (Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1));

45M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta : Rejeki Agung, 2002), hal. 27

46Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia-Suatu Kebutuhan Yang Didambakan,(Bandung : Alumni, 2006), hal. 156

7. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1)); 8. Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2));

9. Mengikuti objek dalam tangan siapapun objek itu berada atau droit de suite (Pasal 7);

10. Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1)); 11. Wajib didaftarkan (Pasal 13);

12. Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;

13. Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat (2)).47

Di samping itu, dalam UUHT ditentukan juga suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang hak tanggungan bila pemberi hak tanggungan cidera janji. Apabila hal itu dicantumkan, maka perjanjian seperti itu batal demi hukum, artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada karena bertentangan dengan substansi UUHT.48

3. Pemberi dan Penerima Hak Tanggungan a. Pemberi Hak Tanggungan

Menurut ketentuan Pasal 8 UUHT, pemberi Hak Tanggungan bisa orang perseorangan, bisa juga badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan. Umumnya pemberi Hak Tanggungan adalah Debitor sendiri. Tetapi dimungkinkan juga pihak lain, jika benda yang dijadikan jaminan bukan milik Debitor. Bisa juga Debitor bersama pihak lainnya, jika yang dijadikan jaminan lebih dari satu, masing-masing kepunyaan Debitor dan pihak lain atau bersama. Juga mungkin bangunan milik suatu Perseroan Terbatas, sedang tanah milik Direkturnya.

47Salim, H.S.,op.cit., hal. 102-103

Kewenangan pemberi Hak Tanggungan itu harus ada dan terbukti benar pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan, yaitu pada tanggal dibuatnya buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan, yang menentukan saat diterbitkannya Hak Tanggungan yang dibebankan. Tetapi sebenarnya kewenangan itu juga harus sudah ada pada waktu diberikan Hak Tanggungan dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Hak Tanggungan (PPAT), biarpun tidak selalu wajib dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan, kalau tanah yang bersangkutan memang belum didaftar.

Kalau tanahnya belum didaftar, kewenangan pemberi Hak Tanggungan dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti lain, misalnya surat keterangan waris atau akta pemindahan hak, yang dapat memberikan keyakinan kepada PPAT yang membuat APHT-nya bahwa pemberi Hak Tanggungan memang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan.

Pada pokoknya pemberian hak tanggungan adalah perjanjian kebendaan yang terdiri dari rangkaian perbuatan hukum dari Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sampai dilakukan pendaftaran dengan mendapatkan sertipikat Hak Tanggungan dari Kantor Pertanahan yang diawali dengan proses membuat perjanjian kredit, pembuatan APHT dan diakhiri dengan pendaftaran APHT dikantor Pertanahan.49

b. Penerima Hak Tanggungan.

Tidak ada persyaratan khusus bagi Penerima Hak Tanggungan. Ia bisa orang perorangan, bisa badan hukum. Bisa orang asing, bisa juga badan hukum asing, baik yang berkedudukan di Indonesia atau pun di luar negeri, sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 9 dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT).50 Setelah dibuatnya APHT, Kreditor berkedudukan sebagai penerima Hak Tanggungan. Setelah dilakukan pembukuan Hak Tanggungan yang bersangkutan dalam Buku-tanah Hak Tanggungan, penerima Hak Tanggungan menjadi pemegang Hak Tanggungan. 3. Berakhirnya Hak Tanggungan dan Pencoretan

a. Berakhirnya Hak Tanggungan

Sebab-sebab berakhirnya Hak Tanggungan ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut, Hak Tanggungan berakhir karena hal sebagai berikut :

1. Berakhirnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan; 2. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;

3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;

50Ketentuan ini sejalan dengan tujuan diterbitkannya UUHT, sebagaimana dinyatakan dalam Konsiderans dan Penjelasan Umum yaitu bahwa dengan bertambah meningkatnya pembangunan nasional dibutuhkan penyediaan dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan, diperlukan adanya lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Maka dana yang diperoleh dari luar negeri pun harus dipergunakan bagi pembangunan nasional, apabila dikehendaki memperoleh jaminan dengan lembaga yang dimaksudkan. Lihat Subekti,op. cit.,hal. 89

4. Berakhirnya hak atas tanah yang dibebaskan Hak Tanggungan.

Dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan dapat sengaja diakhiri dan dapat pula berakhir karena hukum. Hak Tanggungan dapat berakhir karena dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan atau karena dilakukan pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Sedangkan Hak Tanggungan dapat berakhir karena hukum, karena berakhirnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dan karena berakhirnya hak atas tanah yang dibebankan Hak Tanggungan.

Oleh karena Hak Tanggungan merupakan jaminan utang yang pembebanannya adalah untuk kepentingan kreditor (pemegang Hak Tanggungan), maka Hak Tanggungan hanya dapat diakhiri oleh kreditor (pemegang Hak Tanggungan) sendiri sedangkan pemberi Hak Tanggungan tidak mungkin dapat membebaskan Hak Tanggungan itu.

Sesuai dengan sifat Hak Tanggungan yang accessoir, adanya Hak Tanggungan bergantung kepada adanya piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu. Oleh karena itu, apabila piutang itu berakhir karena pelunasan atau karena sebab-sebab lainnya dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi berakhir juga.

Berakhirnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri adalah berkaitan

dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 19 ayat (1) dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.

Mengenai berakhirnya Hak Tanggungan karena berakhirnya hak atas tanah yang dibebankan Hak Tanggungan adalah logis, karena keberadaan suatu Hak Tanggungan hanya mungkin bila telah atau masih ada objek yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu.51 Objek dari Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah negara. Karena itu Hak Tanggungan akan berakhir apabila hak-hak atas tanah itu berakhir.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Hak Tanggungan dapat dengan sengaja diakhiri, baik atas kehendak dari pemegang Hak Tanggungan itu sendiri maupun karena pembersihan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Berakhirnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai diakhirinya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan (Pasal 18 ayat (2) UUHT).

b. Pencoretan Hak Tanggungan

Pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan adalah suatu perbuatan perdata yang mengikuti hapusnya Hak Tanggungan. Dalam rumusan Pasal 22 ayat (1) UUHT jelas dikatakan: “Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku-tanah hak atas tanah dan sertifikatnya.”

Pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan atau tanpa pengembalian Sertifikat Hak Tanggungan yang telah dikeluarkan.52 Dalam hal serftifikat Hak Tanggungan tidak dikembalikan, maka hal tersebut harus dicatat dalam Buku Tanah Hak Tanggungan. Ini berarti sejalan dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUHT, yaitu: ”Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.”

Dokumen terkait