• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III SIKAP HAKIM DI DALAM MEMBERIKAN PUTUSAN

A. Ruang Lingkup Kewenangan Hakim Dalam Meletakkan

dengan suatu putusan/vonis. Hal yang penting diperhatikan oleh hakim dalam proses pengadilan adalah pembuktiannya, karena pada akhirnya di dalam menetapkan putusannya, hakim harus menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara dua pihak yang bersengketa.58

Namun permasalahannya adalah hukum dan perundang-undangan tidak selalu tersedia atau siap diterapkan oleh hakim pada setiap peristiwa konkrit. Melalui penemuan hukum, penafsiran atau metode penerapan hukum lainnya, hakim mencegah kekosongan atau ketidakjelasan hukum. Dengan cara ini hakim tidak sekedar telah menciptakan atau menemukan hukum. Lebih dari itu hakim menjadi pemelihara dan penjamin agar hukum selalu tersedia dan menjadi penentu di dalam memecahkan setiap persoalan hukum. Hakim selalu menjadi sumber penyelesaian sengketa hukum, bukan sekedar memutus perkara.

Perangkat sistem hukum nasional kita masih belum lengkap, peran seorang hakim yang visioner lebih dibutuhkan. Dengan adanya hakim-hakim visioner, kekosongan dalam hukum yang terjadi dapat diatasi. Seorang hakim

harus dapat membaca ke arah mana bangsa serta masyarakatnya tumbuh dan bergerak, persoalan-persoalan apa yang dihadapi dan konflik-konflik potensial apa yang mungkin timbul dalam pertumbuhan masyarakat dan bangsanya di masa dekat ini. Dengan memiliki pemahaman yang mendalam tentang hal ini, putusannya akan dapat dinilai adil dan bermanfaat.

Dasar Hukum bagi hakim untuk membuat peraturan sendiri awalnya diatur dengan Pasal 22 A.B (Algemene Bepaligen van Wetgeving voor Indonesia)59dimana pasal tersebut intinya berisikan “ hakim tidak boleh menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan, tidak jelas dan atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena melolak mengadili.”60

Dengan keluarnya Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman61, kedudukan dan kewenangan hakim dalam membentuk hukum semakin kuat. Maksud ketentuan pasal ini harus diartikan, bahwa hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Andaikata seorang hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib 59 A.B (Ketentuan-ketentuan Umum tentang Peraturan-peraturan untuk Indonesia),

dikeluarkan pada tanggal 30 April 1987 yang termuat dalam Staatblad 1847 No.23 dan berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini). Lihat C.S.T. Kansil,Penghantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1986), hal.47.

60Ibid

61 Pasal 16 ayat (1) menyebutkan: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,

mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”, Sedangkan Pasal 28 ayat (1) menyebutkan: “ Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum. Kewajiban hakim adalah sebagai perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat.

Tugas hakim adalah mengambil atau menjatuhkan keputusan, yang mana keputusan tersebut mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Seorang hakim tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila perkara sudah mulai diperiksa.

Jika seorang hakim hendak menjatuhkan keputusan, maka hendaknya ia senantiasa berusaha agar putusannya seberapa mungkin dapat diterima oleh masyarakat, setidak-tidaknya berusaha agar lingkungan masyarakat dimana putusan diterapkan akan dapat menerima putusan itu seluas mungkin. Tentunya hakim sendiri akan merasa lebih lega apabila ia dapat memuaskan semua pihak dengan putusannya.

Untuk dapat memuaskan semua pihak dengan putusannya atau agar putusannya dapat diterima oleh semua pihak, maka seorang hakim harus dapat meyakinkan semua pihak dengan alasan-alasan dan atau pertimbangan-pertimbangan bahwa putusannya tersebut adalah tepat dan atau benar. Setidaknya, dalam hal ini ada beberapa pihak yang patut menjadi sasaran perhatian hakim, yaitu:

1. Para pihak yang berperkara

Dengan sendirinya para pihak yang berperkaralah yang terutama mendapat perhatian dari hakim dimana hakim harus menyelesaikan atau memutuskan perkara tersebut. Hakim harus memberi tanggapan terhadap tuntutan para pihak karenanya hakim harus berusaha agar putusannya itu putus dan tuntas. Secara

obyektif putusan yang tepat dan tuntas berarti akan dapat diterima bukan hanya oleh penggugat melainkan juga oleh tergugat. Hakim tentunya akan merasa puas apabila putusannya dapat memenuhi keinginan para pihak dan dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Walau umumnya hal demikian tidaklah mudah terjadi, kecuali dalam hal putusan tersebut merupakan putusan perdamaian, dimana tidak terdapat pihak yang dimenangkan atau dikalahkan. Apabila dengan putusan tersebut terdapat pihak yang dimenangkan dan ada yang dikalahkan, maka pada umumnya pihak yang merasa dikalahkan akan merasa tidak puas dan menganggap putusannya tidak adil atau tidak tepat serta mengajukan banding.

2. Masyarakat

Hakim harus dapat mempertanggungjawabkan putusan yang diambil kepada masyarakat dengan melengkapinya dengan alasan-alasan dan masyarakat secara keseluruhan harus dapat menerima putusan tersebut. Masyarakat bukan hanya mempunyai pengaruhnya terhadap putusan, tetapi juga terhadap hakim. Karenanya hakim harus mampu memperhitungkan perkembangan yang terjadi di masyarakat dan memastikan putusan yang diambil telah sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, kultur serta perkembangan masyarakat.

3. Pengadilan banding

Umumnya hakim dari peradilan tingkat pertama kerap merasa kecewa terhadap putusannya yang dibatalkan oleh pengadilan tingkat banding. Bahkan tidak jarang

hakim mungkin akan merasa kurang cermat, bersalah atau kecil hati, suatu sikap yang tidak perlu timbul jika putusannya memang sudah dipertimbangkan masak- masak. Maka oleh karena itu wajarlah jika hakim dari peradilan tingkat pertama senantiasa berusaha sekeras-kerasnya agar putusannya tersebut tidak dibatalkan oleh pengadilan banding dengan mendukung putusan yang diambilnya dengan alasan-alasan yang kuat, lengkap dan ketat. Hakim akan berusaha agar putusannya dapat diterima oleh pengadilan banding.

4. Ilmu pengetahuan

Setiap putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Bukan itu saja, putusan-putusan hakim, terutama yang menarik, sering dimuat dalam majalah-majalah hukum. Bahkan putusan-putusan itu sering didiskusikan oleh para sarjana hukum. Ilmu pengetahuan hukum selalu mengikuti peradilan untuk mengetahui bagaimana peraturan-peraturan hukum itu dilaksanakan dalam praktik peradilan dan peraturan-peraturan baru manakah yang diciptakan oleh peradilan. Jadi putusan-putusan pengadilan tersebut menjadi obyek ilmu pengetahuan hukum untuk dianalisis, dilakukan sistemisasi dan diberi komentar. Oleh karena itu hakim akan berusaha agar putusannya dapat diterima oleh ilmu pengetahuan hukum jangan sampai putusannya itu menimbulkan komentar yang negatif. B. Sikap Hakim Dalam Memberikan Putusan Terhadap Permohonan Sita

Jaminan Atas Tanah Yang Telah Dibebani Hak Tanggungan

Seperti telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa penyitaan merupakan tindakan exceptional yang memberi kewenangan bagi pengadilan atau

hakim untuk menghukum dan merampas harta kekayaan tergugat sebelum putusan mengenai pokok perkara diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehubungan dengan itu agar penyitaan tidak bercorak sewenang-wenang, perlu ditegaskan prinsip yaitu pengabulan sita harus berdasarkan pertimbangan objektif. Prinsip ini berkaitan dengan asas permohonan sita yang harus berdasarkan alasan yang cukup dan objektif. Adakalanya sita jaminan telah diletakkan atas harta sengketa atau harta tergugat, sebelum hakim memeriksa pokok perkara. Sering juga sita itu dilakukan pada saat proses pemeriksaan perkara sedang berjalan, sebelum hakim menjatuhkan putusan seolah-olah pengadilan telah menghukum tergugat terlebih dahulu sebelum pengadilan sendiri menjatuhkan putusan. Tegasnya sebelum hakim menyatakan pihak tergugat bersalah berdasar putusan, tergugat sudah dijatuhi hukuman berupa penyitaan objek sengketa atau harta kekayaan tergugat.

Subekti menyatakan bahwa sehubungan dengan masalah penjagaan barang sitaan, tidak ada perbedaan antara barang yang tidak bergerak dengan barang yang bergerak. Barang apapun jenisnya, barang yang disita harus tetap berada di tangan pihak tersita (tergugat). Hal ini dikarenakan setiap tindakan yang melimpahkan penyerahan penjagaan barang sitaan kepada penggugat adalah merupakan tindakan eksekusi.62

Secara tegas tentang penjagaan sita atas harta yang tidak bergerak misalnya tanah tidak ada diatur dalam undang-undang. Undang-undang hanya mengatur

mengenai penjagaan sita atas barang yang bergerak sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (9) HIR / 212 RBg. Penyitaan atas benda tak bergerak, tidak boleh mengurangi hak tersita untuk memakai, menguasai dan menikmatinya. Rumah atau tanah yang disita, tetap berada di bawah penjagaan dan penguasaan tersita, dan tersita tidak boleh dilarang untuk menguasai, memakai dan menikmatinya. Yang dilarang ialah untuk menjual atau memindahkannya kepada orang lain sebagaimana termaktub dalam Pasal 199 HIR / 214 RBg.

Dari penjelasan di atas maka barang sitaan tidak dilarang untuk tetap dikuasai, diusahai dan dinikmati pihak tersita (tergugat). Sejalan dengan ketentuan itu, undang- undang tidak memperkenankan penyerahan penguasaan atau penjagaan barang sitaan benda yang tidak bergerak kepada penggugat. Penyerahan penguasaan atau penjagaan barang sitaan ke tangan penggugat, berarti hakim telah mengeksekusi perkara sebelum perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Sutan Remy Sjahdeini mengatakan, seharusnya menurut hukum, terhadap hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita jaminan.63Namun tidak ada terdapat ketentuan dalam UUHT bahwa atas tanah yang telah dibebani Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita, baik sita jaminan maupun sita eksekusi. Dari pendapat di atas dapat dimengerti bahwa UUHT memberikan peluang yang memungkinkan terjadinya sita jaminan yang dikabulkan oleh hakim atas tanah yang telah diletakkan Hak Tanggungan.

Pasal 227 HIR / 261 RBg menentukan bahwa "Jika terdapat sangkaan yang beralasan bahwa tergugat akan menggelapkan atau memindahtangankan barang miliknya dengan maksud akan menjauhkan barang tersebut dari penggugat, maka atas permohonan penggugat, pengadilan dapat memerintahkan agar diletakkan sita atas barang tersebut untuk menjaga/menjamin hak dari si penggugat".

Sepatutnya pihak yang berwenang menilai adanya persangkaan yang beralasan adalah hakim dan bukan penggugat. Memang tergugat memiliki hak mengajukan fakta tentang adanya persangkaan, tetapi kewenangan penilaian akhirnya tetap terletak di tangan hakim.64

Mengenai permohonan sita yang diajukan setelah proses pemeriksaan berlangsung pada tingkat banding atau kasasi, terdapat 2 pendapat yaitu:

1. Mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri

Menurut pendapat ini, hanya Pengadilan Negeri instansi yang berwenang memerintahkan dan melaksanakan sita. Pendapat ini bertitik tolak dari ketentuan Pasal 197 ayat (1) HIR / 208 RBg yang berbunyi: Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya memerintahkan penyitaan. Pelaksanaan perintah penyitaan dijalankan oleh panitera atau juru sita.

Jadi undang-undang sendiri telah menentukan secara eksplisit atau tegas pejabat atau instansi mana yang berwenang memerintahkan dan melaksanakan sita. Tidak ada wewenang yang diberikan kepada Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua

Mahkamah Agung. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, permintaan dan pelaksanaan sita yang dapat dibenarkan ialah:

a. Apabila pada tingkat pertama tidak diajukan, dan baru diajukan setelah perkara diproses pada tingkat banding atau kasasi:

1) Permintaan mesti tetap diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, bukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung;

2) Jika permohonan sita dikabulkan Pengadilan Negeri, hal itu segera diberitahukan kepada Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung untuk mendapat pengesahan dan pernyataan berharga dalam amar putusan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung;

3) Hal itu dilakukan Pengadilan Negeri dengan jalan menyampaikan penetapan dan berita acara sita dengan permintaan agar sita tersebut dinyatakan sah dan berharga oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung;

4) Pemberitahuan disampaikan sebelum hakim tingkat banding atau kasasi menjatuhkan putusan.

b. Apabila permintaan ditolak oleh Pengadilan Negeri, sehingga sejak semula tidak pernah diletakkan sita, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak berwenang memerintahkan sita. Baik dalam gugatan maupun secara tersendiri penggugat mengajukan permintaan sita kepada Pengadilan Negeri namun permintaan itu ditolak oleh Pengadilan Negeri, dengan demikian selama

proses pemeriksaan berjalan pada tingkat pertama, tidak pernah dijalankan penyitaan terhadap harta kekayaan tergugat.

Dalam kasus yang demikian, tertutup pintu bagi penggugat mengajukan permohonan sita pada pemeriksaan tingkat banding atau kasasi. Penolakan sita yang dilakukan Pengadilan Negeri, bersifat final. Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak dapat menilai penolakan itu pada tingkat banding atau kasasi, sebab kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan sita berdasarkan Pasal 197 ayat (1) HIR / 208 RBg, hanya diberikan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, dalam kasus yang demikian Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak berwenang mengeluarkan penetapan yang berisi perintah pelaksanaan sita kepada Pengadilan Negeri.

c. Semula Pengadilan Negeri mengabulkan sita, tetapi baik pada proses persidangan maupun dalam putusan akhir, sita kemudian diangkat oleh Pengadilan Negeri. Pada kasus demikian yang semula permohonan sita dikabulkan dan dilanjutkan dengan pelaksanaan. Hanya penyitaan tersebut tidak dipertahankan, dan kemudian diangkat pada saat proses pemeriksaan maupun dalam putusan akhir. Dalam peristiwa yang demikian maka Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung pada tingkat banding atau kasasi berwenang menilai pengangkatan sita tersebut jika berpendapat penyitaan cukup beralasan, sehingga pengangkatan yang dilakukan Pengadilan Negeri dianggap keliru, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung dalam putusannya

dapat membatalkan pengangkatan sita dan pada saat yang bersamaan memulihkan penyitaan dengan jalan menyatakan sah dan berharga sita tersebut.

2. Pengadilan Tinggi berwenang memerintahkan sita

Menurut Subekti65 permohonan sita jaminan (sita conservatoir) dapat juga diajukan kepada Pengadilan Tinggi selama perkara pokoknya belum diputus pada tingkat banding. Pendapat itu didasarkan bunyi Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg yang mengatakan sita dapat diajukan selama perkara tersebut belum memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian maka permintaan sita jaminan tersebut dibuat dalam surat tersendiri yang berisi permohonan agar sita itu dinyatakan sah dan berharga, baik itu sebagai tambahan materi pokok gugatan yang masih tetap merupakan tambahan gugatan yang bersifat asesor terhadap perkara pokok dan permintaan sita tersebut tidak melanggar batas- batas kejadian materi pokok gugatan semula.

Jadi menurut pendapat kedua ini, Pengadilan Tinggi berwenang memerintahkan sita, berdasarkan permintaan penggugat, baik hal itu dalam keadaan permintaan sita ditolak oleh Pengadilan Negeri maupun dalam hal sita tersebut tidak diminta pada tahap pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri. Agar pelaksanaan sita yang demikian tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) HIR/208 RBg, maka pihak yang berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan

sita tetap berada di tangan Ketua Pengadilan Negeri dengan menempuh mekanisme sebagai berikut:

a. Pengadilan Negeri menolak permintaan sita

Apabila Pengadilan Negeri menolak permintaan sita, Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding berwenang memerintahkan sita dengan cara menjatuhkan ”Putusan Sela” terhadap penolakan tersebut, dengan isi dari putusan sela tersebut sebagai berikut :

1) Menerima permintaan sita penggugat; 2) Membatalkan penolakan sita;

3) Memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri melaksanakan sita;

4) Berdasarkan putusan sela tersebut, Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan penetapan yang berisi perintah pelaksanaan sita kepada panitera atau juru sita;

5) Setelah pelaksanaan dijalankan Pengadilan Negeri, sesegera mungkin Pengadilan Negeri mengirimkan surat penetapan dan berita acara sita kepada Pengadilan Tinggi, agar penyitaan dapat dimasukkan dalam amar putusan Pengadilan Tinggi.

Selama Pengadilan Tinggi belum menerima penetapan atau berita acara sita dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi harus menunda penjatuhan putusan akhir pada tingkat banding, sebab apabila Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusan sebelum menerima berita acara pelaksanaan sita,

pengesahan dan pernyataan berharga atas sita, tidak dapat dilakukan Pengadilan Tinggi. Akibatnya penyitaan tersebut tidak jelas status hukumnya. Dari satu sisi, sita telah dilaksanakan berdasarkan perintah dan cara yang sah, tetapi pada sisi lain, sita tersebut tidak tercantum dalam putusan Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi. Oleh karena itu, Pengadilan Tinggi harus konsekuen memberi pelayanan hukum yang semestinya atas sita yang diperintahkannya dengan jalan:

1) Menunda penjatuhan putusan akhir sampai Pengadilan Tinggi menerima berita acara pelaksanaan sita dari Pengadilan Negeri;

2) mencantumkan sita itu dalam amar putusan tingkat banding, yang berisi pernyataan sah dan berharga(vanwaarde en verklaard)penyitaan.

b. Penggugat tidak meminta sita pada tingkat pertama

Selama proses pemeriksaan berjalan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri, penggugat tidak mengajukan permintaan sita pada surat gugatan maupun dalam surat tersendiri. Dalam hal yang demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg, penggugat berhak meminta sita kepada Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding, dan Pengadilan Tinggi berwenang mengabulkan permintaan tersebut yang dituangkan lebih lanjut dalam putusan sela. Kewenangan tersebut mutlak pada Pengadilan Tinggi selama tingkat banding belum menjatuhkan putusan atas pokok perkara.

Agar pelaksanaan sita yang diperintahkan Pengadilan Tinggi tidak melanggar Pasal 197 ayat (1) HIR / 208 RBg, mekanisme pelaksanaannya Ketua Pengadilan Tinggi atau Majelis Hakim tingkat banding menerbitkan putusan sela terhadap permintaan sita dengan isi putusan sela tersebut:

1) Menerima permintaan sita yang diajukan penggugat;

2) Memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri melaksanakan sita atas harta kekayaan tergugat;

3) Berdasarkan perintah putusan sela tersebut Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan yang berisi perintah pelaksanaan sita kepada panitera atau juru sita;

4) Ketua Pengadilan Negeri segera menyampaikan berita acara pelaksanaan sita kepada Pengadilan Tinggi, agar sita itu dapat disahkan dan dinyatakan berharga dalam amar putusan Pengadilan Tinggi.

Dalam hal ini pun, Pengadilan Tinggi harus konsekuen menunda penyelesaian perkara dalam tingkat banding, sampai diterima berita acara pelaksanaan sita dari Pengadilan Negeri. Selama dokumen administrasi yustisial yang berkenaan dengan pelaksanaan sita belum diterima, Pengadilan Tinggi tidak dibenarkan menjatuhkan putusan mengenai pokok perkara, karena tindakan yang demikian akan menimbulkan akibat hukum yang tidak jelas terhadap eksistensi pelaksanaan sita.

Demikian adalah cara penerapan yang dianggap proporsional menampung pertentangan yang terjadi antara Pasal 197 ayat (1) HIR / 208 RBg dengan Pasal 227

ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg. Wewenang mutlak untuk melaksanakan penyitaan berada di tangan instansi Pengadilan Negeri. Namun hal tersebut tidak mengurangi kewenangan Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding memerintahkan sita berdasarkan Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg yang mengatakan sita dapat diminta dan diperintahkan selama putusan belum berkekuatan hukum tetap.

Dianggap kurang rasional meminta sita kepada Pengadilan Negeri sedangkan proses pemeriksaan telah berada di Pengadilan Tinggi pada tingkat banding. Lebih rasional permintaan diajukan kepada Pengadilan Tinggi sehingga ia mengetahui adanya permintaan sita dan bersamaan dengan itu memerintahkan pelaksanaannya kepada Ketua Pengadilan Negeri. Dengan sistem ini, Pengadilan Tinggi sejak semula memikul kewajiban untuk mencantumkan penyitaan itu dalam putusan yang dijatuhkannya.

Bertitik tolak dari prinsip-prinsip tersebut, dalam pengabulan penetapan sita, haruslah jelas dan terang tercantum pertimbangan yang rasional dan objektif. Beberapa hal yang dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara sita jaminan adalah:66

a. Argumentasi mengenai alasan

Dalam penetapan sita terdapat pertimbangan mengenai alasan yang diajukan penggugat:

1) Kaitan antara sita dengan dalil gugatan sangat erat sedemikian rupa,

sehingga penyitaan benar-benar urgen, sebab jika sita tidak diletakkan di atas kekayaan tergugat, kepentingan penggugat tidak terlindungi.

2) Penggugat dapat menunjukkan berdasarkan fakta atau paling tidak berupa indikasi adanya dugaan atau persangkaan bahwa tergugat berdaya upaya untuk menggelapkan atau menghilangkan harta kekayaannya selama proses pemeriksaan berlangsung, guna menghindari pemenuhan gugatan. Fakta atau petunjuk tentang adanya daya upaya tergugat untuk menghilangkan hartanya, bersifat kasuistis. Tidak mungkin ditetapkan suatu patokan tertentu. Adakalanya fakta atau petunjuknya sangat terang, misalnya tergugat menawarkan melalui iklan atau menghibahkan kepada orang lain. Tetapi upaya itu lebih sering bersifat tertutup dan tersembunyi, sehingga sulit mendapat fakta atau indikasi konkrit dan objektif.

Menghadapi kasus yang seperti itu, dasar pertimbangan sita boleh dititikberatkan kepada urgensi penyitaan sesuai dengan dasar alasan bahwa kaitan antara penyitaan dengan gugatan sedemikian rupa eratnya, sehingga jika penyitaan tidak dilakukan akan timbul kerugian besar kepada penggugat. Pertimbangan yang seperti itu dapat bertitik tolak dari kuatnya bukti-bukti yang mendukung gugatan. Pada satu sisi, pertimbangan yang seperti itu serta jumlah gugatan relatif besar, sedangkan harta kekayaan tergugat yang diketahui jumlah nilainya sangat minim untuk memenuhi jumlah tuntutan.

b. Cara Memperoleh Fakta yang Lebih Objektif

Agar pertimbangan pengabulan penetapan sita dapat diutarakan berdasarkan fakta atau indikasi yang lebih objektif dan rasional, pengadilan dapat menempuh cara berikut:

- Melalui proses pemeriksaan insidentil

Apabila hakim bermaksud hendak mengabulkan atau menolak sita sebelum proses pemeriksaan pokok perkara berlangsung:

a. Tidak layak pengabulan atau penolakan itu dilakukan dari belakang meja berdasarkan analisis yang bersumber dari gugatan atau dokumen yang disampaikan penggugat kepada pengadilan;

b. Yang tepat dan layak, pengabulan atau penolakan dilakukan melalui proses pemeriksaan insidentil.

Pada sidang insidentil tersebut, penggugat dan tergugat hadir. Kepada para pihak diberi kesempatan berdasarkan asas audi alteram partem untuk mengemukakan pendapat dan tanggapan atas permintaan sita.

Dokumen terkait