TESIS
Oleh
R I N T O
067011068/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
R I N T O
067011068/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 067011068
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) (Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS
Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
2. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : RINTO
Nim : 067011068
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS HUKUM TERHADAP SITA JAMINAN YANG DILETAKKAN DI ATAS OBJEK HAK TANGGUNGAN OLEH PENGADILAN
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
08/CB/2007/306/Pdt.G/2006/PN-Mdn/PN-LP tanggal 07 Mei 2007 bertalian dengan Berita Acara Sita Jaminan Nomor 08/CB/2007/306/Pdt.G/2006/Pn-Mdn/PN-LP tanggal 08 Mei 2007 yang mengabulkan permohonan sita jaminan dalam gugatan perdata Nomor 306/Pdt.G/2006/PN-Mdn tanggal 08 September 2006, telah menimbulkan permasalahan.
Permasalahan timbul dikarenakan terhadap tanah yang diletakkan sita jaminan, sudah terlebih dahulu menjadi jaminan bank dan dibebani hak tanggungan. Selain itu Penggugat dalam hal ini dianggap tidak mempunyai hubungan hukum di dalam pemberian hak tanggungan antara Tergugat dengan Bank. Sita jaminan terhadap hak tanggungan memberikan dampak terhadap dunia bisnis, baik terhadap diri pelaku usaha maupun terhadap perbankan.
Sita jaminan yang diletakkan terhadap harta yang disengketakan maupun terhadap harta kekayaan penggugat bertujuan untuk memberikan jaminan kepada penggugat, harta yang disengketakan tetap ada dan utuh, sehingga sita itu memberikan jaminan terhadap pihak penggugat bahwa kelak gugatannya tidak illusoiratau tidak hampa pada saat putusan dieksekusi (dilaksanakan).
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif dengan sifat penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian yang akan memaparkan dan menganalisis permasalahan yang akan dikemukakan. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif di mana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji berbagai aspek hukum.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Penggugat yang tidak memiliki hubungan hukum dalam pemberian hak tanggungan dapat mengajukan permohonan sita jaminan ke Pengadilan atas objek tanah terperkara dengan cara cukup memastikan unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 227 HIR / 261 RBg telah terpenuhi, terlepas dari apakah tanah terperkara sudah dibebani hak tanggungan ataupun tidak. Untuk itu peran hakim sangat menentukan dalam setiap permohonan sita jaminan yang diajukan kepadanya, apabila objek yang dimohon telah dibebani hak tanggungan maka sesuai dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 394 K/Pdt/1984 tanggal 31 Mei 1985 yang berpendirian bahwa barang-barang yang sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara ini Bank Rakyat Indonesia) tidak dapat dikenakan sita jaminan. Hal ini penting agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam dunia usaha dan perbankan. Bagi pihak yang merasa dirugikan akibat sita jaminan dapat mengajukan upaya hukum gugat rekonvensi atau perlawanan pihak ketiga.
Commencing from the issuance of Court Decision No. 08/CB/2007/306/Pdt.G/2006/PN-Mdn/PN-LP dated May 07, 2007 related to the Official Report of Confiscation of Collateral No. 08/CB/2007/306/Pdt.G/2006/PN-Mdn/PN-LP dated May 08, 2007 which granted the application of confiscation of collateral in the civil lawsuit No. 36/Pdt.G/2006/PN-Mdn dated September 08, 2006, a problem has arisen.
This problem arose because the land under the confiscation of the collateral has become a mortgage bank guarantee. In addition, the plaintiff, in this case, is regarded as not having any legal relationship in the provision of mortgage between the defendant and the bank. The confiscation of the collateral has brought impact to the world of business, either to the business practitioner or the banking.
The confiscation of the collateral against the disputed property or the plaintiff’s assets is intended to provide guarantee for the plaintiff, the disputed property still completely exists, that the confiscation guarantees that the lawsuit of the plaintiff will not be illusive (illusoir) when the decision is executed later.
This analytical descriptive study with normative juridical approach was focussed on studying the application of legal principles or legal norms in the positive law. The data obtained were analyzed based on various aspects of laws.
The result of this study showed that the plaintiff with no legal relationship in the provision of mortgage can submit the application for collateral confiscation of the disputed land to the Court of Law by ensuring that the elements mentioned in Article 227 HIR / 261 RBg have been met, regardless of whether or not the disputed land was mortgage-loaded. For this purpose, the judge plays a very decisive role in every application for collateral cosfiscation submitted to him/her. If the requested object has been mortgage-loaded, in accordance with the Jurisprudence of the Supreme Court Decision No. 394 K/Pdt/1984 dated May 31, 1985 which determines that the assets which have been loan guarantees/collaterals (in this case Bank Rakyat Indonesia) cannot be confisticated. This is important that it will not bring a negative impact to the world of business and banking. The parties who feel disadvantaged due to the collateral confiscation can file a legal action of counterclaim or third party opposition.
Dengan kerendahan hati pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih yang karena atas berkat dan
rahmat serta karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingg penulis
dapat menyusun dan menyelesaikan tesis ini serta kesehatan dan kesempatan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “ANALISIS HUKUM TERHADAP SITA JAMINAN YANG DILETAKKAN DI ATAS OBJEK HAK TANGGUNGAN OLEH PENGADILAN”. Penulisan Tesis ini merupakan salah satu persyaratan untukmemperoleh gelarMagisterKenotariatan(M.Kn.) Fakultas HukumUniversitas SumateraUtara.
Dalam Penulisan tesis ini banyak pihak yang telah yang telah memberikan
bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat
terpelajarBapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS., Bapak Prof. Dr. Runtung, SH,
MHum dan Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Komisi pembimbing yang
telah dengan ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan
arahan konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil
sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna
dan terarah.
diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah memeberikan bimbingan dan arahan serta ilmu
yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti proses kegiatan belajar
mengajar dibangku kuliah.
6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis
telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis
ini.
8. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta dan
kasih sayang, dukungan dan do’a yang tak putus-putusnya Ayahanda
Suhartono dan Ibunda Sri Peni dan saudara-saudariku serta keluarga besarku,
yang telah memberikan semangat dan do’anya.
Atas semua bantuan yang telah diberikan penulis tidak dapat membalasnya.
Penulis hanya dapat memohon dan memanjatkan doa semoga Tuhan Yang Maha Esa
membalas amal baik saudara-saudara yang telah bermurah hati memberikan bantuan
dalam menyelesaikan Tesis ini.
Medan, Februari 2013 Penulis,
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Rinto
Tempat / Tanggal Lahir : Binjai / 13 September 1981 Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum Menikah
Agama : Budha
Alamat : Jl. Sutomo Ujung No. 84-B Medan No. Handphone : 082364926678
II. KELUARGA
Nama Ayah : Suhartono Nama Ibu : Sri Peni
III. PENDIDIKAN
1. SD Sutomo 1 di Medan, Lulus tahun 1994 2. SLTP Sutomo 1 di Medan, Lulus tahun 1997 3. SMU Sutomo 1 di Medan, Lulus tahun 2000
4. Strata I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan, Lulus tahun 2004
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian... 9
E. Keaslian Penelitian ... 10
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 10
1. Kerangka Teori ... 10
2. Konsepsi ... 16
G. Metode Penelitian ... 19
BAB II PERMOHONAN SITA JAMINAN ATAS SEBIDANG TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN OLEH PIHAK KETIGA ... 23
A. Ketentuan-ketentuan Pokok Sita Jaminan ... 23
B. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hak Tanggungan ... 29
C. Prosedur Permohonan Sita Jaminan Terhadap Tanah Yang Telah Dibebani Hak Tanggungan Oleh Pihak Ketiga ... 43
BAB III SIKAP HAKIM DI DALAM MEMBERIKAN PUTUSAN TERHADAP PERMOHONAN SITA JAMINAN ATAS TANAH YANG SUDAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN ... 51
C. Putusan-Putusan Pengadilan Yang Membatalkan Penetapan Sita Jaminan Atas Objek Sita Jaminan Yang
Telah Dibebani Hak Tanggungan... 71
BAB IV DAMPAK DAN UPAYA HUKUM TERHADAP PENETAPAN SITA JAMINAN ATAS TANAH YANG SUDAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN ... 76
A. Dampak Dari Penetapan Sita Jaminan ... 76
B. Upaya Hukum Terhadap Penetapan Sita Jaminan ... 80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92
A. Kesimpulan ... 92
B. Saran ... 94
08/CB/2007/306/Pdt.G/2006/PN-Mdn/PN-LP tanggal 07 Mei 2007 bertalian dengan Berita Acara Sita Jaminan Nomor 08/CB/2007/306/Pdt.G/2006/Pn-Mdn/PN-LP tanggal 08 Mei 2007 yang mengabulkan permohonan sita jaminan dalam gugatan perdata Nomor 306/Pdt.G/2006/PN-Mdn tanggal 08 September 2006, telah menimbulkan permasalahan.
Permasalahan timbul dikarenakan terhadap tanah yang diletakkan sita jaminan, sudah terlebih dahulu menjadi jaminan bank dan dibebani hak tanggungan. Selain itu Penggugat dalam hal ini dianggap tidak mempunyai hubungan hukum di dalam pemberian hak tanggungan antara Tergugat dengan Bank. Sita jaminan terhadap hak tanggungan memberikan dampak terhadap dunia bisnis, baik terhadap diri pelaku usaha maupun terhadap perbankan.
Sita jaminan yang diletakkan terhadap harta yang disengketakan maupun terhadap harta kekayaan penggugat bertujuan untuk memberikan jaminan kepada penggugat, harta yang disengketakan tetap ada dan utuh, sehingga sita itu memberikan jaminan terhadap pihak penggugat bahwa kelak gugatannya tidak illusoiratau tidak hampa pada saat putusan dieksekusi (dilaksanakan).
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif dengan sifat penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian yang akan memaparkan dan menganalisis permasalahan yang akan dikemukakan. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif di mana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji berbagai aspek hukum.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Penggugat yang tidak memiliki hubungan hukum dalam pemberian hak tanggungan dapat mengajukan permohonan sita jaminan ke Pengadilan atas objek tanah terperkara dengan cara cukup memastikan unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 227 HIR / 261 RBg telah terpenuhi, terlepas dari apakah tanah terperkara sudah dibebani hak tanggungan ataupun tidak. Untuk itu peran hakim sangat menentukan dalam setiap permohonan sita jaminan yang diajukan kepadanya, apabila objek yang dimohon telah dibebani hak tanggungan maka sesuai dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 394 K/Pdt/1984 tanggal 31 Mei 1985 yang berpendirian bahwa barang-barang yang sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara ini Bank Rakyat Indonesia) tidak dapat dikenakan sita jaminan. Hal ini penting agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam dunia usaha dan perbankan. Bagi pihak yang merasa dirugikan akibat sita jaminan dapat mengajukan upaya hukum gugat rekonvensi atau perlawanan pihak ketiga.
Commencing from the issuance of Court Decision No. 08/CB/2007/306/Pdt.G/2006/PN-Mdn/PN-LP dated May 07, 2007 related to the Official Report of Confiscation of Collateral No. 08/CB/2007/306/Pdt.G/2006/PN-Mdn/PN-LP dated May 08, 2007 which granted the application of confiscation of collateral in the civil lawsuit No. 36/Pdt.G/2006/PN-Mdn dated September 08, 2006, a problem has arisen.
This problem arose because the land under the confiscation of the collateral has become a mortgage bank guarantee. In addition, the plaintiff, in this case, is regarded as not having any legal relationship in the provision of mortgage between the defendant and the bank. The confiscation of the collateral has brought impact to the world of business, either to the business practitioner or the banking.
The confiscation of the collateral against the disputed property or the plaintiff’s assets is intended to provide guarantee for the plaintiff, the disputed property still completely exists, that the confiscation guarantees that the lawsuit of the plaintiff will not be illusive (illusoir) when the decision is executed later.
This analytical descriptive study with normative juridical approach was focussed on studying the application of legal principles or legal norms in the positive law. The data obtained were analyzed based on various aspects of laws.
The result of this study showed that the plaintiff with no legal relationship in the provision of mortgage can submit the application for collateral confiscation of the disputed land to the Court of Law by ensuring that the elements mentioned in Article 227 HIR / 261 RBg have been met, regardless of whether or not the disputed land was mortgage-loaded. For this purpose, the judge plays a very decisive role in every application for collateral cosfiscation submitted to him/her. If the requested object has been mortgage-loaded, in accordance with the Jurisprudence of the Supreme Court Decision No. 394 K/Pdt/1984 dated May 31, 1985 which determines that the assets which have been loan guarantees/collaterals (in this case Bank Rakyat Indonesia) cannot be confisticated. This is important that it will not bring a negative impact to the world of business and banking. The parties who feel disadvantaged due to the collateral confiscation can file a legal action of counterclaim or third party opposition.
A. Latar Belakang
Berawal dari lahirnya Penetapan Pengadilan Negeri Nomor
08/CB/2007/306/Pdt.G/2006/PN-Mdn/PN-LP tanggal 07 Mei 2007 bertalian dengan
Berita Acara Sita Jaminan Nomor 08/CB/2007/306/Pdt.G/2006/Pn-Mdn/PN-LP
tanggal 08 Mei 2007 yang mengabulkan permohonan sita jaminan Yayasan Tri Argo
Mulyo, selaku Penggugat, terhadap sebagian tanah dari sebidang tanah seluas 47,7
hektar di bekas Emplassemen Afdeling Medan Estate Perkebunan Mariendal
perseroan terbatas PT. Perkebunan Nusantara II (Persero), disingkat PTPN II, di
wilayah Deli Serdang guna menjadi jaminan gugatan perdata Nomor
306/Pdt.G/2006/PN-Mdn tanggal 08 September 2006, telah menimbulkan
permasalahan.
Di dalam gugatan perdata Nomor 306/Pdt.G/2006/PN-Mdn tersebut diuraikan
kronologis bahwa sekitar tahun 1991, PTPN II memerintahkan kepada seluruh
karyawan dan eks karyawan penghuni rumah dinas PTPN II di Desa Medan Estate
agar meninggalkan dan mengosongkan rumah dinas di atas sebidang tanah
Perkebunan Mariendal PTPN II seluas 47,7 hektar dengan kompensasi ganti rugi
uang pindah sebesar Rp. 250.000,- per kepala keluarga.1Hal ini menimbulkan reaksi
perlawanan dari para penghuni yang menuntut hak ganti rugi yang wajar atas tanah
yang dikuasai tersebut.
Sebagai perpanjangan tangan dari perjuangan para penghuni, maka Yayasan
Tri Argo Mulyo, selaku Penggugat, diminta untuk membantu agar para penghuni
mendapatkan ganti rugi yang layak. Selanjutnya upaya perjuangan hak para penghuni
ini ditanggapi pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Tanggal 25 Januari 1991 Nomor 89/KMK.013/1991 tentang
Pedoman Pemindahan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara yang menyatakan
bahwa bagi karyawan yang telah menempati secara sah rumah dinas Badan Usaha
Milik Negara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, dapat membeli tanah dan rumah
tersebut dengan keringanan maksimum 50% (lima puluh persen) dari harga jual.
Penghuni kemudian meminta bantuan Yayasan untuk mencari pemodal yang
bersedia meminjamkan dananya kepada penghuni untuk membeli tanah dan rumah
dinas dimana pada saat yang bersamaan dana yang dipinjam tersebut akan
dikembalikan dalam bentuk pengalihan hak atas tanah dari penghuni kepada pemodal.
Dalam melaksanakan pembelian lahan seluas 47,7 hektar itu, Yayasan bekerja sama
dengan PT. Golgon Prima Sakti sebagai pemodal. Selanjutnya, Yayasan dan PT.
Golgon Prima Sakti melakukan pembayaran panjar kepada 403 kepala keluarga.
Ternyata tanpa sepengetahuan Yayasan, para penghuni juga menerima panjar dari
pihak lain, yaitu PT. Pangripta Graha Sarana, yang diakhiri dengan pelunasan dan
penandatanganan akta pelepasan hak dengan ganti rugi antara penghuni dengan PT.
Di dalam memenuhi pelunasan, PT. Pangripta Graha Sarana menggunakan
dana pinjaman kredit dari Bank Tabungan Negara (BTN) dengan jaminan tanah yang
telah dibeli dari para penghuni. Akan tetapi kemudian BTN masuk dalam daftar Bank
Dalam Penyehatan Aset, sehingga kredit macet PT. Pangripta Graha Sarana dialihkan
kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) termasuk di dalamnya
jaminan atas pelunasan kredit.
Selanjutnya oleh BPPN, penagihan piutang atas utang PT. Pangripta Graha
Sarana dialihkan kepada pihak lain, yaitu PT. Petisah Putra. Atas suatu kesepakatan
bersama antara PT. Petisah Putra, PT. Pangripta Graha Sarana dan PT. Pancing
Business Centre, akhirnya ditunjuklah PT. Pancing Business Centre selaku pembeli
dari aset jaminan PT. Pangripta Graha Sarana untuk pelunasan utang piutang. PT.
Pancing Business Centre selaku pemilik terakhir kemudian menjaminkan kembali
tanah tersebut ke Bank Mestika untuk keperluan proyek pembangunan pusat
pertokoan dan oleh pihak bank, tanah tersebut dipasang hak tanggungan.
Permasalahan timbul dikarenakan adanya pengabulan permohonan sita
jaminan dari Yayasan oleh Pengadilan terhadap tanah yang telah dijaminkan PT.
Pancing Business Centre ke Bank Mestika, karena yayasan dianggap bukan
merupakan pemilik dan tidak memiliki hubungan hukum di dalam hal ini. Selain itu
terhadap tanah yang diletakkan sita jaminan, sudah terlebih dahulu menjadi jaminan
Untuk lebih jelasnya, kronologis gugatan Perdata Nomor
306/Pdt.G/2006/PN-Mdn tanggal 08 September 2006 di atas dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Penggugat A PT Golgon
Gambar 1. Kronologis Perkara Perdata Nomor 306/Pdt.G/2006/PN-Mdn
Keterangan Gambar 1:
A. Antara Penggugat (Yayasan Tri Argo Mulyo) dengan PT Golgon mengadakan kerjasama pembayaran panjar pembelian lahan penghuni PTPN-II
B. Pembayaran panjar pembelian lahan penghuni PTPN-II oleh Penggugat C. Jual beli lunas lahan penghuni PTPN-II antara Penghuni dengan PT Pangripta D. Perjanjian kredit antara PT Pangripta dengan BTN dengan jaminan lahan PTPN-II E. BTN masuk dalam daftar Bank Dalam Penyehatan Aset sehingga pengelolaan
kredit PT Pangripta oleh BTN diambil alih BPPN
F. PT Petisah Putra dengan BPPN mengadakan perjanjian Cessie atas piutang PT Pangripta
G. Tergugat (PT Pancing Business Centre) melunasi hutang PT Pangripta ke PT Petisah
H. Jual beli lunas antara PT Pangripta dengan Tergugat
Sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda
yang Berkaitan Dengan Tanah, selanjutnya disebut UUHT, dikatakan bahwa ”... Hak
Tanggungan adalah hak jaminan ... untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”.
Hal ini menunjukkan apabila sita jaminan diletakkan pada tanah yang telah
dibebankan hak tanggungan merupakan tindakan sia-sia.
Suatu putusan pengadilan yang telah mengabulkan tuntutan penggugat yang
sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, bisa saja tidak dapat dilaksanakan,
misalnya karena barang yang dipersengketakan sudah tidak berada dalam kekuasaan
tergugat atau dalam hal pembayaran sejumlah uang, tergugat sudah tidak mempunyai
harta kekayaan lagi yang dapat dilelang.2Dengan demikian, putusan pengadilan tidak
dapat dilaksanakan, dalam arti penggugat hanya menang di atas kertas belaka, dan
maksud mengajukan gugatan ke pengadilan tidak tercapai secara nyata.
Untuk menghindari hal semacam ini dan agar terjamin hak penggugat,
sekiranya dikabulkan hakim, undang-undang menyediakan upaya penjaminan hak
tersebut melalui penyitaan atau disebut juga sita jaminan.3
Penyitaan atau sita jaminan
yang diletakkan terhadap harta yang disengketakan maupun terhadap harta kekayaan
penggugat bertujuan untuk memberikan jaminan kepada penggugat, harta yang
disengketakan tetap ada dan utuh, sehingga sita itu memberikan jaminan terhadap
2Muhammad Nasir,Hukum Acara Perdata(Jakarta : Djambatan, 2003), hal. 87
3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta : Liberty, 2002),
pihak penggugat bahwa kelak gugatannya tidak illusoir atau tidak hampa pada saat
putusan dieksekusi (dilaksanakan).4
Pengadilan dapat atau boleh memerintahkan untuk meletakkan sita jaminan,
namun tidak berarti harus, melainkan hakim harus memeriksa apakah persyaratan
dalam Pasal 227 HIR / 261 RBg telah dipenuhi. Untuk itu sudah diberlakukan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 05 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975
yang pada pokoknya berbunyi:
a. Agar para Hakim berhati-hati sekali dalam menerapkan atau menggunakan
lembaga sita jaminan (conservatoir beslag) dan sekali-kali jangan mengabaikan
syarat-syarat yang diberikan undang-undang (Pasal 227 HIR / 261 RBg);
b. Agar diingat adanya perbedaan syarat dan sifat antara conservatoir beslag dan
revindicatoir beslag seperti ditentukan dalam peraturan-peraturan yang
bersangkutan;
c. Agar dalam surat permohonan conservatoir beslag serta surat ketetapan yang
mengabulkannya disebut alasan-alasan apa yang menyebabkan conservatoir
beslag yang dimohon dan dikabulkan itu, yang berarti bahwa sebelum
dikeluarkan surat ketetapan yang mengabulkan permohonan conservatoir beslag
diadakan penelitian lebih dahulu tentang ada tidaknya alasan yang dikemukakan
oleh Pemohon;
d. Agar benda-benda yang disita nilainya diperkirakan tidak jauh melampaui nilai
gugatan (nilai uang yang menjadi sengketa), jadi seimbang dengan yang digugat;
e. Agar lebih dulu dilakukan penyitaan atas benda-benda bergerak dan baru
diteruskan kepada benda-benda tetap jika menurut perkiraan nilai benda-benda
bergerak itu tidak akan mencukupi;
f. Agar selalu diingat pula agar ketentuan dalam Pasal 198 HIR / 213 RBg dan
Pasal 199 HIR / 214 RBg mengenai benda-benda tetap yang harus dicatat dalam
register yang telah disediakan untuk itu di Pengadilan Negeri dan bahwa
tembusan berita acara harus disampaikan kepada Kantor Pendaftaran Tanah
(Agraria) atau pejabat yang bertugas membuat akta jual beli tanah sehingga tidak
akan terjadi pemindahtanganan benda-benda yang ada di bawah penyitaan itu;
g. Agar benda-benda yang disita tidak diserahkan kepada pihak pemohon, karena hal
itu menimbulkan kesan seolah-olah sudah pasti perkara akan dimenangkan oleh
pemohon dan seolah-olah putusannya nanti akanuitvoerbaar bij voorraad.
Dengan demikian, sita jaminan hanyalah merupakan tindakan persiapan untuk
menjamin dapat dilaksanakannya putusan hakim dalam perkara perdata.
Barang-barang yang disita untuk kepentingan penggugat dibekukan dan disimpan untuk
jaminan dan tidak boleh dialihkan atau dijualbelikan, dibebani maupun disewakan
kepada pihak lain oleh tergugat (Pasal 199 HIR / 214 RBg).5
Sita terdiri dari 2 macam, yaitu:
1. Sita terhadap barang miliknya sendiri;
Penyitaan ini dilakukan terhadap barang miliknya sendiri (penggugat) yang
dikuasai oleh orang lain. Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin tagihan
berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon dan
berakhir dengan penyerahan barang yang disita.
2. Sita terhadap barang milik debitor.
Penyitaan inilah yang biasanya disebut sita conservatoir. Sita conservatoir ini
merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan
perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitor yang disita guna
memenuhi tuntutan penggugat.6
Berdasarkan uraian-uraian di atas diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai
sita jaminan yang diletakkan pada tanah yang sudah dibebankan hak tanggungan
dengan judul: ”Analisis Hukum Terhadap Sita Jaminan Yang Diletakkan Di Atas
Objek Hak Tanggungan Oleh Pengadilan.”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan paparan dalam latar belakang permasalahan tersebut di atas dapat
dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pihak ketiga (pihak yang tidak memiliki hubungan hukum dalam
pemberian hak tanggungan) dapat mengajukan permohonan sita jaminan ke
Pengadilan atas sebidang tanah yang sudah dibebani hak tanggungan?
2. Bagaimanakah sikap hakim di dalam memberikan putusan terhadap permohonan
sita jaminan atas tanah yang sudah dibebani hak tanggungan?
3. Bagaimanakah dampak dari adanya penetapan sita jaminan atas tanah yang sudah
dibebani hak tanggungan dan apa upaya hukum yang dapat diambil oleh pihak
yang merasa dirugikan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui prosedur pihak ketiga di dalam mengajukan permohonan sita
jaminan ke pengadilan atas sebidang tanah yang sudah dibebani hak tanggungan.
2. Untuk mengetahui sikap hakim di dalam memberikan putusan terhadap
permohonan sita jaminan atas tanah yang sudah dibebani hak tanggungan.
3. Untuk mengetahui dampak dari adanya penetapan sita jaminan atas tanah yang
sudah dibebani hak tanggungan dan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh
pihak yang merasa dirugikan.
D. Manfaat Penelitian
Dari pembahasan permasalahan dalam kegiatan penelitian ini diharapkan
nantinya dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun secara praktik.
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
khususnya untuk ketentuan hukum jaminan dan lebih khususnya lagi yang
berhubungan dengan hak tanggungan.
Secara praktik, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada pihak yang terkait dengan sita jaminan dan hak tanggungan, terutama:
1. Memberi informasi yang dibutuhkan oleh orang perseorangan atau badan hukum
khususnya perbankan sebagai pemegang hak tanggungan.
2. Memberi masukan kepada pemerintah dan pembuat undang-undang terhadap
masalah-masalah yang mungkin timbul dari sita jaminan yang dikabulkan oleh
Pengadilan atas tanah yang dibebankan hak tanggungan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang telah disediakan oleh pihak sekretariat program
dan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan di lingkungan Universitas
Sumatera Utara dan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara bahwa belum
ada penelitian yang sudah dilakukan menyangkut “Analisis Hukum Terhadap Sita
Jaminan Yang Diletakkan Di Atas Objek Hak Tanggungan Oleh Pengadilan”,
sehingga judul penelitian ini keasliannya dapat dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.7 Teori
7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : Universitas Indonesia
menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis, artinya mendudukkan
masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoretis yang relevan,
yang mampu menerangkan masalah tersebut.8 Kerangka teori adalah kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis penulis mengenai sesuatu kasus atau
permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoretis.9
Dengan demikian, kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau
butir-butir pendapat, teori, tesis dari para penulis ilmu hukum di bidang sita jaminan
dan hak tanggungan, hukum jaminan, serta sistem hukum benda yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoretis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang
merupakan masukan eksternal dalam penulisan tesis ini.
Kerangka teori yang akan dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini adalah
teori kepastian hukum, yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo:
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sehingga akhirnya timbul keresahan. Tetapi jika terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, dan ketat mentaati peraturan hukum maka akibatnya akan kaku serta menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya tetap seperti demikian, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat.10
Tujuan hukum bukan hanya keadilan akan tetapi juga kepastian hukum dan
kemanfaatan. Pemenuhan keadilan dalam suatu peraturan perundang-undangan belum
8 I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis
(Yogyakarta : Andi, 2006), hal. 23
9 M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80 10Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum (Suatu Pengantar)(Yogyakarta : Liberty, 1988),
cukup karena masih memerlukan syarat kepastian hukum. Kepastian hukum akan
tercapai bila suatu peraturan dirumuskan secara jelas sehingga tidak menimbulkan
penafsiran yang berbeda-beda serta tidak terjadi tumpang tindih antara peraturan yang
ada baik secara vertikal maupun horisontal. Mewujudkan sistem hukum yang baik
akan menjadi sebuah hal yang sulit jika substansi aturan yang mendasarinya pun
terdapat kesimpangsiuran akibat ketidaksinkronan aturan yang ada.
Secara normatif, kepastian hukum memerlukan tersedianya perangkat aturan
perundang-undangan yang secara operasional mampu mendukung pelaksanaannya.
Secara empiris, keberadaan peraturan-peraturan itu dilaksanakan secara konsisten dan
konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.
Fungsi teori dalam penulisan tesis ini adalah untuk memberikan
arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian
ini merupakan penelitian hukum normatif, sehingga kerangka teori yang diarahkan
adalah berdasarkan ilmu hukum. Maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk
memahami sita jaminan dan jaminan hak tanggungan secara yuridis, memahami
objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah
hukum seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
masalah sita jaminan dan hak tanggungan, hukum jaminan, serta sistem hukum
Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan
pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.11
Maksud dan tujuan hak jaminan pada umumnya adalah bahwa segala harta
kekayaan seorang debitor, baik yang berupa benda bergerak maupun
benda-benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,
menjadi jaminan bagi semua perikatan utangnya. Dengan berlakunya ketentuan Pasal
1131 KUHPerdata itu menyebabkan terjadinya pemberian jaminan oleh seorang
debitor kepada setiap kreditornya atas segala kekayaan yang dimiliki debitor itu
dengan sendirinya atau demi hukum. Apabila terdapat beberapa kreditor dan ternyata
debitor cidera janji terhadap salah satu kreditor atau beberapa kreditor itu, atau
debitor jatuh pailit dan harta kekayaan harus dilikuidasi, maka masing-masing
kreditor mempunyai hak terhadap kekayaan debitor itu sebagai jaminan piutangnya
masing-masing.
Menurut Pasal 1132 KUHPerdata, harta kekayaan debitor itu menjadi jaminan
secara bersama-sama bagi semua kreditor yang memberi utang kepada debitor yang
bersangkutan dan hasil dari penjualan benda-benda yang menjadi kekayaan debitor
itu dibagi kepada semua kreditornya secara seimbang menurut perbandingan besarnya
piutang masing-masing. Namun Pasal 1132 KUHPerdata memberikan indikasi bahwa
di antara para kreditor itu dapat didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain apabila
11 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo
ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Alasan-alasan yang sah yang
dimaksudkan di dalam Pasal 1132 KUHPerdata adalah alasan-alasan yang ditentukan
oleh undang-undang. Diantara alasan-alasan yang dimaksudkan oleh Pasal 1132
KUHPerdata itu, diberikan oleh Pasal 1133 KUHPerdata.12
Menurut Pasal 1133 KUHPerdata, hak untuk didahulukan bagi seorang
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain timbul dari Hak Istimewa Gadai dan
Hipotik. Urutan dari hak untuk didahulukan yang timbul dari ketiga hak yang disebut
dalam Pasal 1133 KUHPerdata itu menurut Pasal 1134 KUHPerdata Gadai dan
Hipotik lebih tinggi daripada hak istimewa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan
undang-undang ditentukan sebaliknya.13
Pasal 1131 KUHPerdata menentukan bahwa segala harta kekayaan seorang
debitor, baik yang berupa benda-benda bergerak maupun benda-benda tetap, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi
semua perikatan utangnya. Dengan berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata itu,
maka dengan sendirinya atau demi hukum terjadilah pemberian jaminan oleh seorang
debitor kepada setiap kreditornya atas segala kekayaan yang dimiliki debitor itu.
Dari penjelasan Pasal 1132 KUHPerdata dan dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 1133 KUHPerdata dan 1134 KUHPerdata, para kreditor yang tidak mempunyai
kedudukan untuk didahulukan berdasarkan alasan-alasan tertentu yang telah
12Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Hak Tanggungan,(Jakarta : Prenada Media, 2005),
hal. 6.
13 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok Dan
Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan)
ditentukan oleh undang-undang, adalah mempunyai kedudukan yang sama. Dalam
hal tertentu, adakalanya seorang kreditor menginginkan untuk tidak berkedudukan
sama dengan kreditor-kreditor lain dikarenakan kedudukan yang sama dengan
kreditor lain itu berarti mendapatkan hak yang berimbang dengan
kreditor-kreditor lain dari hasil penjualan harta kekayaan debitor apabila debitor cidera janji.14
Kedudukan yang berimbang ini tidak memberikan kepastian hukum akan terjaminnya
pengembalian piutangnya. Seorang kreditor tidak akan pernah tahu akan adanya
kreditor-kreditor lain yang mungkin muncul di kemudian hari. Semakin banyak
kreditor dari debitor yang bersangkutan, semakin kecil pula kemungkinan
terjaminnya pengembalian piutang yang bersangkutan apabila karena sesuatu hal
debitor menjadi berada dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar
utang-utangnya).
Kreditor-kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan terhadap
kreditor-kreditor lain disebut kreditorkonkuren sedangkan kreditor yang mempunyai
hak untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain disebut kreditorpreferen.
Dalam peraturan perundang-undangan, ketentuan sita jaminan diatur dalam
Pasal 227 HIR/261 RBg. Dari ketentuan Pasal 227 HIR / 261 RBg, makna yang
terkandung dari sita jaminan adalah merupakan tindakan hukum yang diambil
pengadilan mendahului pemeriksaan pokok perkara atau mendahului putusan.15
14 Ibid., hal. 9
15 M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)
Untuk mengajukan sita jaminan ini haruslah ada dugaan yang beralasan, bahwa seorang yang berutang selama belum dijatuhkan putusan oleh hakim atau selama putusan belum dijalankan mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya. Apabila penggugat tidak mempunyai bukti yang kuat bahwa ada kekhawatiran tergugat akan mengasingkan barangnya-barangnya, maka sita jaminan tidak dilakukan. Syarat adanya dugaan ini tidak hanya sekedar dicantumkan begitu saja, akan tetapi merupakan suatu usaha untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak diadakan penyitaan secara serampangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan yang sia-sia saja yang tidak mengenai sasaran. Maka oleh karena itu debitor harus didengar untuk mengetahui kebenaran dugaan itu. Dalam hal ini cukup dikemukakan adanya dugaan yang beralasan, sehingga tidak perlu digunakan secara pembuktian menurut undang-undang.16
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa maksud sita jaminan adalah
untuk menjamin gugatan penggugat, agar gugatan itu dapat dilaksanakan pada saat
putusan nanti telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dengan demikian, atas
harta yang disengketakan dapat terjamin keutuhannya sampai tiba saatnya perkara
dieksekusi (dilaksanakan).
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi
dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak
dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.17
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya
merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoretis
16Sudikno Mertokusumo,op. cit.,hal. 87
17Samadi Surya Barata, Metodologi Penelitian (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1998),
yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional
yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.18
Definisi operasional ini penting karena bertujuan untuk menghindari
perbedaan salah pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang
dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses
penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dirumuskan beberapa
definisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang
diharapkan, yaitu:
a. Sita Jaminan adalah tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya
putusan hakim dimana objek sita jaminan dibekukan dan disimpan
(di-conserveer) untuk jaminan dan tidak boleh dialihkan atau dijualbelikan, dibebani
maupun disewakan kepada pihak lain oleh tergugat serta penguasaan objek sita
tersebut masih berada di tangan tersita (tergugat) sebelum ada putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap.
b. Pengadilan adalah proses mengadili; keputusan hakim; dewan atau majelis yang
mengadili perkara; sidang hakim ketika mengadili perkara; rumah atau bangunan
tempat mengadili perkara.19
c. Putusan Pengadilan adalah hasil atau kesimpulan terakhir dari suatu pemeriksaan
perkara di Pengadilan.
18Soerjono Soekanto,op.cit.,hal. 133
d. Penetapan adalah proses atau cara pengambilan keputusan atas suatu
permohonan.
e. Upaya hukum adalah alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam
suatu putusan.20
f. Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain.21
g. Tanah adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali.22
h. Jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima, yang menjamin
dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.23
i. Kreditor adalah penerima jaminan dan pihak yang berpiutang dalam suatu
hubungan utang-piutang tertentu.
j. Debitor adalah pemberi jaminan dan pihak yang berutang dalam suatu hubungan
utang-piutang tertentu.
20Sudikno Mertokusumo,op. cit.,hal. 224
21 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
22Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1989), hal. 893
23Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
k. Pihak Ketiga adalah orang lain yang tidak mempunyai hubungan dan ikut serta
dalam suatu Perjanjian.24
l. Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) yang berisi pemberian Hak Tanggungan dari Debitor kepada Kreditor.
m. Utang adalah utang pokok ditambah bunga dan denda-denda.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian normatif, yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif dengan sifat penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian
yang akan memaparkan dan menganalisis permasalahan yang akan dikemukakan.
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif di mana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan
dengan mengkaji berbagai aspek hukum. Pendekatan yuridis normatif dipergunakan
dengan melihat peraturan perundang-perundangan yang mengatur sita jaminan,
terutama yang terdapat di dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR),
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data
sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mempelajari:
a. Bahan Hukum Primer
24Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan,
dokumen resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan,
terutama Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Undang-Undang Nomor 4 tahun
1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan
dengan Tanah, dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu semua bahan hukum yang merupakan publikasi
dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah dan Putusan Pengadilan.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus
hukum, dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang
memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan ditentukan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga
apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil
penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat
dipertanggungjawabkan hasilnya maka dalam penelitian ini mempergunakan teknik
pengumpulan data kepustakaan, menghimpun data dengan melakukan penelaahan
bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke
dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data.25
Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun data
penunjang yang diperoleh dari wawancara, selanjutnya akan dianalisis dengan
pendekatan kualitatif, sehingga akan diperoleh data yang bersifat deskriptif.
Analisis kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan
menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan
kebenarannya. Kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi
kepustakaan, sehingga akan diperoleh jawaban permasalahan.
Analisis deskriptif-kualitatif merupakan tehnik yang menggambarkan dan
menginterpretasikan arti data-data yang telah terkumpul dengan memberikan
perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu,
sehingga memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan
sebenarmya. Menurut M. Nazir bahwa tujuan deskriptif ini adalah untuk membuat
deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.26
25Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002),
hal. 103
26
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari, ditelaah maka langkah selanjutnya adalah
mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.27Langkah
selanjutnya adalah menyusun rangkuman dalam abstraksi tersebut dalam
satuan-satuan, yang mana satuan-satuan ini kemudian dikategorisasikan. Data yang
dikategorisasikan kemudian ditafsirkan dengan cara mengolah hasil sementara
menjadi teori substantif. Tahap terakhir, penarikan kesimpulan dengan menggunakan
logika berpikir deduktif-induktif.
BAB II
PERMOHONAN SITA JAMINAN ATAS SEBIDANG TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN
OLEH PIHAK KETIGA
A. Ketentuan-ketentuan Pokok Sita Jaminan
1. Pengertian dan Tujuan Sita Jaminan
Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda),28 dan istilah Indonesia
beslahtetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di
dalamnya ialah:
a. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam
keadaan penjagaan29(to take into custody the property of a defendant).
b. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official)
berdasarkan perintah pengadilan atau hakim.
c. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang
disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat
pembayaran atas pelunasan utang debitor atau tergugat, dengan jalan menjual
lelang(executorial verkoop)barang yang disita tersebut.
d. Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses
pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu.
28Marianne Termorshuizen,Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1999),
hal. 49
29 Merriam Webster’s Dictionary of Law, Merriam Webster Springfield,
Ada banyak jenis sita, namun secara umum dikenal dua jenis:
a. Sita terhadap harta benda milik tergugat (conservatoir beslag)
Sita ini dilakukan terhadap harta benda milik debitor. Kata conservatoir
sendiri berasal dari conserveren yang berarti menyimpan, dan conservatoir beslag
menyimpan hak seseorang. Maksud sita jaminan ini adalah agar terdapat suatu barang
tertentu yang nantinya dapat dieksekusi sebagai pelunasan utang tergugat.
Perihal sita conservatoir beslag ini diatur dalam pasal 227 (1) HIR, intisari
dari ketentuannya adalah sebagai berikut :30
1) Harus ada sangkaaan yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang-barangnya;
2) Barang yang disita itu merupakan barang kepunyaan orang yang terkena sita, artinya bukan milik penggugat;
3) Permohonan diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan;
4) Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis;
5) Sita conservatori dapat dilakukan atau diletakkan baik terhadap barang yang bergerak dan tidak bergerak.
Sehubungan dengan ketentuan pasal 227 ayat (1) HIR, Mahkamah Agung
dalam salah satu putusannya menyatakan bahwa conservatoir beslag yang diadakan
bukan atas alasan-alasan yang disyaratkan dalam pasal dimaksud adalah tidak
dibenarkan.31
b. Sita terhadap harta benda milik penggugat sendiri
30Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktek, (Bandung : CV.Mandar Maju, 2002), hal. 100
31 Putusan Mahkamah Agung Nomor 597/K/Sip/1983 tanggal 8 Mei 1984, termuat dalam
Berbeda dari conservatoir beslag, dikenal juga sita terhadap harta benda
penggugat/pemohon sendiri yang ada dalam kekuasaan orang lain
(termohon/tergugat). Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan berupa
uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon. Sita ini terbagi
menjadi dua bagian, yaitu sita revindicatoir (Pasal 226 HIR / 260 RBg) dan sita
marital (Pasal 823-823j Rv). Revindicatoir berarti mendapatkan, dan kata sita
revindicatoir mengandung pengertian menyita untuk mendapatkan kembali (barang
yang memang miliknya).
Pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan sita adalah:
1. Untuk pemohon sitarevindicatoir:
a. Pemilik benda bergerak yang barangnya berada di tangan orang lain;
b. Pemegang hak reklame;
2. Untuk pemohon sitaconservatoiradalah kreditor;
3. Untuk pemohon sitamaritaladalah istri.
Di negara yang menganut tradisi common law, sita jaminan (security for
costs) lebih sering diminta oleh tergugat. Artinya, jaminan berupa uang atau aset lain
yang diserahkan oleh pengugat ke pengadilan yang dapat dipakai untuk mengganti
biaya yang diderita oleh termohon jika ternyata permohonan tersebut tidak beralasan.
Di Indonesia, instrumen ini dipakai dalam permohonan penetapan sementara.32
Sesuai dengan Pasal 226 HIR / 260 RBg, untuk mengajukan permohonan sita
revindicatoir, pemohon dapat langsung mengajukan permohonan, tanpa perlu ada
32Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta : Liberty, 1998),
dugaan yang beralasan bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau
melarikan barang yang bersangkutan selama proses persidangan.
Sedangkan pada sita jaminan conservatoir, sesuai Pasal 227 HIR / 261 RBg,
elemen dugaan yang beralasan, merupakan dasar pembenar utama dalam pemberian
sita tersebut. Apabila penggugat tidak memiliki bukti kuat, maka sita jaminan tidak
akan diberikan. Syarat ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak
diadakan penyitaan secara sembarangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan
sia-sia yang tidak mengenai sasaran (vexatoir). Sehingga dalam sita ini, tersita harus
didengar untuk mengetahui kebenaran dugaan tersebut.
2. Objek Yang Dapat Diletakkan Sita Jaminan
Objek permohonan tergantung kepada jenis sita yang dimintakan, pada sita
revindicatoir, maka yang dapat disita adalah benda bergerak yang merupakan milik
pemohon (atau pemilik hak reklame). Pemohon sita revindicatoir tidak dapat
memohon sita dijatuhkan terhadap benda tetap milik pemohon, karena pengalihan
atau pengasingan benda tetap tidak semudah pengalihan benda bergerak, sehingga
kecil sekali kemungkinan terjadi diasingkannya barang tetap tersebut. Pasal 226 (2)
HIR menjelaskan bahwa dalam permohonan sita revindicatoir harus dijelaskan secara
lengkap dan nyata, barang-barang yang dimintakan sita tersebut.
Sedangkan pada sitaconservatoir, yang dapat menjadi obyek sita adalah:
1. barang bergerak milik debitur
3. barang bergerak milik debitur yang berada di tangan orang lain (pihak ketiga).
Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang-barang yang nilainya diperkirakan
tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi sengketa), sehingga
nilai sita seimbang dengan yang digugat. Penyitaan juga dilakukan terlebih dulu atas
benda-bergerak, dan baru diteruskan ke benda-benda tidak bergerak, jika menurut
perkiraan nilai benda-benda tersebut tidak akan mencukupi.
RV masih mengenal beberapa sitaconservatoirlainnya yaitu :
a. Sitaconservatoirterhadap Kreditor
Ada kemungkinannya bahwa Debitor mempunyai piutang kepada Kreditor. Jadi
ada hubungan utang piutang timbal balik antara Kreditor dan Debitor. Dalam
hubungan hutang timbal balik antara Debitor dan Kreditor ini, dimana Kreditor
sekaligus juga Debitor dan Debitor sekaligus juga Kreditor, tidak jarang terjadi
bahwa prestasinya tidak dapat dikompesasi, misalnya apabila tuntutan piutang
Kreditor sudah dapat ditagih dari Debitor, sedang piutang Debitor belum dapat
ditagih dari Kreditor atau apabila Kreditor mempunyai tagihan dalam bentuk uang
sedangkan Debitor tagihannya berupa barang. Dalam hal ini maka Kreditor yang
mengajukan gugatan dapat mengajukan permohonan sita conservatoir terhadap
dirinya sendiri. Pada hakikatnya sita conservatoir ini tidak lain adalah sita
conservatoiratas barang-barang yang ada di tangan pihak ketiga, hanya dalam hal
ini pihak ketiga itu adalah Kreditor itu sendiri.
Sita gadai ini sebagai sitaconservatoir hanya dapat diajukan berdasarkan tuntutan
yang disebut dalam pasal 1139 sub 2 KUHPerdata dan dijalankan atas
barang-barang yang disebut dalam pasal 1140 KUHPerdata.
c. Sita conservatoir atas barang-barang Debitor yang tidak mempunyai tempat
tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia
Rasio dari sita conservatoir ini ialah untuk melindungi penduduk Indonesia
terhadap orang-orang asing bukan penduduk Indonesia, maka oleh karena itu
berlaku juga dengan sendirinya bagi acara perdata di Pengadilan Negeri.
d. Sitaconservatoiratas pesawat terbang
Pada asasnya semua barang bergerak maupun tetap milik Debitor menjadi
tanggungan untuk segala perikatan yang bersifat perorangan, dan semua hak-hak atas
harta kekayaan dapat diuangkan untuk memenuhi tagihan, sehingga dengan demikian
dapat disita. Akan tetapi tentang hal ini ada pengecualiannya. Ada bagian-bagian dari
harta kekayaaan yang tidak dapat disita dan ada yang dibebaskan dari penyitaan.
Yang tidak dapat disita terutama adalah hak-hak perorangan. Hak untuk mendapat
ganti kerugian dalam hubungan perburuhanpun tidak boleh disita untuk menjalankan
putusan hakim.
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara berbunyi “ Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap :
b. Uang atau surat berharga milik Negara/Daerah baik yang berada pada instansi
c. Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada Negara/Daerah
d. Barang bergerak milik Negara/Daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah
maupun pada pihak ketiga
e. Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik Negara/Daerah yang
diperlukan untuk penyelenggaraan tugas Pemerintahan
B. Ketentuan-ketentuan Pokok Hak Tanggungan
1. Pengertian Hak Tanggungan
Pada tanggal 9 April 1996 diresmikanlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan
Dengan Tanah, undang-undang ini kemudian disebut Undang-Undang Hak
Tanggungan (UUHT). Dengan lahirnya UUHT yang mengatur lembaga Hak
Tanggungan ini melahirkan satu unifikasi hukum tanah nasional yang mengatur
mengenai tanah, yang kelahirannya sekaligus menggantikanHypotheek atas hak atas
tanah danCredietverband. Oleh karena itu, ketentuan mengenai Credietverbanddan
Hypotheek sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.33
Sesuai dengan Pasal 57 UUPA34maka dikatakan hipotik dan Credietverband
hanya bersifat temporer selama UUHT yang diperintahkan Pasal 51 UUPA belum
33
Pasal 29 UUHT, yang berisi: ”Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai mengenaiCredietverbandsebagaimana tersebut dalamStaatsblad1908-542jo. Staatsblad 1909-586 danStaatsblad1909-584 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad1937-190jo. Staatsblad
1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.
34Selama undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk
maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia danCredietverband tersebut dalamStaatblad1908 No.542 sebagai yang telah diubah denganStaatblad1937 No.190. (Tim Pustaka Yustia,Pokok-Pokok Hukum Agraria,
diterbitkan, dimana hipotik adalah untuk tanah-tanah yang tunduk kepada
KUHPerdata sedangkan Credietverband untuk tanah-tanah yang tunduk kepada
hukum adat.35
Kelahiran Hak Tanggungan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) dan
UUHT diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan lembaga perbankan sebagai
upaya mengamankan kredit yang disalurkan kepada masyarakat.
Berkembangnya Hak Tanggungan selaras dengan tuntutan kemajuan hukum
masyarakat dalam menjamin hak atas tanah. Artinya pada saat dibicarakan tentang
perkembangan ekonomi bangsa tentunya bilamana kemajuan ekonomi dikehendaki
berkembang maka Hak Tanggungan sangat dibutuhkan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dalam memenuhi modal dengan benda tak bergerak sebagai agunannya.
Dengan adanya jaminan maka fasilitas penambahan modal kerja akan mudah
diperoleh dengan kredit. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan: “Dalam memberikan kredit, Bank Umum
wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk
melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Oleh karena itu, agar lembaga jaminan ini berkembang sesuai dengan harapan
masing-masing pihak, diperlukan ketentuan-ketentuan Hak Tanggungan yang tegas,
mandiri dan konsisten.
Hukum Jaminan sejak diundangkannya UUHT bukan saja mempengaruhi
Hukum Jaminan yang pernah dikenal dan berlaku di Indonesia, namun juga
35A.P.Parlindungan, Menjawab Masalah Pertanahan Secara Tepat dan Tuntas (Bandung :
mempengaruhi bagaimana dunia ekonomi luar ingin menanamkan investasinya
khususnya yang berkaitan dengan dunia properti atau konstruksi dengan
menginvestasikan modalnya pada hak-hak atas tanah.
Sistem hukum jaminan terbagi dalam dua bagian yakni sistem hukum jaminan
perorangan dan sistem hukum jaminan kebendaan.36 Jaminan yang paling sering
digunakan oleh kreditor (bank) adalah jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan dapat
digolongkan menjadi 5 macam yaitu:
1. Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUHPerdata; 2. Hipotek, yang diatur di dalam Bab 21 Buku II KUHPerdata;
3. Credietverband, yang diatur di dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 danStaatsblad 1909-584 sebagaimana yang telah diubah denganStaatsblad 1937-190jo. Staatsblad1937-191;
4. Hak Tanggungan, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996;
5. Jaminan Fidusia, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.37
Dari kelima macam jaminan kebendaan di atas salah satu jenis jaminan
kebendaan adalah hak tanggungan. Saat ini hak tanggungan adalah lembaga hak
jaminan atas tanah yang diatur dalam UUHT, yang berarti pembebanan hak atas tanah
yang menggunakan lembaga hipotek dan credietverband sudah tidak berlaku lagi
karena telah dicabut dengan UUHT.38
Sutan Remy Sjahdeini memberikan pengertian tentang hak tanggungan adalah
salah satu jenis dari hak jaminan di samping hipotik, gadai dan fidusia. Hak jaminan
36Kartono,Hak-hak Jaminan Kredit(Jakarta : Pradnya Paramita, 1977), hal. 5
37Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 24-25
dimaksudkan untuk menjamin utang seorang debitor yang memberikan hak utama
kepada seorang kreditor tertentu yaitu pemegang hak jaminan itu untuk didahulukan
terhadap kreditor-kreditor lain apabila debitor cidera janji.39
Dari definisi mengenai hak tanggungan di atas dapat diketahui bahwa hak
tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain. Sudah tentu kreditor tertentu yang dimaksudkan
adalah kreditor yang memperoleh atau yang menjadi pemegang hak tanggungan
tersebut.
UUHT sendiri memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak
Tanggungan”, di dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, sebagai berikut: “Hak Tanggungan
adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor yang lain.”
Terdapat beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat di dalam
definisi tersebut yakni:
1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang; 2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA;
3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas hak atas tanah saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu.
5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.40
Mengenai apa yang dimaksudkan dengan pengertian “kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain” tidak dijumpai
dalam Penjelasan dari Pasal 1 ayat (1) UUHT tersebut, tetapi dijumpai di bagian lain,
yaitu di dalam angka 4 Penjelasan Umum UUHT.
Dalam Penjelasan Umum tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksudkan
dengan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain ialah bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang hak
tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak
mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut
sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.41
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi pemegang hak
tanggungan diberikan kedudukan yang diutamakan daripada kreditor-kreditor lain
dan jika debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual
melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan
40 Ibid.,hal. 11
41Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia-Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah