BAB II PERMOHONAN SITA JAMINAN ATAS SEBIDANG
C. Prosedur Permohonan Sita Jaminan Terhadap Tanah
Dibebani Hak Tanggungan Oleh Pihak Ketiga 1. Proses Pengajuan Permohonan Sita Jaminan
Adapun mengenai proses permohonan sita jaminan adalah dilakukan dengan: a. Permohonan sita jaminan dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan, dimana
permohonan sita jaminan menjadi bagian dari pokok gugatan. Permohonan sita jaminan tidak boleh berdiri sendiri tanpa ada perkara pokok namun perkara pokok bisa ada tanpa sita jaminan. Permohonan sita jaminan itu biasanya dicantumkan pada bagian akhir “fundamentum petendi” (tuntutan).
b. Permohonan sita jaminan dapat diajukan tersendiri asalkan didahului oleh adanya gugatan pokok sebagai landasannya.
c. Permohonan sita jaminan dapat diajukan selama proses persidangan berlangsung pada semua tingkat pengadilan.
Bentuk permohonan sita dapat dilakukan dengan cara lisan (oral) maupun tertulis.53 Permintaan sita dalam bentuk lisan (oral) dapat dilakukan sesuai dengan prinsip yang dianut HIR/RBg bahwa jalannya proses pemeriksaan di persidangan adalah beracara secara lisan (mondelinge procedure). Sehubungan dengan itu, undang-undang membenarkan permohonan sita secara lisan di depan persidangan. Apabila permohonan sita diajukan dengan lisan, permintaan itu dicatat dalam berita acara sidang, dan berdasarkan permintaan itulah hakim mengeluarkan perintah sita apabila permohonan dianggap mempunyai dasar alasan yang cukup.
Dalam bentuk tertulis, bentuk ini dianggap paling tepat karena memenuhi administrasi yustisial yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg menghendaki agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat permintaan:
a. Permintaan disatukan dengan surat gugatan
Permintaan sita dapat diajukan bersama-sama dengan surat gugatan. Dicantumkan pada bagian akhir uraian dalil dan peristiwa gugatan, sehingga penempatannya dalam gugatan dikemukakan sebelum petitum gugatan. Praktik yang seperti itu
53 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan(Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal. 288
yang banyak diterapkan, sedang mengenai permintaan pernyataan sah dan berharga, diajukan pada Petitum kedua gugatan. Menyatukan permintaan sita sekaligus dalam gugatan secara teoretis sangat tepat bila dikaitkan dengan fungsi sita sebagai gugatan yang bersifat acessoir dengan pokok perkara pada satu sisi maupun dari segi tujuan permintaan sita sebagai upaya menghindari gugatan mengalami illusoir pada sisi lain. Apalagi ditinjau dari prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, bentuk permohonan sita yang disatukan dengan gugatan, dianggap efektif dan efisien.
b. Diajukan dalam surat tersendiri
Cara ini dijelaskan dalam Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg, yang membolehkan pengajuan sita dilakukan secara terpisah dari pokok perkara.54 Berarti permohonan sita, diajukan tersendiri di samping gugatan pokok perkara.
Penyitaan merupakan hukuman dan perampasan harta kekayaan tergugat sebelum putusan berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, penyitaan sebagai tindakan exceptional harus benar-benar dilakukan secara cermat berdasarkan alasan yang kuat. Pasal 227 HIR / 261 RBg atau Pasal 720 Rv memperingatkan hal itu, agar Penggugat dalam pengajuan sita menunjukkan kepada hakim sejauh mana isi dan dasar gugatan dihubungkan dengan relevansi dan urgensi penyitaan dalam perkara yang bersangkutan.
Menurut Pasal 227 HIR / 261 RBg maupun Pasal 720 Rv, alasan pokok
permintaan sita adalah:
a. Ada kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat mencari akal untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya dan hal itu akan dilakukannya selama proses pemeriksaan perkara berlangsung.
b. Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan beralasan secara objektif. Dimana penggugat harus dapat menunjukkan fakta tentang adanya langkah-langkah tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan hartanya selama proses pemeriksaan berlangsung, atau setidaknya penggugat dapat menunjukkan indikasi objektif tentang adanya daya upaya tergugat untuk menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari gugatan.
c. Sedemikian rupa eratnya isi gugatan dengan penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan dan tergugat menggelapkan harta kekayaan, mengakibatkan kerugian kepada penggugat. Jika isi pokok gugatan tidak erat kaitannya dengan penyitaan, sehingga tanpa penyitaan diperkirakan tidak menimbulkan kerugian kepada Penggugat, maka penyitaan dianggap tidak mempunyai dasar alasan yang kuat.
Permintaan sita dapat diajukan sepanjang pemeriksaan sidang. Sebagaimana penegasan Putusan Mahkamah Agung Nomor 371K/Pdt/1984 55 yang mengatakan, meskipun sita jaminan tidak tercantum dalam gugatan maupun dalam Petitum gugatan, dan baru diajukan belakangan dalam surat tersendiri, jauh setelah gugatan
55 Tanggal 15-5-1985, jo. PT Jakarta Nomor 75/1983, 28-5-1983, jo. PN Jakarta Nomor 123/1982, 7-8-1982.
didaftarkan, cara yang demikian tidak bertentangan dengan tata tertib beracara, karena undang-undang membolehkan pengajuan sita jaminan dapat dilakukan permintaannya sepanjang proses persidangan berlangsung. Oleh karena itu, pengabulan sita dalam kasus yang seperti itu tidak bertentangan denganultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR / 189 ayat (3) RBg. Memperhatikan putusan di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg, dapat dikemukakan acuan penerapan pengajuan permintaan sita, yaitu:
a. Selama Belum Dijatuhkan Putusan pada Tingkat Peradilan Pertama.
Selama proses pemeriksaan pada tingkat peradilan pertama di PN, Penggugat dapat dan dibenarkan mengajukan permintaan sita. Ketentuan batas waktu ini, secara tersurat disebut dalam Pasal 227 ayat (1) HIR / 261 ayat (1) RBg yang mengatakan, sita terhadap harta kekayaan tergugat (debitor) dapat diminta selama belum dijatuhkan putusan atas perkara tersebut. Bahkan seperti yang dijelaskan terdahulu, permintaan sita dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan melalui cara mencantumkan permintaan itu dalam gugatan yang bersangkutan. Bertitik tolak dari cara yang demikian, pada dasarnya permintaan sita dapat diajukan sejak saat penyampaian gugatan, hingga PN menjatuhkan putusan. Dengan kata lain, sejak perkara diregistrasi di kepaniteraan, sita dapat diminta, baik hal itu dikemukakan dalam gugatan atau dengan surat permintaan yang berdiri sendiri. b. Dapat Diajukan Selama Putusan Belum Dieksekusi.
berbunyi: ”Selama putusan yang mengalahkannya belum dijalankan eksekusinya. Dengan demikian baik selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau selama putusan belum dieksekusi, Penggugat dapat mengajukan permintaan sita atas harta kekayaan tergugat.” Memperhatikan ketentuan ini, permintaan sita tidak hanya dapat diajukan selama pemeriksaan perkara pada tingkat pertama di PN, tetapi juga dapat diajukan dalam semua tingkat pemeriksaan, selama berlangsung pemeriksaan tingkat banding di PT atau selama proses pemeriksaan berlangsung pada tingkat kasasi di MA.
Terdapat kemungkinan adanya urgensi meminta sita pada saat proses pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi, yaitu apabila selama proses pemeriksaan pada tingkat pertama di PN, penggugat tidak mengajukan permintaan sita. Baru setelah pemeriksaan di tingkat banding penggugat sadar perlu diletakkan sita terhadap harta kekayaan tergugat, untuk menghindari terjadinya penggelapan harta itu oleh tergugat. Atau baik pada tingkat pertama maupun pada tingkat banding, penggugat tidak meminta penyitaan, baru sadar betapa pentingnya penyitaan setelah pemeriksaan berlangsung pada tingkat kasasi. Dalam kasus yang seperti itulah timbul urgensi mengajukan sita pada tingkat banding atau kasasi. Atau permintaan sita menjadi urgen pada tingkat banding atau kasasi, apabila permintaan sita yang diajukan pada tingkat pertama ditolak oleh Pengadilan Negeri.
Ketentuan sita jaminan terdapat pada Pasal 227 HIR / 261 RBg yang menyatakan: “Jika terdapat persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya, atau selagi putusan yang
mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang-barang itu dari penagih utang, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan Ketua Pengadilan Negeri dapat memberi perintah, dilakukan sita terhadap barang tersebut untuk menjaga hak pihak yang memasukkan permintaan itu dan kepada pihak pemohon sita harus menghadap ke persidangan Pengadilan Negeri yang pertama untuk kemudian memajukan dan menguatkan gugatannya.”
Di dalam menjawab permasalahan pertama dari penelitian ini, apa yang menjadi dasar hukum bagi pihak ketiga mengajukan permohonan sita, terlebih dahulu harus dipahami tujuan dari dikeluarkannya perintah sita jaminan. Pada pasal tersebut jelas tertulis tujuannya adalah “...untuk menjaga hak pihak/orang yang memasukkan permintaan…”. Siapakah pihak dan apa hak yang dimaksudkan di atas? “Pihak” yang dimaksudkan ketentuan pasal tersebut adalah pihak yang memiliki piutang (Kreditor) terhadap pihak yang dimintakan sita jaminan. Sedangkan “Hak” yang dimaksudkan pada pasal tersebut adalah “Hak Kreditor”, baik sebagai Kreditor biasa ataupun Kreditor yang diistimewakan.
Untuk memahami “Hak” tersebut maka kita harus melihat ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, setiap Kreditor mempunyai hak jaminan atas piutangnya berupa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari.
Jaminan berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut bersifat umum, berlaku untuk seluruh Kreditor. Sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata, menyatakan diperbolehkannya hak jaminan yang bersifat istimewa dan didahulukan, misalnya
dalam bentuk Hak Tanggungan, yang dahulu dikenal dengan Hipotik. Dengan demikian jelaslah, bahwa setiap Kreditor memiliki hak jaminan atas piutangnya, baik yang berupa jaminan umum ataupun dapat pula jaminan yang bersifat istimewa dan didahulukan.56
Kembali kepada tujuan dari sita jaminan yang sudah kita bahas di atas. Tujuan sita jaminan adalah untuk “...menjaga hak…” bukan menciptakan atau memberikan hak baru. Dengan demikian, oleh karena keseluruhan harta Debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada adalah jaminan untuk keseluruhan Kreditor, maka setiap Kreditor berhak untuk mengajukan permohonan sita jaminan atas keseluruhan harta Debitor baik yang telah dijaminkan secara istimewa dan didahulukan ataupun tidak.57
Dengan demikian, seorang Kreditor yang tidak memiliki jaminan istimewa dan didahulukan, tetap dapat mengajukan permohonan sita jaminan atas harta Debitor, baik yang telah dijaminkan secara istimewa dan didahulukan kepada pihak lain (Bank) ataupun tidak. Selanjutnya, apabila permohonan sita tersebut dikabulkan oleh pengadilan melalui penetapan sita jaminan, maka hal tersebut tetap tidak merubah kedudukan Kreditor tersebut terhadap benda yang disitajaminankan.
56Mahawisnu Alam, Jaminan & Penagihan Hutang Sita Jaminan,
http://www.hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=3022, diakses tanggal 10 April 2009.