• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang dilakukan terhadap proses aktivitas proyek Ruko Graha Depok ini memiliki keterbatasan. Keterbatasan penelitian tersebut yaitu pada saat pengambilan data ada hambatan yang didapat peneliti seperti proses kerja yang tidak dapat diambil videonya secara berulang dikarenkan sedang tidak ada kegiatan pada proses itu atau terhambatnya melakukan proses kerja tersebut karena bahan – bahan untuk melakukan proses tersebut belum tersedia dengan baik.

B. Analisis Tingkat Risiko Postur Kerja Pada Pekerja Kayu

Pada pekerja kayu di Proyek Ruko Graha Depok memiliki beberapa aktivitas kerja yang dilakukan seperti, mengambil kayu, memotong kayu, membuat bekisting dan memasang bekisting. Dari setiap aktivitas tersebut diambil satu sampel yang dapat mewakili keseluruhan pekerja tiap aktivitas tersebut, namun pada aktivitas memotong kayu diambil tambahan sampel dikarenakan adanya perbedaan tinggi badan pada pekerja. Di bawah ini akan dijabarkan pembahasan mengenai penilaian dari keempat aktivitas tersebut dengan ketiga metode penilaian risiko REBA, OWAS dan QEC.

165

1. Mengambil Kayu

Hasil Perhitungan tingkat risiko ergonomi dengan metode penilaian risiko REBA pada aktivitas mengambil kayu, didapatkan penilaian tingkat risiko dengan total skor tiga. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mengambil kayu yang dilakukan oleh pekerja kayu ini memiliki bahaya ergonomi yang rendah. Sehingga menurut McAtamney dan Hignett (1995), jika suatu aktivitas (postur) mendapatkan hasil penilaian tingkat risikonya rendah maka tidak perlu ada tindakan perbaikan yang dilakukan.

Hasil perhitungan tingkat risiko ergonomi dengan metode penilaian risiko OWAS pada aktivitas mengambil kayu, didapatkan penilaian tingkat risiko dengan total skor satu. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mengambil kayu yang dilakukan oleh pekerja kayu ini memiliki bahaya ergonomi yang rendah atau Normal Posture. Sehingga menurut Karhu dkk (1977) jika suatu aktivitas (postur) mendapatkan hasil penilaian tingkat risikonya rendah, maka tidak diperlukan tindakan perbaikan pada postur tersebut.

Sedangkan hasil perhitungan tingkat risiko ergonomi dengan metode penilaian risiko QEC pada aktivitas mengambil kayu, didapatkan bahwa tingkat risiko ergonomi berada pada level exposure < 40%. Sehingga menurut Li dan Bukle (1999) jika suatu aktivitas (postur) mendapatkan hasil penilaian tingkat risikonya rendah maka dikatakan aman.

166

Adanya persamaan hasil dari ketiga metode tersebut diakibatkan adanya hasil penilaian yang serupa pada beberapa postur. Pada postur lengan metode REBA, OWAS, dan QEC sama – sama mendapatkan nilai risiko yang rendah. Pada postur punggung hanya metode REBA dan OWAS yang mendapatkan skor 1. Pada postur pergelangan tangan metode REBA mendapatkan skor 1 dan pada metode QEC postur pergelangan tangan mendapatkan skor yang berada dalam kategori rendah. Adanya persamaan penilaian ini yang mengakibatkan ketiga metode tersebut memiliki skor akhir yang sama yaitu memiliki tingkat risiko yang rendah.

Penilaian tingkat risiko postur mengambil kayu ini ketiga metode menunjukkan tingkat risiko yang sama, yaitu tingkat risikonya rendah. Sehingga tidak diperlukan lagi tindakan perbaikan pada postur aktivitas tersebut.

2.Memotong Kayu

Hasil Perhitungan tingkat risiko ergonomi dengan metode penilaian risiko REBA pada aktivitas memotong kayu, didapatkan penilaian tingkat risiko dengan total skor delapan untuk sampel I dan total skor sembilan untuk sampel II. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mengambil kayu yang dilakukan oleh pekerja kayu ini memiliki bahaya ergonomi yang tinggi. Sehingga menurut McAtamney dan Hignett (1995) jika suatu aktivitas (postur)

167

mendapatkan tingkat risiko yang tinggi, maka perlu segera dilakukan tindakan perbaikan postur pada aktivitas tersebut.

Hasil perhitungan tingkat risiko ergonomi dengan metode penilaian risiko OWAS pada aktivitas memotong kayu, didapatkan penilaian tingkat risiko dengan total skor tiga untuk sampel I dan II. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mengambil kayu yang dilakukan oleh pekerja kayu ini memiliki bahaya ergonomi yang tinggi atau Distincly Harmful. Sehingga menurut Karhu dkk (1977) jika suatu aktivitas (postur) mendapatkan tingkat risiko yang tinggi, maka tindakan korektif diperlukan segera pada postur tersebut.

Sedangkan hasil perhitungan tingkat risiko ergonomi dengan metode penilaian risiko QEC pada aktivitas memotong kayu, didapatkan bahwa tingkat risiko ergonomi berada pada level exposure 69 % untuk sampel I dan II, sehingga menurut Li dan Bukle (1999) aktivitas tersebut dikatakan perlu penelitian lebih lanjut dan tindakan perbaikan.

Pada sampel I dan II hasil penilaian metode OWAS hanya postur kaki yang mendapatkan skor tinggi, dan pada metode QEC kedua sampel mendapatkan hasil penilaian dan tingkat risiko yang sama akan tetapi terdapat perbedaan skor yang didapat pada bagian pergelangan tangan. Pada sampel I skor yang didapatkan yaitu dalam katagori sedang, sedangkan pada sampel II skor yang didapat yaitu dalam kategori tinggi.

168

Pada sampel I dan II terdapat perbedaan skor akhir yang dinilai berdasarkan metode REBA, yaitu sampel I mendapatkan skor akhir delapan dan sampel II mendapatkan skor akhir sembilan. Adanya perbedaan tersebut dikarenakan terdapat penilaian yang berbeda pada postur pergelangan tangan, yaitu sampel I mendapatkan skor satu dan sampel II mendapatkan skor dua. Perbedaan skor penilaian pada pergelangan tangan ini diakibatkan dari adanya perbedaan sudut ekstensi postur yang berbeda.

Adanya perbedaan penilaian sudut ekstensi postur pergelangan tangan ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan skor. Karena semakin ekstensi (>15o) pergelangan tangan semakin tinggi nilai yang didapat. Jika dilihat dari observasi, pergelangan tangan yang menekuk ini diakibatkan karena tubuh yang membungkuk ke depan. Pekerja kayu dalam menjalankan aktivitas memotong kayu ini, dilakukan dengan berjongkok dari awal kerja sampai akhir kerja. Landasan kerja yang tidak sesuai membuat pekerja harus berjongkok dan membungkukan badannya.

Sehingga saran dari peneliti yaitu dengan menstabilkan kayu supaya tidak bergerak dan memotong kayu dengan menggunakan alat bantu gergaji kayu listrik yang dapat mempermudah dan lebih efisien dibandingkan dengan gergaji kayu manual. Karena penggunaan alat bantu mekanik dapat

169

mempermudah pekerjaan dan lebih mempercepat pengerjaan pekerjaan pekerja (Tarwaka, 2011).

3.Membuat Bekisting

Hasil Perhitungan tingkat risiko ergonomi dengan metode penilaian risiko REBA pada aktivitas membuat bekisting, didapatkan penilaian tingkat risiko dengan total skor sembilan. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mengambil kayu yang dilakukan oleh pekerja kayu ini memiliki bahaya ergonomi yang tinggi. Sehingga menurut McAtamney dan Hignett (1995) jika suatu aktivitas (postur) mendapatkan tingkat risiko yang tinggi, maka perlu segera dilakukan tindakan perbaikan postur pada aktivitas tersebut.

Hasil perhitungan tingkat risiko ergonomi dengan metode penilaian risiko OWAS pada aktivitas membuat bekisting, didapatkan penilaian tingkat risiko dengan total skor tiga. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mengambil kayu yang dilakukan oleh pekerja kayu ini memiliki bahaya ergonomi yang tinggi atau Distincly Harmful. Sehingga menurut Karhu dkk (1977) jika suatu aktivitas (postur) mendapatkan tingkat risiko yang tinggi, maka tindakan korektif diperlukan segera pada postur tersebut.

Sedangkan hasil perhitungan tingkat risiko ergonomi dengan metode penilaian risiko QEC pada aktivitas membuat bekisting, didapatkan bahwa tingkat risiko ergonomi berada pada level exposure 66 %, sehingga menurut Li dan Bukle (1999) postur

170

tersebut dikatakan perlu penelitian lebih lanjut dan tindakan perbaikan.

Persamaan hasil skor akhir pada ketiga metode tersebut diakibatkan karena adanya penilaian yang sama diantara ketiga metode pada beberapa postur bagian tubuh. Seperti postur punggung yang ketiga metode tersebut sama – sama memiliki nilai skor yang tinggi. Pada postur lengan hanya metode REBA dan QEC saja yang mendapatkan skor tinggi, karena pengukuran metode OWAS pada postur lengan hanya terpaut pada posisi lengan berada di bawah atau diatas serta jumlah yang berada diposisi tersebut (salah satu atau keduanya). Pada postur kaki hanya metode REBA dan OWAS saja yang mendapatkan skor tinggi, dikarenakan pada metode QEC tidak melihat postur kaki.

Aktivitas membuat bekisting ini dilakukan dengan berjongkok lalu membungkuk selama bekerja, menurut Tarwaka (2011) aktivitas membungkukkan badan sambil memegang objek akan dapat meningkatkan stress pada pinggang. Untuk itu menurut peneliti merubah desain stasiun kerja, dengan meninggikan landasan kerja pekerjaan dengan menggunakan meja yang tingginya 10 – 15 cm di bawah tinggi siku pada saat berdiri sehingga terhindar dari postur janggal.

Karena menurut Grandjean (1993) untuk pekerjaan yang memerlukan penekanan dengan kuat, tinggi landasan kerja adalah 10 -15 cm di bawah tinggi siku berdiri. Sehingga dengan

171

melakukan perubahan cara bekerja ini dihrapkan akan terhindar dari postur janggal membungkuk dan berjongkok.

4.Memasang Bekisting

Hasil Perhitungan tingkat risiko ergonomi dengan metode penilaian risiko REBA pada aktivitas memasang bekisting, didapatkan penilaian tingkat risiko dengan total skor 11. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mengambil kayu yang dilakukan oleh pekerja kayu ini memiliki bahaya ergonomi yang sangat tinggi. Sehingga menurut McAtamney dan Hignett (1995) jika suatu aktivitas (postur) mendapatkan tingkat risiko yang sangat tinggi, maka perlu saat ini juga dilakukan tindakan perbaikan postur pada aktivitas tersebut.

Hasil perhitungan tingkat risiko ergonomi dengan metode penilaian risiko OWAS pada aktivitas memasang bekisting, didapatkan penilaian tingkat risiko dengan total skor tiga. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mengambil kayu yang dilakukan oleh pekerja kayu ini memiliki bahaya ergonomi yang tinggi atau Distincly Harmful. Sehingga menurut Karhu dkk (1977) jika suatu aktivitas (postur) mendapatkan tingkat risiko yang tinggi, maka tindakan korektif diperlukan segera pada postur tersebut.

Sedangkan hasil perhitungan tingkat risiko ergonomi dengan metode penilaian risiko QEC pada aktivitas mengambil bekisting, didapatkan bahwa tingkat risiko ergonomi berada pada

172

level exposure 41 %, sehingga menurut Li dan Bukle (1999) postur tersebut dikatakan perlu penelitian lebih lanjut.

Pada metode QEC, metode tersebut memiliki skor yang paling kecil dibanding dengan metode yang lain. Hal ini dikarenakan hasil penilaian beberapa postur tubuh metode QEC memiliki nilai yang kecil seperti pada postur lengan dan pergelangan tangan yang seharusnya kedua bagian tersebut memiliki andil yang besar dalam mempengaruhi nilai skor akhir.

Pada metode REBA dan OWAS postur kaki memiliki nilai skor yang sangat tinggi, sehingga memiliki andil yang besar dalam mempengaruhi skor akhir kedua metode tersebut. Tetapi pada metode penilaian risiko QEC, metode tersebut tidak melihat/menilai postur kaki yang pada metode lainnya memiliki risiko yang tinggi. Namun pada Metode REBA punggung, lengan, leher dan pergelangan tangan memiliki nilai skor yang cukup mempenggaruhi nilai skor akhir. Diantara bagian tubuh tersebut hanya leher dan pergelangan tangan yang tidak dilihat oleh metode OWAS yang seharusnya kedua bagian itu memiliki andil yang besar dalam mempengaruhi nilai skor akhir REBA.

Metode REBA pada dasarnya memiliki kelebihan dalam menilai postur lengan secara spesifik, dan hal tersebut tidak dimiliki oleh metode OWAS dan QEC. Pada tahapan memasang bekisting postur lengan sangat mempengaruhi pekerjaannya,

173

sehingga hanya metode REBA yang sangat sensitif dapat melihat postur lengan dengan baik.

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ketiga metode ini memiliki karakteristik penilaian bagian tubuh yang berbeda pada umumnya dan bagian tersebut memiliki potensi tersendiri dalam mempengaruhi nilai skor akhir. Sehingga apabila bagian tubuh tertentu memiliki potensi tinggi mempengaruhi nilai skor akhir suatu metode dan bagian tersebut tidak ada pada salah satu atau kedua metode lainnya, hal tersebut akan menyebabkan nilai skor akhir yang berbeda.

Aktivitas memasang bekisting ini dilakukan dengan postur janggal berjongkok dengan membungkukkan badan. Semua sikap tubuh yang tidak alami seharusnya dihindarkan, biasanya dilakukan perubahan pada postur tubuh untuk menghindari sikap tubuh yang tidak alami. Karena menurut Anies (2005) semua pekerjaan hendaknya dilakukan dalam sikap duduk atau sikap berdiri secara bergantian. Namun untuk tindakan perbaikan pada aktivitas kali ini tidak dapat merubah desain kerja karena tempat dan objek yang tidak dapat dipindahkan.

Oleh karena itu saran dari peneliti adalah dengan menyeimbangkan pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang. Karena menurut Grandjean (1993) pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang serta disesuaikan dengan

174

kondisi pekerjaan dan lingkungan akan dapat mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber bahaya.