• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4 Analisis Perkembangan Aktivitas Pembangunan

2.4.1 Ketergantungan daerah perikanan ( fisheries dependent region )

Untuk melihat prospek pengembangan suatu daerah perikanan, konsep yang dikembangkan oleh Symes (2000) tentang daerah yang bergantung pada kegiatan perikanan (daerah perikanan = fisheries dependent regions) sangat bermanfaat bagi aktivitas pengelolaan. Daerah perikanan ini merupakan barometer bagi keberhasilan suatu kebijakan perikanan.di suatu kawasan.

Menurut Symes (2000), definisi pokok dari daerah perikanan adalah untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang memiliki tingkat resiko tinggi, baik dalam konteks sumberdaya maupun kebijakan, terhadap turunnya intensitas kegiatan

TPI KUD

Biaya operasional dan tabungan nelayan

Bendaharawan Dinas Perikanan Kabupaten/Kota Retribusi Provinsi 0.5 % Retribusi Kabupaten/Kota 0.5 % Pungutan Paceklik/ Sosial Kecelakaan 1 % Wasdalop 0.5 % Bendaharawan Provinsi BPD Bali BPD Kabupaten/ Kota Bendaharawan Khusus Perikanan Provinsi

perikanan termasuk dampak yang mungkin timbul dari turunnya kesempatan kerja dan pendapatan sektor perikanan. Daerah perikanan dalam konteks ini terkait dengan istilah fisheries dependent region, ketergantungan daerah terhadap perikanan. Menurut Phillipson (2000), definisi daerah perikanan perlu difokuskan dalam konteks struktur ekonomi daerah (regional depencies) dimana sektor perikanan berkontribusi secara sosial dan ekonomi, daripada ketergantungan perikanan (fisheries dependencies). Ketergantungan daerah jelas berdimensi regional atau wilayah, sedangkan ketergantungan perikanan memiliki banyak dimensi, mulai dari individu, rumah tangga, hingga ke komunitas. Sebelumnya Otterstad et al. (1997b) dalam Symes (2000) menyatakan bahwa ketergantungan secara ekonomi (economic dependencies) lebih relevan secara langsung terhadap isu daerah perikanan. Sedangkan variabel sosial memiliki peran dalam penyediaan indikasi umum dari kesejahteraan sosial (social welfare) dari suatu daerah.

Untuk mengklasifikasi apakah suatu daerah termasuk dalam suatu daerah perikanan atau bukan, menurut Phillipson (2000) terdapat tiga sistem indikator yang dapat digunakan, yaitu:

1) Indikator ketergantungan perikanan (fisheries dependence indices) yang mencakup 3 komponen utama, yakni: a) Indikator ketenagakerjaan perikanan (kontribusi tenaga kerja perikanan dalam total struktur ketenagakerjaan daerah); b) indikator absolut aktivitas perikanan (indikator yang terkait langsung dengan menurunnya kinerja sektor perikanan); dan c) indikator tingkat signifikasi ekonomi dari sektor perikanan terhadap ekonomi daerah.

2) Indikator ketergantungan ekonomi (economic dependence indices) yang meliputi indikator ketenagakerjaan wilayah, indikator ekonomi wilayah dan industri.

3) Indikator sosial demografis yang mencakup indikator kependudukan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.

Penentuan daerah perikanan di Indonesia mempunyai beberapa hambatan. Menurut Adrianto (2004), paling tidak terdapat 3 persoalan (obstacles) yang perlu

diperhatikan. Pertama, tidak ada sistem data yang langsung dapat dipakai (straightforward) untuk mengidentifikasi sebuah daerah agar dapat digolongkan sebagai daerah perikanan. Data statistik nasional misalnya belum menempatkan informasi tentang angkatan kerja perikanan dalam sebuah bentuk yang standar. Kedua, masalah level data. Data perikanan saat ini tidak standar antar level sehingga sering ditemukan ketidaksesuaian data antar level. Secara teoritis, identifikasi kegiatan perikanan lebih mudah dilakukan di tingkat lokal, sehingga level ketergantungan (level of dependencies) daerah tersebut mudah ditentukan walaupun tidak untuk semua kasus. Ketiga, dalam beberapa hal istilah fisheries dependence dapat menimbulkan kontradiksi. Ketika pengukuran dimaksudkan untuk mengidentifikasi peren penting dari sektor perikanan di suatu daerah, namun hasilnya cenderung tidak meyakinkan karena sektor perikanan seringkali masuk (embedded) ke dalam ekonomi lokal yang kompelks dan beragam (pluriactive). Dalam konteks ini, maka penerapan indeks batas arbitrer (arbitrary threshold index), untuk menggolongkan apakah suatu daerah bergantung secara relatif terhadap sektor perikanan atau tidak, dapat di lakukan.

2.4.2 Land rent, social rent, dan environmental rent

Menurut Fetter (1977), asal kata rent atau rente berasal dari kata Bahasa Perancis tua pada abad 12, yang diambil dari Bahasa Latin rendita dan reddita yang berarti kembali atau hasil panen. Pada abad yang sama pula terjadi penggunaan kata tersebut dalam Bahasa Inggris, yang nuansa artinya lebih pada kata penghasilan (revenue atau income). Dari istilah inilah kemudian muncul definisi rente menurut Alfred Marshall yang banyak digunakan oleh para ekonom, yaitu “pendapatan yang diperoleh dari penggunaan lahan dan pemberian alam lainnya”. Namun demikian, dari nuansa teknis hukum definisi yang lebih sesuai adalah: kompensasi yang diterima oleh tuan tanah untuk penyewaan tanahnya (corpus juris).

Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa definisi rent ternyata berkembang terus sejalan dengan kemajuan jaman dan berbagai aktivitas yang dilakukan di suatu kawasan. Parikesit (2005) menyatakan bahwa teori awal dari penggunaan lahan berawal dari teori mikro ekonomi. Di antara para ahli, yang

paling signifikan berpengaruh adalah Von Thünen dengan teori lokasinya, Weber dengan model lokasi industri, Christaller dan Lösch dengan penjelasan tentang daerah pemasaran dan perencanaan geometrik untuk membentuk kawasan; serta implementasinya terhadap daerah perkotaan dijelaskan oleh Wingo dan Alonso (de la Barra 1989). Pendekatan Von Thünen dan Weber sudah dikenal umum sebagai dua paradigma yang berbeda dimana Von Thunen menggunakan paradigma land use sementara yang kedua paradigma lokasi (Stahl 1987 dikutip oleh Parikesit 1996 dalam Parikesit 2005). Von Thünen melihat bahwa lokasi perdagangan yang penting dan terlibat adalah penurunan biaya output transportasi dengan cara mendekati lokasi pasar, lawannya adalah peningkatan harga input lahan (atau barangkali juga buruh) yang terlibat dalam hal pindah lokasi. Lebih jauh, Von Thünen menyatakan bahwa land rent dirasakan sebagai pendekatan yang paling tepat sebagai sisa, bahwa land rent bukan suatu lokasi yang menentukan (kompetitif), tetapi ditetapkan sebagai suatu hasil (Parikesit 1996 dalam Parikesit 2005).

Menurut Rothbard (1997), Fetter merupakan ekonom pertama yang menjelaskan tingkat bunga berdasarkan waktu. Setiap faktor produksi memperoleh inkamnya sesuai dengan produk marginalnya, dan setiap rente yang akan datang didiskon, atau dikapitalisasi untuk mendapatkan nilainya sekarang sesuai dengan semua tingkat sosial berdasarkan waktu. Hal ini berarti bahwa suatu perusahaan yang membeli mesin hanya akan membayar nilai saat ini untuk nilai pendapatan yang diharapkan datang di masa yang akan datang, diskon oleh tingkat sosial yang berdasarkan waktu; dan pada saat pemodal menyewa pekerja atau menyewa lahan, dia akan membayar saat ini, bukan suatu faktor produk marginal, tetapi diskon dari produk mariginal yang diharapkan dimasa yang akan datang berasal dari tingkat sosial yang berdasarkan waktu.

Menurut Petrucci (2003), dalam suatu ekonomi tertutup non-altruistik, dimana lahan dianggap sebagai suatu input dan juga sebagai asset, serta lahan dan pekerja merupakan suplai yang tidak elastis, suatu pajak atas land rent dihubungkan dengan stok modal dan output per orang yang lebih tinggi dalam kondisi yang stabil. Hasil ini ditemukan oleh Feldstein tahun 1977. Model Von Thunen tentang land-rent dapat dilihat pada Gambar 2.11.

Rent/Cost 100 cost of fixed non-land inputs 50 30 M 20 km distance d 50 km

Gambar 2.11 Model Von Thunen tentang land-rent (Petrucci 2003)

Untuk lebih mudah mengerti tentang konsep land rent, diagram di bawah ini menjelaskan tentang kaitan antara besarnya nilai suatu kapital dengan jarak, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12 Konsep land rent (Anonimous 2005)

1 - Bid rent curve

A-Retailling B-Industry/ commerccial

C. Apartements D. Single houses

Re

n

t

Distance

2 – Overlay of bid rent curve

Ci

ty

l

imi

Gambar 2.12 bagian 1 (bid rent curve) menggambarkan toleransi dari aktivitas ekonomi terhadap rent. Dengan menumpang-tindihkan kurva dari semua aktivitas ekonomi perkotaan tersebut (bagian 2), maka pusat pemanfaatan lahan dapat dibuat dimana aktivitas bisnis eceran pada lingkaran CBD, industri/komersial pada lingkaran berikutnya, apartemen di lingkaran berikutnya dan kemudian perumahan tunggal. Hal ini merupakan representasi suatu ruang isotropik (isotropic space). Pada kenyataannya, kombinasi antara atribut-atribut physiographic (tepi perairan, bukit, dan lain lain), sejarah (turisme) dan sosial (suku bangsa, kriminalitas, persepsi) akan mempengaruhi kurva nilai penawaran (bid rent curves) (Anonimous 2005). Penggunaan lahan oleh karena itu didefinisikan sebagai kemampuan untuk membayar dari fungsi ekonomi yang berbeda di daerah perkotaan, seperti kawasan pedagang eceran, industri, atau pemukiman. Lokasi optimal, dimana akses adalah optimal, adalah pusat kegiatan bisnis. Setiap aktivitas, termasuk daerah pedesaan, berkeinginan untuk mempunyai aktivitas di sekitar pusat bisnis tersebut.

Di bidang ekonomi (khususnya aktivitas produksi), lahan adalah faktor produksi yang sangat penting disamping faktor manusia dan modal (Mubyarto 1979; Northam 1975). Di bidang non ekonomi, lahan memiliki makna struktur penguasaan dan pemilikan. Lahan merupakan tempat dimana terjadi pelbagai kegiatan dengan berbagai manfaat yang akan menentukan tingkat harga dan kompetisi, terutama di daerah perkotaan dimana lahan merupakan input lokal yang langka dan apabila terjadi kapitalisasi dari manfaat nilai lahan yang kepemilikannya diberikan melalui hibah, maka dipastikan tidak akan cukup untuk memperbaiki pengelolaan sumberdaya alamnya (Turner 1993; Husein 1997).

Pada saat suatu kota berkembang, lahan yang terpencil sekalipun mulai menunjukkan rente yang jual tinggi khususnya yang memiliki akses yang baik. Hal ini kemudian menghasilkan tingkat densitas dan produktivitas yang tinggi. Oleh karenanya, densitas dan rente mempunyai hubungan yang erat (Anonimous 2005). Mubyarto (1979) menambahkan bahwa proses urbanisasi dan industrialisasi merupakan faktor penting yang mendorong kenaikan sewa dan harga lahan; selain itu dengan meningkatnya jumlah penduduk maka nilai lahan

akan terus naik dan tidak mungkin turun, karena lahan adalah satu-satunya faktor produksi yang tidak dapat dibuat oleh manusia.

Penurunan nilai lahan di suatu kawasan masih mungkin terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) terjadinya suatu bencana alam yang menimpa kawasan tersebut; (2) terjadi bencana dari suatu industri, contohnya kebocoran instalasi nuklir di Siberia; (3) kawasan tersebut menjadi tidak aman, baik karena faktor manusia (perselisihan atau peperangan) maupun wabah penyakit yang berlangsung lama. Penurunan nilai lahan ini dapat berlangsung lama atau sebentar.

Menurut Husein (1997), penentuan harga lahan di Indonesia dalam banyak kasus dilakukan setelah ada usulan untuk pembebasan lahan dari si pemohon atau pengguna. Sebelum itu hampir tidak diketahui dengan pasti seberapa besar nilai tambah di daerah tersebut, meskipun seandainya harga tanah dapat dimonitor di tiap daerah. Penentuan harga lahan yang terburu-buru dan parsial, per daerah, serta belum mantapnya kerjasama secara sinergis (misalnya antara Dinas Pajak Bumi dan Bangunan dengan instansi pengatur dan pengguna lain seperti BPN, DEPTAN, dan DEPDAGRI) membuat harga lahansecara riil dan potensial belum dapat ditentukan dengan tepat. Salah satu penyebab utama ketidakmampuan berkoordinasi tersebut adalah karena nilai lahan yang sangat spekulatif dan subyektif yang mengandung unsur-unsur sosial-psikologis yang sangat dalam dan sulit dihitung.

Suparwoko (1994) menjelaskan bahwa lahan merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui, dalam arti bahwa lahan tersebut dapat ditingkatkan kesuburannya. Pemanfaatan lahan untuk berbagai macam penggunaan bertujuan untuk menghasilkan barang-barang (atau jasa) kebutuhan manusia yang terus meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Untuk tujuan tersebut seringkali pemanfaatan lahan tidak rasional dan kurang bijaksana dalam jangka pendek, sehingga kurang mempertimbangkan kelestarian sumberdaya lahan tersebut. Akibat pemanfaatan yang tidak rasional tersebut, lahan mengalami penurunan persediaan dan manusia semakin tergantung pada sumberdaya lahan yang rendah kualitasnya.

Fauzi (2000) menyebutkan bahwa tekanan pembangunan ekonomi yang dilakukan di negara-negara berkembang khususnya sering menimbulkan dilema bagi kelestarian sumberdaya alam. Hal ini mengingat kebutuhan konsumsi untuk masyarakat sering tidak ditunjang oleh pengelolaan yang baik dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam, sehingga penurunan kualitas lingkungan sering dianggap sebagai biaya yang harus dibayar untuk suatu proses pembangunan ekonomi. Lahan yang dikelola masyarakat sebagai common property dapat disebut dengan open access. Dalam istilah ekonomi, lahan tersebut disebut extensive economic margin yang artinya bahwa pengetrapan tenaga kerja dan kapital per satuan lahan adalah sangat rendah dan jika lahannya yang open access tersebut diperluas maka economic return-nya juga sama rendahnya. Menurut Mubyarto (1972), balas jasa (return to land) yang diterima oleh lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi mempunyai kedudukan yang paling penting. Pembayaran atas jasa produksi tersebut disebut sewa lahan (rent). Suparwoko (1989) menjelaskan bahwa sewa lahan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi, yaitu merupakan kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Surplus ekonomi dari sumberdaya lahan dapat disebabkan oleh tingkat kesuburannya.

Blair (1991) menyatakan bahwa rent merupakan keuntungan bagi lahan. Pengertian rent dan lahan berbeda dari definisi ekonomi. Lahan merupakan faktor alam dari produksi dan oleh karena itu suplai lahan tidak dipengaruhi oleh harga. Kuantitas lahan tidak dapat ditingkatkan sebagai respon dari harga yang meningkat atau menurun karena menurunnya harga. Lahan meliputi juga bahan bakar, sinar matahari, hujan, dan semua faktor produksi sumberdaya alam. Para ahli ekonomi sangat berhati-hati dalam membedakan antara lahan dan property. Property terdiri dari lahan dan bangunan. Rent merupakan keuntungan bagi lahan dan ditentukan oleh hubungan antara supply dan demand terhadap lahan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.13.

Peningkatan harga lahan (rent) tidak diikuti dengan meningkatnya penawaran. Dengan kata lain, lahan merupakan suplai tetap, sehingga perubahan dalam permintaan akan mempengaruhi rent dan bukan kuantitas (K) dari lahan

tersebut. Penawaran untuk jenis lahan tertentu, seperti lahan komersial, mungkin dapat ditingkatkan dengan tekanan pasar dan oleh keputusan politik, seperti perubahan zonasi. Meskipun demikian, penambahan lahan untuk tujuan tertentu akan lebih mahal dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan lainnya (Blair 1991).

Gambar 2.13 Kurva penawaran (S) dan permintaan (D) dari lahan (Blair 1991)

Permintaan lahan didasarkan atas kontribusi lahan terhadap keuntungan. Produk marjinal suatu unit lahan ekstra (MPi) merupakan output yang dihasilkan dari penggunaan suatu unit lahan ekstra dalam suatu proses produksi. Jika suatu pabrik menjual outputnya dalam suatu pasar yang kompetitif, maka akan menerima suatu harga yang konstan dari setiap unit ekstra yang dijual. Pertanian atau pabrik tidak akan mampu membayar lebih untuk penambahan lahan dibandingkan dengan nilai dari atribut output yang meningkat dari lahan tersebut. Mereka akan membayar sekecil mungkin untuk lahan ekstra. Jika terdapat kompetisi diantara produser, maka mereka akan menawar satu sama lain hingga rent lahan sama dengan kontribusi lahan terhadap keuntungan pabrik. Ketika suatu pabrik berjualan dalam suatu pasar yang kompetitif, harga produk tidak dipengaruhi oleh output dari pabrik. Dalam kasus ini, permintaan terhadap lahan sama dengan nilai dari produk marjinal, VMP. Jika semua input non lahan tetap konstan, nilai dari produk marjinal dapat dinyatakan sebagai harga output dikali

Kuantitas lahan Slahan

Dlahan = VMPL

dengan produk marjinal dari unit lahan tambahan. Dalam bentuk rumus ditulis sebagai berikut:

VMPi = Po x MPi

dimana:

VMPi = nilai produk marjinal dari unit lahan ke-I

Po = net price dari output (setelah dikurangi biaya transportasi), dan MPi = produk marjinal dari unit lahan ke-I

Fungsi VMP menyatakan kuantitas dari penggunaan lahan dalam produksi yang meningkat karena produk marjinal dari lahan turun seperti yang dinyatakan pada hukum penurunan produktivitas marjinal. Ketika VMP lebih besar dibandingkan dengan market rent untuk suatu unit lahan, pabrik akan menggunakan lebih banyak lahan yang mengakibatkan pada penurunannya MP dan VMP. Nilai VMP akan menurun hingga sama dengan rental rate.