• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Kramadibrata (2002), pelabuhan adalah tempat berlabuhnya kapal- kapal yang diharapkan merupakan suatu tempat yang terlindung dari gangguan laut, sehingga bongkar muat dapat dilaksakan untuk menjamin keamanan barang.

Suatu lokasi di pantai dapat memenuhi persyaratan ini dengan kedalaman air dan besaran kolam yang cukup untuk ukuran tertentu, sehingga hanya dibutuhkan adanya suatu dermaga (wharf) tempat ditambatkannya suatu perahu. Pelabuhan seperti ini disebut pelabuhan alam. Tipe tempat lain yang dibentuk dan diperuntukan bagi berlabuhnya kapal adalah pelabuhan buatan, dimana alur masuh dan kolam pelabuhan, dan pemecah gelombang harus dibangun secara penuh. Diantara kedua tipe pelabuhan ini ada juga yang termasuk pelabuhan semi alam.

Mengacu pada definisi yang tercantum dalam International Maritime Dictionary, Murdiyanto (2004) membuat padanan untuk istilah harbour dengan bandar, yaitu suatu pelabuhan alam yang tidak selalu memiliki fasilitas buatan. Istilah port dipadankan dengan pelabuhan, dalam arti pelabuhan buatan.

Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan bahwa suatu pelabuhan dapat digambarkan sebagai suatu tempat dimana berlangsung mekanisme transportasi barang-barang yang berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari laut, dan sebaliknya. Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu pelayanan kapalnya dan pelayanan muatannya. Pelayanan yang diberikan oleh pelabuhan didasarkan pada hasil dari pengalaman dalam jangka waktu yang lama.

Dalam kaitannya dengan kapal ikan, terjadinya antrian akan sangat mempengaruhi nilai dari muatannya tersebut, terkait dengan proses lelang (Dubrocard dan Thoron 1998). Hal ini tidak hanya waktu tunggu yang penting tetapi lebih pada harga ikan yang dapat dicapai saat lelang

.

Artinya, jika ikan yang dibongkar tersebut menambah jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan, dikhawatirkan akan terjadi penurunan harga karena kelebihan pasokan di pasar.

Kramadibrata (2002) membuat definisi pelabuhan dilihat dari subsistem angkutan, yaitu pelabuhan adalah salah satu simpul dari mata rantai bagi kelancaran angkutan muatan laut dan darat. Menurut UU No 31/2004 tentang perikanan, definisi pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintah dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang

dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.

Untuk mengatur pelaksanaan UU No. 31/2004 tentang perikanan tersebut, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan (DKP 2006), yang mengatur beberapa hal berikut:

1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional disusun dengan mempertimbangkan: daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya dukung sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP), rencana umum tata ruang wilayah propinsi/kabupaten/kota, dukungan prasarana wilayah, dan geografis daerah dan kondisi perairan;

2) Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan rencana induk secara nasional; 3) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan yang

dibangun oleh pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta;

4) Pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta yang akan membangun pelabuhan perikanan wajib mengikuti rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional dan peraturan pelaksanaannya;

5) Pembangunan pelabuhan perikanan dilaksanakan melalui pentahapan study, investigation, detail design, construction, operation dan maintenance (SIDCOM);

6) Selain pemerintah, pihak swasta dapat membangun dan mengoperasionalkan pelabuhan perikanan;

7) Klasifikasi pelabuhan perikanan dibagi ke dalam 4 kelas, yakni Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI); 8) Setiap pembangunan pelabuhan perikanan wajib terlebih dahulu

memperoleh persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan. Lokasi pembangunan pelabuhan perikanan ditetapkan oleh bupati/walikota setempat;

9) Pengelolaan pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang Kepala Pelabuhan. Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator tunggal dalam penyelenggaraan pelabuhan perikanan;

10) Fasilitas-fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan:

a. Fasilitas pokok, yaitu fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan di suatu pelabuhan yang berfungsi untuk menjamin keamanan dan kelancaran kapal baik sewaktu berlayar ke luar masuk pelabuhan maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas pokok meliputi: (1) pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin; (2) tempat tambat seperti dermaga dan jetty; (3) perairan seperti kolam, dan alur pelayaran; (4) penghubung seperti jalan, drainase, gorong-gorong, jembatan; dan (5) lahan pelabuhan perikanan.

b. Fasilitas fungsional, yaitu fasilitas yang berfungsi untuk meningkatkan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di pelabuhan, yang terdiri dari: (1) tempat pelelangan ikan sebagai tempat pemasaran hasil perikanan; (2) navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas; (3) suplai air bersih, es, listrik; (4) pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway, bengkel dan tempat perbaikan jaring; (5) penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium pembinaan mutu; (6) perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan; (7) transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan es; serta (8) pengolahan limbah seperti instalasi pengolah air limbah (IPAL).

c. Fasilitas penunjang, adalah fasilitas yang secara tidak langsung meningkatkan peranan pelabuhan, yaitu: (1) pembinaan nelayan, seperti balai pertemuan nelayan,; (2) pengelolaan pelabuhan, seperti mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu; (3) sosial dan umum, seperti tempat peribadatan, dan MCK; (4) kios IPTEK; serta (5) penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan

pelayaran, K3, bea dan cukai, keimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan masyarakat, dan karantina ikan.

Menurut Lubis (2002), fungsi pelabuhan perikanan dapat dikelompokan menjadi dua, yakni ditinjau dari pendekatan kepentingan dan pendekatan aktivitas. Berdasarkan pendekatan aktivitas, fungsi pelabuhan adalah:

1) Fungsi maritim, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat (terjadinya) kontak bagi nelayan dan/atau pemilik kapal, antara laut dan daratan melalui penyediaan kolam pelabuhan dan dermaga;

2) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat awal untuk mempersiapkan pemasaran produksi perikanan dengan melakukan transaksi pelelangan ikam;

3) Fungsi jasa, dimana pelabuhan perikanan memberikan jasa-jasa pelabuhan mulai dari ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan.

Dari pendekatan aktivitas, fungsi pelabuhan menurut Lubis (2202) adalah: 1) Fungsi pendaratan dan pembongkaran, dalam hal ini pelabuhan perikanan

lebih ditekankan sebagai (tempat) pemusatan sarana dan kegiatan pendaratan dan pembongkaran hasil tangkapan di laut;

2) Fungsi pengolahan, dimana pelabuhan perikanan sebagai tempat membina peningkatan mutu serta pengendalian mutu ikan dalam menghindari kerugian pasca tangkap;

3) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan atau mendapatka harga yang layak bagi nelayan maupun pedagang.

Berbeda dengan Lubis (2002), Murdiyanto (2004) membagi fungsi pelabuhan menjadi 2, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum merupakan fungsi yang juga dimiliki oleh tipe pelabuhan yang lainnya (pelabuhan umum, pelabuhan niaga), yang meliputi: (1) jalan (alur) masuk pelabuhan dengan kedalaman air yang cukup; (2) pintu atau gerbang pelabuhan dan saluran navigasi yang cukup aman dan dalam; (3) kedalaman dan luas kolam air yang cukup serta terlindung dari gelombang dan arus yang kuat untuk keperluan kegiatan kapal di dalam pelabuhan; (4) bantuan peralatan navigasi baik visual maupun elektronis

untuk memandu kapal agar dapat melakukan manuver di dalam areal pelabuhan dengan lebih mudah an ama; (5) bila dipandang perlu, dapat mendirikan bangunan penahan gelombang (breakwater) untuk mengurangi pengaruh atau memperkecil gelombang dan angin badai di jalan masuk dan fasilitas pelabuhan lainnya; (6) dermaga yang cukup panjang dan luasnya untuk melayani kapal yang berlabuh; (7) fasilitas yang menyediakan bahan kebutuhan pelayaran seperti BBM, pelumas, air minum, listrik, sanitasi dan kebersihan, saluran pembuangan sisa kotoran dari kapal, penanggulangan sampah, dan sistem pemadam kebakaran; (8) bangunan rumah dan perkantoran yang perlu untuk kelancaran dan pendayagunaan operasional pelabuhan; (9) area di bagian laut dan darat untuk perluasan atau pengembangan pelabuhan; (10) jalan raya atau jalan kereta api/lori yang cukup panjang untuk sistem transportasi dalam areal pelabuhan dan untuk hubungan dengan daerah lain di luar pelabuhan; (11) halaman tempat parkir yang cukup luas untuk kendaraan industri atau perorangan di dalam pelabuhan sehingga arus lalulintas di kompleks pelabuhan dapat berjalan dengan lancar; (12) fasilitas perbaikan, reparasi dan pemeliharaan kapal seperti dok dan perbengkelan umum untuk melayani permintaan sewaktu-waktu.

Fungsi khusus dari pelabuhan perikanan menurut Murdiyanto (2004) diturunkan dari karakteristik komoditas perikanan yang sifatnya mudah busuk (highly perishable). Sifat ini menhendaki pelayanan khusus berupa perlakuan penanganan, pendistribusian hasil ikan secara cepat ataupun pengolahan yang tepat. Fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi fungsi khusus pelabuhan perikanan ini adalah: (1) fasilitas pelelangan ikan yang cukup luas dan dekat dengan tempat pendaratan; (2) fasilitas pengolahan ikan seperti tempat pengepakan, pengemasan, dan cold storage; (3) pabrik es; dan (4) fasilitas penyediaan sarana produksi penangkapan ikan.

Murdiyanto (2004) menjelaskan bahwa klasifikasi pelabuhan didasarkan pada cakupan peruntukannya, yakni:

1) Pelabuhan Perikanan Tipe A (atau Pelabuhan Perikanan Samudera, PPS) diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di perairan samudera yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan perikanan jarak jauh sampai ke perairan ZEEI dan perairan internasional,

mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang didaratkan minimum 200 ton per hari atau 73.000 ton per tahun, baik untuk pemasaran dalam negeri maupun luar negeri (ekspor). Pelabuhan perikanan tipe A ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran 60 GT sebanyak 100 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 30 ha.

2) Pelabuhan Perikanan Tipe B (atau Pelabuhan Perikanan Nusantara, PPN) diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di perairan Nusantara yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan perikanan jarak sedang sampai ke perairan ZEEI, mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang didaratkan minimum 50 ton per hari atau 18.250 ton per tahun, hanya untuk pemasaran dalam negeri. Pelabuhan perikanan tipe B ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran sampai 60 GT sebanyak 50 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 10 ha.

3) Pelabuhan Perikanan Tipe C (atau Pelabuhan Perikanan Pantai, PPP) diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di perairan, mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang didaratkan minimum 20 ton per hari atau 7.300 ton per tahun, untuk pemasaran di daerah sekitarnya atau untuk dikumpulkan dan dikirim ke pelabuhan perikanan yang lebih besar. Pelabuhan perikanan tipe C ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran 15 GT sebanyak 25 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan fasilitas seluas 5 ha.

4) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), berskala lebih kecil dari PPP baik ditinjau dari kapasitas penanganan jumlah produksi ikan maupun fasilitas dasar dan perlengkapannya. Kapasitas penanganan ikannya sampai dengan 5 ton per hari, dan dapat menampung kapal berukuran 5 GT sebanyak 15 unit

sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan fasilitas seluas 1 ha.

Di Indonesia, penentuan awal terbentuknya suatu kawasan menjadi daerah perikanan pada mulanya kemungkinan besar ditentukan hanya oleh adanya aktivitas yang berkaitan dengan perikanan, baik itu berupa kegiatan penangkapan, budidaya, pengolahan, maupun pemasaran, baik kegiatan sendiri-sendiri maupun bersamaan. Oleh karena itu, kemungkinan besar tidak memperhitungkan berbagai variabel yang diperlukan bagi suatu perencanaan pengembangan daerah perikanan secara ilmiah, baik dilihat dari sumberdaya ikan, prasarana dan sarana penangkapan dan pendaratan ikan, serta potensi pasarnya. Oleh karena itu, tidak semua pusat-pusat pendaratan ikan yang ada di Indonesia mempunyai prospek pengembangan yang menggembirakan bilamana diteliti secara mendalam dan ilmiah.

Menurut Lubis (2003), salah satu alasan perlunya dibangun pelabuhan perikanan di suatu daerah adalah berkembangnya kegiatan perikanan laut di daerah tersebut. Disamping itu, alasan lain yang juga mendukung adalah:

1) Semakin meningkatnya kebiasaan penduduk untuk makan ikan; 2) Masih besarnya potensi sumberdaya ikan yang ada di perairan; 3) Semakin meningkatnya (kegiatan) industri perikanan;

4) Adanya (dukungan) politik dalam rangka pengawasan perairan; serta 5) Semakin meningkatnya pendapatan penduduk per kapita.

Lubis (2003) juga berpendapat bahwa sebagian besar pelabuhan perikanan di Indonesia belum berfungsi optimal (70 %) dan umumnya belum dilengkapi fasilitas modern. Menurutnya, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut, antara lain: (1) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola dan pelaku; (2) Masih belum sadarnya para pelaku (nelayan, pedagang, pengolah) dalam memanfaatkan pelabuhan perikanan dengan sebaik- baiknya sebagai tempat pendaratan, pemasaran, maupun pembinaan mutu hasil tangkapannya; (3) Masih belum adanya kemauan dari pemerintah sendiri untuk

membantu para nelayan dalam memanfaatkan potensi perairan, baik dalam manajemen pemberian kredit maupun dalam pemberian subsidi; (4) Belum adanya jaminan keamanan bagi para nelayan, baik di laut maupun di darat; (5) Masih belum tersedianya berbagai fasilitas yang memang diperlukan oleh nelayan atau pedagang di pelabuhan perikanan atau juga rusaknya beberapa fasilitas di pelabuhan tanpa adanya perbaikan dalam jangka waktu yang lama; (6) Belum tersedianya prasarana dan sarana transportasi yang baik yang dapat menjamin mutu ikan sampai ke daerah konsumen; (7) Masih banyak nelayan yang terikat dengan para tengkulak sehingga terjadi ketergantuangan harga jual hasil tangkapannya; dan (8) Belum berjalannya fungsi koperasi secara baik sehingga tidak dirasakan manfaatnya oleh nelayan.

Menurut Dubrocard dan Thoron (1998), suatu pelabuhan perikanan dapat dipertimbangkan sebagai suatu tempat dimana terjadi mekanisme perpindahan barang yang berasal dari daratan ke arah laut dan sebaliknya. Aktivitas yang dilakukan dalam suatu pelabuhan secara jelas dapat dibagi 2, yaitu pelayanan kapal, dan pelayanan muatan yang akan dibawa atau dibongkarnya. Pengelolaan suatu pelabuhan tergantung pada apa yang dimilikinya (kapasitasnya) dan apa yang diminta oleh para pelanggannya. Kasus terjadinya keterlambatan bongkar muat suatu kapal adalah menunjukkan bagaimana keadaan kualitas pelayanan pelabuhan tersebut.

Pada saat suatu kapal tiba di suatu pelabuhan, sudah harus dipertimbangkan kemungkinan adanya biaya tunggu di pelabuhan. Menurut Dubrocard dan Thoron (1998), pelayanan bongkar muat kapal merupakan faktor utama dari jasa pelayanan pelabuhan. Kualitas pelayanan ini diukur dari keterlambatan yang ditentukan oleh kapasitas pelabuhan dan jumlah permintaan. Suatu pelabuhan dapat digambarkan sebagai suatu mekanisme transportasi barang-barang yang berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari laut, dan sebaliknya. Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu pelayanan kapalnya dan pelayanan muatannya. Pada saat suatu pelayanan bongkar muat kapal dilakukan, telah terdapat suatu spesifikasi yang telah disesuaikan dengan kondisi kapal dan muatannya. Hal ini merupakan hasil analisis dari pengalaman pemberian pelayanan bongkar muat kapal yang cukup lama.

Dalam kasus situasi kapal ikan, Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan bahwa tidak hanya waktu tunggu yang penting tetapi lebih pada harga ikan yang dapat dicapai saat lelang. Artinya, jika ikan yang dibongkar tersebut menambah jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan, dikhawatirkan akan terjadi penurunan harga karena kelebihan pasokan di pasar. Namun secara formal, analisis terhadap situasi ini sangat mirip dengan teori antrian dan kemacetan. Dengan perkataan lain, kualitas pelayanan diukur dalam dua bentuk gambaran, pada saat kapal datang di pelabuhan secara acak (dengan kata lain kualitas ditentukan oleh harga yang diperoleh, dan hal ini pada gilirannya ditentukan oleh proses kedatangan dari kapal ikan).

Mengutip Lubis (1989) dan Vigarie (1979), Lubis (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen yang harus mendasari analisis geografi dalam merencanakan pengembangan pelabuhan perikanan. Ketiga komponen tersebut terdiri dari foreland, fishing port, dan hinterland, yang dalam Bahasa Perancis ketiganya disebut tryptique portuaire. Jika ketiga komponen tersebut dikelola dengan baik, maka pengembangan pelabuhan perikanan terpadu dapat dicapai. Menurut Kramadibrata (2002), para perencana dan perancang pelabuhan harus mengarahkan pemikirannya pada fungsi pelabuhan, yaitu sebagian dari fungsi angkutan yang mampu melaksanakan tugasnya, bukan hanya dimasa sekarang tetapi juga mampu berperan di masa mendatang.

Perkembangan terakhir dari pengelolaan pelabuhan perikanan yang berkelanjutan adalah dimasukannya aspek eco-port, artinya pelabuhan dikeloka sedemikian rupa sehingga masyarakat sekitar pelabuhan dan para pemanfaat lainnya dapat menggunakan pelabuhan tersebut sebagai tempat yang nyaman untuk berwisata. Salah satu pelabuhan perikanan yang sudah menerapkan sistem pengelolaan seperti ini adalah Port Douglas di Darwin-Australia http://www.fishingportdouglas.com.au/). Di pelabuhan ini, hampir semua kegiatan wisata air dapat dilakukan dan dikelola secara professional, mulai dengan fasilitas akomodasi (hotel berbintang 4,5 dan motel) sampai ke fasilitas sport fishing (mancing di laut). Di Indonesia, tampaknya belum sampai ke taraf komersial, meskipun kunjungan dari berbagai lapisan masyarakat juga sudah biasa dilakukan dan dihadapi oleh pengelola pelabuhan.

Menurut Mahyuddin (2007), pengembangan pelabuhan perikanan di Indonesia semakin menarik bagi investor untuk dijadikan basis dalam pengembangan industri perikanan. Alasannya yakni: (1) investor semakin sulit memperoleh tanah yang bebas masalah d luar kawasan pelabuhan sehingga areal industri perikanan di kawasan pelabuhan semakin diminati; (2) berdasarkan pasal 41 ayat 3 UU No. 31/2004 tentang perikanan, setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan diharuskan untuk mendaratkan ikan tangkapannya di pelabuhan perikanan; (3) adanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan bahwa kapal-kapal asing dilarang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia kecuali kapal-kapal asing harus berpangkalan, mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan Indonesia dan membuka industri perikanan di Indonesia; dan (4) semakin banyak kemudahan yang diberikan kepada investor di pelabuhan mulai dari pelayanan prima, sampai kepada murahnya tarif dalam memanfaatkan fasilitas pelabuhan.