• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Keterkaitan Gender dan Kesehatan Ibu Hamil

Perempuan tidak mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menjaga kesehatannya. Kondisi ini terjadi terutama karena adanya perlakuan tidak

adil dan tidak setara antara mereka (ketidaksetaraan gender) dalam pelayanan kesehatan. Saat ini fokus utama pelayanan kesehatan masih menekankan aspek medis dan kurang sekali memperhatikan isu-isu sosial. Padahal perbedaan sosial antara laki- laki dan perempuan merupakan penyebab utama mencuatnya kesenjangan antara mereka, sehingga pada akhirnya memengaruhi derajat kesehatan mereka (Makarao, 2009).

2.3.1 Akses Pelayanan Kesehatan

Kemampuan perempuan untuk hamil dan melahirkan menunjukkan bahwa mereka memerlukan pelayanan kesehatan reproduksi yang berbeda, baik dalam keadaan sakit maupun sehat. Oleh karena itu pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas, sangat menentukan kesejahteraan dirinya (Depkes RI, 2003).

Salah satu indikator akses perempuan kepada pelayanan kesehatan adalah pelayanan antenatal bagi perempuan hamil. Kebijakan nasional untuk mencakup semua perempuan hamil dengan sedikitnya 4 kali pemeriksaan antenatal. Depkes RI (2007), menyatakan bahwa kebijakan pemerintah adalah mendorong perempuan hamil untuk memperoleh pemeriksaan antenatal pertamanya pada trimester pertama. Data SDKI 2001, mengungkapkan bahwa hanya 72% perempuan yang melakukannya. Mereka yang di perkotaan memiliki kemungkinan lebih besar untuk memperoleh pemeriksaan kehamilan dibandingkan mereka di pedesaan (79% berbanding 66% ).

Hasil penelitian Zaluchu (2005) secara kualitatif ditemukan bahwa kehamilan dianggap sebagai sebuah hal biasa, yang tidak perlu dianggap sebagai tahapan

penting oleh masyarakat dan ibu hamil sendiri. Bagi masyarakat, ritual persalinan lebih penting daripada kehamilan itu sendiri dan tidak ada kepentingan yang harus dicermati dengan lebih baik ketika kehamilan terjadi. Keadaan ini mengakibatkan wanita hamil mengabaikan banyak hal-hal penting untuk perawatan kehamilannya. Rendahnya pemeriksaan antenatal (antenatal care) berhubungan dengan keengganan masyarakat menjadikannya sebagai prioritas.

2.3.2 Pengambilan Keputusan terhadap Kehamilan

Hak reproduksi mencakup pengakuan hak-hak asasi pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak dan menentukan waktu kelahiran anak-anak mereka. Perempuan diharapkan tampil menjadi subjek utama yang mengontrol kesehatan reproduksinya, karena perempuanlah yang memiliki rahim. Meskipun perempuan merupakan key-person

dari efektivitas pelaksanaan kesehatan reproduksinya, dalam kenyataannya perempuan di Indonesia masih banyak yang belum dapat mengambil keputusan sendiri meski itu menyangkut dirinya. Perempuan masih selalu tergantung pada orang diluar dirinya seperti suami, orangtua, keluarga besarnya (Yustina, 2005).

Hak-hak reproduksi meliputi sebagian hak-hak azasi manusia yang sudah diakui kekuatan hukumnya baik secara nasional maupun internasional. Menurut hasil kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional (ICPD) di Kairo tahun 1994, hak-hak reproduksi mencakup hak untuk hidup bebas dari resiko kematian karena kehamilan, hak atas kebebasan dan keamanan atas kehidupan reproduksinya, hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi, hak

atas kerahasiaan pribadi, hak kebebasan berpikir, hak memilih bentuk keluarga dan untuk membangun serta merencanakan keluarga, hak untuk memutuskan secara bebas mengenai jumlah anak, menentukan waktu kelahiran anak dan cara untuk mernperolehnya. Masalah kesehatan reproduksi ini, walau telah memiliki landasan hukum yang kuat, namun dalam prakteknya terdapat kesenjangan antara prinsip- prinsip hukum dengan realitas sosial, karena hak reproduksi banyak dipengaruhi oleh masalah relasi sosial (Depkes RI, 2003).

2.3.2.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan dalam Keluarga

Pengambilan keputusan dalam keluarga dipengaruhi oleh informasi, ketrampilan dalam berkomunikasi dan posisi anggota keluarga. Pengetahuan seseorang terkait erat dengan terpaan informasi, baik bersumber dari media massa maupun non media massa. Akses wanita ke media massa lebih rendah dari pria. Konstruksi gender telah berhasil membangun satu aspek pendidikan keluarga bahwa anak wanita dididik untuk tidak banyak bicara sehingga akan mencerminkan wibawa. Wibawa yang terpancar akan memiliki kekuatan dengan sekali bicara akan didengar dan dipatuhi terutama oleh anak-anaknya, tetapi hasil pendidikan dalam keluarga ini yang menonjol bukan produk kewibawaan tapi ketidakberanian mengeluarkan pendapat, gagap berbicara, sulit merumuskan kalimat yang sesuai apa yang diinginkannya, tidak memiliki kekuatan untuk mengemukakan masalah tersebut (Hidayat, 2005).

Pemasungan kreativitas berkomunikasi pada anak-anak wanita yang dipraktekkan banyak keluarga di pedesaan, akhirnya bermuara pada kondisi yang menempatkan mereka pada posisi tidak dapat melaksanakan keputusan. Ketidakterampilan berkomunikasi dalam proses pembuatan keputusan, menempatkan ibu-ibu rumah tangga dalam posisi yang relatif rendah, sehingga kebutuhan dan keinginannya sulit terealisasikan. Keputusan yang dihasilkan cenderung didominasi kepentingan suami, sekalipun keputusan tersebut menyangkut masalah-masalah yang berkaitan hidup matinya ibu-ibu itu sendiri seperti masalah kesehatan reproduksi. 2.3.2.2 Tipe-tipe Pengambilan Keputusan

Menurut Abdullah (2001), terdapat tiga tipe pengambilan keputusan pemeliharaan kesehatan reproduksi dalam keluarga :

1) Musyawarah, banyak ditempuh oleh keluarga di pedesaan. Prosedurnya si istri menyampaikan masalah atau keinginan yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan reproduksi. Dilanjutkan untuk mencari jalan ke luar atau memecahkan masalah, atas dasar argumen yang dikemukakan suami dan istri sehingga diperoleh keputusan yang memuaskan kedua pihak.

2) Dominan istri, umumnya terjadi pada kelompok ibu-ibu rumah tangga yang wewenang penuh untuk mengambil keputusan sendiri. Ibu-ibu rumah tangga ini dalam prakteknya tetap memberitahu suami sebagai bentuk permintaan izin sebelum melaksanakan keputusan yang ia buat sendiri.

3) Dominan suami, tipe pengambilan keputusan seperti ini banyak berlaku pada ibu-ibu rumah tangga yang relatif tua. Terdapat dua klasifikasi pengambilan

keputusan dari tipe dominan suami ini, yaitu pertama, suami yang langsung membuat keputusan sendiri begitu istrinya mengemukakan permasalahan yang dihadapi, tanpa banyak bertanya atau meminta pertimbangan istri terlebih dulu. Kedua, suami akan meminta pendapat dan keinginan istrinya dalam proses pembuatan keputusan. Selanjutnya ia memutuskan tindakan yang harus dijalankan istrinya tanpa melalui tahapan pencapaian kesepakatan antara suami dan istri.

2.3.3 Partisipasi Suami dalam Perawatan Kehamilan

Partisipasi suami saat kehamilan sangat penting untuk membantu ketenangan jiwa istrinya. Suami yang baik adalah suami yang memenuhi kebutuhan istrinya, membantu perawatannya, dan terlibat secara dekat dengan segala sesuatu yang terjadi pada istrinya. Seorang ayah seharusnya bekerja keras, bertanggung jawab dan meluangkan waktu untuk istri yang akan menciptakan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan yang tak terukur. Selama kehamilan maupun persalinan, istri biasanya menggantungkan semangatnya pada suami. Istri membutuhkan dukungan dari suaminya, dan jika dia tidak mendapatkan hal itu dia akan merasa hidup sendiri (Stoppard, 2002).

Menurut BKKBN (2001), partisipasi suami dalam perawatan kehamilan dapat ditunjukkan dengan cara memberikan perhatian dan kasih sayang kepada istri, mendorong dan mengantar istri untuk memeriksakan kehamilan ke fasilitas kesehatan minimal empat kali selama kehamilan, memenuhi kebutuhan gizi bagi istrinya, menentukan tempat persalinan (fasilitas kesehatan) bersama istri sesuai dengan

kemampuan dan kondisi masing-masing daerah, menyiapkan biaya persalinan, melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan sedini mungkin bila terjadi hal-hal yang membahayakan kesehatan selama kehamilan seperti perdarahan dan lain-lain.

Dokumen terkait