• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Pengelolaan SDA dengan Penataan Ruang

II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Keterkaitan Pengelolaan SDA dengan Penataan Ruang

Air memerlukan ruang untuk berlangsungnya proses produksi air secara alamiah yang disebut siklus hidrologi. Proses tersebut terjadi di ruang-ruang atmosfir, daratan, dan lautan. Ruang untuk air ini sering berbenturan dengan ruang untuk kepentingan manusia, misalnya tangkapan air di hulu yang seharusnya merupakan hutan lindung telah dialih fungsi menjadi lahan budi daya pertaniaan, permukiman, dan lain-lain. Daerah dataran banjir yang juga merupakan ruang air telah menjadi daerah pertanian intensif yang kemudian telah berkembang menjadi pusat-pusat permukiman penduduk di desa bahkan di perkotaan. Bantaran sungai telah menjadi permukiman penduduk, dan banyak ruang-ruang air lainya telah ditempati oleh manusia baik secara legal maupun illegal (Kodoatie, 2009).

DAS sebagai terjemahan dari watershed secara harfiah diartikan sebagai permukaan miring yang mengalirkan air. Dalam konteks suatu unit pengelolaan DAS didefinisikan sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh topografi pemisah aliran (topographic divide), yaitu punggung bukit/gunung yang menangkap curah hujan, menyimpan dan kemudian mengalirkannya melalui saluran-saluran pengaliran ke satu titik (outlet), yang umumnya berada di muara sungai atau danau. DAS dengan titik patokan berada di sungai biasa dikategorikan sebagai Sub DAS.

DAS merupakan satu kesatuan unit sistem hidrologi, yaitu bahwa kuantitas dan kualitas air di outlet merupakan satu titik kajian hasil air (water yield). Water yield ini merupakan akumulasi aliran permukaan tanah (surface flow), aliran bawah permukaan (sub surface flow) dan aliran bumi (ground water flow). Berdasarkan prinsip kesatuan hidrologi ini maka sebenarnya batas DAS tidak hanya ditentukan

oleh topografi, akan tetapi juga oleh struktur batuan yang menentukan pola aliran

ground water flow. Delineasi pola aliran ground water ditetapkan dan cenderung bersifat dinamis, sehingga dengan pertimbangan praktis batas DAS hanya ditentukan berdasarkan aliran permukaan. Mengacu pada sistem hidrologi, maka ada keterkaitan yang jelas antara DAS bagian hulu dan hilir. Aktivitas yang mempengaruhi komponen DAS di bagian hulu akan mempengaruhi kondisi bagian tengah dan hilir.

Dilain pihak, manusia memerlukan ruang untuk menjalankan kehidupan dan melaksanakan kegiatannya. Ruang tersebut harus diatur penggunaannya agar tidak terjadi konflik ruang antar kegiatan yang dilakukan manusia, sektor, ataupun daerah sehingga setiap proses kegiatan dapat dilakukan dengan hasil yang optimal dan mencegah dampak negatif yang mungkin dapat terjadi. Upaya untuk menata ruang yang digunakan oleh berbagai kegiatan manusia tersebut dikenal sebagai

“tata ruang”. Tata ruang telah menjadi suatu konsep dan berkembang menjadi

suatu disiplin ilmu yang menginduk kepada disiplin ilmu perencanaan wilayah. Keterkaitan antara pengaturan wilayah sungai dan penataan ruang dapat dilihat pada pasal 59 ayat 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA, yang menyatakan bahwa rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata Ruang adalah wujud dari struktur ruang dan pola ruang.

Sering kali terjadi perbenturan antara penggunaan ruang untuk kepentingan manusia dan tata ruang air yang telah menimbulkan gangguan dan kerusakan, baik untuk kepentingan keberadaan air maupun untuk kehidupan manusia sendiri. Ruang air yang paling penting yang mempunyai potensi untuk terjadinya konflik dengan ruang manusia adalah ruang air yang ada di darat yang dalam konsep pengelolaan air harus berbasis daerah aliran sungai (DAS). Upaya menata ruang air untuk memberikan hasil dan dampak yang optimal harus dilakukan diruang air

darat, secara spesifik di wilayah sungai. Upaya tersebut disebut “tata ruang air – wilayah sungai”. Tata ruang air – wilayah sungai, dalam konteks konsep tata

ruang air, bertujuan terutama untuk “mengatur ruang air di wilayah sungai

sedemikian rupa untuk dapat memaksimalkan peresapan air ke dalam tanah,

sehingga meminimalkan air permukaan”. Rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas kabupaten/kota menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan provinsi bersangkutan; rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan provinsi yang bersangkutan (Kodoatie, 2009).

Selain sebagai masukan untuk penyusunan rencana tata ruang wilayah, rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai juga digunakan sebagai masukan untuk meninjau kembali rencana tata ruang wilayah dalam hal terjadi perubahan-perubahan, baik pada rencana pengelolaan sumber daya air maupun pada rencana tata ruang pada periode waktu tertentu. Perubahan yang dimaksud merupakan tuntutan perkembangan kondisi dan situasi. Dengan demikian, antara rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana tata ruang wilayah terdapat hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan.

Menurut PP Nomor 42 tahun 2008, Pengelolaan sumber daya air diselenggarakan dengan berlandaskan pada: (a) kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; (b) wilayah sungai dan cekungan air tanah yang ditetapkan; dan (c) pola pengelolaan sumber daya air yang berbasis wilayah sungai. Berdasarkan PP yang sama juga pola pengelolaan sumber daya air dijabarkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air melalui inventarisasi sumber daya air serta penyusunan dan penetapan rencana pengelolaan sumber daya air. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan rencana induk yang menjadi dasar bagi penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air oleh setiap sektor dan wilayah administrasi.

Rencana induk tersebut memuat pokok-pokok program konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air yang

meliputi upaya fisik dan nonfisik, termasuk prakiraan kelayakan serta desain dasar upaya fisik. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah.

Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang definisi penataan ruang sendiri adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang wilayah dalam kaitannya untuk pengelolaan SDA yaitu untuk pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air, pengembangan sumber daya air, pencegahan bencana akibat daya rusak air.

Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Adapun pengertian umum wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. Wilayah sungai meliputi wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas provinsi, dan wilayah sungai strategis nasional.

Cakupan wilayah sungai (WS) dapat meliputi satu atau lebih DAS kabupaten/kota, propinsi maupun nasional. Terdapat hubungan timbal balik antara pengaturan wilayah sungai (WS kabupaten/kota, propinsi, nasional) dan penataan ruang (RTRW kabupaten/kota, propinsi, nasional). Keduanya saling mempengaruhi dan bersifat interaktif dalam pengembangan Kegiatan sosial-ekonomi suatu wilayah yang optimal dan berkelanjutan.

Sistem DAS terdiri dari unsur bio-fisik yang bersifat alami dan unsur-unsur non-biofisik. Unsur biofisik terdiri dari, vegetasi, hewan, satwa liar, jasad renik, tanah, iklim dan air. Sedangkan unsur nonbiofisik adalah manusia dengan berbagai ragam persoalannya, latar belakang budaya, sosial ekonomi, sikap politik, kelembagaan serta tatanan masyarakat itu sendiri. Adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pemanfaatan sumberdaya alam di dalam sistem

DAS semakin terarah, melalui penerapan teknik-teknik budidaya tanaman pertanian, perkebunan, padang rumput, peternakan, atau kehutanan.

Selain itu potensi sumberdaya alam yang terkandung di sistem DAS dimanfaatkan dengan mengarah pada pengaturan ketersediaan dan peningkatan nilai tambah sumberdaya alam yang ada, misalnya dalam bentuk pembangunan waduk atau bendungan untuk mengatur air irigasi, menghasilkan tenaga listrik, sarana rekreasi, usaha perikanan dan lain-lain kegiatan. Pengkajian dan studi mengenai pengembangan DAS dan pemanfaatan sumber daya air sebaiknya ditinjau dari kerangka umum pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai satuan hidrologi.

Oleh karena itu dalam pelaksanaannya harus memperhatikan faktor-faktor bio-fisik DAS yang mempengaruhi proses hidrologi, selain faktor curah hujan sebagai masukan utama dalam proses hidrologi pada suatu DAS. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikembangkan berbagai solusi pemecahan masalah yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam dengan konsep pendekatan ekosistem DAS.

Adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pemanfaatan sumberdaya alam di dalam sistem DAS semakin terarah, melalui penerapan teknik-teknik budidaya tanaman pertanian, perkebunan, padang rumput, peternakan atau kehutanan. Selain itu potensi sumberdaya alam yang terkandung di sistem DAS dimanfaatkan dengan mengarah pada pengaturan ketersediaan dan peningkatan nilai tambah sumberdaya alam yang ada, misalnya dalam bentuk pembangunan waduk atau bendungan untuk mengatur air irigasi, menghasilkan tenaga listrik, sarana rekreasi, usaha perikanan dan lain-lain kegiatan. Menurut Prastowo (2009), konsep daya dukung lingkungan sebagaimana Gambar 6 berikut.

Gambar 6 Konsep daya dukung lingkungan (Prastowo, 2009)