• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketidak-Adilan Sosial

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

F. Ketidak-Adilan Sosial

Di antara berbagai pendapat atau tesis mengenai penyebab kekerasan, ada yang menyatakan bahwa kekerasan disebabkan oleh ketidak-adilan sosial. Pendapat ini senyatanya banyak mendapat dukungan dari para akademisi maupun pengamat perilaku massa kontemporer. Bahkan, pendapat ini adalah yang paling banyak disetujui. Hal itu terlihat dari banyaknya seminar, konferensi, atau workshop yang menyandingkan „kekerasan‟ dengan „ketidak-adilan‟.

Di dalam psikologi sosial, kekerasan salah satunya dijawab oleh teori frustrasi-agresi. Teori ini menunjukkan bahwa kekerasan berhubungan erat dengan ketidak-adilan sosial. Ketidak-adilan sosial diartikan sebagai keadaan di mana setiap orang (dalam komunitasnya atau dalam masyarakatnya) tidak

commit to user

mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek, ekonomi, sosial, politik, hukum, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, dan sebagainya.

Teori yang dikembangkan oleh Dollard dkk ini memang tidak pernah menggunakan istilah injustice-aggression, namun studi-studinya telah mengarah pada hubungan kekerasan dan ketidakadilan sosial. Teori frustrasi-agresi menemukan banyak fakta bahwa konflik dan kekerasan lebih banyak terjadi pada keluarga miskin. Kemiskinan sendiri adalah indikasi ketidakadilan sosial dalam hal ekonomi. Seperti yang dikatakan Mahatma Gandhi, “Poverty is the worst form of violence” (kemiskinan adalah bentuk terburuk dari kekerasan).

Dalam konteks yang nyata tentang ketidak-adilan sosial banyak kasus yang muncul akibat adanya indikasi ketidak-adilan sosial. Dalam kurun waktu antara tahun 2010 sampai dengan 2011 saja banyak kasus-kasus di Indonesia yang menimbulkan dampak negatif dari kebijakan negara. Di Indonesia kasusnya sangat jelas seperti misalnya Freeport, Newmont, dan lain-lain. Alih-alih melindungi rakyatnya, negara justru mendahulukan kepentingan bisnis besar, bukannya menyediakan kesehatan murah, pendidikan murah, dan lain-lain, tetapi hanya memuluskan jalannya kepentingan korporat besar.

Contohnya seperti dalam buku George Junus Aditjondro yang berjudul Kebohongan-Kebohongan Negara yang menerangkan tentang kawasan pembatas aliran sungai, Ajkwa, di Irian Jaya telah dicemari oleh cabang perusahaan Freeport McMoran selama hampir dua puluh tahun, tanpa upaya pembersihan dan tanpa adanya pembayaran kompensasi atas pencemaran sungai itu kepada pemerintah dan rakyat Indonesia.

commit to user

Hal tersebut berdampak pada munculnya aksi protes dari warga masyarakat yang merasa dirugikan. Seringkali reaksi protes warga masyarakat terhadap pemerintah atau kelompok lain, hanya dilandasi kekhawatiran mereka bahwa sumber daya alam mereka tak akan mampu memenuhi kebutuhan mereka mapun anak cucu mereka, atau bahwa para pendatang memperlakukan sumber daya alam mereka tidak sesuai dengan tradisi penduduk setempat. Bukan karena mereka mau mendirikan satu Negara sendiri, yang lepas dari Republik Indonesia.

Namun seringkali protes-protes masyarakat ini diklaim oleh aparat keamanan RI maupun aktivis-aktivis politik di luar negeri sebagai gerakan tertentu. Pengkambing hitaman gerakan-gerakan protes rakyat setempat dengan gerakan-gerakan yang dilarang pemerintah kemudian memberikan justifikasi untuk meredam protes-protes itu dengan kekuatan senjata. Penggunaan kekerasan secara resmi oleh pemerintah melahirkan reaksi serupa dari kelompok-kelompok warga masyarakat, dan mengalami eskalasi apabila ada dukungan dari kelompok-kelompok di luar daerah dan di luar negeri.

George Junus Aditjondro dalam bukunya yang berjudul Kebohongan-Kebohongan Negara juga menerangkan bahwa “Protes-protes masyarakat yang merasa sumber daya alam mereka diambil alih oleh unsur-unsur pemerintah atau warga masyarakat lain yang secara politis dan ekonomis lebih kuat, cepat sekali dikambing hitamkan sebagai gerakan subversif ini dan itu” (George Junus Aditjondro, 2003: 34).

Reaksi warga masyarakat terhadap pengkambing hitaman itu berbeda-beda. Ada yang melawan dengan kekuatan senjata, sehingga terjadi eskalasi kekerasan yang berlarut-larut dan menelan banyak korban jiwa. Ada pula

commit to user

kelompok masyarakat yang melawan dengan menggunakan aksi-aksi massa untuk menarik simpati orang luar. Sayangnya untuk menghadapi aksi massa yang demikian pun dikerahkan kekuatan tentara untuk menakut-nakuti penduduk setempat.

Penggunaan kekuatan bersenjata oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok pemerintah mengalihkan berbagai sumber daya (baik manusia maupun dana) yang sesungguhnya lebih berguna dimanfaatkan untuk memecahkan berbagai masalah kemiskinan di Indonesia, seperti kekurangan pangan, papan, dan sarana hidup sehat lainnya.

Yang baru saja terjadi yaitu reshuffle kabinet, atau pelantikan menteri baru pada akhir masa jabatan menteri yang sebelumnya. Menteri-menteri yang baru sudah diangkat, tetapi selama ini banyak menteri yang tidak memberi manfaat untuk rakyat. Seperti contohnya saja rakyat yang tinggal di desa, yang masih berjuang untuk sekedar bisa makan.

Banyak yang usai lepas SMP atau SMU pergi ke kota jika tidak menjadi TKI untuk bekerja di pabrik, penjaga toko, atau menjadi kuli. Jika itu belum di dapat, mengamen atau menjadi pengemis menjadi alternatif lain. Namun apabila alternatif yang terakhir tidak mau menjalani karena malu, maka tindakan kriminal merupakan langkah terakhir.

Pertanian bukan lagi menjadi harapan karena tidak lagi menguntungkan. Benih tidak bias dihasilkan sendiri, pupuk mahal, pengairan tidak tentu, dan petugas pertanian tidak lagi peduli dengan petani. Buruknya sektor pertanian biasanya diakali penduduk desa dengan berdagang kecil-kecilan di pasar tradisional sebagai cara lain dalam mencari tambatan hidup. Tapi kini pasar

commit to user

tradisional sudah tergantikan oleh supermarket yang ”menjamur” sampai ke pelosok.

Bahan-bahan nabati dan hewani yang dijual di toserba atau pasar swalayan, sudah dibersihkan atau di racik-racik ditempat lain, di mana segala limbah organis itu terkumpul, sebelum diangkut ke pasar swalayan. Bagaimana nasib segala botol, kaleng, plastik pembungkus buah, daging, telur, dan sayur, sesampainya di rumah? Oleh karena itu dapat di renungi lebih dalam lagi bahwa sebenarnya swalayan ataupun supermarket tidak lebih baik dari pedagang kaki lima di pinggir jalan ataupun pasar tradisional.

Peruntukan ruang umum ditentukan secara sepihak oleh penguasa dan pemilik modal besar, tanpa mengikutsertakan rakyat kecil yang punya kepentingan langsung dalam penentuan tata ruang itu, baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Celakanya lagi, peraturan yang lahir dari proses public policy marking itu pun masih diterapkan secara selektif sehingga kepentingan rakyat kecil lebih dikorbankan lagi (Syamsul Barry,2008).Hilangnya pasar tradisional juga diikuti dengan hilangnya bank dengan bunga tinggi yang ditagih setiap hari, dimana rakyat bawah lebih senang berhutang dengan cara seperti itu karena bank negeri tidak memberi pinjaman yang beresiko.

Kasus serupa yang baru saja terjadi adalah ketika petani kentang dari Dieng protes ke Jakarta karena kebijakan kentang impor yang merugikan mereka. Hal itu disebabkan pemerintah mengimpor kentang seenaknya pada waktu musim panen, akhirnya petani kentang di Dieng merugi karena kentangnya tidak laku, itulah yang disebut kebijakan yang memiskinkan.

George Junus Aditjondro menerangkan, “… pemberitaan masalah lingkungan di Indonesia pada dasarnya hanya berwujud kritik-kritik teknis

commit to user

dan sporadis terhadap proyek ini dan itu. Pemberitaan masalah lingkungan oleh pers di Indonesia tidak berkembang menjadi kritik yang fundamental terhadap sistem kapitalisme yang tidak hanya membelenggu mereka yang

dikritik, melainkan juga membelenggu mereka yang mengkritik” (George

Junus Aditjondro, 2003: 67).

Itu semua selanjutnya menjadi “ kerangka umum “ mengenai kerja sama

lebih erat antara gerakan lingkungan dengan serikat pekerja. Semoga saja kerangka umum itu bias bermanfaat bagi kedua kelompok aktivis sosial, yang biasanya dipandang sebagai antagonis, kendati kedua-duanya memiliki tujuan yang sama, yakni menghadang dan pada akhirnya, menaklukkan musuh bersama mereka, yakni sistem kapitalis global.

Perkembangan kapitalisme lanjut ditandainya dengan makin meluasnya pasar bebas secara global. Kapitalisme sudah menguasai seluruh formasi dan struktur sosial tatanan hidup di semua benua. Di era kapitalisme lanjut ini, yang berkembang tidak hanya industri manufaktur, jasa dan perbankan semata, melainkan juga produksi simbol, imajinasi dan citraan (decoding) (sebagai sesuatu yang maya) yang berkembang secara masif. Pada gilirannya, era estetifikasi hidup menjadikan tubuh dan kehidupan manusia sebagai komoditi estetik juga.

Dokumen terkait