• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Kajian Keterkaitan Sistem Pelaksanaan Program Higiene dengan

4.3.2 Ketidaksesuaian pelaksanaan program higiene yang

Berdasarkan hasil penilaian kesesuaian (Lampiran 6), temuan ketidaksesuaian pelaksanaan program higiene yang berpotensi menyebabkan kenaikan jumlah histamin pada produk tuna loin beku adalah: mutu dan suhu bahan baku; penyimpangan waktu proses (tahap penerimaan bahan baku, pemberian gas CO, pemvakuman, pengepakkan, dan penyimpanan beku) dan aspek personal (pihak manajemen dan karyawan). Dilakukan analisis lebih lanjut terhadap aspek-aspek tersebut sebagai data verifikasi.

(1) Mutu dan suhu bahan baku

Histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Enzim histidin dekarboksilase yang terbentuk sebelum pembekuan pada ikan dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan tanpa memperhatikan sel bakteri yang injury selama penyimpangan beku (Baranowski et al, 1990). Enzim lebih stabil dibandingkan bakteri pada suhu beku (FDA 1998). Oleh karena itu, mutu bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tuna loin beku harus memiliki kualitas organoleptik, suhu, serta kandungan mikroorganisme dan histamin yang rendah.

Pada saat penerimaan dilakukan pengecekan suhu dan organoleptik oleh QC. Ikan tuna yang mutunya kurang baik dengan bau dan tekstur yang lembek akan diuji kandungan histaminnya. Dilakukan analisis statistik terhadap data histamin (Lampiran 21) dan suhu bahan baku (Lampiran 22) yang diperoleh dari perusahaan.

Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat bahwa, suhu bahan baku yang diterima berada dibawah 2oC. Kondisi ini sangat baik mengingat standar penerimaan bahan baku PT X adalah ≤ 3oC.

Gambar 12 Fluktuasi suhu ikan tuna bahan baku loin.

Pengukuran kadar histamin oleh laboratorium internal perusahaan menggunakan Veratox histamine assay kit. Menurut produsen kit ini Neogen Corporation (2007), kit ini mengacu pada metode pengukuran histamin enzyme- linked immunosorbent assay (ELISA) dan metode fluormetrik AOAC 977.13. Berdasarkan penelitian oleh produsen, kit ini memiliki korelasi 99,3% jika dibandingkan dengan metode fluorometrik AOAC 977.13 (Neogen Corporation 2007). Data histamin hasil pengukuran perusahaan internal yang dianalisis selama bulan januari-september 2010 dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Fluktuasi kadar histamin ikan tuna bahan baku loin.

Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa, histamin bahan baku yang diterima berada dibawah batas kendali atas. Kondisi ini menandakan bahwa mutu

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 S u h u ( oC) Days

Xbar Maks Min UCL

0.00 5.00 10.00 1 6 11 16 21 26 H is tam in (p p m ) Days

Jan Feb Mar Apr May

bahan baku baik. Rataan kadar histamine bahan baku adalah 1,51 ppm dengan standar deviasi 0,53. Hasil tersebut juga tidak berbeda jauh dengan hasil pengukuran histamin bahan baku yang dilakukan di BPMPHPK DKI Jakarta (Gambar 10) yaitu 1,17 ppm.

Kenaikan kadar histamin yang mencapai 10,26 ppm pada produk akhir (Gambar 10) diduga disebabkan karena penyimpangan suhu dan waktu selama proses penanganan dan pengolahan. Dikatakan demikian karena berdasarkan hasil pengujian dan data dari perusahaan, kadar histamin bahan baku rendah. Menurut Baranowski et al. (1990), histamin dapat terakumulasi karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum pembekuan. Hal ini karena enzim histidin dekarboksilase yang telah terbentuk sebelum pembekuan dapat meneruskan pembentukan histamine di dalam daging tanpa memperhatikan sel bakteri yang injury selama penyimpanan beku.

(2) Penyimpangan waktu dan suhu pada beberapa alur proses produksi Kinerja proses pada tahapan produksi dapat dilakukan dengan membandingkan kondisi pada saat sekarang dengan target yang ditetapkan. Pengukuran tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik Statistical Process Control (SPC), peta kendali (control chart) beserta analisis kapabilitas proses (Gasperz 2001). Dalam Statistical Process Control (SPC) analisis yang dapat dilakukan adalah analisis time cycle.

Keseimbangan lintasan (line balancing) berhubungan erat dengan proses produksi di suatu industri atau perusahaan. Dalam suatu perusahaan, tiap unit proses atau stasiun kerja membutuhkan waktu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, yang disebut cycle time atau waktu proses. Untuk dapat memenuhi permintaan konsumen akan produk sesuai dengan waktu yang dijadwalkan, perusahaan dituntut untuk meningkatkan efisiensi kerja pada tiap unit proses, diantaranya dengan melakukan produksi dengan cycle time yang sama dengan atau mendekati rataan kecepatan lintasan. Kecepatan lintasan dihitung dengan cara membagi total waktu proses pada satu unit dengan total produksi dalam satu kurun waktu yang telah ditentukan. Apabila cycle time pada suatu unit proses lebih besar (lebih lambat) daripada kecepatan lintasan maka akan terjadi waktu tunggu bagi unit proses yang lain atau idle time. Sebaliknya apabila cycle time

pada suatu unit proses lebih kecil (lebih cepat) daripada kecepatan lintasan maka akan menyebabkan produk menumpuk atau bottleneck (Gaspersz 2007).

Sejumlah pekerjaan di PT X telah dibagi dalam unit-unit proses atau stasiun kerja. Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 22) kecepatan lintasan proses produksi tuna loin di PT X agar dapat memenuhi target ekspor sebesar 10-30 ton tiap bulan adalah 2,52-7,56 detik. Dengan kata lain perusahaan mengharapkan tiap unit proses mempunyai cycle time maksimum sebesar 7,56 detik dan cycle time minimum sebesar 2,52 detik.

Perhitungan dan analisis cycle time dilakukan hanya pada unit proses yang berperan penting dalam kelancaran alur proses, apabila mengalami kegagalan atau kurang sempurna dalam unit proses tersebut maka dapat mengakibatkan terjadinya kerja ulang atau reworking pada unit proses selanjutnya. Disamping itu unit proses dengan selang waktu besar atau mempunyai waktu tunggu (idle time) tinggi dan tidak sesuai perlu dihitungan dan dianalisis. Berdasarkan analisis kesesuaian pelaksanaan program higiene (Lampiran 6), unit proses tersebut meliputi: 1. Penerimaan bahan baku, 2. Pemberian gas CO, 3. Pemvakuman, dan 4. Pengepakan. Hasil perhitungan statistik terhadap beberapa proses tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Analisis statistika kendali proses pada beberapa alur proses yang mengandung ketidaksesuaian dalam pelaksanaan program higiene. No. Keterangan

Nilai

PBB PCO PVK PPK PBK

1 Upper Spesification Limit

(USL)

7,56 12 40,4 7,56 -20

2 Lower Spesification Limit

(LSL)

2,52 10 39 2,52 -29

3 Target 5,04 11 39,7 5,04 -24,5

4 Rataan proses 6,40 11.45 39,83 8,85 -22,80 5 Standar deviasi proses 1,52 0,99 0,51 2,44 1,74 6 Standar deviasi maksimum (Smaks) 1,12 0,49 0,49 2,02 0.75 7 DPMO 225000 300000 50000 600000 0 8 Kapabilitas proses (Cpm) 0,5 0,5 0,93 0,2 2 9 Sigma 2,25 2,03 3,14 2,02 6 Keterangan:

PBB: Penerimaan bahan baku, PCO: Pemberian gas CO, PVK: Pemvakuman, PPK: Pengepakan, PBK: Pembekuan

Penerimaan bahan baku merupakan tahap awal pada proses produksi tuna loin beku. Pada tahap ini, aktivitas yang dilakukan adalah pembongkaran dari mobil pengangkut, pengukuran suhu ikan dan analisis sensori, dan pencucian 1. Salah satu prinsip penting yang harus dipenuhi dalam pengolahan atau proses produksi tuna loin dan hasil perikanan lainnya adalah cepat (quick), disamping aman dan bersih. Selama proses pengolahan, waktu proses merupakan salah satu faktor yang dapat mempertahankan kesegaran bahan baku. Apabila proses pengolahan tidak segera dilakukan dan waktu yang lama maka akan terjadi kenaikan suhu ikan dengan signifikan yang selanjutnya dapat memacu pertumbuhan bakteri atau terbentuknya histamin pada loin.

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa data cycle time penerimaan bahan baku selama bulan Agustus-september memiliki nilai rataan 6,4 detik, nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) sebesar 7,56 detik sedangkan nilai batas spesifikasi bawah sebesar (lower specification limit-LSL) 2,52 detik. Nilai DPMO sebesar 225000 yang berarti setiap satu juta kesempatan produksi terdapat 225000 kali peluang kegagalan memenuhi spesifikasi cycle time. Nilai DPMO yang tinggi disebabkan oleh sempitnya range spesifikasi yang ditentukan oleh perusahaan, selain itu juga standar kerja yang kurang tepat dalam proses penerimaan bahan baku.

Pemberian gas CO pada proses produksi dilakukan untuk memberikan wana yang merah pada loin. Ketidaksesuaian pelaksaan program higiene pada tahap ini adalah tidak ada perekaman dari staf quality control (QC) maupun dari staf lainnya selama proses berlangsung. Pemberian gas CO dilakukan pada daging dalam kemasan plastik dengan penanda batch di suatu ruang khusus yang terpisah dengan ruang lainnya. Pada tahap ini pengaturan CO hanya diterapkan pada tekanan gas saja tanpa memperhitungkan volume atau kuantitasnya maupun waktu pemberian gas CO. Hal ini akan menyebabkan kemungkinan kegagalan proses sangat besar.

Standar waktu pemberian gas CO berdasarkan Cardinal et al. (2006) adalah 12 menit. Waktu pemberian gas CO yang tidak diatur dapat menyebabkan proses terlalu lama sehingga idle time menuju proses selanjutnya menjadi panjang. Sebaliknya, apabila proses terlalu singkat, pemberian gas CO dimungkinkan tidak

sempurna sehingga warna yang terbentuk tidak memenuhi standar. Kedua kemungkinan ini, akan mempertinggi risiko kenaikan histamin. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa rataan data cycle time pemberian gas CO adalah 11,45 menit. Nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) sebesar 12 menit. Nilai DPMO sebesar 300000 yang berarti setiap satu juta kesempatan produksi terdapat 300000 kali peluang kegagalan memenuhi spesifikasi cycle time. Nilai DPMO yang tinggi disebabkan oleh standar kerja yang kurang tepat dalam proses pemberian gas CO.

Proses pemvakuman adalah proses yang dilakukan untuk membuat suasana hampa udara pada produk. Ketidaksesuaian pelaksaan program higiene pada tahap pemvakuman tuna loin adalah tidak ada perekaman dari staf quality control (QC) maupun dari staf lainnya. Berdasarkan pengamatan pada setting alat pemvakuman, lamanya proses pemvakuman adalah 40,4 detik yang terdiri dari 37 detik pemvakuman plastik dan 3,4 detik sealing. Pada tahap ini terjadi fluktuasi waktu proses. Hal ini akan menyebabkan kemungkinan kegagalan proses sangat besar. Kegagalan tersebut diantaranya proses yang terlalu lama akan menyebabkan plastik pembungkus loin sobek sedangkan waktu yang terlalu singkat akan menyebabkan kemasan tidak tervakum secara sempurna. Kedua kemungkinan ini akan mempertinggi resiko peningkatan kadar histamin apabila tidak dilakukan upaya perbaikan. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa rata-rata data cycle time proses pemvakuman adalah 39,83 detik. Nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) sebesar 40,4 detik. Nilai DPMO sebesar 50000 yang berarti setiap satu juta kesempatan produksi terdapat 50000 kali peluang kegagalan memenuhi spesifikasi cycle time.

Pengepakan merupakan salah satu titik kritis pada proses produksi tuna loin beku. Penyimpangan waktu dalam proses ini dapat mengakibatkan terjadinya dekontaminasi. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa data cycle time pengepakan selama bulan Agustus-september memiliki nilai rataan 8,85 detik. nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) 7,56 detik sedangkan nilai batas spesifikasi bawah (lower specification limit-LSL) 2,52 detik. Nilai DPMO sebesar 600000 yang berarti setiap satu juta kesempatan produksi terdapat 600000 kali peluang kegagalan memenuhi spesifikasi cycle time. Nilai DPMO

yang tinggi disebabkan oleh sempitnya range spesifikasi yang ditentukan oleh perusahaan, selain itu juga standar kerja yang kurang tepat dalam proses pengepakan.

Penyimpanan beku adalah tahap akhir proses produksi seblum dilakukan proses stuffing. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa data cycle temperature penyimpanan beku selama bulan Agustus-september memiliki nilai rataan -22,80oC. Nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) sebesar -20oC sedangkan nilai batas spesifikasi bawah (lower specification limit- LSL) -29oC. Pada proses penyimpanan beku nilai DPMO PT X sebesar 0. Hal ini berarti setiap satu juta kesempatan produksi tidak terdapat kegagalan memenuhi spesifikasi batas atas (suhu minimum) penyimpanan beku yaitu -20oC. Kondisi ini sangat baik mengingat tempat penyimpanan beku (cold storage) adalah tempat penyimpanan bagi produk akhir loin dalam waktu tertentu sampai saat proses stuffing. Kondisi cold storage khususnya fluktuasi suhu dapat mempengaruhi kualitas ikan tuna.

Menurut Undeland (2001), suhu cold storage yang sering berfluktuasi dapat menjadi salah satu faktor utama turunnya mutu dari ikan. Jika fluktuasi suhu terjadi dibawah -20oC maka kecepatan pembusukkan ikan sangat kecil. Fluktuasi cold storage dapat menyebabkan dekomposisi produk dan mutu produk yang dihasilkan akan turun. Kim et al. (2002) menyatakan, TMAO dapat dipecah menjadi DMA dan FA pada saat penyimpanan beku oleh enzim dalam daging ikan, tetapi enzim tersebut dapat dihambat pada suhu kurang dari -29oC. Menurut Taylor dan Speckhard (1983), bakteri pembentuk histamin masih ditemukan pada 3 dari 10 ikan tuna yang disimpan pada suhu -15 oC. Maka kondisi suhu cold storage sangat penting untuk dijaga ≤-200C agar bakteri pembentuk histamin tidak dapat tumbuh dengan cepat. Kebersihan cold storage sebaiknya juga diperhatikan agar tidak terjadi dekontaminasi mikroba pada produk tuna loin beku.

Ketidaksesuain pada tahap penyimpanan beku pada PT X adalah tidak diterapkannya sistem FIFO. Hal ini akan sangat besar pengaruhnya terhadap kandungan histamin produk tuna loin beku. Ben-Gigirey et al. (1999) menyatakan bahwa bakteri jenis S.maltophilia yang diisolasi dari tuna albacore selama penyimpanan pada suhu -25oC dalam waktu 6 bulan, kadar histaminnya

meningkat dengan pesat sebesar 5 ppm. Bakteri jenis ini merupakan produsen kadaverin yang kuat, sehingga pada saat produk mengalami thawing efek sinergis kadaverin dan histamin dapat menimbulkan keracunan histamin. Sedangkan menurut Lakmisha et al. (2008) ikan yang disimpan selama 2 bulan pada suhu - 18oC kandungan histaminnya dapat mencapai 20,8 ppm. Maka sebaiknya perusahaan menggunakan sistem FIFO agar risiko peningkatan kadar histamin pada produk akhir dapat dihindari.

Hasil analisis kapabilitas proses penerimaan bahan baku, pemberian gas CO, pemvakuman dan pengepakan rendah (<1) yaitu 0,5; 0,5; 0,93 dan 0.2 dengan nilai sigma 2,25; 2,03; 3,14 dan 2,02. Hal ini menandakan bahwa pada tahapan- tahapan tersebut PT X belum mampu memenuhi spesifikasi target pada tingkat kegagalan 0. Menurut Gaspersz (1998) kapabilitas proses merupakan kemampuan dari proses untuk menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi. Jika proses memiliki kapabilitas yang baik, proses itu akan menghasilkan produk yang berada di batas-batas spesifikasi. Sebaliknya apabila proses memiliki kapabilitas yang jelek, proses akan menghasilkan banyak produk yang berada di luar batas spesifikasi sehingga menimbulkan kerugian karena banyak produk yang ditolak.

Kapabilitas proses yang rendah pada beberapa tahapan pengolahan tuna loin akan berakibat fatal dan mengakibatkan meningkatnya kadar histamin selama pengolahan. Namun, apabila dibandingkan dengan hasil pengukuran kadar histamin dari laboratorium internal perusahaan (Gambar 13), dapat dilihat bahwa kapabilitas proses yang rendah ini tidak mempengaruhi kenaikan histamin secara signifikan. Berdasarkan Kusuma (2002), kapabilitas industri di dunia terutama di negara berkembang memang belum mampu memenuhi standar tingkat kegagalan 0 (6 sigma). Di Indonesia kapabilitas proses pada berbagai industri, rata-rata belum mampu mencapai nilai ≥ 2. Meskipun demikian, pihak PT X sebaiknya segera melakukan tindakan perbaikan agar dikemudian hari tidak berakibat pada kenaikan kadar histamin secara signifikan. Beberapa tindakan perbaikan yang dapat dilakukan dengan membuat standar kerja dan memperketat kontrol serta perekaman pada tahapan-tahapan ini.

(3) Personal

Kegagalan dalam implementasi HACCP yang tinggi seringkali disebabkan oleh

aspek personal, dalam hal ini pihak manajemen dan karyawan (Wallace et al. 2011). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dahyar (2009) yaitu

faktor penyebab variasi kadar histamin tuna loin beku digolongkan ke dalam lima faktor utama, yaitu bahan baku, cold storage bahan baku, ruang anteroom, manusia dan manajemen. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam diagram sebab akibat (Gambar 14).

Gambar 14 Diagram sebab akibat variasi kadar histamin tuna loin beku. (Dahyar 2009)

Menurut Taylor (2004) seharusnya manajer produksi memberikan contoh dan membimbing karyawan dalam menerapkan HACCP. Manajer produksi juga sebaiknya mengecek apakah CCP selalu dimonitor dan pelaksanaan HACCP sudah sesuai dengan pedoman yang dibuat perusahaan. Manajemen puncak harusnya memotivasi kesadaran pekerja tentang pentingnya HACCP dan mengulang pelatihan jika diperlukan untuk karyawan terutama pada QC. Tanpa kepemimpinan yang baik maka program HACCP tidak akan berjalan sesuai harapan. Untuk itu seorang manajer harus memiliki kompetensi yang memadai untuk dapat menciptakan suatu sistem higiene yang efektif di perusahaannya.

Analisis kompetensi manajemen PT X dalam sistem higiene dilakukan berdasarkan penilaian karyawan. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa pihak manajemen memiliki kompetensi pada bidang higiene. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengisian

kuisioner ≥ 75% karyawan menjawab sangat setuju bahwa pihak manajemen

Manajemen yang terlatih dan memiliki kemampuan yang memadai dalam higiene akan mampu menciptakan sistem yang baik untuk menghasilkan produk yang aman bagi konsumen (Egan et al 2007). Demikian pula di PT X, kemampuan manajemen pada bidang higiene sudah baik ini dan diharapkan mampu mereduksi risiko bahaya histamin maupun bahaya potensial lainnya.

Tabel 5 Uji tingkat kepercayaan karyawan pada kinerja manajemen puncak dalam sistem higiene

Pernyataan Tidak setuju (%) Kurang setuju (%) Cukup setuju (%) Setuju (%) Sangat setuju (%) 1 Saya mampu memenuhi kebutuhan

dan sumberdaya manusia yang dibutuhkan di perusahaan

0 0 10,71 67,85 21,42

2 Manager saya memiliki kualitas dan kepemimpinan yang baik dan memadai

0 0 7,14 10,71 82,14

3 Manager saya memiliki kemampuan dan kualitas untuk mengembangkan tujuan perusahaan

0 3,57 7,14 17,85 75

4 Manager saya memiliki fokus dan kemampuan memadai pada bidang higiene

0 0 3,57 17,85 75

5 Manager saya telah terlatih dalam standar higiene yang tinggi

0 0 3,57 21,42 75

6 Saya melihat manager saya menerapkan higiene setiap hari

0 0 7,14 32,14 60,71

7 Manager saya kompeten pada bidangnya

0 0 10,71 7,14 82,14

Hal lain yang dapat menyebabkan variasi kadar histamin dalam bahan baku tuna adalah pekerja. Misalnya, saat penerimaan bahan baku, pekerja menangani ikan dengan kasar dan tidak mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum bekerja. Menurut Yamanaka et al. (1982) penanganan yang salah pada ikan tuna sebelum dibekukan dapat menjadi pemicu peningkatan kadar histamin, walaupun ikan dibekukan sampai suhu -50oC. Kemudian Tao et al. (2009) menyatakan bahwa kadar histamin pada ikan juga dipengaruhi oleh waktu dan teknik penanganan. Kesalahan penanganan oleh pekerja sebagian besar karena kurangnya pengetahuan karyawan mengenai higiene.

Berdasarkan kuesioner (Lampiran 7) yang di isi oleh para karyawan (Gambar 15) dapat dilihat bahwa pengetahuan higiene karyawan PT X sudah tergolong baik, namun masih ada diantara karyawan yang sama sekali tidak

mengetahui apa itu higiene sehingga perlu diadakan suatu training agar seluruh karyawan mengetahui tentang higiene secara mendetail. Pengetahuan yang baik tentang higiene juga akan menaikkan kepedulian karyawan terhadap keselamatan dan kesehatan konsumen berkaitan dengan tingginya resiko histamin akibat praktek higiene yang tidak baik sehingga para karyawan akan lebih berhati-hati dalam bekerja.

a. Tingkat pengetahuan higiene b. Tingkat kepedulian karyawan terhadap karyawan kesehatan konsumen

c. Tingkat pengetahuan karyawan tentang histamin Gambar 16 Hasil pengisian kuisioner oleh karyawan PT X. 74% 22% 4% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% tahu pernah dengar tapi tidak tahu sama sekali tidak tahu P e r se n tas e Tingkat pengetahuan 78% 18% 4% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90%

peduli biasa saja tidak peduli P e r se n tas e Tingkat kepedulian 59% 33% 8% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% tahu pernah dengar tapi tidak tahu sama sekali tidak tahu P e r se n tas e Tingkat pengetahuan

Selain pemberian pelatihan, hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan karyawan tentang higiene adalah dengan pembuatan petunjuk kerja dalam bentuk gambar yang mudah diingat dan dipahami. Petunjuk berupa gambar contoh penanganan ikan yang baik, serta gambar mengenai berbagai mutu tuna loin beku, baik gambar tuna loin beku yang mutunya dapat diterima maupun gambar tuna loin beku yang mutunya tidak dapat diterima agar QC dan semua pekerja dapat memahami. Petunjuk gambar akan lebih mudah dimengerti dibandingkan dengan petunjuk berupa tulisan, selain itu pekerja juga akan lebih tertarik untuk melihatnya daripada hanya membaca suatu tulisan (Gaspersz 2006).

Dokumen terkait