• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Kajian Keterkaitan Sistem Pelaksanaan Program Higiene dengan

4.3.1 Mutu produk tuna loin beku

Mutu produk akhir sangat dipengaruhi oleh sejauh mana spesifikasi bahan baku dan spesifikasi proses telah terpenuhi. Mutu produk akhir yang ingin dicapai berpedoman pada spesifikasi yang telah ditetapkan pada peraturan-peraturan dan standar yang dikeluarkan oleh pemerintah dan upaya memenuhi keinginan konsumen (Wallace et al. 2011).

Mutu produk tuna loin beku dipengaruhi oleh mutu bahan baku dan sistem higiene yang diterapkan selama proses produksi berlangsung. Kriteria mutu tersebut diantaranya adalah total mikroorganisme dan histamin pada produk.

(1) Mikrobiologi

Rataan jumlah bakteri pada tahap penerimaan bahan baku, tahap pembentukan loin dan produk akhir adalah 1,4 x 104 Koloni/g, 2,4 x 104 Koloni/g dan 7,2 x 104 Koloni/g. Kenaikan jumlah bakteri selama proses pengolahan dapat dilihat pada Gambar 7. Jumlah bakteri masih dibawah Angka Lempeng Total (ALT) yang dipersyaratkan SNI 01-4104-2006 dengan persyaratan 5 x 105 Koloni/g. Berdasarkan data yang diperoleh, maka produk tuna loin yang diproduksi oleh PT X masih memenuhi persyaratan.

Meningkatnya jumlah bakteri pada tahapan proses pengolahan menunjukkan adanya proses penyimpangan dalam penerapan higiene. Keberadaan bakteri penghasil enzim histidine dekarboksilase pada ikan merupakan penyebab terjadinya peningkatan kadar histamin pada ikan. Jenis bakeri yang mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu Proteus morganii (big eye, skipjack), Enterobacter aerogenes (skipjack), Clostridium perferingens (skipjack) (Keer et al. 2002).

Gambar 7 TPC pada ikan tuna selama proses produksi.

Hasil analisis jumlah bakteri penghasil histamin dengan menggunakan Niven’s agar menunjukkan nilai yang semakin meningkat (Gambar 8). Rataan jumlah bakteri penghasil histamin pada tahap penerimaan bahan baku, tahap pembentukan loin, dan produk akhir adalah 4.8 x 103 koloni/g, 5.1 x 103 koloni/g dan 3.1 x 104 koloni/g.

Gambar 8 Jumlah bakteri penghasil histamin pada tuna loin selama proses produksi.

Jumlah bakteri penghasil histamin bukan merupakan syarat untuk menentukan mutu produk. Bakteri penghasil histamin dianalisis untuk melihat adanya risiko kenaikan kadar histamin pada produk. Bakteri penghasil histamin akan dapat menimbulkan keracunan atau bahkan kematian apabila telah menghasilkan enzim histidin dekarboksilase. Jumlah bakteri pembentuk histamin dalam sampel ikan tuna selanjutnya dibandingkan dengan nilai TPC untuk mengetahui besarnya potensi pembentukan histamin akibat aktivitas bakteri penghasil enzim histidin

4.14 4.38 4.85 4.14 4.38 4.85 3.6 3.8 4 4.2 4.4 4.6 4.8 5 1 2 3 Lo g T P C (Ko lo n i/g) Tahapan proses 3.68 3.7 4.49 0 1 2 3 4 5 1 2 3 Lo g T P C (Ko lo n i/g) Tahapan Proses 1= bahan baku

2= loin setelah penyimpanan suhu chilling 3= produk akhir

1= bahan baku

2= loin setelah penyimpanan suhu chilling 3= produk akhir

dekarboksilase. Histogram perbandingan nilai rataan log jumlah bakteri pembentuk histamin dan nilai rataan log TPC dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Jumlah bakteri total dan bakteri penghasil histamin.

Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui bahwa jumlah bakteri pembentuk histamin pada proses pengolahan tuna loin beku lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai TPC, yaitu rataan masing-masing pada bahan baku 88,9%, pada produk dalam proses 84,5% dan pada produk akhir 92,5%. Hal ini disebabkan tidak semua jenis bakteri yang terdapat pada daging ikan mampu menghasilkan enzim histidin dekarboksilase yang dapat mengubah asam amino histidin menjadi histamin.

Penggunaan suhu rendah (<10oC) selama penyimpanan dan penanganan merupakan cara yang efektif untuk mengontrol pertumbuhan bakteri pembentuk histamin. Pada suhu 0oC sampai 10oC bakteri histamin jenis psikofilik masih dapat tumbuh namun kadar histamin yang terbentuk sedikit (Taylor et al. 1991 diacu dalam Lehane dan Olley 2000). Histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Enzim yang terdapat pada ikan sebelum pembekuan dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan walaupun sel bakteri telah rusak selama penyimpanan beku (Keer et al. 2002). Histamin yang telah

terbentuk tidak dapat didegradasi walaupun dengan pembekuan (Ababouch dan Gram 2004).

Penanganan yang baik pada saat pengolahan akan menghambat pertumbuhan bakteri penghasil histamin pada produk. Penanganan yang berlangsung pada PT X

4.14 4.38 4.85 3.68 3.7 4.49 0 1 2 3 4 5 6 RW IP EP Lo g B a k te ri (Ko lo n i/g) Tahapan Proses RW = bahan baku

IP = loin setelah penyimpanan suhu chilling EP = produk akhir

= TPC = BPH

berlangsung dengan alur yang baik namun waktu penanganan belum cukup cepat. Tahapan proses yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah bakteri penghasil histamin diantaranya adalah tahap penerimaan bahan baku, apabila ikan tidak ditangani secara baik (Tsai 2006).

Selain penanganan yang baik dan penggunaan suhu rendah, hal lain yang perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi bakteri adalah dengan melakukan kegiatan penyekaan (swabbing) pada peralatan. Penyekaan dilakukan dengan menggunakan spon yang diberi desinfektan (alkohol 70%) pada permukaan peralatan yang kontak dengan ikan seperti meja, pisau, nampan, dan talenan. Untuk memonitoring bahwa kegiatan ini berjalan efektif dalam mencegah kontaminasi silang adalah dengan melakukan uji swabbing. FDA (2011) menyatakan bahwa uji swabbing merupakan suatu uji untuk memvalidasi efektivitas kegiatan sanitasi pada peralatan produksi. Pengujian dilakukan dengan menyeka permukaan peralatan dengan kapas steril kemudian melakukan perhitungan jumlah bakteri. Prosedur pengujian tersebut secara lengkap tertuang dalam FDA:Validation of cleaning procedure. Pengujian ini sebaiknya dilakukan secara kontinyu oleh laboratorium internal perusahaan minimal satu minggu sekali. Penyekaan peralatan dengan alkohol 70% telah dilakukan di PT X, namun kegiatan validasi dengan pengujian swabbing belum dilakukan secara rutin.

(2) Histamin

Analisis histamin dilakukan dengan 3 tahap yaitu tahap ekstraksi, tahap clean up dan tahap pembentukan berdasarkan SNI 2354.10:2009. Hasil analisis kadar histamin menunjukkan bahwa rataan nilai kadar histamin mengalami peningkatan selama proses pengolahan. Berdasarkan data yang diperoleh rataan kadar histamin pada tahap penerimaan bahan baku adalah sebesar 1,17 ppm, tahap pembentukan loin 3,67 ppm, dan produk akhir setelah pembekuan 10,26 ppm. Peningkatan kadar histamin pada proses pengolahan tuna loin di PT X dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan data kadar histamin yang diperoleh, menunjukkan bahwa produk tuna loin yang diproduksi oleh PT X masih layak untuk dikonsumsi. Batas histamin menurut SNI-01-4104-2006 adalah 10 ppm.

Peningkatan kadar histamin pada proses pengolahan tuna loin pada PT X dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian atau penyimpangan dalam pelaksanaan program

higiene. Penyimpangan tersebut diantaranya yaitu penanganan yang kurang baik dan peningkatan suhu proses karena waktu proses yang tidak sesuai pada beberapa tahapan proses. Peningkatan kadar histamin pada produk saat pembentukan loin (IP) dan produk akhir (EP) cukup tinggi, hal ini dapat terjadi karena penyimpangan waktu pemberian gas CO dan penyimpanan dalam suhu chilling selama 48 jam setelah diberi perlakuan pemberian gas CO. Penyimpanan dalam suhu chilling masih memungkinkan bakteri psikotrofik penghasil histamin masih dapat tumbuh dan menghasilkan histamin walaupun dalam jumlah yang kecil (Lehane dan Olley 2000).

Gambar 10 Kadar histamin produk tuna loin selama pengolahan.

Kenaikan kadar histamin yang tinggi sebanding dengan jumlah peningkatan jumlah bakteri, khususnya bakteri penghasil. Kenaikan tersebut disebabkan oleh jumlah bakteri awal yang tinggi dan kontaminasi selama penanganan dan pengolahan. Secara alami di dalam tubuh ikan memang mengandung bakteri, Bagian tersebut yaitu bagian perut dan insang. Oleh karena itu, kenaikan jumlah histamin akibat aktivitas bakteri pada bagian tubuh ikan dapat berbeda-beda. Berdasarkan Frank et al. (1981) (Gambar 11) bagian daging tuna yang paling banyak berpotensi menghasilkan HFP (Histamin Fish Poisoning) adalah daging pada bagian dekat perut dan insang. Perut dan insang merupakan bagian yang paling banyak mengandung bakteri. Oleh karena itu daging pada dekat bagian tersebut berpotensi tinggi menghasilkan histamin lebih cepat dibandingkan bagian lainnya (Hui dan Taylor 1983).

1.168 3.67 10.26 0 2 4 6 8 10 12 1 2 3 H is ta m in (p p m ) Tahapan proses 1= bahan baku

2= loin setelah penyimpanan suhu chilling 3= produk akhir

Gambar 11 Variasi risiko histamin berdasarkan bagian tubuh yang dijadikan sampel pada tuna (Frank et al. 1981)

4.3.2 Ketidaksesuaian pelaksanaan program higiene yang berpotensi

Dokumen terkait