• Tidak ada hasil yang ditemukan

ةكرتلا نم ثراو لك بيصن اهب ةيباسحو ةيهقف دعاوق (Kaidah-kaidah fiqh dan cara perhitungan yang dengannya dapat

4. Asas Hukum Kewarisan

25 Maimun Nawawi, Pengantar Hukum., 8-13.

25

Setidaknya ada lima prinsip filosofis hukum kewarisan Islam yang dapat disepakati oleh para ahli hukum Islam sehingga ia dijadikan asas hukum waris, yaitu asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas peristiwa kematian.

Asas Ijbari dimaksudkan bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.26 Istilah Ijbari dari kata Jabbar yang berarti kekuasaan atau pemaksaan. Maksudnya ialah hak waris itu menjadi ada bagi ahli waris karena adanya ketetapan atau ketentuan Allah dalam syariat-Nya.

Berdasar asas ini pula maka ketentuan itu tak dapat diubah sedikitpun oleh siapapun karenanya ia dianggap sebagai hukum yang mutlak (Compulsary law). Secara kebahasaan pula, istilah ijbari berarti mengikat. Studi atas istilah ijbari dalam semiotika bukan hanya dapat berarti mengikat tetapi juga memaksa yang bila dikaitkan dengan hukum pidana seharusnya ada sanksi terhadap pelaku penyimpangan terhadapnya. Asas ini juga mengartikan bahwa tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak.27

Prinsip dalam asas ijbari ini juga membedakan hukum waris Islam dengan hukum lain. Misalnya tradisi testamenter dalam hukum barat

26 Sukris samardi, Hukum Waris., 37

27 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, cet. ke-3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 19

26

membolehkan seseorang untuk mengkondisikan hak kewarisan kepada orang yang disuka atau ditunjuknya. Asas ijbari secara sosiologis menunjuk pada prinsip hukum kekeluargaan atau kekerabatan yang kuat. Bahkan ahli waris sendiri tidak berhak untuk menolak kewarisan itu. Sebagaimana juga ia hanya berkewajiban untuk membayar utang pewaris sebanyak jumlah yang ia terima atau sebatas harta yang ditinggalkan kepadanya tanpa harus lebih sebagai makna dari kalimat yusa aw dain dalamQ.S. al Nisâ 11, tetapi ahli waris tidak berkewajiban memikul utang yang ditinggalkan pewaris. Kewajibannya hanya sekedar menolong membayarkan utang pewaris dengan harta yang ditinggalkannya. Berdasarkan demikian secara yuridis pelaksanaan waris, membagi berdasar fard (bagian) masing-masing pada yang berhak oleh para yuris Islam diistilahkan dengan hukum faraid yang berarti fardhu atau wajib.

Asas Bilateral maksudnya sistem pembagian waris Islam bukan berdasarkan garis keturunan sepihak seperti garis bapak atau garis ibu namun dari kedua belah pihak-ibu bapak. Jenis kelamin seseorang bukan penghalang seseorang untuk mendapatkan hak warisnya. Hal ini dapat dilihat dari titah syar‘i, sebagai berikut :

ِناَدِلا َوْلا َك َرَت اهمِم ٌبْي ِصَن ِءاَسِ نلِل َو َن ْوُب َرْقَ ْلأا َو ِناَدِلا َوْلا َك َرَت اهمِم ٌبْي ِصَن ِلاَج ِ رلِل

ااض ْو ُرْفَم اابْي ِصَن َرُثَك ْوَأ ُهْنِم هلَق اهمَم َن ْوُب َرْقَ ْلأا َو

27

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Q.S. al Nisa 7

Asas bilateral ini pula terjadi kepastian perolehan masing-masing ahli waris yang dikenal dengan istilah ashab al-furud. Lelaki dan perempuan keturunan pewaris beroleh haknya masing-masing menurut ketentuan yang pasti dalam ketetapan syar‘i. Secara esoterik filosofinya, lelaki dan perempuan tidak dibedakan kedudukan. Karenanya mereka berhak memperolehnya dari turun ayah dan ibunya. Konsep ini menjadi mengeloborasi dalam konsep sosiologis di mana bagian lelaki dan perempuan berbeda fard (bagian hak warisnya) karena berbeda tanggung jawabnya dalam hukum kekeluargaan (kekerabatan). Ini berkait erat dengan kewajiban hukum bagi lelaki untuk mencari nafkah, wali bagi saudara perempuannya, menjaga dan memelihara harta dan pemimpin dalam melaksanakan tugas kewajiban pewaris seperti wasiat dan hibah serta tanggung jawab sosial keluarga.

Asas Individual ialah harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Berdasarkan asas individual ini pula, sesuai pendapat umum hukum Islam dikenal garis

28

hukum kewarisan ada tiga kelompok yaitu dzawil faraid, ashabah dan dzawil- arham.

Dzaw al-faraid terdiri dari empat orang laki-laki (ayah, kakeh shahih seterusnya ke atas, saudara laki-laki seibu dan suami pewaris), delapan orang perempuan (istri pewaris, anak perempuan, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, anak perempuan dari anak laki-laki/cucu perempuan pancar laki-laki, ibu dan nenek shahihah seterusnya ke atas). Mereka sering disebut dengan ashab al-furud yang merupakan sekelompok orang yang menerima jumlah saham tertentu secara nas. Jumlah 12 orang tersebut, terdiri dari dua kelompok yakni 10 orang kelompok nasabiyah ialah mereka yang selain suami istri (ashab al-furud nasabiyah: kelompok orang yang berdasar hubungan darah), dan kelompok sababiyah yakni suami dan istri (ashab al- furud sababiyah: karena sebab perkawinan). Sedangkan ‘ashabah merupakan sejumlah orang yang tidak mempunyai fard atau bagian saham tertentu dengan kata lain mereka tidak mempunyai jumlah saham yang pasti yang terbagi kepada ashobah bi al-nafsi, ashabah bil-ghair dan ashabah ma'al ghair. Mereka sebagian besar ashab al- furud. Adapun dzawil-arham yakni mereka yang bukan ashab al- furud, ataupun yang termasuk ashabah. Berbeda dengan pendapat Hazairin yang membagi tiga bagian yaitu dzaw al-faraid, dzawil-qarabat dan mawali. Beliau menjelaskan tentang hubungan akrab antara seseorang dengan anaknya dan orang tuanya dengan kelompok-kelompok keutamaan.

29

Asas Keadilan yang berimbang ialah jumlah nilai bagian (fard) yang diperoleh ahli waris ialah seimbang dengan hak dan kewajibannya.

Seorang lelaki lebih besar tanggung jawabnya daripada seorang perempuan sehingga mengakibatkan hak perolehan bagian (fard) warisnya berbeda. Pembagian ini dikenal dengan sistem pembagian dua berbanding satu antara lelaki dengan perempuan. Sistematika tersebut berpengaruh pada derajat yang sama pada ahli waris, terkadang saling menguatkan antara garis turun berbeda dan terkadang saling menghijab.

Peristiwa kematian baik secara hakiki, hukmy maupun taqdiry, dianggap sebagai sebab masa berlakunya hukum kewarisan jika ia meninggalkan sejumlah harta miliknya dan memiliki ahli waris.28 B. Sumber Hukum Kewarisan Islam

Adapun sumber hukum waris Islam ialah sebagai berikut:

1. Ayat-ayat Al-qur’an a. Q.S An-Nisa (4): 7

ِنْيَدِلا َوْلا َك َرَت اهمِ م ٌبْي ِصَن ِلاَج ِ رلِل ِناَدِلا َوْلا َك َرَت اهمِ م ٌبْي ِصَن ِءاَسِ نلِل َو َن ْوُب َرْقَ ْلأا َو

اَض ْو ُرْفهم اابْي ِصَن َرُثَك ْوَأ ُهْنِم هلَق اهمِم َن ْوُب َرْقَ ْلأا َو

Artinya:”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta

peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan

ibu-28 Sukris samardi, Hukum Waris., 37-40

30

bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”29

b. Q.S An-Nisa (4): 8

ُنْيِكاَسَمْلا َو ىَمَتَيْلا َو ىَب ْرَقْلا ا ْوُل ْوُأ ُةَمْسِقْلا َرَضَح اَذِإ َو ْمُهَل اوُلوُق َو ُهْنِ م ْمُه ْوُق ُز ْراَف

ااف ْو ُرْعهم الا ْوَق

Artinya: ”Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”30

c. Q.S An-Nisa (4): 11

هنُهَلَف ِنْيَتَنْثا َق ْوَف اءآَسِن َنُك ْنِإَف ِنْيَيَثْنُ ْلاا ِ ظَح ُلْثِم ِرْكِ لِل ْمُكِدَل ْوَأ ْيِف ُ هاللَّ ُمُكْي ِصوُي ٍد ِحا َو ِ لُكِل ِهْي َوَبَ ِلأ َو ُفْصِنلا اَهَلَف اةَد ِحا َو ْتَناَك ْنِإ َو َك َرَت اَم اَثُلُث اهمِم ُسُدُّسلا اَمُهْنِ م

ُهَل َناَك ْنِإَف ُثُلُّثلا ِهِ مُ ِلَِف ُها َوَبَأ ُهَث ِر َو َو ٌدَل َو ُهَل ْنُكَي ْمَل ْنِإَف ٌدَل َو ُهَل َناَك ْنِإ َك َرَت ْمُكُؤآَنْبَأ َو ْمُكُؤآَباَء ِنْيَد ْوَأ آهِب ى ِصوُي ٍةهي ِص َو ِدْعَب ْنِم ُسُدُّسلا ِهِ مُ ِلَِف ٌة َوْخِإ

َلا

اامْيِكَح اامْيِلَع َناَك َ هللَّ هنِإ ُههلا َنِ م اةَضْي ِرَف ااعْفَن ْمُكَل ُب َرْقَأ ْمُهُّيَأ َن ْو ُرْدَت

Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka

untuk) sank-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka

29 Al-qur’an surat An-Nisa’ ayat 7, Al-qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, (Semarang: Toha Putra, 1989), 116

30 Ibid.

31

bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta, dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.

(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara merekaa yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini ialah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.31

d. Q.S An-Nisa’ (4): 12

ُب ُّرلا ُمُكَلَف ٌدَل َو هنُهَل َناَك ْنِإَف ٌدَل َو هنُههل ْنُكَي ْمهل ْنِإ ْمُكُج َو ْزَأ َك َرَت اَم ُفْصِن ْمُكَل َو ُع

ْعَب ْنِ م ْمُتْك َرَت اهمِم ُنُمُّثلا هنُهَلَف ٌدَل َو ْمُكَل َناَك ْ،ِإَف ٌدَل َو ْمُكهل ْنُكَي ْمهل ْنِإ ْمُتْك َرَت اهمِم ِد

ٌتْخُأ ْوَأ ٌخَأ ُهَل َو ٌةأ َرْمِوَأ اةَل َلًَك ُث َر ْوُي ٌلُج َر َناَك ْنِإ َو ٍنْيَد ْوَأ آَهِب َن ْوُص ْوُت ٍةَي ِص َو

31 Ibid., 117

32

َو ِ لُكِلَف ِدْعَب ْنِم ُثُلُّثلا ىِف ُءآَك َرُش ْمُهَف َكِلَذ ْنِم َرَثْكَأ اوُناَك ْنِإَف ُسُدُّسلا اَمُهْنِ م ٍد ِحا

ٌمْيِلَح ٌمْيِلَع ِ هاللَّ َو ِ هاللَّ َنِ م اةهي ِص َو ٍ رآَضُم َرْيَغ ٍنْيَد ْوَأ آَهِب ىَصوُي ٍةهي ِص َو

Artinya: “ Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang

ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak, jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak, jika kamu mempunyai anak maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada

33

ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.32

e. Q.S An-Nisa’ (4): 176

ُرْما ِنِإ ِةَل َلًَكْلا ىِف ْمُكْيِتْفُي ُ هاللَّ ِلُق َكَنوُتْفَتْسِي اَهَلَف ٌتْخُأ ُهَل َو ٌدَل َو ُهَل َسْيَل َكَلَه اٌء

اهمِم ِناَثُلُّثلا اَمُهَلَف ِنْيَتَنْثا اَتَناَك ْنِإَف ٌدَل َو اَههل ْنُكَي ْمهل ْنِإ آَهُث ِرَي َوُه َو َك َرَت اَم ُفْصِن ٌمْيِلَع ٍءْيَش ِرَكهذلِلَف اءآَسِن َو الااَج ِ ر ٌة َوْخِإ ا ْوُناَك ْنِإ َو َك َرَت

Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).

Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal, dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah

32 Ibid.

34

menerangkan (hukum itu) kepadamu, supaya kamu tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”33 2. As-Sunnah

ٍساهبَع ِنْبا ِنَع ِهْيِبَأ ْنَع ٍس ُواَط ُنْبا اَنْثهدَح ٌبْيَه ُو اَنْثهدَح َلْيِعاَمْسِإ ُنْب ىَس ْوُم اَنْثهدَح اَمَف ,اَهِلْهَأِب َضِئ َرَفلا اوُق ِحْلَأ : َلاَق ملس و هيلع الله ىلص ِ يِبهنلا ِنَع اَمُهْنَع الله ىضر َكَذ ٍلُج َر ىَل ْوَلأا َوُهَف َيِقَب ٍر

“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan Ibn Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW bersabda:

“Berikanlah faraidh (bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas menjelaskan mengenai kewarisan anak baik laki-laki maupun perempuan, sebagai bentuk penjelasan dari Al-qur’an yang belum secara rinci memberikan bagian kepada anak laki-laki. Juga diketahui bahwa anak laki-laki berposisi sebagai penerima sisa harta waris (ashabah). Mengenai perolehan anak perempuan berpindah dari bagian yang telah ditentukan (al-furud al-muqaddarah) menjadi memperoleh bagian sisa (ashabah) jika bersama dengan anak laki-laki dengan bagian antara anak laki-laki dan anak perempuan 2 : 1 setelah

33 Ibid., 130

35

sebelumnya diberikan bagian-bagian tertentu kepada ahli waris yang menyertainya, misalnya bapak atau ibu dan sebagainya.34

ِدْبَع ْنَع َناَيْفُس ْنَع ٌعْيِك َو اَنْثهدَح َلااَق ٍدهمَحُم ُنْب ُّىَلَع َو َةَبْيَش ىِبَأ ُنْب ٍرْكَب ْوُبَأ اَنْثهدَح ِفْيَنُح ِنْب ِمْيِكَح ِنْب ِمْيِكَح ْنَع ِىِق َر ُّزلا َةَعْيِب َر ىِبَأ ِنْب ِشاهيَع ِنْب ِث ِراَحْلا ِنْب ِنَمْح هرلا ِ ى ِراَصْنَلأا ُهَلَتَقَف ٍمْهَسِب الًُج َر ىَم َر الًُج َر هنَأ ٍفْيَنُح ِنْب ِلْهَس ِنْب َةَماَمُأ ىِبَأ ْنَع

ِهْيَلِإ َبَتَكَف ُرَمُع ىَلِإ ِحا هرَجْلا ُنْب َةَدْيَبُع وُبَأ َكِلاَذ ىِف َبَتَكَف ٌلاَخ هلاِإ ٌث ِرا َو ُهَل َسْيَل َو و هيلع الله ىلص هيِبهنلا هنَأ ُرَمُع ُلاَخلا َو ُهَل ىَل ْوَم َلا ْنَم ىَل ْوَم ُهُل ْوُس َر َو ُ هللَّ : َلاَق ملس

ُهَل َث ِرا َو َلا ْنَم ُث ِرا َو

“Telah menceritakan kepada kamu Abu Bakr bin Abu Shaibah dan Ali bin Muhammad, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dari Abdurrahman bin al-Harith bin ‘Ayyasi bin Abu Rabi’ah Zuraqqi dari Hakim bin Hakim bin Abbad bin Huneif al-Ansari dari Abu Umamah bin Sahl bin Huneif, seseorang melempar seorang laki lain dengan panahnya hingga membunuhnya, laki-laki ini tidak mempunyai ahli waris kecuali saudara laki-laki-laki-laki ibunya (paman), kemudian Abu ‘Ubadah mengirim surat kepada Umar dan Umar membalasnya bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah dan Rasulnya ialah wali bagi mereka yang tidak punya wali, dan saudara laki-laki ibu (paman) menjadi ahli waris bagi yang tidak ada ahli warisnya.” (HR. Ibnu Majah)

34 Maimun Nawawi, Pengantar Hukum., 26-27

36

Hadis di atas dipandang sebagai hadits Shahih. Kandungannya berisi tentang kewarisan dzawil arham. Yaitu para kerabat yang tidak termasuk dalam ahli waris penerima sisa dan penerima bagian tertentu berjumlah 12 rumpun. Kelompok kerabat ini ialah mereka yang berhak memperoleh warisan jika dalam kelompok kerabat penerima furud al-muqaddarah dan penerima sisa tidak ada seorangpun yang tersisa meskipun di sana masih terdapat suami atau istri. Meskipun demikian ada di antara para ulama yang berpendapat bahwa dzawil arham tidak berhak menerima harta waris meskipun kelompok ahli waris lain tidak ada sama sekali, bahkan kalaupun ada kelebihan harta, menurut pendapat ulama ini diberikann kepada baitulmal dan buka kepada dzawil arham, ulama ini antara lain Zaid Ibn Tsabit dari kalangan sahabat, yang diikuti oleh Imam Malik, al-Auza’I dan sebagainya.35

َب اَمَف اَهِلْهَأِب َضِئا َرَفلا اوُق ِحْلأ َمهلَس َو ِهْيَلَع هاللَّ ىلص ىِبهنلا َلاَق ٍرَكَذ ٍلُج َر ىَل ْوَ ْلَِف َيِق

)هيلع قفتم(

Nabi SAW bersabda: “berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya).” (HR al-Bukhari dan Muslim)

ْلا ُث ِرَي َلا )ملسم و ىراخبلا هاور( َمِلْسُمْلا ُرِفاَكْلا َلا َو َرِفاَكْلا ُمِلْسُم

35 Ibid., 27-29

37

”Seorang muslim tidak mewarisi harta orang non muslim dan orang non muslim pun tidak dapat mewarisi harta orang muslim.”(HR al-Bukhari dan Muslim)36

3. Al-Ijma’, yaitu kesepakatan kaum Muslimin menerima ketentuan hukum warisan yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan dalam mayarakat. Karena ketentuan tersebut telah diterima secara sepakat, maka tidak ada alas an untuk menolaknya. Para ulama mendefinisikan ijma’ ialah kesepakatan hukum syara’ mengenai suatu hal pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW.

4. Al-Ijtihad, yaitu pemikiran sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagi mujtahid, untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul, termasuk di dalamnya tentang persoalan-persoalan pembagian warisan. Yang dimaksud di sini ialah ijtihad dalam menerapkan hukum (tathbiq al-ahkam), bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada. Misalnya, bagaimana apabila dalam pembagian warisan terjadi kekurangan harta, maka diselesaikan dengan menggunakan cara dinaikkan angka asal masalahnya. Cara ini disebut dengan masalah ‘aul. Atau sebaliknya jika terjadi kelebihan harta, maka ditempuh dengan cara mengurangi angka masalahnya, yang

36 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris., 26

38

ditempuh dengan cara mengurangi angka asal masalahnya, yang disebut dengan cara radd.37