• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TERHADAP COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM (CLD-KHI) TENTANG KEWARISAN BEDA AGAMA DAN RELEVANSINYA DENGAN MASA SEKARANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS TERHADAP COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM (CLD-KHI) TENTANG KEWARISAN BEDA AGAMA DAN RELEVANSINYA DENGAN MASA SEKARANG"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum (SH) Pada Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Al Syakhsiyah)

Oleh:

HERIX NIM: 1117.044

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL AL SYAKHSIYAH) FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA

ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI TAHUN 2021 M/1443 H

(2)

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi yang berjudul Analisis Terhadap Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) Tentang Kewarisan Beda Agama Dan Relevansinya Dengan Masa Sekarang yang disusun oleh Herix, NIM 1117044 Program Studi Hukum Keluarga (Al-Ahwal Al Syakhsiyyah) Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi telah dilakukan bimbingan secara maksimal dan untuk selanjutnya disetujui untuk diajukan ke sidang munaqasyah skripsi.

Bukittinggi, 01 November 2021 Pembimbing,

Dr. H. Ismail, M.Ag NIP. 19680409 199403 1 008

(3)

ii Abstrak

Skripsi ini berjudul Analisis Terhadap Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) Tentang Kewarisan Beda Agama Dan Relevansinya Dengan Masa Sekarang yang ditulis oleh Herix, Nim: 1117.044 Program Studi Hukum Keluarga (Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah) Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri IAIN Bukittinggi 2021. Maksud dari judul ini penulis ingin menganalisa pembahasan kewarisan di dalam CLD-KHI dan tolak ukurnya dalam menetapkan hukum serta relevansinya dengan masa sekarang.

Motivasi penulis melakukan penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya upaya pembaharuan hukum Islam yang dilakukan oleh Tim CLD-KHI dengan menjadikan KHI sebagai bahan kritik sehingga melahirkan hukum baru dengan salah satu hasil ketetapannya, bahwa berbeda agama tidak menjadi penghalang bagi muwarris dan ahli waris untuk saling mewarisi. Sedangkan di dalam KHI dan juga kesepakatan dari mayoritas ulama mengatakan bahwa salah satu penyebab terhalangnya saling mewarisi ialah berbeda agama antara muwarris dan ahli waris. Permasalahan inilah yang memotivasi penulis untuk membahas permasalahan tersebut lebih lanjut.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan teknik pengumpulan data dari buku, jurnal dan tulisan-tulisan terkait dengan pembahasan. Adapun sumber-sumber tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini ialah buku-buku dan jurnal-jurnal yang membahas tentang CLD-KHI, sedangkan sumber sekundernya ialah buku-buku- dan jurnal-jurnal yang membahas tentang kewarisan dari berbagai macam perspektif.

Dari penelitian ini dapat penulis simpulkan, pertama perumusan CLD-KHI ini dilatarbelakangi oleh tiga faktor, yaitu geliat atau semangat islamisme di Indonesia, munculnya RUU HTPA, dan membahas KHI-Inpres. Kedua, CLD-KHI diatur untuk menanggapi desakan formalisasi syariah dengan memberikan perumusan syariah alternatif yang mempertimbangkan keadilan dan kesetaraan gender, demokrasi, pluralis dan HAM, sehingga menuai banyak kritik dari berbagai macam kalangan sebab dianggap ada intervensi perspektif Barat dan tidak murni hukum Islam yang berasal dari Al-quran dan Hadis. Bahkan berbeda dan bertentangan dengan pemahaman umum dari ajaran dan praktik Islam terutama tentang kewarisan. Ide dalam CLD-KHI berbeda dari praktik umum dan dari tekstual makna Al-quran dan Hadis.

(4)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Al Syakhsiyah). Shalawat dan Salam kepada Nabi Muhammad SAW, semoga tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW dan semoga kita mendapatkan syafaat di hari akhir kelak. Amin.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan, dukungan, maupun motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pertama penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sangat mendalam kepada Ayahanda Hendri Can dan Ibunda Widya Gusmelini yang penulis cintai dan juga saudara kandung penulis Heru yang selalu tulus mendidik, membesarkan, mendoakan, serta memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kepada semua keluarga lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Selanjutnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Ibu Dr. Ridha Ahida, M.Hum selaku Rektor dan Bapak-bapak Wakil Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi yang telah memberika fasilitas kepada penulis untuk menuntut ilmu.

2. Bapak Dr. Ismail, M.Ag selaku Dekan Fakultas syariah beserta segenap Wakil Dekan di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Bukittinggi.

3. Bapak Dahyul Daipon, M.Ag selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga IAIN Bukittinggi.

(5)

iv

4. Ibu Dra. Hj Rahmiati, M.Ag, selaku penasehat akademik

5. Bapak Dr. Ismail, M.Ag yang telah meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, bimbingan serta ilmunya yang tak ternilai kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

6. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi.

7. Pimpinan serta karyawan/i Perpustakaan IAIN Bukittinggi yang telah memberikan pelayanan terbaik bagi penulis dalam mencari literatur- literatur terkait penulisan skripsi ini.

8. Semua teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga angkatan 2017, kanda dan ayunda HMI Komisariat Syariah IAIN Bukittinggi. Pastinya tak henti-henti penulis sampaikan semoga amal baik semua pihak mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah Swt Sang Pencipta yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amiin.

Akhirnya kepada Allah Swt, penulis mengucapkan Alhamdulillah dan kepada para pihak yang telah disebutkan, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, dengan harapan semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat kepada para pembaca.

Bukittinggi, 02 November 2021

Penulis

(6)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT telah menciptakan segala urusan di dunia ini dengan sempurna. Semua urusan di dunia ini pasti mempunyai aturan mainnya bagi kehidupan manusia di dunia. Diharuskan bagi setiap orang untuk mentaati aturan yang telah berlaku yang bersumber dari Al-quran dan Hadis.

Sehingga manusia tidak tersesat dalam menggunakan semua urusan di dunia.

Kajian yang mendalam dan menyeluruh terhadap ketetapan Allah SWT dan Rasul-Nya telah membawa kepada suatu kesimpulan, tidak satupun dari ketetapan Allah SWT dan Rasul-Nya yang sia-sia tanpa tujuan apa-apa. Semuanya mengarah kepada kemaslahatan individu.1

Segi kehidupan manusia yang diatur oleh Allah SWT tersebut dapat dikelompokkan kepada dua kelompok, yaitu : Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia dengan Allah penciptanya.

Aturan tentang hal ini disebut “ Hukum Ibadah” tujuannya untuk menjaga hubungan atau tali antara Allah SWT dan hamba-Nya yang disebut juga

“Hablum minallah”. Kedua, berkaitan dengan hubungan antar manusia dan alam sekitarnya. Aturan tentang ini disebut Hukum Muamalat”. Tujuannya menjaga hubungan antara manusia dan alamnya atau yang disebut dengan “ hablum minannas”. Kedua hubungan itu harus tetap terpelihara agar

1 Busyo, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam, (Ponorogo: Wade, 2016), 143.

(7)

2

manusia terlepas dari kehinaan, kemiskinan dan kemarahan Allah SWT yang dinyatakan dalam surat Ali-imran (3) ayat 112.2

Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah SWT ialah aturan tentang Pernikahan. Menikah merupakan kebutuhan dasar yang bertujuan untuk melanjutkan generasi dan memperoleh ketentraman hidup di dunia.3 Nikah ialah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.

Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.4

Selain itu, aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah SWT yaitu harta. Harta merupakan kebutuhan setiap orang di dalam Islam mesti di dapatkan sesuai dengan aturan-aturan yang benar.5 Selain itu harta bisa juga didapatkan dengan sebab kematian seseorang.

Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya.

2 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2012), 3.

3 Busyro, “Nikah Siri Dalam Tinjauan Teoritis Dan Sosiologi Hukum Islam Indonesia” Vol.

XI No. 1 (June 2017), 2.

4 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Islam) Cet.27, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), 374.

5 Busyro, “Utilizing the Assets Acquired from Illegal Conducts A Study of Fiqh Maqasid of Yusuf Al-Qaradlawi” Vol. 13 No. 2 (Desember 2018), 1.

(8)

3

Kewarisan islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Aturan peralihan harta ini disebut dengan berbagai nama. Dalam literature hukum islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan islam, seperti faraid, fiqih mawaris, dan hokum al-waris.

Aturan tentang waris tersebut ditetapkan oleh Allah SWT melalui firman Allah SWT yang terdapat dalam Al-quran, terutama dalam surat An- nisa ayat 7, 8, 11, 12 dan 176. Pada dasarnya ketentuan Allah SWT yang berkenaan dengan warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya. Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang sifatnya menegaskan atau merinci, telah disampaikan oleh Rasulullah SAW melalui hadisnya. Namun demikian penerapannya masih menimbulkan wacana pemikiran dan pembahasan di kalangan para pakar hukum islam yang kemudian dirumuskan dalam ajaran yang bersifat normatif. Aturan tersebut yang kemudian diabadikan dalam lembaran kitab fiqih serta menjadi pedoman umat muslim dalam menyelesaikan permasalahan tentang kewarisan.6

Allah SWT mensyariatkan warisan ini bagi setiap orang yang telah meninggal dunia. Dalam kitab fiqih as-sunnah disebutkan bahwa sebelum datangnya islam, yaitu pada masa jahiliyah terdahulu bangsa arab hanya memberikan warisan kepada kaum laki-laki saja dengan mengabaikan kaum wanita. Mereka hanya memberikan warisan kepada orang-orang yang sudah

6 Moh. Muhibbin and Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, 2nd ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 2.

(9)

4

besar dengan mengabaikan anak-anak kecil. Selain itu pada saat tersebut terdapat sistem pembagian waris yang menggunakan sumpah.

Kemudian Allah SWT menghapuskan semuanya itu dengan menurunkan surat An-nisa’ ayat 11. Yang mana dapat dipahami bahwa warisan ini wajib untuk semua orang yang telah meninggal dunia dan setiap para ahli waris berhak menerima harta warisan yang telah ditinggalkan oleh pewaris dan pembagiannya sesuai harta warisan yang telah ditinggalkan oleh pewaris dan pembagiannya sesuai dengan penjelasan ayat di atas.

Bagi umat islam Indonesia, aturan Allah SWT tentang kewarisan telah menjadi hukum positif yang digunakan dalam pengadilan agama dalam memutuskan kasus pembagian maupun persengketaan yang berkenaan dengan harta warisan tersebut. Dengan demikian, maka umat islam yang telah melaksanakan hukum Allah SWT itu dalam penyelesaian harta warisan, di samping telah melaksanakan ibadah dengan melaksanakan aturan Allah SWT tersebut, dalam waktu yang sama telah patuh kepada aturan yang telah ditetapkan Negara.7

Seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi yang terus menerus berubah, pengaturan kewarisan yang telah diatur cukup tegas itu sedikit banyak mengalami problem bahkan benturan-benturan sosial yang tidak dapat dihindarkan. Situasi-situasi dan perubahan zaman yang berlangsung sangat cepat itu, mendorong banyak pemikir Islam untuk

7 Ibid.

(10)

5

kembali melakukan ijtihad dengan menggali nilai-nilai universal dan abadi yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist.

Salah satu pembahasan dalam ilmu mawaris ialah pembahasan tentang penyebab kewarisan dan penghalangnya. Penyebab seorang berhak menerima warisan ialah adanya hubungan perkawinan, kekerabatan dan memerdekakan budak. Sedangkan penghalang kewarisan ialah pembunuhan, perbudakan dan perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan pewaris. Dengan kata lain penghalang-penghalang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab untuk mewarisi.8

Berlainan agama menjadi penghalang mewarisi ialah apabila antara ahli waris dan al-muwarrits salah satunya beragama Islam, yang lain bukan Islam. Misalnya, ahli waris beragama Islam, muwarritsnya beragama Kristen, atau sebaliknya. Demikian kesepakatan mayoritas Ulama. Jadi apabila ada orang meninggal dunia yang beragama Budha, ahli warisnya beragama Hindu di antara mereka tidak ada halangan untuk mewarisi.

Demikian juga tidak termasuk dalam pengertian berbeda agama, orang- orang Islam yang berbeda mazhab, satu bermazhab Sunny dan yang lain Syi’ah.

8 Ahmad Azhar Bazhar, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990), 16.

(11)

6

Dasar hukumnya ialah hadis Rasulullah riwayat al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut:

) هيلع قفتم ( َمِلْسُمْلا ُرِفاَكْلا َلا َو َرِفاَكْلا ُمِلْسُمْلا ُث ِرَي َلا

“Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.” (Muttafaqun ‘alaih)

Hal ini diperkuat lagi dengan petunjuk umum ayat 141 surat Al- Nisa’ sebagai berikut:

ْؤُمْلا ىَلَع َنْي ِرِفاَكْلِل ُ هاللَّ َلَعْجَي ْنَل َو / ءاسنا( الًِبَس َنْيِنِم

141 )

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir (untuk menguasai orang mukmin).” (Q.S Al-Nisa’ [4] : 141).

Nabi Saw sendiri mempraktikkan pembagian warisan, dimana perbedaan agama dijadikan sebagai penghalang mewarisi. Ketika paman beliau, Abu Thalib orang yang cukup berjasa dalam perjuangan Nabi SAW meninggal sebelum masuk Islam, oleh Nabi SAW, harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafir, yaitu ‘Uqail dan Thalib.

Sementara anak-anaknya yang telah masuk Islam, yaitu ‘Ali dan Ja’far, oleh beliau tidak diberi bagian.9

9 Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, edisi revisi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), 35-36.

(12)

7

Permasalahan tentang kewarisan beda agama juga diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu terdapat dalam pasal 171 poin b dan c. Di dalamnya disebutkan bahwa: pewaris ialah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa antara pewaris dengan ahli waris harus sama-sama beragama islam, sehingga dapat penulis katakan bahwa jika salah satu di antara pewaris ataupun ahli waris yang non muslim maka tidak bisa saling mewarisi.

Hal ini berbeda dengan rumusan yang ditawarkan di dalam naskah Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) KHI. CLD-KHI merupakan naskah tandingan yang menawarkan pemikirian-pemikiran baru di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Ada beberapa hal baru tentang kewarisan yang di tawarkan di dalam CLD-KHI ini. Salah satu pembahasannya ialah terdapat di dalam pasal 2 CLD-KHI yang mengatakan bahwa beda agama bukan penghalang proses waris-mewarisi.

Rumusan Kompilasi Hukum Islam yang memosisikan perbedaan agama menjadi penghalang hak kewarisan, dalam CLD-KHI,, perbedaan agama antara muwarris dan ahli waris tidak dijadikan alasan penghalang dari

(13)

8

adanya hak waris. Perumus CLD-KHI beranggapan bahwa pemposisian perbedaan agama sebagai penghalang hak waris telah mencederai terhadap nilai keadilan, kemanusiaan dan diskriminatif.10

Tentunya hal ini kontradiktif atau berlawan dengan apa yang telah ditetapkan di dalam KHI dan ketentuan Fiqih Islam. Di dalam Fiqih Islam, Perbedaan agama menjadi salah satu penyebab tidak saling mewarisi antara pewaris dan ahli warisnya. Dan hal ini sudah disepakati oleh para ulama terutama ulama mazhab yang empat.11

Melihat adanya perbedaan pemahaman terhadap memandang perbedaan agama dalam permasalahan waris-mewarisi tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah ini lebih lanjut lagi dalam bentuk Skripsi dengan judul penelitian: “ANALISIS TERHADAP COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM (CLD-KHI) TENTANG KEWARISAN BEDA AGAMA DAN RELEVANSINYA DENGAN MASA SEKARANG”

B. Rumusan Masalah

Agar terarahnya penelitian ini dan tercapai apa yang dituju perlu adanya rumusan masalah. Maka adapun rumusan masalah yang penulis angkatkan dalam penulisan ini ialah:

10 Muhammad Ulil Abshor, Modernisasi Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2020), 108

11 Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya: Pustaka Radja, 2016), 111.

(14)

9

1. Bagaimana CLD-KHI mengatur tentang hukum kewarisan beda agama serta kerangka berfikir yang digunakan dalam penetapan hukum Islam?

2. Apakah kewarisan beda agama yang ada di dalam CLD-KHI ini relevan dengan kondisi masyarakat sekarang?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan diskursus mengenai status kewarisan beda agama dalam dua perspektif yang berbeda, maka tujuan penulisan skripsi ialah:

a. Untuk menjelaskan tentang bagaimana CLD-KHI mengatur tentang hukum kewarisan beda agama serta kerangka berfikir yang digunakan dalam penetapan hukum Islam.

b. Untuk mengetahui apakah kewarisan beda agama yang ada di dalam CLD-KHI ini relevan dengan kondisi masyarakat sekarang?

2. Kegunaan Penelitian

a. Sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis bagi pihak yang memerlukannya.

D. Penjelasan Judul

Untuk menghindari kesalahpahaman dan tidak terjadi kekeliruan oleh pembaca, sehingga untuk mempermudah memahami maksud dari judul karya ilmiah ini, maka penulis akan memberikan penjelasan secara operasional terhadap kata-kata yang penting sebagai berikut:

(15)

10

Analisis dalam kamus bahasa Indonesia ialah ialah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya dan sebagainya)12

Counter Legal Draft KHI: merupakan naskah tandingan atas KHI.

Naskah ini menurut tim penyusun CLD-KHI menawarkan sejumlah pemikiran-pemikiran pembaruan hukum keluarga Islam yang disusun dalam RUU Hukum Perkawinan Islam (116 psl), RUU Hukum Kewarisan (42 psl) dan RUU Hukum Perwakafan Islam (20 psl).13

KHI: dalam kamus lengkap Inggris Indonesia-Indonesia Inggris yang disusun oleh S. Wojowarsito dan W.J.S. Poerwadarminta, kata compilation diterjemahkan sebagai karangan yang tersusun dan kutipan dari buku-buku lain.

Berdasarkan kutipan tersebut di atas, Abdurrahman menyimpulkan bahwa kompilasi itu ialah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai bukultulisan mengenai suatu persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah.14

12 Dendy Sugono, et al., Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 59.

13 Asriati, “Pembaruan Hukum Islam Dalam Terapan dan Perundang-undangan di Indonesia “ Vol. 10, No. 1, (Januari 2012), 30

14 Ibid., 24.

(16)

11

Fiqih: menurut Bahasa Arab perkataan Fiqh itu berarti ilmu, kecerdasan dalam memahami sesuatu perkara secara mutlak. Ibn Khaldun berkata dalam Muqaddimahnya: Fiqh itu ialahmengenal hukum-hukum Allah Ta’ala mengenai pekerjaan seorang yang dianggap mukallaf,mengenai wajib, haram, sunat, makruh dan dibolehkan, semua itu dipetik dari Al-Qur’an dan Sunnah, untuk dipermudah menjadi Fiqh.

Penetapan-penetapan itu berasal daripada dalil-dalil Qur’an dan Sunnah, yang jika kurang jelas lalu diperjelas dengan fiqh. Yang tidak lain daripada mengeluarkan hukum-hukum daripada dalil dan nash tersebut.15

Kewarisan: Istilah kewarisan berasal dari bahasa arab dengan bentuk masdarnya ialah al-irts dari kata waritsa, yaritsu, irtsan. Makna dasarnya ialah perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka. Fiqh klasik sering menyebut istilah hukum kewarisan atau segala yang berkaitan dengan hukum kewarisan menyebutnya dengan hukum faraid jamak dari lafaz faridah dengan makna mafrudah yang bila diterjemahkan ialah bahagian- bahagian yang telah ditentukan. Terkadang para yuri Islam menamainya untuk bahasan itu ialah dengan sebutan fiqh mawaris dalam bentuk jamaknya ialah mirats. 16Mirast menurut syariah ialah memberi undang- undang sebagai pedoman antara orang yang sudah meninggal dunia dan ahli waris, dan apa saja yang berkaitan dengan ahli waris .17

15 Aboebakar Atjeh, Ilmu Fiqh Islam Dalam Lima Mazhab, (Jakarta: Islamic Research Institute, 1977), 11.

16 A. Sukris Sarmadi, Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandungan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni), (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), 1-2.

17 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam (Jakarta: Gema Insani, 1995), 33.

(17)

12 E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber- sumber tertulis. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti kitab, buku dan lain-lain.18 Jadi dalam hal ini yang penulis lakukan ialah dengan mengumpulkan kitab atau buku yang berkenaan dengan penelitian ini, kemudian mengolahnya berdasarkan pada data-data kepustakaan yang berkaitan pada pokok-pokok persoalan yang dibahas.

2. Sumber Data

Pengumpulan data yang penulis lakukan yaitu dengan mengumpulkan data primer dan sekunder:

a. Data primer : yaitu data yang diperoleh secara langsung dari subjek yang akan diteliti tentang permasalahan yang dibahas.19 Yaitu berupa buku-buku, jurnal atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.

b. Data sekunder : yaitu sumber yang diperoleh, dimuat dan merupakan dari sumber pertama. Sifat sumber ini tidak langsung. Yaitu berupa buku-buku atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.

18 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, 1st ed. (Yogyakarta: Andi Off Set, 1982), 9.

19 Joko Subagyo, Metodologi Penelitian Dalam Teori Dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 87.

(18)

13 3. Metode Analisis Data

Dari data yang penulis kumpulkan, maka penulis akan mengolahnya dengan metode deskriptif analisis yaitu menggambarkan secara tepat dalam masalah yang sesuai dengan data yang diperoleh kemudian dengan metode berpikir komparatif, yaitu mencari suatu pemecahan masalah melalui analisis terhadap faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan fenomena yang diselidiki dan dibandingkan antara satu faktor dengan faktor lainnya.

F. Tinjuan Pustaka

Dalam penelitian sebelumnya, ada beberapa penelitian terlebih dahulu yang mengangkat pembahasan yang hampir sama dengan yang dituliskan oleh penulis. Akan tetapi dalam setiap penelitian tentu ada sudut perbedaan dalam hal pembahasan maupun objek peneliti. Adapun penelitian tersebut diantaranya ialah:

1. Penelitian yang dilakukan oleh saudara Tohirin Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2008) yang berjudul “Pengaruh Feminisme Liberal Terhadap Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI)”. Dalam pembahasannya dijelaskan bahwa CLD- KHI dipengaruhi oleh konsep kesetaraan gender yang dinilai mirip dengan konsepsi Feminisme Liberal yang tumbuh di Barat.

2. Penelitian yang dilakukan oleh saudari Novi Helwida Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-raniry

(19)

14

Darussalam Banda Aceh (2017) yang berjudul “Hukum Waris Beda Agama (Studi Perbandingan Ibn Taimiyah dan Wahbah Al-Zuhaili)”.

Dalam bahasannya disimpulkan bahwa Ibn Taimiyah membolehkan orang muslim menerima waris dari orang kafir tapi tidak sebaliknya.

Sementara Wahbah Az-Zuhaili tidak membolehkan antara orang muslim dan orang kafir saling mewarisi. Ibn Taimiyah bukan membolehkan secara mutlak, tapi ada pengecualian hanya dikhususkan kepada kafir dzimmi bukan kafir harbi, karena ‘illat dari waris ialah pertolongan, sedangkan penghalang ialah permusuhan.

Dari beberapa penelitian di atas, maka dapat dikatakan penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu mengenai masalah kewarisan beda agama ini. Penelitian yang penulis susun pembahasannya memfokuskan kepada analisis terhadap permasalahan kewarisan beda agama yang dirumuskan di dalam CLD-KHI dan bahasan yang terkait dengannya.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini berjumlah lima bab yang masing- masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi.

Bab I Pendahuluan, ini berisi tentang gambaran umum dari pembahasan yang memuat hal-hal yang mendasar dengan mengemukakan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penjelasan judul, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

(20)

15

Selanjutnya Bab II akan dijelaskan tentang landasan teori seperti pengertian dan dasar hukum waris, rukun dan syarat waris, macam-macam ahli waris, sebab adanya hubungan waris, serta penyebab terhalangnya kewarisan.

Kemudian dalam Bab III meliputi kajian utama terhadap CLD-KHI, bagaimana CLD-KHI mengatur tentang hukum kewarisan beda agama, kerangka berfikir CLD-KHI dalam pembentukan hukum Islam dan relevansinya terhadap kondisi masyarakat masa sekarang.

Pada Bab IV merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dari seluruh pembahasan yang telah di paparkan, serta saran- saran yang dapat membangun untuk perbaikan tulisan ini.

(21)

16 BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG KEWARISAN

A. Pengertian Kewarisan 1. Pengertian

Secara etimologis mawaris berasal dari bentuk jamak kata mirats yang merupakan masdar dari kata wartsa, yaritsu, wiratsatan, wa miratsan, yang artinya peninggalan, berpindahnya sesuatu dari individu/kelompok kepada individu/kelompok lain, sesuatu itu bisa berupa harta, ilmu, kemuliaan dan sebagainya. Kata tersebut banyak digunakan dalam al- Qur’an dalam bentuk kata kerja, misalnya waratsa (QS. Al-Naml: 16), yang menjelaskan tentang nabi Sulaiman mewarisi kenabian nabi Daud AS. Ayat serupa juga terdapat dalam surat al-Zumar: 74 tentang pewarisan bumi terhadap umat manusia dan beberapa ayat lain.20

Mawarits juga disebut faraidh, bentuk jamak dari kata faridhah.

Kata ini berasal dari kata faradh yang artinya ketentuan, atau menentukan.

Kata faraidh ini banyak juga disebut dalam Al-Qur’an. Q.S Al-Baqarah (2):

237 misalnya disebutkan “waqad faradhtum lahunna faridhah fa nishf ma faradhtum” artinya “padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu”, QS Al-Tahrim (66): 2 disebutkan “qad faradhallah lakum tahillata aimanikum” yang artinya “sesungguhnya Allah telah menjelaskan

20 Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya: Pustaka Radja, 2016), 2

(22)

17

kepadamu tebusan sumpah-sumpahmu”. QS Al-Nisa (4): 7 menyatakan

“wa li al-nisai nashibun mimms taraka al-walidan mimma qalla minhu au katsura nashiban mafrudhan” artinya “…dan bagi wanita ada bagian dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat-kerabat, baik sedikit atau banyak, suatu bagian yang telah ditetapkan”. Demikian juga dapat dilihat da;am QS Al-Qashash (28): 85 san Al-Ahzab (33): 38.

Dengan demikian, kata faraidh atau faridhah artinya ialah ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkannya dan berapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.21

Muhammad Ali al-Shabuni mendefinisikan kewarisan secara istilah:

وأ لاام كورتملا ناك ءاوس , ءايحلأا هتثرو ىلإ تيملا نم ةيكلملا لاقتنا وه ثرلإا ةيعرشلا قوقحلا نم اقحوأ اراقع

(Kewarisan (al-irth) ialah perpindahan kepemilikan dari seorang yang sudah meninggal (mayit) kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik kepemilikan tersebut berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, maupun hak-hak yang sesuai dengan syariat).

Dari pengertian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa kewarisan merupakan proses berpindahnya kepemilikan dari seseorang sebagai akibat dari kematian. Kepemilikan yang dimaksud ialah kepemilikan terhadap harta bergerak maupun harta tidak bergerak serta hak-hak yang belum berwujud harta dan masih dapat dipindahkan kepemilikannya kepada

21 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Edisi Revisi), (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 2-3

(23)

18

generasi berikutnya yang masih hidup. Rumusan pengertian kewarisan yang dibuta oleh al-Shabuni lebih menekankan pada proses perpindahan hak kepemilikan atas suatu benda maupun non benda dari seorang yang meninggal kepada para ahli warisnya yang masih hidup.

Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan ilmu mawaris ialah:

ةكرتلا نم ثراو لك بيصن اهب ةيباسحو ةيهقف دعاوق

(Kaidah-kaidah fiqh dan cara perhitungan yang dengannya dapat diketahui bagian semua ahli waris dari harta peninggalan).

Di sini al-zuhaili memberikan definisi kewarisan sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri. Yaitu suatu ilmu yang menjelaskan metode perhitungan harta peninggalan untuk mengantarkan para ahli waris dapat menerima bagian masing-masing secara benar.22

Bahasan menyangkut pengertian hukum warisan, ruang lingkup kewarisan serta segala istilah terhadapnya disebutkan dalam Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam. Hukum Kewarisan ialah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.23

22 Maimun Nawawi, Pengantar Hukum., 3-4

23 A. Sukris Sarmadi, Hukum Waris Islam Di Indoneisa (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni), (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), 19

(24)

19 2. Beberapa Istilah dalam Mawarits

Adapun istilah-istilah faraidh yang paling penting ialah sebagai berikut:

a. Al-Fardh (fardh): ialah bagian yang ditentukan oleh syara’

kepada ahli waris. Artinya bagian yang ditentukan secara jelas dari peninggalan mayit dengan daar nash dan ijma, seperti seperdelapan, seperempat, di mana tidak bertambah kecuali dengan radd dan tidak berkurang kecuali dengan aul.

b. As-Sahm (sahm): yang dimaksud ialah bagian yang diberikan kepada ahli waris dari asal masalah yang mana ia ialah makhraj (jalan keluar) bagian ahli waris, atau sejumlah kepala ahli waris.

Seperti 2 dari enam (2/6). Kadang-kadang disebut juga an- nashib dengan keterangan penjelas.

c. At-Tirkah: apa yang ditinggalkan mayit dari apa yang dimiliki berupa uang, benda dan hak. Tidak masuk dalam tirkah titipan, kepercayaan dan sebagainya yang tidak dimilikinya.

d. Nasab, yakni garis anak (ke bawah), garis ayah (ke atas), kedekatan pada keduanya, melalui jalan memenangkan garis ayah dari pada garis ibu.

e. Al-jam’ dan al-‘Adad: yang dimaksud dalam warisan ialah semua yang lebih dari satu. Dengan demikian, dua orang anak perempuan dan anak-anak perempuan ialah jam’.

(25)

20

f. Al-far’: jika disebut a-far’ dalam warisan maka yang dimaksud ialah anak laki-laki mayit atau anak perempuannya, anak laki- laki dari anak laki-lakinya, anak perempuan dari anak-anak laki- laki dan seterusnya. Perlu dicatat bahwa anak laki-laki dari anak laki-laki dalam posisi anak laki-laki. Adapun anak laki-laki saudara laki-laki tidak dalam posisi saudara laki-laki.

Cabang dari ayah. Yang dimaksud ialah saudara-saudara laki- laki, saudara-saudara perempuan, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung atau satu ayah.

Cabang kakek: yang dimaksud ialah paman sekandung, paman seayah dan anak-anak laki-laki keduanya.

g. Al-Ashl: jika kata ini disebutkan maka yang dimaksud ialah kedua orang tua, kakek-kakek yang lurus dari garis ayah, nenek- nenek yang lurus dari garis ayah, begitu seterusnya ke atas. Jika dikatakan al-Ashl adz-Dzakar, maksudnya ialah ayah dan kakek.

h. Al-Walad ialah orang yang dilahirkan oleh manusia sebelum dia mati dan dilahirkan secara langsung, baik laki-laki maupun perempuan.

i. Al-Warits ialah orang yang berhak mendapatkan bagian peninggalan mayit, meskipun dia tidak benar-benar mengambilnya seperti al-Mahrum dan al-Mahjub.

j. Al-Akh dan al’Amm, jika al-akh diucapkan, maka mencakup saudara sekandung seayah, atau seibu. Sebab, dia ialah ahli

(26)

21

waris. Adapun al-‘amm tidak mencakup paman dari ibu sebab dia termasuk dzawil arham.

k. Al-Ashabah: orang yang tidak mempunyai bagian tertentu dengan jelas. Al-Ashabah bin Nafsi ialah semua laki-laki yang dalam penisbatannyakepada mayit tidak ada perempuan.

l. Al-Idla’: ialah ketersambungan dengan mayit. Adakalanya secara langsung dengan dirinya seperti ayah mayit, ibunya, anak laki-lakinya, anak perempuannya, atau dengan perantara seperti anak laki-laki dari anak laki-laki sambung karena anak laki-laki, anak perempuan dari anak laki-laki sambung karena anak laki- laki. Al-Idla’ bil Ashabah ialah ashabah dengan dirinya sendiri.

Yaitu, setiap laki-laki yang penisbatannnya pada mayit tidak ada seorang wanita, baik mayit itu laki-laki atau perempuan, seperti anak laki-laki dari anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki- laki anak laki-laki, dan anak laki-laki dari anak perempuan.

m. Mayt ialah orang yang berakal yang ruhnya keluar dari jasadnya.

Mayit ialah orang hidup yang keadaannya seperti keadaan orang mati. Maytah ialah hewan yang ruhnya terlepas tanpa melalui pemotongan syar’i.24

3. Tujuan Hukum Kewarisan Islam

Adapun tujuan hukum kewarisan Islam ialah sebagai berikut:

24 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, et al., (Jakarta: Gema Insani, 2011), 344-346

(27)

22

a. Mengatur hak dan kewajiban keluarga almarhum. Setelah seseorang meninggal dunia, maka ia tidak lagi punya ha katas hartanya kecuali tidak lebih dari 1/3 (sepertiga). Karena itu perlu ada hukum yang mengatur hak dan kewajiban keluarga yang ditinggalkan baik terhadap al-marhum maupun terhadap orang lain yang terkait.

b. Menjaga harta warisan hingga sampai kepada individu yang berhak menerima. Harta dalam bentuknya yang beragam, selalu menjadi buruan setiap orang, dan itu sangat manusiawi. Namun setiap bentuk harta yang ada di dunia ini sudah tentu ada pemiliknya yang dapat mengatur dan memelihara. Ketika seseorang meninggal dunia, maka ia secara otomatis terputus dengan segala bentuk harta. Karena itu, pengelolaan dan pengurusan harta tersebut beralih kepada keluarga terdekat yang masih hidup. Dalam hal pengelolaan harta peninggalan almarhum ini perlu adanya kerangka hukum yang menjelaskan secara rinci bagaimana pendistribusian harta tersebut sehingga benar-benar sampai kepada masing-masing individu uang secara legal formal berhak menerima bagiannya. Dengan adanya hukum kewarisan Islam hak-hak individu akan terjamin, baik anak- anak maupun dewasa, laki-laki maupun perempuan.

c. Keberlanjutan harta dalam setiap generasi. Setelah manusia menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi, lalu menghasilkan harta dan semacamnya, maka perlu dipikirkan bagaimana kondisi harta tersebut bisa tetap berlanjut dari generasi

(28)

23

ke generasi berikutnya. Kehadiran hukum waris Islam salah satunya untuk memberikan jaminan kelangsungan (estafet) kepemilikan terhadap harta yang dimiliki seseorang secara sah kepada generasi penerus agar harta tersebut tetap memberikan manfaat untuk keberlangsungan umat manusia di masa yang akan datang.

d. Menghindari sengketa persoalan waris. Tidak jarang terjadi kasus- kasus sengketa yang diakibatkan perebutan harta termasuk harta warisan. Hal itu karena sudah menjadi sifat manusia yang selalu menuruti hawa nafsu terutama terkait dengan kecintaannya terhadap harta. Bahkan karena sengketa harta itu juga mengakibatkan terjadinya pertengkaran dan permusuhan yang berkepanjangan dalam suatu keluarga. Hal tersebut sangat memilukan dan tidak boleh terus berlanjut. Dengan adanya hukum waris Islam yang sudah mengatur siapa individu yang berhak dan tidak berhak, serta berapa bagian masing-masing secara sangat terperinci, maka jika aturan itu diikuti secara sempurna berdasarkan kesadaran akal dan hati dan penuh ketaatan atas perintah Allah, tentunya hal-hal di atas tidak perlu terjadi.

e. Sarana distribusi ekonomi. Manusia sebagai khalifatullah di muka bumi mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam. Gelar khalifah yang disandang manusia seharusnya menjadi tantangan bagi kesiapan dan kemampuan manusia untuk mengelola bumi dan isinya. Antara menjaga kelestarian alam dengan

(29)

24

pemanfaatan hasil bumi untuk kebutuhan hidup manusia saat ini dan generasi yang akan datang. Sebagai makhluk yang diberi kewenangan mengelola semua kekayaan yang terkandung dalam alam ini, manusia tentunya berwenang juga untuk memiliki harta kekayaan sesuai dengan kebutuhannya.

Karena itu, Islam selaku agama yang sarat dengan aturan hukum unutk menjamin kemaslahatan umat manusia, juga berperan dalam hal mengatur distribusi harta kekayaan yang dimiliki oleh manusia, baik secara perorangan maupun kolektif. Dalam teori ekonomi kepemilikan harta dapat dilakukan dengan cara transaksi bisnis, akad tabarru’. Tukar-menukar, jual beli dan cara lainnya yang halal.

Dalam hukum kewarisan Islam, jelas diatur secara rinci tentang siapa yang berhak menerima, berapa bagian harta yang berhak diterima, serta bagaimana metode pembagiannya. Bahkan tidak ada aturan hukum yang lebih rinci dibandingkan dengan hukum kewarisan Islam. karena itu, jika dilakukan pembagian sesuai dengan ketentuan yang sudah jelas dan rinci tersebut, dan semua ahli waris memahami tujuan-tujuan sosio-ekonominya , maka tidak akan memnculkan persoalan dan sengketa tentang harta waris.25

4. Asas Hukum Kewarisan

25 Maimun Nawawi, Pengantar Hukum., 8-13.

(30)

25

Setidaknya ada lima prinsip filosofis hukum kewarisan Islam yang dapat disepakati oleh para ahli hukum Islam sehingga ia dijadikan asas hukum waris, yaitu asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas peristiwa kematian.

Asas Ijbari dimaksudkan bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.26 Istilah Ijbari dari kata Jabbar yang berarti kekuasaan atau pemaksaan. Maksudnya ialah hak waris itu menjadi ada bagi ahli waris karena adanya ketetapan atau ketentuan Allah dalam syariat-Nya.

Berdasar asas ini pula maka ketentuan itu tak dapat diubah sedikitpun oleh siapapun karenanya ia dianggap sebagai hukum yang mutlak (Compulsary law). Secara kebahasaan pula, istilah ijbari berarti mengikat. Studi atas istilah ijbari dalam semiotika bukan hanya dapat berarti mengikat tetapi juga memaksa yang bila dikaitkan dengan hukum pidana seharusnya ada sanksi terhadap pelaku penyimpangan terhadapnya. Asas ini juga mengartikan bahwa tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak.27

Prinsip dalam asas ijbari ini juga membedakan hukum waris Islam dengan hukum lain. Misalnya tradisi testamenter dalam hukum barat

26 Sukris samardi, Hukum Waris., 37

27 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, cet. ke-3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 19

(31)

26

membolehkan seseorang untuk mengkondisikan hak kewarisan kepada orang yang disuka atau ditunjuknya. Asas ijbari secara sosiologis menunjuk pada prinsip hukum kekeluargaan atau kekerabatan yang kuat. Bahkan ahli waris sendiri tidak berhak untuk menolak kewarisan itu. Sebagaimana juga ia hanya berkewajiban untuk membayar utang pewaris sebanyak jumlah yang ia terima atau sebatas harta yang ditinggalkan kepadanya tanpa harus lebih sebagai makna dari kalimat yusa aw dain dalamQ.S. al Nisâ 11, tetapi ahli waris tidak berkewajiban memikul utang yang ditinggalkan pewaris. Kewajibannya hanya sekedar menolong membayarkan utang pewaris dengan harta yang ditinggalkannya. Berdasarkan demikian secara yuridis pelaksanaan waris, membagi berdasar fard (bagian) masing-masing pada yang berhak oleh para yuris Islam diistilahkan dengan hukum faraid yang berarti fardhu atau wajib.

Asas Bilateral maksudnya sistem pembagian waris Islam bukan berdasarkan garis keturunan sepihak seperti garis bapak atau garis ibu namun dari kedua belah pihak-ibu bapak. Jenis kelamin seseorang bukan penghalang seseorang untuk mendapatkan hak warisnya. Hal ini dapat dilihat dari titah syar‘i, sebagai berikut :

ِناَدِلا َوْلا َك َرَت اهمِم ٌبْي ِصَن ِءاَسِ نلِل َو َن ْوُب َرْقَ ْلأا َو ِناَدِلا َوْلا َك َرَت اهمِم ٌبْي ِصَن ِلاَج ِ رلِل

ااض ْو ُرْفَم اابْي ِصَن َرُثَك ْوَأ ُهْنِم هلَق اهمَم َن ْوُب َرْقَ ْلأا َو

(32)

27

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Q.S. al Nisa 7

Asas bilateral ini pula terjadi kepastian perolehan masing-masing ahli waris yang dikenal dengan istilah ashab al-furud. Lelaki dan perempuan keturunan pewaris beroleh haknya masing-masing menurut ketentuan yang pasti dalam ketetapan syar‘i. Secara esoterik filosofinya, lelaki dan perempuan tidak dibedakan kedudukan. Karenanya mereka berhak memperolehnya dari turun ayah dan ibunya. Konsep ini menjadi mengeloborasi dalam konsep sosiologis di mana bagian lelaki dan perempuan berbeda fard (bagian hak warisnya) karena berbeda tanggung jawabnya dalam hukum kekeluargaan (kekerabatan). Ini berkait erat dengan kewajiban hukum bagi lelaki untuk mencari nafkah, wali bagi saudara perempuannya, menjaga dan memelihara harta dan pemimpin dalam melaksanakan tugas kewajiban pewaris seperti wasiat dan hibah serta tanggung jawab sosial keluarga.

Asas Individual ialah harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Berdasarkan asas individual ini pula, sesuai pendapat umum hukum Islam dikenal garis

(33)

28

hukum kewarisan ada tiga kelompok yaitu dzawil faraid, ashabah dan dzawil- arham.

Dzaw al-faraid terdiri dari empat orang laki-laki (ayah, kakeh shahih seterusnya ke atas, saudara laki-laki seibu dan suami pewaris), delapan orang perempuan (istri pewaris, anak perempuan, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, anak perempuan dari anak laki-laki/cucu perempuan pancar laki-laki, ibu dan nenek shahihah seterusnya ke atas). Mereka sering disebut dengan ashab al-furud yang merupakan sekelompok orang yang menerima jumlah saham tertentu secara nas. Jumlah 12 orang tersebut, terdiri dari dua kelompok yakni 10 orang kelompok nasabiyah ialah mereka yang selain suami istri (ashab al-furud nasabiyah: kelompok orang yang berdasar hubungan darah), dan kelompok sababiyah yakni suami dan istri (ashab al- furud sababiyah: karena sebab perkawinan). Sedangkan ‘ashabah merupakan sejumlah orang yang tidak mempunyai fard atau bagian saham tertentu dengan kata lain mereka tidak mempunyai jumlah saham yang pasti yang terbagi kepada ashobah bi al-nafsi, ashabah bil-ghair dan ashabah ma'al ghair. Mereka sebagian besar ashab al- furud. Adapun dzawil-arham yakni mereka yang bukan ashab al- furud, ataupun yang termasuk ashabah. Berbeda dengan pendapat Hazairin yang membagi tiga bagian yaitu dzaw al-faraid, dzawil-qarabat dan mawali. Beliau menjelaskan tentang hubungan akrab antara seseorang dengan anaknya dan orang tuanya dengan kelompok-kelompok keutamaan.

(34)

29

Asas Keadilan yang berimbang ialah jumlah nilai bagian (fard) yang diperoleh ahli waris ialah seimbang dengan hak dan kewajibannya.

Seorang lelaki lebih besar tanggung jawabnya daripada seorang perempuan sehingga mengakibatkan hak perolehan bagian (fard) warisnya berbeda. Pembagian ini dikenal dengan sistem pembagian dua berbanding satu antara lelaki dengan perempuan. Sistematika tersebut berpengaruh pada derajat yang sama pada ahli waris, terkadang saling menguatkan antara garis turun berbeda dan terkadang saling menghijab.

Peristiwa kematian baik secara hakiki, hukmy maupun taqdiry, dianggap sebagai sebab masa berlakunya hukum kewarisan jika ia meninggalkan sejumlah harta miliknya dan memiliki ahli waris.28 B. Sumber Hukum Kewarisan Islam

Adapun sumber hukum waris Islam ialah sebagai berikut:

1. Ayat-ayat Al-qur’an a. Q.S An-Nisa (4): 7

ِنْيَدِلا َوْلا َك َرَت اهمِ م ٌبْي ِصَن ِلاَج ِ رلِل ِناَدِلا َوْلا َك َرَت اهمِ م ٌبْي ِصَن ِءاَسِ نلِل َو َن ْوُب َرْقَ ْلأا َو

اَض ْو ُرْفهم اابْي ِصَن َرُثَك ْوَأ ُهْنِم هلَق اهمِم َن ْوُب َرْقَ ْلأا َو

Artinya:”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta

peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-

28 Sukris samardi, Hukum Waris., 37-40

(35)

30

bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”29

b. Q.S An-Nisa (4): 8

ُنْيِكاَسَمْلا َو ىَمَتَيْلا َو ىَب ْرَقْلا ا ْوُل ْوُأ ُةَمْسِقْلا َرَضَح اَذِإ َو ْمُهَل اوُلوُق َو ُهْنِ م ْمُه ْوُق ُز ْراَف

ااف ْو ُرْعهم الا ْوَق

Artinya: ”Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”30

c. Q.S An-Nisa (4): 11

هنُهَلَف ِنْيَتَنْثا َق ْوَف اءآَسِن َنُك ْنِإَف ِنْيَيَثْنُ ْلاا ِ ظَح ُلْثِم ِرْكِ لِل ْمُكِدَل ْوَأ ْيِف ُ هاللَّ ُمُكْي ِصوُي ٍد ِحا َو ِ لُكِل ِهْي َوَبَ ِلأ َو ُفْصِنلا اَهَلَف اةَد ِحا َو ْتَناَك ْنِإ َو َك َرَت اَم اَثُلُث اهمِم ُسُدُّسلا اَمُهْنِ م

ُهَل َناَك ْنِإَف ُثُلُّثلا ِهِ مُ ِلَِف ُها َوَبَأ ُهَث ِر َو َو ٌدَل َو ُهَل ْنُكَي ْمَل ْنِإَف ٌدَل َو ُهَل َناَك ْنِإ َك َرَت ْمُكُؤآَنْبَأ َو ْمُكُؤآَباَء ِنْيَد ْوَأ آهِب ى ِصوُي ٍةهي ِص َو ِدْعَب ْنِم ُسُدُّسلا ِهِ مُ ِلَِف ٌة َوْخِإ

َلا

اامْيِكَح اامْيِلَع َناَك َ هللَّ هنِإ ُههلا َنِ م اةَضْي ِرَف ااعْفَن ْمُكَل ُب َرْقَأ ْمُهُّيَأ َن ْو ُرْدَت

Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka

untuk) sank-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka

29 Al-qur’an surat An-Nisa’ ayat 7, Al-qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, (Semarang: Toha Putra, 1989), 116

30 Ibid.

(36)

31

bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta, dan untuk dua orang ibu- bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.

(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara merekaa yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini ialah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.31

d. Q.S An-Nisa’ (4): 12

ُب ُّرلا ُمُكَلَف ٌدَل َو هنُهَل َناَك ْنِإَف ٌدَل َو هنُههل ْنُكَي ْمهل ْنِإ ْمُكُج َو ْزَأ َك َرَت اَم ُفْصِن ْمُكَل َو ُع

ْعَب ْنِ م ْمُتْك َرَت اهمِم ُنُمُّثلا هنُهَلَف ٌدَل َو ْمُكَل َناَك ْ،ِإَف ٌدَل َو ْمُكهل ْنُكَي ْمهل ْنِإ ْمُتْك َرَت اهمِم ِد

ٌتْخُأ ْوَأ ٌخَأ ُهَل َو ٌةأ َرْمِوَأ اةَل َلًَك ُث َر ْوُي ٌلُج َر َناَك ْنِإ َو ٍنْيَد ْوَأ آَهِب َن ْوُص ْوُت ٍةَي ِص َو

31 Ibid., 117

(37)

32

َو ِ لُكِلَف ِدْعَب ْنِم ُثُلُّثلا ىِف ُءآَك َرُش ْمُهَف َكِلَذ ْنِم َرَثْكَأ اوُناَك ْنِإَف ُسُدُّسلا اَمُهْنِ م ٍد ِحا

ٌمْيِلَح ٌمْيِلَع ِ هاللَّ َو ِ هاللَّ َنِ م اةهي ِص َو ٍ رآَضُم َرْيَغ ٍنْيَد ْوَأ آَهِب ىَصوُي ٍةهي ِص َو

Artinya: “ Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang

ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak, jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak, jika kamu mempunyai anak maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang- hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudara- saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada

(38)

33

ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.32

e. Q.S An-Nisa’ (4): 176

ُرْما ِنِإ ِةَل َلًَكْلا ىِف ْمُكْيِتْفُي ُ هاللَّ ِلُق َكَنوُتْفَتْسِي اَهَلَف ٌتْخُأ ُهَل َو ٌدَل َو ُهَل َسْيَل َكَلَه اٌء

اهمِم ِناَثُلُّثلا اَمُهَلَف ِنْيَتَنْثا اَتَناَك ْنِإَف ٌدَل َو اَههل ْنُكَي ْمهل ْنِإ آَهُث ِرَي َوُه َو َك َرَت اَم ُفْصِن ٌمْيِلَع ٍءْيَش ِرَكهذلِلَف اءآَسِن َو الااَج ِ ر ٌة َوْخِإ ا ْوُناَك ْنِإ َو َك َرَت

Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).

Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal, dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah

32 Ibid.

(39)

34

menerangkan (hukum itu) kepadamu, supaya kamu tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”33 2. As-Sunnah

ٍساهبَع ِنْبا ِنَع ِهْيِبَأ ْنَع ٍس ُواَط ُنْبا اَنْثهدَح ٌبْيَه ُو اَنْثهدَح َلْيِعاَمْسِإ ُنْب ىَس ْوُم اَنْثهدَح اَمَف ,اَهِلْهَأِب َضِئ َرَفلا اوُق ِحْلَأ : َلاَق ملس و هيلع الله ىلص ِ يِبهنلا ِنَع اَمُهْنَع الله ىضر َكَذ ٍلُج َر ىَل ْوَلأا َوُهَف َيِقَب ٍر

“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan Ibn Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW bersabda:

“Berikanlah faraidh (bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas menjelaskan mengenai kewarisan anak baik laki-laki maupun perempuan, sebagai bentuk penjelasan dari Al-qur’an yang belum secara rinci memberikan bagian kepada anak laki-laki. Juga diketahui bahwa anak laki-laki berposisi sebagai penerima sisa harta waris (ashabah). Mengenai perolehan anak perempuan berpindah dari bagian yang telah ditentukan (al-furud al-muqaddarah) menjadi memperoleh bagian sisa (ashabah) jika bersama dengan anak laki-laki dengan bagian antara anak laki-laki dan anak perempuan 2 : 1 setelah

33 Ibid., 130

(40)

35

sebelumnya diberikan bagian-bagian tertentu kepada ahli waris yang menyertainya, misalnya bapak atau ibu dan sebagainya.34

ِدْبَع ْنَع َناَيْفُس ْنَع ٌعْيِك َو اَنْثهدَح َلااَق ٍدهمَحُم ُنْب ُّىَلَع َو َةَبْيَش ىِبَأ ُنْب ٍرْكَب ْوُبَأ اَنْثهدَح ِفْيَنُح ِنْب ِمْيِكَح ِنْب ِمْيِكَح ْنَع ِىِق َر ُّزلا َةَعْيِب َر ىِبَأ ِنْب ِشاهيَع ِنْب ِث ِراَحْلا ِنْب ِنَمْح هرلا ِ ى ِراَصْنَلأا ُهَلَتَقَف ٍمْهَسِب الًُج َر ىَم َر الًُج َر هنَأ ٍفْيَنُح ِنْب ِلْهَس ِنْب َةَماَمُأ ىِبَأ ْنَع

ِهْيَلِإ َبَتَكَف ُرَمُع ىَلِإ ِحا هرَجْلا ُنْب َةَدْيَبُع وُبَأ َكِلاَذ ىِف َبَتَكَف ٌلاَخ هلاِإ ٌث ِرا َو ُهَل َسْيَل َو و هيلع الله ىلص هيِبهنلا هنَأ ُرَمُع ُلاَخلا َو ُهَل ىَل ْوَم َلا ْنَم ىَل ْوَم ُهُل ْوُس َر َو ُ هللَّ : َلاَق ملس

ُهَل َث ِرا َو َلا ْنَم ُث ِرا َو

“Telah menceritakan kepada kamu Abu Bakr bin Abu Shaibah dan Ali bin Muhammad, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dari Abdurrahman bin al-Harith bin ‘Ayyasi bin Abu Rabi’ah al-Zuraqqi dari Hakim bin Hakim bin Abbad bin Huneif al- Ansari dari Abu Umamah bin Sahl bin Huneif, seseorang melempar seorang laki-laki lain dengan panahnya hingga membunuhnya, laki- laki ini tidak mempunyai ahli waris kecuali saudara laki-laki ibunya (paman), kemudian Abu ‘Ubadah mengirim surat kepada Umar dan Umar membalasnya bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah dan Rasulnya ialah wali bagi mereka yang tidak punya wali, dan saudara laki-laki ibu (paman) menjadi ahli waris bagi yang tidak ada ahli warisnya.” (HR. Ibnu Majah)

34 Maimun Nawawi, Pengantar Hukum., 26-27

(41)

36

Hadis di atas dipandang sebagai hadits Shahih. Kandungannya berisi tentang kewarisan dzawil arham. Yaitu para kerabat yang tidak termasuk dalam ahli waris penerima sisa dan penerima bagian tertentu berjumlah 12 rumpun. Kelompok kerabat ini ialah mereka yang berhak memperoleh warisan jika dalam kelompok kerabat penerima furud al- muqaddarah dan penerima sisa tidak ada seorangpun yang tersisa meskipun di sana masih terdapat suami atau istri. Meskipun demikian ada di antara para ulama yang berpendapat bahwa dzawil arham tidak berhak menerima harta waris meskipun kelompok ahli waris lain tidak ada sama sekali, bahkan kalaupun ada kelebihan harta, menurut pendapat ulama ini diberikann kepada baitulmal dan buka kepada dzawil arham, ulama ini antara lain Zaid Ibn Tsabit dari kalangan sahabat, yang diikuti oleh Imam Malik, al-Auza’I dan sebagainya.35

َب اَمَف اَهِلْهَأِب َضِئا َرَفلا اوُق ِحْلأ َمهلَس َو ِهْيَلَع هاللَّ ىلص ىِبهنلا َلاَق ٍرَكَذ ٍلُج َر ىَل ْوَ ْلَِف َيِق

)هيلع قفتم(

Nabi SAW bersabda: “berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya).” (HR al-Bukhari dan Muslim)

ْلا ُث ِرَي َلا )ملسم و ىراخبلا هاور( َمِلْسُمْلا ُرِفاَكْلا َلا َو َرِفاَكْلا ُمِلْسُم

35 Ibid., 27-29

(42)

37

”Seorang muslim tidak mewarisi harta orang non muslim dan orang non muslim pun tidak dapat mewarisi harta orang muslim.”(HR al- Bukhari dan Muslim)36

3. Al-Ijma’, yaitu kesepakatan kaum Muslimin menerima ketentuan hukum warisan yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan dalam mayarakat. Karena ketentuan tersebut telah diterima secara sepakat, maka tidak ada alas an untuk menolaknya. Para ulama mendefinisikan ijma’ ialah kesepakatan hukum syara’ mengenai suatu hal pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW.

4. Al-Ijtihad, yaitu pemikiran sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagi mujtahid, untuk menjawab persoalan- persoalan yang muncul, termasuk di dalamnya tentang persoalan pembagian warisan. Yang dimaksud di sini ialah ijtihad dalam menerapkan hukum (tathbiq al-ahkam), bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada. Misalnya, bagaimana apabila dalam pembagian warisan terjadi kekurangan harta, maka diselesaikan dengan menggunakan cara dinaikkan angka asal masalahnya. Cara ini disebut dengan masalah ‘aul. Atau sebaliknya jika terjadi kelebihan harta, maka ditempuh dengan cara mengurangi angka masalahnya, yang

36 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris., 26

(43)

38

ditempuh dengan cara mengurangi angka asal masalahnya, yang disebut dengan cara radd.37

C. Rukun dan Syarat Waris

Yang dimaksud rukun di sini ialah komponen yang harus ada dalam acara pembagian warisan. Ini ialah hal pertama yang harus dibahas terlebih dahulu sebelum menentukan yang lain. Bila rukun-rukun ini sudah ada semua barulah kita membicarakan syarat, sebab dan penghalang mendapatkan warisan.38

Rukun-rukun tersebut ialah:

1. Al-Muwarrits, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya, al-muwarits benar-benar telah meninggal dunia, apakah meninggal secara hakiki, secara yuridis (hukmi) atau secara taqdiri berdasarkan perkiraan.

a. Mati hakiki, yaitu kematian yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia.

b. Mati hukmi, ialah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meinggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang tanpa diketahui di mana dan bagaimana keberadaannya. Setelah dilakukan upaya-upaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut

37 Ibid., 27

38 Anshari Taslim, Belajar Mudah Ilmu Waris, (ttp,tp,tth), 6

(44)

39

dinyatakan meninggal dunia. Sebagai suatu keputusan hakim, maka ia mempunyai kekuatan hukum yang tetap dank arena itu mengikat.

c. Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang, atau tujuan lain yang secara lahiriah diduga dapat mengancam keselamatan dirinya. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.

2. Al-Warits atau ahli waris. Ahli waris ialah orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan (semenda), atau karena akibat memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya pada saat meninggalnya al- muwarrits, ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam pengertian ini ialah bayi, bayi yang masih berada janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka bagi si janin tersebut berhak mendapatkankan warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batasan minimal) dan atau paling lama (batas maksimal) usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan. Masalah ini akan dibahas tersendiri dalam pembahasan tentang al-haml.

(45)

40

Ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu bahwa di antara al- muwarrits dan al-warits tidak ada halangan untuk saling mewarisi.

3. Al-Mauruts atau al-mirats, yaitu peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan utang dan pelaksanaan wasiat.39 D. Macam-macam Ahli Waris

Ahli waris dalam bahasa arab dikenal dengan al-warith, yaitu orang yang berhak menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia. Orang-orang yang masuk ke daftar ahli waris sudah ditentukan keberadaannya secara ijbari melalui aturan-aturan normatif baik dari al-Qur’an dan hadits maupun dari hasil penafsiran atas kedua sumber di atas. Dengan demikian tidak seorangpun bisa mengupayakan untuk masuk menjadi anggota ahli waris dari seseorang dan juga sebaliknya. Tidak ada seseorang yang bisa menghapus atau menghilangkan hak seseorang untuk keluar dari daftar ahli waris yang sah.

Seperti telah dijelaskan pada bagian lain, bahwa seseorang yang termasuk dalam daftar ahli waris karena adanya hubungan kekerabatan, hubungan pernikahan dan hubungan kerabat karena memerdekakan hamba sahaya. Adanya faktor hubungan kekerabatan tersebut juga belum cukup menjadikan seseorang berhak menerima warisan jika belum terpenuhi syarat-syarat menjadi ahli waris. Syarat syarat tersebut ialah: 1) ahli waris tersebut dalam keadaan hidup saat kematian pewaris, 2) tidak dalam kondisi

39 Ahmaf Rafiq, Fiqh Mawaris., 28-29

Referensi

Dokumen terkait

(3) Dalam hal wakil ketua berhalangan hadir karena alasan kedinasan, sakit, atau alasan lainnya yang sah pada saat persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka

Kekuatan dari suatu bahan gigi tiruan juga tergantung pada kekuatan bahan aklirik  yaitu molekul dari polimer yang telah dicuring, jumlah kandungan sisa monomer, banyak

Pengetahuan yang baik tentang menarche akan mempengaruhi kesiapan remaja putri dalam menghadapi menarche , hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Kultivasi mikroalga dalam kondisi yang sesuai dengan jenisnya dilakukan agar dapat menghasilkan biomassa yang melimpah.Menurut Bold and Wynne (1985), perkembangbiakan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk cair organik EM4 dari kulit pepaya pada pertumbuhan sawi dan mengetahui perbedaan pertumbuhan tanaman sawi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) profil budaya berakhlak berprestasi (2) bentuk perilaku menyimpang yang dilakukan siswa/siswi SMA Darul Hikam (3) upaya

Menurut ulama fiqh, pematokan harga oleh pihak pemerintah harus memenuhi persyaratan syariah, yaitu (a) komoditas atau jasa itu sangat dibutuhkan masyrakat luas,

Untuk mengetahui lebih mendalam ada beberapa alasan timbulnya komersialisasi pendidikan yaitu: 1) Pemerintah kurang mampu mengelola pendidikan sebagai sektor publik