• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewarisan Beda Agama dalam CLD-KHI dan Kerangka Berfikir CLD-KHI dalam Pembentukan Hukum Islam

ةكرتلا نم ثراو لك بيصن اهب ةيباسحو ةيهقف دعاوق (Kaidah-kaidah fiqh dan cara perhitungan yang dengannya dapat

HASIL PENELITIAN

B. Kewarisan Beda Agama dalam CLD-KHI dan Kerangka Berfikir CLD-KHI dalam Pembentukan Hukum Islam

Salah satu pembahasan dalam ilmu mawaris ialah pembahasan tentang penyebab kewarisan dan penghalangnya. Penyebab seorang berhak menerima warisan ialah adanya hubungan perkawinan, kekerabatan dan memerdekakan budak. Sedangkan penghalang kewarisan ialah

62 Marzuki Wahid, Fiqih Indonesia., 208

63 Tim Penyusun Gender Departemen Agama RI, Pembaharuan Hukum., 7-8

64 Marzuki Wahid, Fiqih Indonesia., 209

80

pembunuhan, perbudakan dan perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan pewaris. Dengan kata lain penghalang-penghalang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab untuk mewarisi.65

Dasar hukumnya ialah hadis Rasulullah riwayat al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut:

) هيلع قفتم ( َمِلْسُمْلا ُرِفاَكْلا َلا َو َرِفاَكْلا ُمِلْسُمْلا ُث ِرَي َلا

“Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.” (Muttafaqun ‘alaih)

Hal ini diperkuat lagi dengan petunjuk umum ayat 141 surat Al-Nisa’ sebagai berikut:

/ ءاسنا( الًِبَس َنْيِنِم ْؤُمْلا ىَلَع َنْي ِرِفاَكْلِل ُ هاللَّ َلَعْجَي ْنَل َو 141

)

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir (untuk menguasai orang-orang mukmin).” (Q.S Al-Nisa’ [4] : 141).

Dalam pembahasan hukum kewarisan KHI telah disebutkan bahwa salah satu penghalang dari hak-hak kewarisan ialah adanya perbedaan agama antara Muwarris dengan ahli warisnya. posisi perbedaan agama keduanya menjadi penghalang serius dari keberadaan hak-hak waris,

65 Ilyas, “Kedudukan Ahli., 174

81

sebagaimana hadits riwayat al-Bukhari sebutkan: “Tidak mewariskan seorang Muslim Terhadap orang kafir, dan tidak mewariskan orang kafir terhadap orang Muslim”. Demikian juga hadis yang mengatakan: la yatawarasu ahlu millataini syatta. Perbedaan agama menjadi penghalang dari seluruh pewarisan sehingga seorang Muslim tidak akan dapat mewarisi dari maupun wariskan non-Muslim.

Pendapat di atas mendapat penentangan dari beberapa pemikir kontemporer. Abdullah Ahmad an-Na’im menyebutkan hal itu termasuk bentuk diskriminasi dalam hukum keluarga dan hukum perdata syariah.

Menurutnya juga, bentuk pengabdian perbedaan tentang pembenaran-pembenaran historis dari berbagai masalah diskriminasi terhadap perempuan dan non-Muslim di bawah syariah tidak lagi dapat dibenarkan.

An-Na’im menyebut bahwa diskriminasi atas nama agama dan gender di bawah Syariah telah melanggar penegakan hak asasi manusia.

Diskriminasi atas dasar agama telah dibangun dengan berbagai sebab besar dari konflik dan perang internasional. Negara-negara yang setuju mungkin didorong untuk bertindak melakukan diskriminasi dan kekerasan atas nama agama, sehingga mereka menciptakan situasi konflik internasional dan perang. Diskriminasi terhadap gender maupun agama secara moral tertolak dan secara politik tidak dapat diterima dalam konteks saat ini. An-Na’im menegaskan bahwa ketentuan syariah yang mengajarkan

82

diskriminasi tersebut haruslah di-mansukh (dihapus) oleh ketentuan syariah yang lebih universal.66

Senada dengan an-Na’im, Asgar Ali Engineer menyebut sebuah masyarakat yang Islami tidak akan mengakui adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, baik berdasarkan ras, suku, agama dan kelas.67 Menurut Asgar, konsep at-tauhid dalam Islam tidak sebatas monoteisme murni tetapi meluas mencakup dimensi sosiologis. Harus diingat, kesatuan manusia tidak boleh direduksi hanya untuk kesatuan antar iman saja. Karena pada dasarnya kesatuan manusia yang sesungguhnya melintasi garis-garis keyakinan.

Pembentukan hukum Islam mesti dikaitkan dengan konteks yang ada, situasi dan kondisi dimana hukum tersebut dilahirkan, yang kesemuanya itu dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia. Konteks maslahah di zaman modern mesti perumusannya identic dengan kebebasan, persamaan hak dan derajat. Dalam konteks pewarisan beda agama, Asgar Ali Engineer melihatnya tidak mashlahah dalam situasi kekinian. Konsepsi kafir (non-Muslim) sebagaimana dirumuskan para ulama klasik dianggapnya tidak relevan dalam kondisi kekinian.

Dari dominasi pendapat ulama klasik dalam KHI di atas, mendorong beberapa pemikir Islam kontemporer, seperti Abdullah Ahmad An-Na’im, Asghar Ali Engineer dan lainnya untuk mengubah materi di

66 Muhammad Ulil Abshor, Modernisasi Hukum., 105

67 Asgar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, (Yogyakarta: LkiS dan Pustaka Pelajar, 1993), 94

83

dalam KHI karena dianggap sudah tidak dengan situasi dan perkembangan zaman kontemporer. Para pemikir itu mengajukan CLD-KHI. Naskah ini menurut tim penyusun CLD-KHI menawarkan sejumlah pemikiran pembaharuan hukum keluarga Islam yang disusun dalam RUU Hukum Perkawinan Islam, RUU Hukum Kewarisan Islam, dan RUU Hukum Perwakafan Islam.68

Selama hampir dua tahun bekerja (2003-2004) tim berhasil menyusun naskah CLD-KHI. Dlama buku seteball 125 halaman, CLD-KHI tidak saja memuat pasal-pasal yang menjadi tawaran pokok pemikirannya, melainkan juga menyertakan latar belakang, agenda dan cita-cita, serta mekanisme dan metode penyusunan hukum Islam. secara keseluruhan, naskah CLD-KHI dimaksudkan sebagai seperangkat rumusan hukum Islam yang dapat menjadi referensi dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan, yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum perempuan, meratanya nuasa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemashlahatan bagi seluruh umat manusia.

Sesuai dengan pemikiran di atas, konsepsi yang terumuskan dalam Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam mengubah total nuansa ketidakadilan yang ada dalam kompilasi Hukum Islam. rumusan KHI memosisikan perbedaan agama menjadi penghalang kewarisan, dalam CLD-KHI perbedaan agama antara muwarris dan ahli waris tidak dijadikan alas an penghalang dari adanya hak waris. Perumus CLD-KHI beranggapan

68 Muhammad Ulil Abshor, Modernisasi Hukum., 106-107

84

bahwa pemposisian perbedaan agama sebagai penghalang hak waris telah mencederai terhadap nilai ketidakadilan, kemanusiaan dan diskriminatif.

Berikut ialah tabel rumusan tim CLD-KHI dibanding dengan rumusan KHI-Inpres terkait dengan persoalan hak kewarisan, yaitu:69

No Materi KHI CLD-KHI

Bagian anak laki-laki dan perempuan 2:1

Proporsinya sama 1:1 atau 2:2 (Pasal 8[3])

69 Iibd., 108

85

Table di atas cukup tegas di mana letak perbedaan antara konsepsi KHI dan CLD-KHI. Perbedaan prinsipil antara nalar CLD-KHI dengan KHI terletak pada perspektif dan pendekatan yang digunakan serta lanskap yuridis pembentukan hukum dijadikan pijakan. Tim CLD-KHI secara terang-terangan menyebutkan bahwa perspektif yang digunakan dalam merumuskan hukum keluarga Islam ialah keadilan gender, pluralism, hak asasi manusia dan demokrasi. Menurutnya, pendekatan ini selain akan mengantarkan Syariat Islam menjadi hukum publik yang dapat diterima oleh semua kalangan, juga akan kompatibel dengan kehidupan demokrasi modern.

Nalar pembentukan hukum ini bekerja di bawah paying visi hukum Islam yang dicita-citakan, yakni pluralisme (ta’addudiyyah), nasionalitas (muwathanah), penegakan HAM (iqamat al-huqu al-insaniyyah), demokratis (dimuqrathiyyah), kemaslahatan (maslahat), dan kesetaraan gender (al-musawah al-jinsiyyah). Keenam prinsip dasar ini merupakan kerangka yang menjiwai seluruh ketentuan hukum Islam versi CLD-KHI.

Sesuai dengan perspektif yang dipakai, visi yang dicita-citakan dan pendekatan yang digunakan, CLD-KHI tidak saja menawarkan pokok-pokok ketentuan hukum Islam yang berbeda dengan KHI, tetapi juga mengubah paradigm banyak hal, relasi laki-laki dan perempuan, Islam non-Islam, suami dan istri, orang tua dan anak, dan lainnya. Selain itu, dalam konteks politik hukum, CLD-KHI memposisikan hukum Islam ke dalam

86

kerangka hukum nasional dan perubahan relasi gender pada masyarakat Indonesia pasca Orde Baru. Perubahan relasi gender, baik dalam skala nasional maupun global, membutuhkan adanya rumusan hukum Islam yang sesuai dengan perubahan tersebut.

Konsepsi pemikiran dalam KHI yang saat ini masih diberlakukan di Indonesia sangat tegas menyandarkan pendapatnya pada para ulama klasik terutama pendapat tunggal Imam Syafi’i. sedangkan konsepsi pemikiran dalam CLD-KHI sangat tegas menginspirasikan pemikirannya pada ijtihad para pemikir Islam kontemporer seperti Abdullah Ahmad An-Na’im, Asgar Ali Engineer, dan para pemikir Islam mutakhir lainnya.

Para pengusung CLD-KHI semestinya diapresiasi oleh pemerintah Indonesia karena gagasan mereka ialah tawaran ijtihad fikih kontemporer sebagai respons atas situasi dan kondisi sosial yang berkembang. Apalagi kita harus paham bahwa ijtihad fikih masih terbuka sampai hari ini. Imam Syafi’I saja semasa hidupnya mampu melahirkan qaul qadim dan qaul jadid yang antara keduanya berbeda dalam menyikapi suatu persoalan sosial. Di tengah situasi dan kondisi Indonesia yang jelas berbeda dengan dunia Arab, ditambah dengan perkembangan zaman yang telah berubah, maka alam konteks keIndonesiaan butuh fikih yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya.70

C. Relevansi Kewarisan Beda Agama yang Ada di Dalam CLD-KHI