• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA

D. Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial

Suatu Negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum, sebagaimana ditentukan dalam

pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, maka

independensi peradilan dan independensi hakim merupakan unsur esensial dari Negara hukum (rechtsstaat atau rule of law) tersebut. Oleh karena pentingnya prinsip ini, maka konsepsi pemisahan kekuasaan diantara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta konsepsi independensi peradilan, telah dipandang sebagai konsepsi yang fundamental sehingga diangkat sebagai salah satu unsur utama dari konstitusi dan merupakan jiwa dari konstitusi itu sendiri. Bahkan, ketika UUD 1945 belum diubah pun, dimana ajaran pemisahan kekuasaan tidak dianut, prinsip kekuasaan dan independensi kekuasaan kehakiman sudah ditegaskan, dan hal itu sudah tercermin dalam pasal 24 dan penjelasan pasal 24 tersebut. Sekarang setelah UUD 1945 diubah dari perubahan pertama hingga keempat, dimana cabang-cabang kekuasaan Negara dipisahkan berdasarkan prinsip checks and balances, maka pemisahan kekuasaan yudikatif dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya semakin diperjelas sehingga independensi kekuasaan kehakiman disamping bersifat fungsional juga

108

bersifat struktural yaitu dengan diadopsinya kebijakan satu atap sebagaimana diatur dalam pasal 13 ayat (1) UUKK.109

KY adalah lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi (constitutionally based power). Artinya, sebagai lembaga Negara yang bersifat mandiri dalam tugasnya Komisi Yudisial sebagaimana telah ditentukan dalam UUD, kewenangan Komisi Yudisial juga diberikan dan diatur dalam UUD. Kewenangan yang mengeksklusifkan dan membedakan Komisi Yudisial dari lembaga-lembaga lain. Dengan konstruksi demikian, KY memiliki legitimasi yuridis amat kuat dalam struktur ketatanegaraan.110

Membicarakan tugas Komisi Yudisial di Indonesia sudah pasti merujuk pada ketentuan pasal 24B perubahan ketiga UUD 1945. Apalagi sampai saat ini Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial belum ditetapkan sebagai Undang-undang. Oleh karena itu Konstitusi menjadi rujukan utama dalam melihat Komisi Yudisial di Indonesia.111

Pasal 24B berisi empat ayat, yaitu (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; (4) Susunan, Kedudukan, dan Keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-Undang.

109

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 146.

110

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 151.

111

Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 177-178.

Dari keempat ketentuan tersebut, ada dua (2) hal yang berkaitan dengan tugas Komisi Yudisial, yaitu: mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan keluhuran martabat, serta prilaku hakim.112

Walaupun demikian, beberapa peranan Komisi Yudisial RI tersebut diatas khususnya kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung diperkirakan sangat berkaitan dengan proses seleksi yang dilembagakan dalam suatu lembaga Negara. Tentu saja ada dampak positif terhadap hasil kerja yang diharapkan. Anggota Komisi Yudisial dapat bekerja maksimal dan bersifat mandiri dalam rangka memilih Hakim Agung yang berkualitas, potensial, mengenai hukum dan professional. Anggota Komisi Yudisial lebih mapan dan terjamin sebab dibentuk berdasarkan UUD dan pelaksana tugasnya dipayungi oleh suatu Undang-Undang.113

Sebagai lembaga tinggi negara yang lahir dari tuntutan reformasi hukum dan bertugas untuk melakukan reformasi lembaga peradilan, tentu saja Komisi Yudisial tidak mungkin membiarkan terus berlangsungnya praktek penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena itu, Komisi Yudisial perlu melakukan langkah-langkah pembaharuan yang berorientasi kepada terciptanya lembaga peradilan yang sungguh-sungguh bersih dan berwibawa guna menjamin masyarakat dan para pencari keadilan memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.114

112

Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 177-178.

113

Harian Kompas 26 Agustus, 2006.

114

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.

Kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana dikemukakan di atas merupakan upaya untuk mengatasi berbagai bentuk penyalah-gunaan wewenang di lembaga peradilan yang dimulai dengan mengawasi perilaku hakim, agar para hakim menunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena itu, apabila fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial itu berjalan efektif tentu dapat mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim untuk senantiasa menjalankan wewenang dan tugasnya sebagai pelaksana utama kekuasaan kehakiman sesuai dengan kode etik, code of conduct hakim dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di sinilah sesungguhnya letak peranan penting dari Komisi Yudisial dalam upaya mendukung penegakan hukum di Indonesia.115

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka eksistensi Komisi Yudisial menjadi sesuatu yang sangat urgen. Namun, meskipun salah satu kewenangannya menjaga kehormatan dan martabat penegak keadilan, akan tetapi lembaga Komisi Yudisial tersebut tidak dimaksudkan sebagai lembaga tandingan ataupun berada pada posisi yang berhadap-hadapan dengan lembaga peradilan. Komisi Yudisisal juga secara khusus bukanlah lembaga pengawas peradilan arau pengawas kekuasaan peradilan. Selain ini, Komisi Yudisial juga bukanlah lembaga penegak hukum, melainkan lembaga penegak kode etik dan prilaku yang menyimpang dati para hakim dari standar kode etik sebelum pelanggaran tersebut berkembang menjadi pelanggaran hukum (deviation agains legal norms). Namun, pemeriksaan dan pengawasan yang dilakukan Komisi ini sangat penting untuk mendorong agar para hakim dapat memperbaiki diri dari prilaku yang tidak terpuji jika ditemukan

115

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.

indikasi pelanggaran hukum, Komisi Yudisial juga dapat meneruskannya keaparat penegak hukum utuk diproses hukum selanjutnya.116

Keberadaan KY sebagai lembaga Negara diatur dalam pasal 24B UUD 1945 yang

menyatakan: “Ayat (1): komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; Ayat (2): Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak terecela; Ayat (3): Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan dari DPR; Ayat (4): Susunan, kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan UU.”117

Berdasarkan ketentuan UUD1945 di atas, setidaknya diatur beberapa hal mengenai KY, yaitu: (1) Sifat lembaga Negara yang benama KY; (2) Kewenangan Konstitusional KY; (3)Persyaratan menjadi anggota KY; (4) lembaga Negara yang berwenang mengangkat dan memberhentikan KY; dan (5) pengturan susunan, kedudukan, dan keanggotaan KY.118

Selanjutnya sebagai operasionalisasi penjabaran ketentuan pasasl 24B UUD 1945 tersebut di atas disahkan pula Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Pasal 13 UU No. 22 Tahun 2004, menentukan bahwa dalam kedudukannya sebagai lembaga Negara, KY diberi kewenangan antara lain: (1) Mengusulkan pengangkatan hakim

116

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.

117

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 6.

118

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007),Cet. Pertama, hlm. 6.

agung kepada DPR, (2) Menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.119

Dalam melaksanakan wewenang tersebut, KY mempunyai tugas, antara lain: (1) Melakukan pendaftaran calon hakim agung; (2) Melakukan seleksi calon hakim agung; (3)

Menetapkan hakim agung; dan (4) mengajukan calon hakim agung k‟ DPR. Sedangkan dalm rangka melakukan kehormatan dalam keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, KY mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap prilaku hakim.120

Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Komisi Yudisial memiliki dua wewenang utama yaitu: (1) mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan (2) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Adapun tugas Komisi Yudisial merupakan pengejawantahan dari dua wewenang diatas. Sejauh ini Komisi Yudisial telah melaksanakan wewenang pertama dengan baik. Sampai saat ini Komisi Yudisial telah menyelenggarakan tujuh kali seleksi Hakim Agung dan sudah menghasilkan 20 Hakim Agung. Saat ini Komisi Yudisial sudah menyelesaikan penyelenggaraan seleksi HakimAgung pada tahun 2011 dan menyerahkan 18 nama ke DPR untuk dilakukan fit and proper test. Nama-nama tersebut sudah diserahkan ke pimpinan DPR pada awal Agustus 2011. Berbeda dengan wewenang pertama, dalam menyelenggarakan wewenang kedua Komisi Yudisial masih memiliki kendala lantaran belum ada kesepahaman dengan Mahkamah Agung. Meski demikian, sejak Komisi Yudisial

119

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 7.

120

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 7.

berdiri telah memanggil 412 hakim untuk dimintai keterangan. Hasilnya sebanyak 123 hakim direkomendasikan ke Mahkamah Agung untuk dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap dari jabatan hakim. Prosentase rekomendasi tersebut 55% mendapatkan teguran tertulis, 32% direkomendasikan pemberhentian sementara, dan 13% berupa pemberhentian tetap.121

Dengan adanya Komisi Yudisial ini diharapkan bahwa sistem rule of ethics dapat dikembangkan secara efektif dalam praktek, disamping sistem rule of law yang perlu terus dimantapkan peranannya. Jika pelaksanaan tugas Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, dan prilaku hakim-dalam istilah lain disebut moralitas- dapat dijalankan dengan baik, maka secara tidak langsung pasti akan berpengaruh terhadap upaya membangun sistem peradilan yang terpercaya (respectable judiciary) dan terbebas dari praktek korupsi dan kolusi serta jeratan mafia peradilan. Oleh karena itu, keberhasilan pelaksanaan tugas Komisi Yudisial itu sendiri juga penting untuk membersihkan pengadilan dari segala praktek yang kotor.122

121

Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.

122

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.

Universitas Islam Negeri

64

ANALISA HUKUM ISLAM TENTANG PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN

A. Analisa Hukum Islam Terhadap Reformasi Peradilan

Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia

yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat untuk seluruh anggotanya.” Bila dikaitkan definisi ini

dengan Islam atau Syara‟, maka hukum Islam berarti; seperangkat peraturan berdasarkan

wahyu Allah dan sunnah Rosul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat semua orang beragama Islam.” Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan, hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan

yang mengikat baik di dunia maupun di akhirat. Kata yang “berdasarkan wahyu dan sunnah Rosul” menjelaskan bahwa peraturan itu digali dari wahyu Allah dan sunnah Rosul; atau

yang populer disebut dengan Syari‟at. Kata tentang tingkah laku manusia mukallaf

mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tingkah laku lahir manusia yang dikenai hukum.123

Reformasi, barasal dari kata “re” dan “formasi”. “Re” berarti “kembali” dan “formasi”

berarti “susunan”. Reformasi berarti pembentukkan atau penyusunan kembali. Kata “reform

diartikan sebagai; membentuk, menyusun, mempersakutukan kembali. Reformasi juga berarti; perubahan secara drastis untuk perbikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Reformasi ialah melakukan suatu perubahan dengan penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi, atau kebijakan yang berkaitan dengan

123

hukum dan peradilan dengan berbagai aspeknya dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan pengertian tersebut, reformasi sesungguhnya bisa bermakna perubahan atau pembaharuan menuju pada tatanan kehidupan yang lebih baik.124

Sedangkan kata “peradilan” berasal dari kata “adil”, dengan awalan “per” dan imbuhan “an”. Kata “peradilan” terjemahan dari “qadha”, yang berarti “memutuskan”, “menyelesaikan”. Dan umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan. Kata “Peradilan” menurut istilah ahli figh adalah sebagai berikut: (a) Lembaga hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan), (b) Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya. Jadi peradilan ialah suatu lembaga atau tempat untuk mencari keadilan.125

Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti

menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu hukum. Karena hukum itu sebenarnya telah ada dan dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan hukum umum, dimana hukum Islam itu (syariat) telah ada sebelum manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.126

Mengingat reformasi selalu dikaitkan dengan masalah hukum, maka reformasi sesungguhnya bisa diartikan sebagai sebuah proses perubahan tatanan hukum, dalam hal ini adalah konstitusi untuk menuju pada tatanan dan kehidupan hukum masyarakat yang lebih

124

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 39-40.

125

Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007), Cet. Pertama, hlm. 2.

126

baik, sejahtera, adil, dan makmur. Keadilan yang dimaksud bukan saja dalam struktur tatanan konstitusinya, akan tetapi keadilan dalam keseluruhan untuk masyarakat. Ini sesuai dengan Al-Qur‟an Surat An-Nahl ayat: 90 dan Surat An-Nisa‟ ayat 58.127

Di dalam Al-Qur‟an Surat An-Nahl ayat: 90, telah dijelaskan supaya kita berbuat adil. Diantara Firman Allahdalam Surat An-Nahl ayat 90 yaitu:

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Dan dalam Surat An-Nisa‟ ayat 58 juga disebutkan:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik- baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”128

Asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka menurut Bagir Manan, terkandung tiga unsur pengertian yaitu; pertama, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah

127

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 45.

128

Mohammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, (Semarang: Darul Ikhya Indonesia, 1980), Cet. Pertama, hlm. 54.

kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan (fungsi yustisial), kebebasan ini mencangkup kebebasan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Kedua, kekuasaan peradilan yang merdeka mengandung makna larangan bagi kekuasaan ekstra yustisial, maka kekuasaan peradilan tertentu dimungkinkan mencampuri pelaksanaan fungsi peradilan lainnya. Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka diadakan dalam rangka terselenggaranya negara berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat).129

Di Era reformasi, tonggak awal kemandirian kekuasaan kehakiman ditandai dengan adanya amandemen UUD 1945, terutama pasal 24 ayat (1) yang mengharuskan kekuasaan kehakiman bersifat merdeka dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.untuk mewujudkan prinsip kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yudikatif tersebut, maka lahirlah Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.130

Pada dasarnya kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, sebagaimana pasal

3 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 disebutkan juga bahwa “segala campur tangan dalam urusan

peradilan oleh pihak lain diluarkekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945”, namun demikian rumusan diatas telah menyatakan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan hanya diperbolehkan jika Undang-Undang Dasar 1945 telah menyatakannya.131

129

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 109.

130

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 185.

131

Taufiqurrohman Syahuri, Penguatan Fungsi dan Tugas Konstitusional Komisi Yudisial, (Jakarta: Pusat Data dan Layanan Informasi, 2009), Cet. Pertama, hlm.6.

Regulasi kekuasaan kehakiman pada era reformasi ada beberapa tahap, antara lain; (1) lahir ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan itu menjadi dasar yuridis bagi penyelenggaraan negara agar menjalankan prinsip tata kelola yang baik. (2) UU No. 14 Tahun 1970 dalam perkembangannya mengalami perubahan menjadi UU No.35 Tahun 1999. UU tersebut lahir setelah berakhirnya masa pemerintahan orde baru. (3) Era kekuasaan kehakiman dibawah kontrol penuh dari aspek organisasi, finansial, dan administratif oleh Mahkamah Agung atau kekuasaan kehakiman di satu atap. Masa ini disebut one roof of justice system. (4)pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dengan eksekutif dari sistem satu atap yang melahirkan konsep independensi kekuasaan kehakiman. (5) sepuluh tahun kemudian lahirlah UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang memperkuat independensi kekuasaan kehakiman, (6) dalam UU tersebut lahirjuga Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. (7) Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, sedangkan Komisi Yudisial menjadi pengawas kekuasaan kehakiman dan menyelenggarakan seleksi calon hakim agung.132

Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, ketiga badan kekuasaan Negara yaitu: Sultah Tanfiziyyah (kekuasaan penyelenggara Undang-undang), Sultah Tasyri‟iyyahh (kekuasaan pembuatUndang-undang), Sultah Qadhaa‟iyyah (kekuasaan kehakiman), itu belum di pisashkan dari wilayah kekuasaan yang ada tetapi masih berad pada satu tangan yaitu penguasa atau kepala Negara. Pada masa berikutnya, ketiga badan kekuasaan Negara tersebut masing-masing melembaga dan mandiri.133

132

Bulletin Komisi Yudisial, Menyongsong Sistem Kamar di Mahkamah Agung, Tanggal 05 April-Mei 2011.

133

Salim Ali Al-Bahansi, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta:Pustaka Al- Kautsar, 1996), Cet. Pertama, hlm. 53.

Peradilan memiliki dasar hukum yang bersumber dari firman Allah SWT. Surat Shad (38) ayat 26, yaitu:

“Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,

maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”134

Firman Allah SWT dalam Surat al-Maidah (5) ayat 49:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang

diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”135

Dari kedua dalil di atas jelaslah bahwa sebenarnya peradilan merupakan kebutuhan yang telah ditetapkan dasar hukumnya melalui al-Qur‟an. Dalam peradilan terdapat rukun-rukun

134

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 11-12.

135

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 12-13.

yang harus ditetapkan, yaitu: (1) Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan, karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri semua tugas itu, (2) Hukum, yaitu suatu keputusan produk qadhi, untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan persengketaan, (3) Al-Mahkum bih, yaitu hak, kalau pada qadha al-ilzam, yaitu penetapan qadhi atas tergugat, dengan memenuhi tuntutan penggugat apa yang menjadi haknya, sedangkan qadha al-tarki (penolakan) yang berupa penolakan atas gugatannya, (4) Al-Mahkum „alaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya, (5) Al- Mahkum lah, yaitu penggugat suatu hak yang merupakan hak manusia semata-mata.136

Kemudian selain dalil yang diatas, ada hadits pula yang menjadi dasar bagi keharusan adanya qadha, bahkan menunjukkan kepada kepentingan banyak, diantaranya:

“Apabila seseorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka dia memperoleh dua pahala. Dan apabila dia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu

pahala.” (HR. Bukhari Muslim)

Kata hakim dalam hadis di atas mengandung pengertian orang berhak mengadili perkara, dan dalam hadis lain diungkapkan dengan kata qadhi yang artinya hakim atau qadhi. Atas dasar ayat-ayat dan hadis di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa mengadakan dan menjalankan lembaga al-Qadha‟ itu hukumnya wajib kifayah (kewajiban kolektif umat Islam). Eksistensi lembaga peradilan Islam didukung dengan akal. Sebab, ia harus ada untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang yang teraniaya dan untuk menghilangkan

Dokumen terkait