• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA

B. Pembentukan Komisi Yudisial

Ide untuk membentuk sebuah lembaga yang khusus bertugas mengawasi hakim sebenarnya ide lama yang hadir sejak 1968, ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dibahas. Ada gagasan membentuk Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberi pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim, yang diajukan baik oleh MA maupun Departemen Kehakiman. Namun, gagasan ini mental ketika UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman disahkan. Gagasan tersebut baru diadopsi didalam perubahan UU No. 14 Tahu 1970 yaitu UU No. 35 Tahun 1999. Dalam penjelasan umum disebutkan, perlunya checks and balance

terhadap lembaga peradilan, agar putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh masyarakat, serta pembentukan Dewan Kehormatan Hakim yang mengawasi prilaku hakim, atau memberikan rekomendasi perekrutan, promosi dan mutasi hakim serta menyusun kode etik (code of conduct) untuk para hakim.72

Sebelum UU No. 35 Tahun 1999 hadir, pengawasan dan pendisplinan hakim menjadi tanggung jawab dan kewenangan menteri (yaitu Menteri Kehakiman, Menteri Agama, dan Menteri Pertahanan) serta MA. Pengawasan oleh kementerian (kekuasaan eksekutif) yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal (Irjen), kementerian yang bersangkutan dilakukan terkait

71

Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP, 2007), Cet. Pertama, hlm. 139.

72

pembinaan organisasi, administrasi, serta keuangan peradilan. Hal ini menjadi konsekuensi sistem dua atap peradilan di Indonesia. Sementara itu pengawasan oleh Mahkamah Agung dilakukan dalam bidang peradilan dan tingkah laku hakim termasuk Hakim Agung dalam menjalankan tugas atau yang disebut aspek teknis yudisial. MA bias meminta keterangan terkait teknis yudisial, memberi petunjuk, teguran atau peringatan yang dianggap perlu.73

Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.74

Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun tidak serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan pada 23 Agustus 2006.75

73

Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.

74

Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.

75

Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun tidak serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan pada 23 Agustus 2006.76

Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kita sudah kembali kepada UUD 1945. Kepada jiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Tetapi kenyataannya selama ini jiwa dari ketentuan-ketentuan UUD 19945 itu balum dilaksanakan secara murni. Sebagai contoh dapat diajukan, bahwa pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945 dalam penjelasannya secara tegas telah menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari praktek dan pelaksanaannya telah menyimpang dari UUD, antara lain pasal 19 dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang

memberikan wewenang kepada Presiaden untuk dalam “beberapa hal dapat turun atau ikut

canpur tangan dalam soal-soal pengadilan.77

Dikatakan antara lain oleh pasal 19 dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa: “Demi kepentingan refolusi, kehormatan Negara, dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden

76

Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.

77

C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. Ketiga, hlm. 186.

dapat turun atau campur tangan dalam soal pengadilan”. Sedangkan dikatakan dalam

penjelasan mengenai pasal 19 tersebut bahwa: “Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh

dari kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat Undang-undang”. Sebaliknya UUD 1945

sendiri dalam penjelasannya: “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka dan

terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah”.78

Adalah jelas, bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 Tentang Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama

menggambarkan adanya suatu pertentangan konstitusional yang: “flagrant”, sedangkan

pertentangan dengan UUD 1945 betapapun ia disertai dengan syarat-syarat tertentu, tidak dapat dibenarkan oleh hukum “interference” atauturun tangan dari pihak eksekutif

dimungkinkan, sedangkan hal demikian dilarang oleh UUD 1945, yang menghendaki adanya Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka, terlepas dari pengaruh Pemerintah.79

Dengan dicabutnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut terjadilah suatu kekosongan, yang akan menghambat jalannya peradilan pada umumnya. Oleh karena itu perlulah dengan segera dibentuk Undang- undang Tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru sebagai penggantinya. Undang-undang yang baru ini selain bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut harus pula menjaga kemurnian pelaksanaan UUD 1945. Untuk itu perlulah dalam Undang-undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru ini, diusahakan tercantumnya dasar-dasar bagi penyelenggaraan peradilan dan ketentuan-ketentuan pokok mengenai

78

Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).

79

C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. Ketiga, hlm. 187.

hubungan peradilan dan pencari keadilan, yang sejiwa dengan UUD 1945 supaya pelaksanaannyananti sesuai dengan Pancasila.80

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan dengan ketentuan bahwa undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman ini akan merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas- asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara yang masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.81

Dengan melihat bab dan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai kekusaan kehakiman masih ada kekuasaan-kekuasaan lain yang ditentukan dalam UUD 1945. Dari situ pula dapat disimpulkan bahwa kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam UUD 1945 menempatkan kekuasaan kehakiman dalam kaitannya dengan susunan. Apa yang merupakan susunan ketatanegaraan itu meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan peraturan, susunan, dan kedudukan lembaga-lembaga Negara serta tugas dan kewenangannnya. Dalam UUD 1945, susunan ketatanegaraan dapat dilihat dalam ketentuan- ketentuan yang mengatur enam lembaga Negara yang terdiri dari sebuah lembaga Negara tertingggi Negara yaitu MPR dan lima buah lembaga tinggi Negara yakni Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA).82

80

C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. Ketiga, hlm. 188

81

C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. Ketiga, hlm. 189.

82

Jimly Asshidiqie, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 2005), Cet. Pertama, hlm. 23.

Semenjak reformasi bergulir, tampak realisasi akan perubahan terhadap UUD 1945 tidak dapat dielakkan. Sebagai salah satu agrnda reformasi, perubahan terhadap UUD 1945 menjadi begitu mendesak sebab perubahan masyarakat demikian cepat, demikian pula perubahan yang terjadi dalam supra struktur politik perlu direspon dengan perubahan Konstitusi sebagai hukum dasar Negara yang akan menjadi pijakan utama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara.83

Dimana, Amandemen UUD 1945 sebagai amanat reformasi pada akhirnya dapat dituntaskan dalamperunahan keempat dengan nama resmi UUD 1945. Perubahan empat kali itu dapat dirinci sebagai berikut.84

Perubahan pertama yang ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, berhasil di amandemen sebanyak 9 pasal. Perubahan kedua yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000 telah di amandemen sebanyak 25 pasal. Perubahan ketiga yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 berhasil diamandemen sebanyak 23 pasal. Perubahan keempat yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 ini telah berhasil diamandemen sebanyak 13 pasal serta 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Jadi, jumlah total pasal hasil perubahan pertama sampai keempat itu adalah 75 pasal. Namun demikian, jumlah nomor pasalnya tetap sama yaitu 37 (tidak termasuk Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan).85

Perubahan UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali sejak tahun 1999, merupakan bagian dari proses reformasi yang membawa dampak penting dalam kehidupan social, politik dan terutama dalam kehidupan hukum. Perubahan yang terjadi yang tampak kasat mata akibat

83

Jimly Asshidiqie, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 2005), Cet. Pertama, hlm. 25.

84

Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD 1945-2002, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), Cet. Pertama, hlm. 209.

85

Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD 1945-2002, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), Cet. Pertama, hlm. 209.

perubahan UUD 1945 tersebut menyangkut konfigurasi kelembagaan Negara atau organisasi penyelenggaraan Negara. Perubahan yang didasari oleh pengalaman masa lalu, ingin meletakkan konstitusionalisme, sebagai prinsip dan doktrin bernegara, yang dijaga melalui doktrin checks and balance dan pemisahan kekuasaan (separation of power). Atas dasar hal itu, maka konfigurasi organisasi kekuasaan telah berubah secara mendasar, dari sesuatu yang bersifat vertikal hirarkis, dimana kedaulatan ratyat dipegang oleh sebuah badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelma seluruh rakyat Indinesia, dengan kewenangan menetapkan UUD, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara dan mengangkat Kepala Negara (Presiden) atau Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Perubahan UUD 1945, merubahan posisi MPR sebagai lembaga Negara, yang memegang kekuasaan tertinggi Negara, menjadi sederajat dan setara dengan lembaga Negara pemegang kekuasaan lainnya dalam kedudukan yang bersifat horizontal, tetapi secara fungsional melakukan checks and balance terhadap lembaga Negara lainnya.86

Sebagai buah dari reformasi, yakni telah adanya amandemen terhadap UUD 1945, maka selain Mahkamah Agung sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan yang berada dibawahnya, juga terdapat Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun tidak mempunyai hubungan struktural dengan Mahkamah Agung. Kedua lembaga tersebut memiliki fungsi yang sama sebgaipelaksana kekuasaan kehakiman, akan tetapi dibedakan dalam yuridiksi dan kompetensinya.87

86

Jimly Asshidiqie, Pemikiran Jimly Asshidiqie, dan Para Pkar Hukum, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, (Jakarta: The Biografi Institute, 2007), Cet. Pertama, hlm. 277.

87

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 196.

Perubahan ketiga UUD 1945 selain menyangkut tentang Mahkamah Konstitusi, juga memuat tentang Komisi Yudisial. Ia disebut sebagai lembaga pembantu (auxilioary instritution) didalam rumpun kekuasaan kehakiman. Kehadirannya, merupakan refleksi filosofis dan cita-cita hokum yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, sejalan dengan munculnya kesadaran sejarah akan masa depan kekuasaan kehakiman yang merdeka, independent, dan bermartabat. Kekuasaan kehakiman yang merdeka, bermoral, dan bebas dari berbagai bentuk intervensi dan steril dari praktek tidak terpuji, merupakan conditiosine qua non dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai kejujuran,kebenaran, dan keadilan.88

Latar belakang pembentukan Komisi Yudisial adalah sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut: (1) lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman,karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja, (2) tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan Pemerintah (eksecutive power)- dalam hal ini Departemen Kehakiman (judicial power), (3) kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabilamasih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum, (4) tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus, (5) pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutkannya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu Presiden atau Parlemen.89

88

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 196.

89

Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 144-145.

Dalam konteks perjuangan menuju terwujudnya praktek penyelenggaraan Negara yang bersih, diperlukan upaya strategis dan fundamental bagi terwujudnya komitmen akhlak dan moral serta kualitas profesionalitas dari para hakim selaku sumber daya insane utama. Dalam konteks inilah, Komisi Yudisial dibentuk.90

Setelah mempelajari keberadaan Komisi Yudisial diberbagai Negara, dapat disimpulkan bahwa dibentuknya Komisi Yudisial sekurang-kurangnya mempunyai salah satu atau lebih dari lima alasan yang sangat strategis dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka.91

Pertama, dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spectrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja.

Kedua, Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan Pemerintah (eksekutive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan Pemerintah. Ketiga, dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekusaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal baik yang menyangkut rekruitmendan monitoring Hakim Agung serta pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman. Keempat, dibentuknya Komisi Yudisial adalah untuk menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Kelima, meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah

90

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 202

91

Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 147.

lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekruitmen hakim yang ada.92

Keberadaan KY sangatlah menentukan berhasil tidaknya reformasi hukum dan penegakkan keadilan dalam dunia peradilan kita sekarang maupun masa depan. Sebab KY bukan pelaku kekuasaan kehakiman, namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dimana anggotanya selaku pejabat Negara yang dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Hal inilah yang dipercayai akan memperbaiki system peradilan Indonesia, karena dalam melaksanakan tugas pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim .93

Dokumen terkait